Kania Langit Amaranata POV
Saat terpisah dengan Mas Angga, aku selalu banyak berpikir. Kebanyakan mengingat masa lalu kami bersama. Bagaimana kami bertemu. Bagaimana kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bagaimana perangai galak dan menyebalkannya.
Kadang aku jalan ke tempat kenangan kami sambil mengingat momen itu. Ke warung mi ayam favorit sejak SMA. Selalu saja dia dilihat orang banyak karena seragamnya. Tidak selalu seragam sih, kadang wajah gantengnya saja sudah menarik orang.
Mas Angga memang bak medan magnet. Bisa menarik kutub yang berlawanan dengannya. Banyak yang terpaku dengannya. Begitu pun denganku. Aku rela menjalani separuh waktu hidupku untuk mencintainya. Walau itu tanpa status, aku rela. Padahal aku sama, wanita yang butuh status.
Berjauhan dengannya membuatku banyak berpikir. Bagaimana aku bisa menjalani waktu ini. Saat dulu dia masih daftar tentara, kami selalu bersama. Tentu dengan sembunyi-sembunyi. Aku selalu menemaninya lari dengan membawa sekantong coklat.
"Bodoh kamu, aku 'kan pengen kurus ngapain kamu bawain coklat," umpatnya saat itu.
Aku membalas umpatannya dengan senyum, seperti biasa, "sesekali Mas harus bahagia. Coklat itu sumber energi, bisa bikin bahagia juga. Ayolah, Mas Erlan!"
"Karena kamu manggil namaku, ya udah deh."
Ah, cowok galak satu itu. Selalu aja nyerah kalau aku memanggil nama kesayangannya. Namun, nggak seru kalau dia cepet nyerah, aku suka sekali mengganggunya. Ya dengan itu tadi, manggil nama resminya.
"Tuh, 'kan, aku jadi kangen," celetukku sambil memukul jidat.
Kamu sedang apa di sana, Mas? Apa kamu kangen aku? Apa kamu masih dekat dengan Aruni Aruni itu?
"Ah kenapa aku nggak tanya kemarin?" umpatku sendiri.
Oh iya, kemarin aku tak sempat lagi membahas hal lain. Itu karena Mas Angga tiba-tiba melakukan itu, ya itu. Ada petir apa dia tiba-tiba mencium pipiku, seorang Airlangga yang sangat anti kontak fisik. Apa dia sudah sangat mencintaiku? Terlalu gemas? Sepertinya jawaban itu benar semua sih.
Lucu juga melihat kekunoan Mas Angga. Dia sangat klasik tidak seperti gaya percintaan di film masa kini. Cemburu yang lucu, sangat kaku, bahkan tidak tahu cara berfoto dengan lawan jenis. Sangat menggelikan tingkahnya itu. Mana mungkin dia bisa jadi tentara yang galak, kalau tingkahnya seimut itu.
"Kania, sinau Nduk?" tanya bapak sambil mengetuk pintuku. Bapak bertanya apa aku sedang belajar.
"Inggih Pak," jawabku pelan.
"Yo wis. Sinau sing pinter ben iso dadi dokter. Sido mlebu kedokteran, 'kan?" tanya bapak masih di balik pintu. Bapak bertanya apa aku masih ingin masuk ke fakultas kedokteran.
"Inggih Pak, jadi." Jawabanku tidak ditanggapi bapak lagi.
Jadi dokter? Itu terasa menggelikan saat aku hanya memikirkan cita-citaku satu-satunya. Aku memang asal menjawab itu supaya bapak lega. Iyalah kalau bapak tahu cita-cita asliku, pasti beliau sudah pingsan duluan. Kasihan beliau. Sudah lelah bekerja dan mengurusku sendirian.
Sebenarnya aku hanya punya bapak. Ibuku tak tahu ke mana. Kata orang sih, pergi sama mantan pacarnya saat aku berumur 5 tahun. Terakhir kudengar ibu sudah menikah dan punya anak lagi. Ya sudahlah, aku tak mau bahas itu.
Aku cuma pengen bahas bapak dan cara membahagiakannya. Seharusnya aku lebih fokus pada itu, tak cuma urusan cinta saja. Dasar cewek bego, mungkin begitu kata Mas Angga. Tuh, 'kan dia lagi. Oke, fokuslah Kania. Aku harus fokus pada ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi.
