Ini hari ketiga Gia sebagai mahasiswi dan sekaligus hari terakhir OSPEK. Sejak kemarin Gia terus merengek kepada Ayah agar mau mengantarnya ke kampus, dengan risiko Ayah harus melewati jalan yang berlawanan arah dari kantornya. Ayah yang memang selalu memanjakan anak gadisnya itu pun mengiakan.
Pagi ini Gia sudah duduk di mobil Ayah. Di bangku kemudi Ayah sedang fokus mengendarai mobil Toyota Camry hitamnya, berusaha secepat mungkin sampai di kampus putrinya.
"Ayah tegang banget, sih? Ini cuma nganterin Gia ngampus, bukan bawa Gia ke pelaminan kali," komentar Gia yang gemas dengan wajah serius ayahnya.
"Iya, tapi kalau Ayah sampai telat hari ini, kamu bisa-bisa nggak akan sampai ke pelaminan juga, Gi," sahut Ayah masih fokus memandang jalanan di depannya.
"Apa hubungannya Ayah telat sama Gia kawin?" tanya Gia bingung.
"Ayah ada rapat penting pagi ini. Kalau telat, bisa digantung sama Pak Direktur nanti." Ayah mulai cemas memandang barisan mobil yang mengular di depannya.
"Eh, enak aja mau gantung ayahnya Gia. Gia lempar ke sungai Nil biar dimakan kuda Nil sini," omel Gia asal-asalan.
Ayah sontak memandang Gia. "Di sungai Nil nggak ada kuda Nil kali, Gi. Ngaco aja kamu ini," protes Ayah, lalu tertawa.
"Terus yang ada kuda Nil di mana, dong?"
"Kebun binatang tuh."
"Oh, iya juga. Ongkos ke sana juga lebih murah dari pada ke sungai Nil. Ya, udah. Nanti kalau ada yang berani gantung Ayah, bakal Gia lempar ke kandang kuda Nil di Ragunan." Gia meralat ancamannya, membuat Ayah semakin kencang tertawa.
Jam baru menunjukkan pukul 06.20 saat mobil Ayah memasuki kampus Fakultas Hukum Universitas Merva. Ayah menghentikan mobilnya di depan gerbang, lalu memandang putri kesayangannya. "Sudah sampai, Tuan Putri," kata Ayah sambil tersenyum lebar.
"Wah, pagi banget sampainya. Aman, deh, Gia nggak bakal kena omel senior galak ngeselin itu lagi," sahut Gia sambil meletakkan ransel hitamnya ke punggung kanan.
"Nanti kalau sudah selesai, telepon Ayah, ya. Biar Ayah jemput," perintah Ayah.
"Ayah emang lelaki bertanggung jawab, udah nganterin cewek terus jemput segala. Gia nggak salah, nih, jatuh cinta sama Ayah," puji Gia lalu menggenggam tangan Ayah dan menciumnya.
Ayah mencium puncak kepala Gia, lalu meniupnya sambil membacakan ayat kursi. "Kalau nggak cinta sama Ayah, nggak bakal Ayah kasih uang saku lagi kamu, Gi," ancam Ayah sambil pura-pura pasang tampang galak.
"Gia bakal cinta mati, beneran cinta sampai mati, sama Ayah. Jadi, Ayah harus ngasih uang saku Gia selamanya juga, lho!" kata Gia sambil membuka pintu mobil, lalu keluar. Gia membungkukkan badan, memandang wajah ayahnya yang mulai keriput.
"Sembarangan kamu. Udah sana masuk! Ayah ke kantor dulu, ya," pamit Ayah sambil melambaikan tangan.
Gia mengangguk, lalu menutup pintu mobil. Mobil Ayah segera pergi meninggalkan Gia. Gia melangkahkan kakinya menuju auditorium, tempat dilaksanakannya kegiatan OSPEK terakhir. Selama perjalanan, Gia berpapasan dengan teman seangkatannya. Tidak semua Gia hafal namanya, tapi mereka tau siapa Gia. Ini semua gara-gara si senior galak itu. Gia selalu kesal tiap mengingatnya.
"Eh, udah hari ketiga dan gue belum tau nama senior galak bin ngeselin itu, deh. Ah, bodo amat. Siapa pun namanya, tetep aja dia galak. Senior mulut cabe." Gia berdialog dengan diri sendiri.
"Tumben nggak telat." Sebuah suara berat dan sedikit serak terdengar dari belakang Gia. Suara menyebalkan yang selalu menghantui Gia.
