Gia mengikat rambut coklatnya terlebih dahulu sebelum keluar dari mobil. Mendadak dia merasa lebih nyaman dengan rambut yang diikat. Seperti biasa, Gia hanya mengikat rambutnya asal-asalan. Dia tidak terlalu peduli dengan kerapian, yang penting nyaman dan tidak mengganggu aktivitasnya. Selesai urusan rambut, Gia mengambil tas ransel dari kursi samping lalu keluar dari mobil.
Parkiran sudah hampir penuh berbagai macam mobil beraneka bentuk dan warna. Showroom mobil akan minder dengan deretan mobil di parkiran kampus FH. Mulai dari mobil klasik sampai mobil mewah keluaran terbaru ada di sini.
Gia memandang sekeliling, siapa tahu ada orang yang dikenalnya. Bisa berjalan bersama seseorang sampai kelas jelas lebih menyenangkan daripada sendirian. Sayangnya, tidak ada wajah yang dikenalnya. Yang ada hanya para senior yang Gia tidak tahu namanya. Gia akhirnya melangkahkan kakinya menuju gedung A sendirian. Tangannya memainkan kunci mobil, hanya untuk kesibukan sesaat.
"Sendirian aja, Neng?" sapa suara berat dan sedikit serak dari belakang Gia. Suara yang mulai dihapal oleh Gia. Suara menyebalkan yang perlahan mulai membuatnya nyaman.
Gia berhenti dan menoleh ke belakang. Di belakangnya berdiri Hugo. Tatapan tajam yang biasa ditunjukkan Hugo ke Gia saat PKKBM lenyap, berganti menjadi tatapan lembut dan bersahabat. Tidak ada lagi senior galak yang menakutkan. Hugo berubah menjadi senior ramah yang menyenangkan.
"Eh, pagi, Bang. Kuliah pagi?" Gia balas menyapa Hugo.
"Nggak, sih. Cuma ada tugas yang harus dikumpulin nanti siang. Gue butuh referensi lebih, jadi mau nongkrong di perpus dulu," jawab Hugo.
"Kok baru dikerjain sekarang tugasnya?" Gia heran dengan Hugo yang mengerjakan tugas terlalu mepet dengan deadline.
"Gue tim ngerjain tugas SKS alias Sistem Kebut Sejam," jawab Hugo dilanjut tertawa bangga. Dia bangga akan kesesatannya.
Gia ikut tertawa mendengar lelucon konyol Hugo. "Bilang aja males, sok-sokan pakai kebut sejam segala. Kebut-kebutan bisa nabrak nanti. Nabrak jadi luka, terus berdarah. Sakit, deh. Jangan nangis kalau sakit, ya," ejek Gia setelah tawanya mulai reda.
Hugo menggaruk kepalanya. Pangkal hidungnya mengerut. Dia memikirkan alasan yang tepat. "Biasa... anak BEM. Sibuk organisasi, jadi tugas kelupaan." Hugo mencari alasan klasik.
"Dih, segala nyalahin BEM pula. Kalau males, mah, males aja. Kasian BEM nggak salah apa-apa jadi dituduh yang bukan-bukan, lho. Fitnah itu namanya. Dosanya lebih berat dari pembunuhan. Jadi mending bunuh aja itu tugasnya dari pada ngefitnah," omel Gia panjang lebar.
Hugo tertawa mendengar omelan Gia. "Mimpi apa gue semalem? Pagi-pagi gini udah kena omel junior. Junior paling tengil pula," keluh Hugo pura-pura sedih.
"Kalau mau nyindir orang, di belakangnya aja, Bang. Bentar. Gia balik badan dulu," protes Gia sambil membalikkan badannya membelakangi Hugo. "Udah. Sekarang silakan sindir Gia sepuasnya, Bang."
Hugo tertawa terbahak-bahak. Gia memang selalu membuatnya takjub. Celetukannya selalu spontan dan konyol. Hugo senang berbicara dengan adik tingkatnya ini.
"Gia bilang sindir sepuasnya, bukan ketawa sepuasnya, Bang," omel Gia sambil manyun.
"Lo itu emang unik, ya. Gue suka," celetuk Hugo, lalu pergi mendahului Gia.
Gia mematung di tempat. Dia bingung dengan arti kata-kata Hugo barusan. Ada perasaan senang dan malu di hatinya. Debaran jantungnya pun semakin kencang. Tanpa Gia sadari pipinya mulai merah dan panas.
Gia menggelengkan kepalanya. Dia mencoba menghilangkan bayangan Hugo yang terus mengatakan suka pada dirinya.