---Kujalani waktu tanpa mengingat terlalu dalam tentang Mas Angga. Kutahu kami sama-sama meniti masa depan. Akan ada saatnya di mana kami pasti akan bertemu. Akan ada saatnya kami pasti akan bersatu. Jika memang sudah jodoh, tidak akan ke mana. Lagu lama sih, tapi aku percaya.
Memang kami sama-sama sibuk. Jarang komunikasi. Namun, inilah seninya. Walau aku nggak tahu dia doain aku atau nggak. Namun, dia adalah salah satu orang yang kusebut dalam doa. Semoga Mas Angga jadi orang sukses dan jadi masa depanku.
Kalau dirasa, aku seperti sangat tergila padanya ya. Memang dia cinta pertamaku. Cinta terindahku. Tujuan hidupku. Orang yang selalu ngemong dan membimbingku untuk dewasa. Kadang dia kayak bapak, kadang kayak seorang ibu. Asyik berlama-lama dengannya. Hingga pikiranku hanya dipenuhi tentang dia.
Dia selalu ada saat aku bimbel. Saat aku belajar sendiri. Saat tryout diapun ada, seperti menyemangatiku. Aku harus bisa membuatnya bangga. Maka, kukerjakan setiap ujian dengan baik. Kukerjakan dengan sungguh-sungguh. Juara harus kuraih demi membuat bapak dan dia bangga. Agar seorang Kania tidak sia-sia terlahir ke dunia.
"Selamat Kania, rerata ujian nasionalnya 9,7. Kamu juara 1." Ucapan Bu Wahyuni langsung disambut tepuk tangan meriah.
Seluruh aula langsung melihatku yang tersipu malu. Apakah ini yang namanya motivasi cinta seorang Erlan? Andai dia di sini, aku pasti sudah memanggil namanya dengan keras.
Ah sudahlah, berkat tidak bertemu dengannya waktu berjalan dengan cepat. Sekarang tahu-tahu sudah pengumuman ujian. Tak terasa telah berbulan-bulan kami tak bertemu. Kangen? Jangan ditanya, kangen sekali. Namun, semua demi cita-cita masing-masing. Tetap harus sabar.
Aku tak bisa mengabarkan berita bahagia ini. Sebab, dia sangat terbatas memegang ponsel. Sedang sibuk berat, saat sesekali mengabariku beberapa minggu yang lalu. Ya sudahlah, aku nggak tahu gimana kesibukan seorang taruna tingkat akhir. Mungkin saja sama denganku, 'kan?
Kalau dia mengabariku lagi, pasti langsung kuhamburkan kabar bahagia ini. Dia pasti bangga hingga menitikkan air mata. Iya air mata, karena tubuhnya sakit kena pelukan kerasku. Ah, Kania garing. Mana ada Erlan kesakitan. Aku kali yang sakit kena pangkat-pangkat di bajunya. Itu baju apa toko aksesoris, printilannya meriah amat.
---
Tok ... tok ... tok ...Suara ketukan membuyarkan lamunanku saat menonton TV. Siapa sih ganggu orang asyik aja? Awas ya kalau bukan Mas Erlan. Ngomong-ngomong kok aku nyaman banget manggil dia gitu. Pasti dia kegirangan deh dipanggil kayak gitu sama aku.
"Selamat sore, ini dengan Gadis Bodoh?" tanya seorang pemuda yang sepertinya kurir.
Aku nyengir tak nyaman, "maaf, di sini bukan rumahnya Ga ..., tunggu sebentar."
Kurang asem Mas Erlan! batinku kesal.
"Iya Mas, ini dengan Gadis Bodoh," ujarku tak enak hati.
"Baik Mbak, ini ada pesanan dari 'Mas Taruna Kesayanganmu', mau diterima?" ujar mas-mas itu.
"Pede gila!" umpatku pelan.
"Ya Mbak?" tanya mas kurir bingung.
"Eh, iya Mas. Saya terima aja. Makasih, ya?" ucapku gugup.
"Oke ...," si mas kurir menjentikkan jari dan satu dua tiga, mas kurir yang lain berdatangan menuju teras rumah sederhanaku.
Aku seperti tersihir oleh pemandangan ini. Satu, dua, tiga, tujuh! Tujuh buket besar bunga wangi mendarat cantik di teras rumahku. Warnanya cerah, aromanya segar. Lili, mawar merah, mawar oranye, anggrek putih, krisan putih, dan beberapa bunga lain yang tak tahu apa namanya, semua indah.
"Ini ada suratnya juga, Mbak." Mas kurir menyerahkan sepucuk surat amplop coklat padaku. Ada gambar segitiga chevron di depannya.
"Iya ... Iya makasi, ya, Mas." Mas kurir itu mengangguk lantas berpamitan pergi.
Aku lantas duduk lemas di kursi depan sambil menata hati. Kubolak-balik surat itu. Pasti Mas Erlan memberiku kejutan manis. Ini sangatlah manis. Bunga dan surat, dua senjata pamungkas untuk seorang wanita. Ah, aku seperti wanita dewasa saja. Tak pakai lama, kubuka amplop dan kubaca surat. Tulisannya tetap sama, rapi dan teratur.
"Dear Kania Jelek...
Aku nggak tahu berapa nilai ujianmu, yang pasti jelek, 'kan?""Ih, kurang ajar Mas ini!" umpatku pelan.
"Terima saja hadiahku ini. Kalau nilaimu bagus, anggap hadiah. Kalau jelek, anggap hiburan. Mungkin kalau surat ini sudah kau baca, aku sudah selesai sibuk. Sayang aku malas menghubungimu, maaf ya!"
"Sadisnya nggak abis-abis, Mas," ujarku kesal.
"Aku nggak pandai basa-basi Kania, aku hanya ingin bilang maaf sekali lagi. Masih ada satu tradisi sebelum kelulusanku. Namanya Malam Pengantar Tugas. Rerata para taruna membawa teman wanitanya. Maaf, aku nggak bisa bawa kamu. Sudah jelas apa, 'kan, alasanku? Kamu boleh membenciku atas kejujuran ini. Lebih baik kamu sakit hati karena kejujuran daripada bahagia karena kebohongan. Aku takut, dampak yang harus kamu tanggung lebih besar daripada bahagiamu. Apa kamu membenciku, Kania?"
"Aku sangat membencimu, Mas. Benar-benar cinta..."
Mataku menerawang jauh ke jalanan depan. Terasa kosong dan tiba-tiba air mata ini menetes. Mas Airlangga, Mas Angga, memang sadis. Namun, sekarang terasa lebih menyakitkan. Ya, aku baru sadar. Mana mungkin aku diajak dan diperkenalkan sebagai teman wanitanya, pasti heboh. Dia terkenal di mana-mana, aku hanya bayangannya. Hanya Tuhan yang tahu tentang cinta kasih kami.
"Ya, aku memang gadis bodohmu, Mas."
Aku berusaha tersenyum. Memang berat sekali karena bibir ini memilih untuk menangis. Bagaimana bisa aku memilih kisah cinta semacam ini? Ini sangat menyakitkan kalau dirasa-rasa. Namun, aku kadung cinta. Aku sudah banyak berkorban. Dan terlalu lambat untuk menyerah, kembali. Hatiku tlah tertambat padanya.
"Aku cinta kamu ...."
---
Airlangga Sakha Handojo POVAndaikata bisa memukul diriku sendiri, itu sudah kulakukan. Bagaimana bisa aku menyakiti Kania saat aku sangat mencintainya. Bagaimana aku bisa menyembunyikannya, saat kisah ini teramat indah untuk dipamerkan. Nasib cintaku teramat tragis, demi cita-cita dan janji pada orang tua, seorang gadis harus tersakiti. Tidak adil bagi kami.
Aku tak bisa memamerkannya pada dunia. Aku tak bisa mengatakan dia milikku. Semua serba rahasia. Serba sembunyi. Pacaran backstreet, apalah itu namanya. Semoga dia sabar, mau menerima keadaan ini. Seperti yang tergambar pada balasan suratnya.
"Aku cinta kamu."
Hanya itu yang dia tulis. Hanya itu. Tak ada lagi cuap-cuap lain saat aku sangat merindukan kabar darinya. Bagaimana nilai ujiannya? Apa dia sehat? Apa dia merindukanku? Apa dia marah? Apa dia memaafkanku? Ah, dilema cinta yang menyiksa. Menurunkan wibawaku sebagai calon perwira.
"Izin selamat malam Abang Asuh?" sapa seseorang membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh dan mendapati seorang wanita ayu mendekat, Aruni. Ya, dialah yang kupilih untuk menemaniku ke malam tradisi ini. Demi menyelamatkan imej orang tua, keluarga besar. Latar belakang keluarganya sama denganku. Dia juga tertarik padaku. Kurang apalagi?
"Saya tahu Abang hanya memanfaatkan saya." Ucapan Aruni bak petir menggelegar. Kami berbincang sebentar setelah acara usai.
"Sok tahu kamu!"
"Siap salah! Izin Bang, saya tahu siapa sebenarnya kekasih Abang," tukasnya penuh misteri.
"Terus mau apa, mau bocorkan ke semua orang?" tanyaku galak.
Dia menegakkan badannya lagi, "siap tidak! Saya tetap merahasiakannya. Asal Abang tetap mendukung saya."
"Maksudmu?"
"Tetaplah berpura-pura kita dekat. Agar saya populer di sini. Siap, mohon petunjuk?"
"Wah, Penjilat Kecil kamu, ya!" kataku sambil mengejeknya.
"Siap!" Dia terlihat yakin dengan keputusan anehnya. Dasar perempuan. Mau seragaman tentara atau SMA tetap saja perempuan.
"Cantik nggak pacarku?" tanyaku usil.
"Siap, masih cantik saya, Bang!" jawabnya tegas pandangan lurus tanpa berani menatap wajahku.
"Bangs ... ah sudah kamu kembali. Saya malas bicara sama kamu!" usirku kasar.
Sesaat sebelum bubar, dia menyodorkan selembar kertas, "mohon izin Bang, simpanlah baik-baik."
Aku melihat kertas itu dan kaget, "sialan darimana kamu dapat ini?"
"Siap terjatuh waktu di perpustakaan Bang!" jawabnya tegas.
"Sudah pergi!" usirku lagi.
Gadis kaku itu menurut dan meninggalkanku. Aku lupa tak berterimakasih. Biar sudah. Aku tak suka-suka banget padanya. Aku cuma suka Kania. Apalagi Aruni telah lancang menyimpan fotoku dan Kania yang jatuh di perpustakaan. Dia telah tahu kartu as-ku. Bodoh juga ya Erlan ini. Kebanyakan ngelamun cewek ya gini.
"In love, Kania and Erlan."
Kupandangi lagi foto ini. Kania terlihat cantik dalam gaun selutut warna jingganya. Dia mirip langit jingga yang syahdu. Terlihat bodoh dan melongo saat aku menciumnya. Matanya polos seperti anak kucing. Apa mata itu sedang menangis sekarang, ya? Apa dia memaafkan tindakan kurang ajarku? Kapan kami bisa bertemu? Menjalani waktu yang tak pasti.
"Aku cinta kamu." Begitu yang dia tulis dalam suratnya.
Aku tersenyum pahit, "kamu cintaku selamanya, Kania."