Gia menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Di hadapannya kini berdiri lelaki berbadan tegap dengan kemeja flannel biru yang lengannya digulung sampai sebatas siku. Di lengan kirinya menggantung jas almamater merah. Sang senior galak yang baru saja hadir dalam pikiran Gia sekarang benar-benar hadir dengan senyum miring.
"Eh, pagi, Bang," sapa Gia sambil tersenyum. Entah kenapa Gia ingin sekali menyapanya seramah mungkin.
"Pagi," sahut senior galak, tanpa senyum balasan. Tapi, kali ini wajahnya tidak segarang biasanya, tidak ada aura pembunuh di sana.
"Padahal, gue udah siapin hukuman yang pas kalau lo telat lagi," kata senior galak membuat perasaan Gia hancur seketika.
"Demen banget nyiksa Gia, sih, Bang? Ini anak orang jangan disiksa mulu, disayang aja, kek. Eh, jangan! Abang nanti bisa jatuh cinta lho sama Gia, bisa repot kalau ada senior galak jatuh cinta sama Gia." Mulut Gia mulai berbicara tidak jelas arah tujuannya.
Anehnya, senior galak di hadapan Gia bukan marah, tapi malah tertawa. Gia melotot melihat lelaki yang biasanya hanya bisa marah-marah dengan kata-kata pedasnya itu tertawa. Baru kali ini Gia sadar bahwa senior galaknya itu punya wajah yang lumayan ganteng. Ah, bukan lumayan, tapi dia ganteng banget.
"Lo ngarep banget gue jatuh cinta sama lo, ya?" ejek si senior galak, setelah tawanya berhenti.
Gia manyun.
"Buru ke audit! Kalau sampai telat, gue nggak segan hukum lo lagi," perintah si senior galak, lalu berjalan melewati Gia.
'Ah, nyesel gue udah terpesona tadi. Mulutnya ternyata emang nggak bisa manis, ya. Sedih gue. Lain kali gue suruh ngemut gula jawa aja kali, biar itu mulut berkurang kadar pedesnya.' Gia menyesali perbuatannya, terpesona pada orang yang salah. Kakinya lalu melangkah lebar, menyusul senior galaknya.
OSPEK terkahir ini lebih santai dari biasanya. Seharian para senior hanya mengajak melakukan berbagai macam permainan. Salah satu yang paling seru adalah lomba foto bersama dosen.
Para mahasiswa baru dibagi menjadi beberapa kelompok. Tiap kelompok minimal mengumpulkan sepuluh foto bersama dosen Fakultas Hukum. Gayanya bebas. Kelompok dengan gaya paling kocak yang akan jadi pemenangnya. Para senior sudah mempersiapkan hadiah spesial bagi tiga pemenang.
Setelah mendapat arahan, pasukan hitam putih itu bubar dan pergi berkelompok mencari dosen ke seluruh penjuru kampus. Kelompok Gia tidak mau ketinggalan. Mereka segera menuju ruang dosen pidana yang terletak di gedung A. Sayangnya, hanya ada tiga dosen di sana. Dosen lainnya sedang mengajar karena saat ini memang sedang berlangsung jam pelajaran.
Setelah berhasil mendapatkan foto bersama tiga dosen di ruang dosen pidana, mereka menuju gedung B tepatnya ke ruang dosen perdata yang ada di lantai 1, di sebelah ruang administrasi. Di ruang dosen perdata ternyata lebih sedikit dosen yang tinggal, hanya ada satu dosen.
Gia dan tujuh temannya segera pergi setelah mendapatkan foto bersama dosen perdata tersebut. Mereka menuju ke lantai 2, di mana terdapat ruang sidang. Mereka berharap bisa bertemu dengan dosen yang selesai menguji skripsi mahasiswa.
Setelah menunggu sekitar lima menit, ruang sidang dibuka. Tiga orang dosen keluar.
Berhasil. Kelompok Gia akhirnya sudah mengumpulkan tujuh foto. Kurang tiga foto lagi.
Dewi Fortuna sedang berbaik hati kepada Gia dan teman-temannya hari ini. Baru pergi menjauh dari ruang sidang beberapa langkah, mereka bertemu dengan dua orang dosen. Tidak sampai di situ. Saat akan turun ke lantai 1, mereka berpapasan dengan seorang dosen lagi. Selesai.
Segera mereka kembali ke auditorium dan mengumpulkan foto-foto yang diambil menggunakan ponsel Gia.
Perjuangan kelompok Gia tidak sia-sia. Mereka mendapatkan juara pertama dan memperoleh hadiah kupon makan gratis sebesar lima puluh ribu di LeBlanc Cafe per orang. LeBlanc Cafe adalah satu cafe terfavorit di sekitar kampus Merva ini.
Gia girang bukan main. Dia merasa hari ini sungguh sangat beruntung, setelah dua hari sebelumnya selalu sial. Bahkan hari ini senior galak yang ganteng itu belum memarahinya sama sekali. Gia malah sering melihatnya tersenyum, membuat Gia semakin terpesona dengan wajah gantengnya.
'Mungkin yang pedas memang lebih menantang,' pikir Gia yang terus mengagumi senior mulut cabenya dari jauh.
Acara terakhir setelah upacara pembubaran OSPEK adalah makan malam bersama. Para senior memanjakan juniornya dengan menyiapkan sendiri nasi liwet yang ditaruh di daun pisang yang berjejer panjang mengitari auditorium. Menu liwetan pun termasuk lengkap. Nasi gurih dengan lauk ayam, tahu, dan tempe goreng aromanya menggoda. Segarnya sayur asem juga membuat liur menetes. Lalapan plus sambel terasi serta kerupuk semakin membuat semua yang ada di auditorium kelaparan. Tidak lupa ada es teh manis sebagai minuman. Menu yang sungguh menggoda selera, apalagi perut memang sudah waktunya diisi. Di depan auditorium, Reza, ketua panitia pelaksana OSPEK dan ketua BEM, mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang membuat acara OSPEK selama tiga hari ini berjalan lancar. Reza juga mengucapkan selamat kepada mahasiswa baru yang sudah resmi menjadi mahasiswa di Universitas Merva. Reza hanya berbicara singkat. Dia paham semua yang ada di dalam auditorium sudah berfokus ke makanan yang tersaji. Jadi,
Gia memandang dirinya di depan cermin besar setinggi dua meter di kamarnya, memastikan penampilannya sudah sempurna. Kemeja Flanel biru menjadi pilihannya hari ini. Bagian lengannya sengaja dilipat sedikit sebatas lengan. Dia memadukannya dengan celana jins hitam yang robek di kedua lutut. Rambut Gia yang dicat warna coklat dikucir bagian atasnya, lalu dicepol asal-asalan, sementara sisa rambut bagian bawah dibiarkan terurai begitu saja. Gia enggan menggunakan mekap berlebih. Seperti biasa, dia hanya memoles bedak bayi di wajah dan pelembab bibir. Gia tersenyum di depan cermin, merasa menjadi wanita tercantik sejagad raya. Setelah penampilannya sempurna, Gia mengambil ransel hitam kecilnya dari meja belajar. Ransel ini menjadi tas kesayangannya, alasan sederhana untuk menutupi kalau sebenarnya Gia malas memindah isi tas ke tas lain. Sekarang, dia siap pergi ke kampus. Di ruang makan, Ayah duduk menunggu Bunda selesai masak sambil membaca koran. Rutinitas ini memang terlalu ketinggal
Gia memasukkan mobil ke garasi rumah. Rumahnya memang tidak besar, tapi dia selalu tenang saat akhirnya tiba di rumah. Penampilan Gia sudah kacau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, tapi kusut di beberapa bagian. Tidak ada kerapian sama sekali dalam diri Gia sore ini. Wajahnya yang lelah sudah kusut dan berminyak. Kemeja merah dengan motif bunga-bunga yang digunakannya sudah acak-acakan di sana-sini. Kegiatan kampusnya hari ini terasa lumayan menguras tenaga dan pikiran. Ada tiga mata kuliah hari ini, yang sukses membuat otaknya lumayan panas. Berbeda dengan waktu dia masih duduk di bangku sekolah, Gia hanya perlu duduk dan semua materi pelajaran akan diberikan oleh gurunya. Sekarang, Gia harus memahami segala sesuatunya sendiri. Dosen hanya memberikan sedikit gambaran tentang materi yang diberikan. Sisanya akan ada diskusi antar mahasiswa dan diakhiri dengan tugas-tugas. Jadi, baru mulai kuliah, tetapi tugas Gia sudah menumpuk. Saat Gia akan masuk ke dalam rumah, mata Gia mena
Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil. Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini. Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat. "Sendirian aja, Neng?
Hari Senin jadi hari yang sering dicaci maki oleh sebagian besar orang. Hari ini dianggap sebagai hari menyebalkan. Setelah menikmati akhir pekan yang bisa menenangkan pikiran dari kegiatan rutin, seperti kerja atau sekolah, bertemu dengan hari Senin seperti kembali bertemu monster, yang harus dikalahkan dalam waktu satu minggu ke depan. Ini juga yang dirasakan Gia. Sejak pagi Gia sudah malas untuk berangkat kuliah. Gia merasa hari libur selama dua hari itu kurang. Padahal, yang dilakukan Gia di hari Sabtu dan Minggu hanya hibernasi. Dia tidur sepanjang hari dengan alasan mengisi kembali energi yang terkuras habis. "Bundaaa," panggil Gia manja. Gia menarik kursi makan, lalu duduk. Kedua tangannya dilipat di atas meja, lalu kepalanya direbahkan di atasnya. "Kenapa, Gi? Kusut banget mukanya?" tanya Bunda yang sedang bersiap masak sarapan. "Gia bolos, ya?" rengek Gia masih dengan nada manjanya. Posisinya tidak berubah, malah sekarang matanya terpejam. "Kenapa bolos segala?" tanya Bun
Matahari mulai tenggelam. Teletubbies berpamitan, sementara Gia baru bangun dari tidur siangnya. Bisa tidur siang di hari Senin itu salah satu surga dunia. Jarang-jarang ada orang yang bisa dengan enaknya tidur di siang hari selama lebih dari tiga jam. Gia sangat bersyukur menjadi orang terpilih yang bisa menikmati surga dunia hari ini. Pagi tadi Gia mendapatkan pesan kalau dua kuliah untuk hari ini ditiadakan. Dosen pertama meminta penggantian jam dengan alasan yang tidak diberitahu. Setelah berdiskusi dengan kordinator tingkat, akhirnya diputuskan kuliah diganti besok Rabu jam tiga sore. Sementara dosen kedua ada acara keluar kota, belum ada perintah penggantian kelas. Gia merasa bagai mendapat lamaran perjaka tampan, mapan, dan kuat iman. Gia bahagia dunia akhirat. Hari liburnya bertambah satu hari lagi. Selesai sarapan, Gia kembali masuk ke kamar. Dia memandang sekeliling kamar. Di meja belajar, beberapa buku kuliah saling tumpang tindih tidak beraturan. Pulpen, pensil, dan pen
Gia memandang deretan rak buku kayu yang tinggi menjulang berjejer rapi di depannya. Perpustakaan menjadi tempat yang jarang sekali dikunjungi oleh Gia. Tapi, kali ini dia berdiri di sini, sendirian. Bukan sendirian dalam arti sebenarnya. Ada beberapa mahasiswa lain di sana, sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka larut dalam buku atau terlelap dalam mimpi di sudut perpustakaan yang hening. Gia tidak mengenal satu pun dari mereka. Wajah mereka terlalu asing baginya. Gia yakin mereka adalah mahasiswa semester tua yang sibuk cari referensi bahan skripsi. Gia berjalan menyusuri lorong sambil membaca sepintas judul buku yang ada di sana. Tidak ada buku yang menarik. Semuanya tentang hukum. Sampai akhirnya Gia membaca judul buku yang aneh. "Chicken soup?" tanya Gia bingung. "Ini kan perpustakaan kampus hukum. Gimana ceritanya ada buku resep masakan di sini?" Gia mengambil buku chicken soup dari rak buku. Penasaran, Gia membawa buku itu. Dia mengamati sekeliling perpustakaan. Suasana p
Macet. Suara klakson bersautan di antara barisan mobil dan motor di jalanan. Semua orang yang ada di jalan ini lelah dan ingin buru-buru sampai tujuan. Tapi, menekan klakson berkali-kali juga tidak akan mengubah apa pun. Gia yang menyetir di tengah macet dan berisiknya jalanan ini pun mulai emosi. "Ini pada nggak bisa sabar dikit emang? Makanya kalau nggak mau kena macet, tuh, nggak usah sok beli mobil. Cuma mampu kredit doang belagu. Giliran macet emosi sendiri," omel Gia, entah pada siapa. Dia sendirian di mobil. Gia tidak sadar kalau mobilnya sendiri cicilannya juga belum lunas. Ayah masih harus membayar cicilan setidaknya tujuh bulan lagi. Gia merasakan lelah. Seharian di kampus cukup menghabiskan tenaga dan pikirannya. Padahal, Gia hanya perlu menjalankan mobilnya tidak lebih dari seratus meter lagi. Di kiri jalan di depan sana akan terlihat gerbang masuk Diamond Cluster, perumahan Gia berada. Sayangnya, barisan mobil di depan Gia sama sekali tidak bergerak sejak sepuluh menit y