'Kalau suka, mah, nggak ditinggal sendirian gini kali. Digandeng kek ini tangan. Udah bertahun-tahun nggak digandeng cowok, nih. Udah berjamur tangan gue,' omel Gia dalam hati.
Gia melangkahkan kakinya menuju ruang kelasnya. Selama perjalanan, Gia terus berusaha menyadarkan dirinya kembali ke realita. Hugo tidak mungkin suka padanya.
'Bang Hugo itu cuma suka sama gue sebagai junior, Bego! Nggak usah kepedean, Gi. Dia cuma kagum, bukan jatuh cinta. Liat aja gimana sadisnya Bang Hugo waktu PKKBM.' Gia menasihati dirinya sendiri. Saat mengingat ulah Hugo yang selalu memarahinya dulu, Gia bergidik, ngeri.
'Amit-amit. Jangan sampai gue jatuh cinta sama cowok sadis begitu, deh,' kata Gia sambil memukul-mukul kepalanya pelan, mencoba menolak kesialan. Sialan sudah jatuh cinta sama senior galak yang ganteng, yang mendadak jadi ramah itu.
"Ngapain lo mukul-mukul kepala?" tanya Jessica yang heran dengan ulah Gia sejak masuk kelas. Tatapan mata Gia kosong, kadang menggelengkan kepala, kadang senyum-senyum sendiri, dan sekarang malah memukul-mukul kepala.
"Eh?" Gia bingung. Tanpa dia sadari dirinya sudah sampai di dalam kelas.
"Kesambet penunggu kampus?" tebak Jessica. Dia sedikit ngeri kalau ini benar terjadi.
"Iya, kayaknya, nih. Gue butuh mandi kembang tujuh rupa beneran, deh," keluh Gia dengan muka melas.
Jessica masih penasaran apa yang terjadi dengan Gia. Sayangnya, dosennya sudah masuk kelas terlebih dahulu. Jessica terpaksa menelan kembali pertanyaannya. Dia hanya menatap Gia dengan tatapan penuh tanya, sambil mengeluarkan buku dari tas pinknya.
***
Jam menunjukkan pukul enam sore, saat Gia sampai di rumah. Gia sebenarnya tidak ingin menghabiskan waktu seharian di kampus. Kuliahnya selesai jam satu siang tadi. Tapi, tugas kelompok menahannya lebih lama.
Hanya saja, bukan mengerjakan tugas, Gia dan temen-temen sekelompoknya malah nongkrong di kafe. Mereka membahas berbagai macam hal receh tidak penting, sampai lupa waktu. Hasilnya, tugas mereka belum tersentuh sama sekali. Tapi, badan dan pikiran mereka sudah menolak bekerja sama. Akhirnya, mereka memutuskan mengerjakan tugasnya lain waktu. Itu juga kalau ada niat. Niat yang entah kapan akan muncul kembali. Sungguh pemborosan waktu, tenaga, dan uang.
Gia masuk ke dalam rumah dan melihat Ayah yang sedang nonton TV di ruang keluarga. Seperti biasa, Bunda sedang masak di dapur. Hidup Bunda memang sering dihabiskan di dapur. Kalau bisa, Bunda akan memilih tidur di dapur sekalian. Sayang, Ayah jelas tidak mengizinkan istrinya memeluk panci dan wajan setiap hari.
"Assalamu'alaikum." Gia melemparkan salam kepada Ayah.
"W*'alaikumsalam," sahut Ayah sambil mengalihkan pandangan dari TV. "Eh, baru pulang, Gi? Dari mana aja?" tanya Ayah saat melihat putrinya mendekat.
Gia melemparkan pantatnya ke sofa tepat di sebelah ayah. "Dari menikmati hidup sebagai mahasiswi," jawab Gia.
"Capek, nih, jadi mahasiswi?" tanya Ayah.
"Capek, Yah. Tugas udah numpuk, nih. Gia pusing," jawab Gia, mengeluhkan tugas kuliahnya yang menumpuk.
"Dinikmati aja. Jangan kebanyakan ngeluh. Suatu saat kamu pasti kangen masa-masa ini," nasihat Ayah mencoba memberikan semangat kepada Gia.
Suara ketukan menghentikan obrolan Ayah dan Gia. Mereka saling pandang, penasaran siapa yang bertamu malam-malam. Jarang ada yang datang jam segini, kecuali ada urusan yang mendesak.