***
Sembilan bulan yang lalu..."Untuk kamu yang kusuka, terus terang aku tak pandai berkata-kata. Puisi-puisiku seringkali tak bermakna. Kata-kataku seperti bualan yang menguap ke udara. Namun, dirimu tak pernah sekalipun hampa. Selalu mengisi hatiku, mengisi hariku. Membuat setiap huruf dalam hidupku bernapas. Langit yang cerah tersenyumlah selalu. Kamu cantik tiada tara. WSD, 3 IPA 1."Aku tersenyum sendiri membaca tulisan rapinya dari puluhan tahun silam. Benar sekali, telah kubaca berulangkali surat cinta dari Mas Wirya dulu. Surat cinta yang pernah kubahas dengan Mas Erlan dan membuatnya cemburu itu. Jika kubaca sekarang, perasaanku justru rindu membiru. Aku merindukan suamiku, Mas Wirya. Telah sebulan kami berpisah.Surat ini sungguh manis. Tak kusadari itu dulu, sebab masih ada nama lain di hatiku. Untung saja surat ini belum k
Angin pagi membelai wajahku. Terasa segar dan meneduhkan. Sisa semalam terasa masih lekat di badan ini. Aroma tubuhnya yang wangi masih melekat di pelukanku. Cumbu hangatnya masih terasa di pipi ini. Bibir ini masih terasa manis oleh kata-katanya. Malam-malam selalu indah semenjak bersamanya. Saat ini aku benar-benar tergila oleh suamiku. Berlayar di samuderanya membuatku bahagia seperti ini.Pagi ini kupandangi dia yang sedang merapikan kerah seragam lorengnya. Sembari mengaca dan merapikan rambutnya yang tadi berantakan. Aroma tubuhnya wangi selepas mandi. Aroma sabun favoritku yang menjadi favoritnya juga. Sesekali dia melirikku yang berpura-pura tidur. Dia tak tahu aku diam-diam mengamati tingkahnya.Tubuhnya tinggi semampai, khas tentara pada umumnya. Proposional tentu saja karena hobinya memang olahraga. Apalagi dia terbisa berdiri dan berjalan tegap semenjak muda. Kulitnya sedikit menggelap setelah cuti dua mi
Kini aku dan Mas Wirya telah satu dunia. Kami satu frekuensi. Sering bertemu, bertukar sapa, bertukar senyum, dan bahkan cumbuan. Kami merayu satu sama lain, seperti pasangan lain yang kasmaran. Indah sekali pacaran setelah resmi menikah. Mau berbuat apa saja tak ada yang mencela.Meski masih ada negara di antara kami, tapi dia berusaha mendekat padaku setiap saat. Saat waktu dinas telah usai, tubuhnya menjadi milikku. Aku bisa menikmati senyumnya yang lepas tanpa batasan apapun. Senyumnya yang manis bagaikan candu telah memabukkanku.Setiap hari aku menghias rumah tipe 70 miliknya. Menaruh vas bunga mawar putih di meja ruang tamu, ruang tengah, dan ruang keluarga. Menghabiskan tabunganku selama kuliah di kedokteran demi manisnya rumah ini. Tak apalah, aku tak merasa rugi. Sebab ini salah satu impianku, menjadi ibu rumah tangga.“Terima kasih ya Cinta atas mak
Aku positif jatuh cinta pada suami pernikahan konyol ini. Resmi menjadi koramil alias korban rayuan militer. Tingkah dan perilaku Kak Erlan berhasil membuatku klepek-klepek seperti ikan mujaer. Aku jatuh dalam rayuannya. Menikmati setiap cumbuannya. Memang hatiku tak bisa berbohong, seorang Abel jatuh cinta pada pandang pertama pada seorang Erlan. Berhasil membuatku lupa pada sosok Kak Imran yang menyebalkan itu.Aku menikmati setiap sentuhannya. Setiap pelukannya. Setiap aroma tubuhnya. Setiap cumbu rayunya. Membasuh telingaku hingga basah kuyup. Aku sangat menyukai suamiku saat ini. Lucu ya hidup seorang Nabilla? Dari acak kadul hingga mulai tertata seperti ini. Sungguh aku berterima kasih pada Tuhan dan kedua orang tua yang telah mempertemukan kami. Sepertinya aku menemukan bagian hatiku yang hilang, separuh jiwaku. Dan mungkin saja belahan jiwaku.Ah, entahlah. Aku sedang berusaha mengenal Kak Erlan. Dia tak begi
Kulihat wajahnya yang tenang seperti samudera. Dia selalu terlihat teduh, kalem, dan tenang sekalipun sedang bimbang seperti ini. Beda denganku yang ribut bagai badai karena masalah Surat Izin Menikah. Tanggal pernikahan kami tinggal dua minggu lagi, tapi surat itu belum selesai. Entah terkendala dimana, mungkin status ibuku yang tak jelas.Aku memilih untuk tenggelam dalam aktivitas memasak sup ayam. Di minggu pagi sedikit mendung, Mas Wirya telah menyambangi rumahku. Katanya ingin makan masakanku dengan bapak. Kami memang meminggirkan tradisi pingitan demi mengurus surat menyurat itu. Tenang, dia sangat menjaga kontak fisik denganku kendati hatinya membara."Tolong yaSuh. Pernikahanku tinggal dua minggu."Kudengar dia berkata setengah berbisik di telepon. Mungkin denga
Airlangga Sakha Handojo POV“Kok kamu marah sih, Kak? Bukannya aku istrimu? Kata ayah, aku berhak atas dirimu! Kenapa kamu marah saat aku cuma buka ponselmu!?” katanya kesal.“Gak secepat ini, Abel! Gak kayak gitu caramu ingin tahu tentang aku!Just asking me!Tanya saja jangan cari tahu sendiri!” tegasku.“Tapi kamu selalu jaga jarak sama aku. Kamu selalu jual mahal dan menggodaku. Membuatku malas mendekatimu secara langsung. Sebenarnya kamu marah karena aku buka ponselmu atau karena aku tahu masa lalumu?!” ujarnya memanas. Aku menatapnya lekat, ingin rasanya kubungkam mulut cerewet itu.“Gimana ya caranya jelasin ke anak seumuranmu? Abel, it
Sumpah demi apa saja kali ini aku seperti sedang bermimpi. Sebab seseorang di depanku itu benar-benar nyata. Dia adalah perempuan yang selalu jadi benang merah antara aku dan Mas Erlan, Aruni. Namun, kenapa ia sekarang tetap ada di hubunganku bersama Mas Wirya. Sebenarnya dia siapa hingga bisa masuk ke hidup siapa saja. Nama Aruni bak mengikuti hidup Kania kemana saja.Benar sekali, seseorang yang baru datang dan sedang duduk bersama kami di meja makan ini adalah Aruni. Aruni dari Jakarta, mantan kekasih Mas Erlan atau cuma kekasih pura-pura. Dia sedang tertawa penuh arti bersama kedua orang tua Mas Wirya. Entah apa artinya? Apa mungkin aku akan dipermainkan lagi kali ini? Atau mungkin Aruni akan jadi ganjalan bagiku dan Mas Wirya.Apa maksud kedatangannya ke sini? Dia kenal keluarga Mas Wirya? Lalu Mas Wirya tidak tahu apa hubungan Aruni, Mas Erlan, dan aku? Semua terasa membingungkan hingga suara Pak Hutama memecah
Nasi goreng jawa sudah matang di sore yang mendung dan dingin ini. Mungkin musim hujan akan datang, hingga mendung sering berkunjung. Walau suram, tapi hatiku cerah. Sebab bunga cinta sedang tumbuh dan bersemi. Walau masih berjuang tumbuh, tapi akan terus kusirami.Bapak baru saja pulang dinas saat aku selesai memasak. Sore ini aku tak sibuk di rumah sakit hingga bisa menemani bapak makan di rumah. Sore yang langka dan aku sangat bahagia. Sebab aku merindukan bapak. Wajahnya berbinar melihat piring nasi goreng buatanku. Tak lama langsung duduk dan bersiap makan.“Tok…tok…tok!”“Siapa ya yang datang?” gumam Bapak sambil menatap pintu ruang tamu.“Biar Kania yang buka, Pak.”&
Airlangga Sakha POVSenja mulai merayapi langit Jakarta yang sedikit mendung. Hawanya dingin membuatku malas melakukan apapun. Sepulang dinas kupilih duduk di ruang tengah sambil menatap TV, bukan menonton. Sebab perhatianku lebih tertuju pada istri pernikahan konyol ini, Nabilla alias Abel. Abel sedang menyapu teras depan sambil sesekali melenguh kesal, karena daun yang disapunya bertebaran lagi ditiup angin. Tiap tingkahnya menggelikan.Sesekali aku tersenyum tanpa sadar sebab tingkah Abel mengingatkanku padanya. Dia ceroboh, kekanakan, ceria, dan apa yang dikerjakannya selalu tak beres. Membuatku gemas sendiri dan ikut turun langsung. Ah, aku tak sedang ingin mengingatnya. Pasti dia juga sedang tertawa lepas bersama lelaki itu.Tentang Nabilla alias Abel. D