Ayah berdiri dan pergi menuju ruang tamu. Gia yang merasa lelah tetap duduk sambil mencuri dengar. Saat ini rasa penasaran terkalahkan dengan tubuhnya yang kehilangan setengah tenaga. Ternyata bersenang-senang justru mampu menghabiskan banyak tenaga yang tidak pernah disadari.
"Selamat malam," sapa sebuah suara lelaki. Suaranya tidak asing di telinga Gia. Tapi, Gia gagal mengenali suara ini.
"Malam. Eh, Restu. Ayo masuk masuk," sambut Ayah mempersilakan tamunya yang ternyata adalah tetangga baru.
"Ini ada sedikit bingkisan." Restu menyerahkan sekotak kue kepada Ayah.
"Wah, kenapa jadi repot-repot bawa kue segala? Makasih, ya," sahut Ayah menerima pemberian Restu. "BUNDA, GIA. ADA TAMU." Ayah memanggil istri dan anaknya untuk ikut menyambut tetangga depan rumah mereka.
"IYA, YAH. TUNGGU SEBENTAR. NANGGUNG DIKIT LAGI MATENG, NIH," balas Bunda dari dapur.
Gia bangkit dari duduknya. Dengan langkah malas dia menuju ruang tamu. Di ruang tamu, Restu dan Gavin duduk bersebelahan di sofa panjang. Ayah duduk di sofa di sebelah kanan Restu, menghadap keluar rumah. Gia tersenyum melihat Gavin yang terus memandang ke luar.
"Hai, Gavin. Apa kabar?" sapa Gia setelah duduk di sofa sebelah kiri Gavin.
Gavin diam, tidak mempedulikan Gia. Entah dia memang tidak mendengar sapaan Gia atau pura-pura tuli. Tatapannya yang tajam masih menatap keluar, ke arah kolam ikan milik Gia yang di malam hari bersinar oleh lampu di sekeliling kolam. Baginya lampu taman jauh lebih menyenangkan dibanding Gia yang tersenyum lebar.
"Kalau ditanya, dijawab, Gavin," perintah Restu tegas.
"Baik," jawab Gavin singkat tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun.
"Maafkan anak saya." Restu meminta maaf dengan ulah anak lelakinya yang dirasa kurang sopan.
"Nggak apa-apa. Nanti juga luluh sama Gia," sahut Gia santai sambil tersenyum penuh keyakinan.
"Eh, ada tamu," seru Bunda yang tiba-tiba muncul setelah menyelesaikan memasak. "Jadi ini tetangga baru kita?" tanya Bunda kepada Ayah.
"Iya. Ini Restu dan ini anaknya, Gavin." Ayah memperkenalkan Restu dan Gavin.
"Wah... ganteng-ganteng, ya," komentar Bunda.
Gia melirik Bunda heran. Biasanya Bunda tidak pernah salah melihat kegantengan seseorang. Gia mengalihkan pandangannya kepada Restu, berusaha menilai level ketampanannya.
Restu mempunyai alis tebal dengan mata tajam. Hidungnya mancung. Bibirnya bergelombang yang dihiasi kumis tipis. Rahangnya tegas. Rambutnya model pompadour yang disisir rapi lengkap dengan tambahan Pomade. Badan Restu juga atletis. Gia yakin di balik bajunya ada roti sobek. Malam ini Restu menggunakan polo shirt biru dongker dan celana jins biru tua. Restu itu ganteng, keren, dan jelas hot daddy. Gia baru sadar dengan pesona seorang Restu. Tapi, tetap saja Restu itu om-om. Restu itu om-om tua beranak satu.
"Loh, istrinya mana? Kok, nggak diajakin?" tanya Bunda setelah duduk di sofa di depan Restu.
"Istri saya sudah meninggal," jawab Restu sambil tersenyum. Senyum tipis itu jelas menunjukkan kepedihan yang mendalam. Ada nada getir dari kata-katanya yang sukses membuat suasana suram.
"Ah, maaf," kata bunda merasa bersalah. "Kalian belum makan, kan? Kebetulan Bunda barusan selesai masak. Makan bareng di sini, ya?" Bunda mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya. Gavin makan sini sama Kakak, ya?" ajak Gia kepada Gavin. Dia ikut membantu mencairkan susana yang tidak menyenangkan.
Gavin diam. Dia masih enggan menanggapi. Pandangannya masih terfokus ke luar rumah. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Terima kasih," Restu mengiyakan ajakan makan malam keluarga Gia. Memang bukan makan malam mewah, tapi berkesan untuk Restu.
Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang
Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te
Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R
Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d
Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar
Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem