Hari Senin jadi hari yang sering dicaci maki oleh sebagian besar orang. Hari ini dianggap sebagai hari menyebalkan. Setelah menikmati akhir pekan yang bisa menenangkan pikiran dari kegiatan rutin, seperti kerja atau sekolah, bertemu dengan hari Senin seperti kembali bertemu monster, yang harus dikalahkan dalam waktu satu minggu ke depan. Ini juga yang dirasakan Gia.
Sejak pagi Gia sudah malas untuk berangkat kuliah. Gia merasa hari libur selama dua hari itu kurang. Padahal, yang dilakukan Gia di hari Sabtu dan Minggu hanya hibernasi. Dia tidur sepanjang hari dengan alasan mengisi kembali energi yang terkuras habis.
"Bundaaa," panggil Gia manja. Gia menarik kursi makan, lalu duduk. Kedua tangannya dilipat di atas meja, lalu kepalanya direbahkan di atasnya.
"Kenapa, Gi? Kusut banget mukanya?" tanya Bunda yang sedang bersiap masak sarapan.
"Gia bolos, ya?" rengek Gia masih dengan nada manjanya. Posisinya tidak berubah, malah sekarang matanya terpejam.
"Kenapa bolos segala?" tanya Bunda heran. Biasanya Gia semangat berangkat ke kampus.
"Pengin aja," jawab Gia singkat.
"Terserah aja, sih. Cuma kalau lulusnya jadi telat, jangan nangis-nangis, lho," sahut Bunda mulai mengupas bawang.
Gia seketika duduk dengan tegap. Kepalanya terangkat dan kedua tangannya dibiarkan menjuntai di kanan kiri tubuhnya. Bayangan dirinya menjadi mahasiswa tua yang tidak segera lulus memang menjadi salah satu hal yang paling ditakuti Gia.
Gia beberapa kali melihat mahasiswa tua yang belum kunjung lulus berkeliaran di kampus. Memang ada beberapa dari mereka yang sudah punya bisnis sukses. Tapi, sebagian besar dari mereka masa depannya masih suram. Auranya negatif. Mereka tidak punya semangat hidup, bahkan ada yang penampilannya kucel tidak terawat. Gia ngeri membayangkan dirinya berada di posisi itu.
"Oke. Gia mandi dulu," seru Gia dengan semangat, lalu berlari ke kamarnya di lantai dua.
Bunda tersenyum melihat tingkah Gia. Anaknya memang manja, tapi bukan pemalas.
Tanpa butuh waktu lama, lima belas menit kemudian, Gia sudah siap ke kampus. Gia menggunakan kaus putih bertuliskan Vogue dan kemeja abu-abu polos oversize yang tidak dikancingkan, dilengkapi celana jeans biru tua. Tidak lupa tas ransel hitam kecil miliknya. Seperti biasa, Gia hanya memakai bedak bayi dan lip gloss pink sebagai make up. Rambutnya hari ini dibiarkan terurai. Kemarin sore dia baru saja keramas. Rambutnya masih lembut, harum, dan layak dipamerkan.
Setelah sarapan yang kali ini damai karena ayah ke luar kota sejak kemarin, Gia segera menuju garasi. Gia meletakkan tas di kursi samping, lalu menyalakan mobil dan segera menuju kampus.
Sampai di luar rumah, Gia melihat Restu yang juga akan pergi bersama Gavin. Duda keren itu sudah rapi dengan kemeja slim fit lengan panjang warna pink dan celana wol putih. Restu terlihat memasukkan tas ransel Gavin ke bangku belakang.
"Pagi, Om. Mau berangkat kerja, ya?" sapa Gia saat melewati mobil Restu. Gia sengaja menghentikan mobilnya di samping mobil Restu.
"Pagi. Iya. Saya sekalian mengantarkan Gavin sekolah. Kamu ke mana?" jawab Restu dengan senyum ramahnya.
"Ngampus, dong. Kan Gia udah kuliah. Nggak keliatan, ya? Masih cocok pake seragam sekolah, ya?" Gia merasa dirinya masih patut disandingkan dengan anak SMA.
Restu tertawa, membuat lesung pipinya nampak. "Saya kira kamu masih seumuran Gavin," celetuk Restu.
Gia manyun. "Nggak semuda itu juga kali, Om," protes Gia. "Eh, Gia duluan ya, Om. Bye bye." Gia lalu menjalankan mobilnya kembali.
Restu masih tersenyum memandang mobil Honda jazz putih Gia yang semakin menjauh.
"Papa buruan! Nanti Gavin telat," panggil Gavin membuyarkan lamunan Restu.
Restu terkesiap. "Oke," sahut Restu, lalu masuk mobil dan mengendarai mobilnya menuju sekolah Gavin. Dia mencoba mengabaikan wajah Gia yang dengan kurang ajarnya terus menghantui sejak semalam.
***
"Gi, liat, deh. Bulu mata gue rontok lagi, nih," kata Jessica sambil menunjukkan dua helai bulu mata di tangannya.
"Ih, kok bisa? Lo apain itu bulu mata?" seru Gia kaget. Dipandanginya mata Jessica, meneliti apakah ada yang salah di sana.
"Nggak tau. Dari kemarin copot satu-satu, nih. Bisa botak mata gue dong kalau gini," sahut Jessica meratapi nasibnya yang akan hidup tanpa Bulu mata.
"Jangan-jangan lo kena kanker bulu mata, Jes," tebak Gia asal. Kerutan di dahinya lebih menunjukkan rasa penasaran daripada kepanikan.
"Ha? Serius? Duh, gimana, nih? Gue belum siap mati." Jessica semakin panik.
Gia tertawa.
Sadar cuma dijadikan bahan lelucon, Jessica mencubit lengan Gia. Gia meringis kesakitan. "Ampun ampun ampun," pinta Gia.
"Ngeselin banget, sih," Jessica manyun.
"Nanti kalau mata lo beneran botak, gue beliin bulu mata anti badainya Syahrini, deh," kata Gia menenangkan Jessica.
"Ya, jangan didoain botak juga, lah," protes Jessica kesal.
"Kantin, yuk? Jangan manyun mulu," ajak Gia sambil membereskan buku dan peralatan tulisnya.
Jessica mengangguk setuju. Selesai membereskan buku-bukunya, mereka langsung menuju kantin. Kantin kali ini tidak terlalu ramai. Banyak meja yang kosong.
"Gue pengen siomai. Lo mau apa, Jes?" Gia yang dari tadi memang mendambakan siomai menanyakan keinginan Jessica. Bayangan potongan siomai yang disiram bumbu kacang sudah menghantuinya sejak jam pelajaran tadi.
"Samain deh. Yuk," sahut Jessica, lalu beranjak menuju kedai Mang Ujang. Kedai yang letaknya di bagian tengah ini satu-satunya yang menjual siomai di kantin. Beruntung saat ini kedai nyaris kosong. Mang Ujang bisa langsung melayani pesanan Gia dan Jessica dengan cepat.
Selesai memesan siomai lengkap dengan minumannya, Gia dan Jesica menuju bangku kosong terdekat. Mereka duduk berhadapan. Baru sebentar menikmati siomai sambil ngobrol santai, pundak Gia ditepuk seseorang.
"Hai, Gi," sapa Hugo, lalu duduk di samping Gia.
Gia memutar kepalanya menghadap ke sumber suara.
"Gia doang, nih, Bang yang disapa?" protes Jessica dengan mulut penuh siomai. Sudut bibirnya sudah belepotan bumbu kacang, tapi dia tidak peduli.
"Hai, Jes." Hugo menyapa Jessica.
Tiba-tiba ada segelas kopi hitam mampir ke atas meja. Seorang lelaki kurus dengan rambut gondrong duduk di samping Jessica. Gia ingat, lelaki ini senior yang memanggil Hugo kemarin. Berkat dia, Gia jadi tahu nama senior galak yang ganteng ini. Gia senyum-senyum sendiri mengingat kejadian itu. Dalam hati Gia sangat berterima kasih kepada senior kurus itu.
"Ngapain lo, Ngga?" protes Hugo ke Angga, cowok kurus gondrong di depannya.
"Hai, Ladies. Numpang duduk, ya," sapa Angga ke Gia dan Jessica, tidak peduli dengan Hugo yang sudah memasang tampang galak.
"Boleh, Bang. Lagian Abang udah duduk ini. Masa iya kita usir? Cari mati namanya," sahut Gia sambil tertawa kecil.
"Mana berani ngusir senior kita, Bang. Takut kualat kita," tambah Jessica.
Semua tertawa.
"Eh, Go. Thank's kemarin udah nolongin nyokap gue. Kalau lo nggak nganterin, bisa ketinggalan kereta dia," kata Angga tulus. Matanya menatap Hugo. Tangannya menggenggam tangan Hugo.
Hugo menepis tangan Angga. "Apaan, sih! Jijik amat pegang-pegang tangan gue." Hugo jelas menunjukkan ketidaknyamananya. "Santai aja. Kayak ama siapa aja lo," sahut Hugo yang merasa tidak enak perbuatan baiknya diumbar.
"Emang Bang Hugo abis ngapain?" tanya Jessica, mulai kepo. Dia memandang Hugo dan Angga bergantian, menuntut penjelasan.
"Kemarin gue lagi ada acara BEM yang nggak bisa ditinggal. Gue lupa kalau nyokap harus ke Jogja. Untung ada Hugo yang dengan entengnya nawarin bantuan buat nganter nyokap gue ke stasiun." Angga menjelaskan kronologi kejadian kemarin secara ringkas.
"Wuih ternyata dibalik mulut pedes lo, ada hati seputih salju juga ya, Bang. Wah bisa jatuh cinta nih gue kalau gini, Bang," celetuk Gia yang terpesona dengan ulah Hugo. Mata Gia berbinar memandang Hugo.
Semua tertawa.
"Boleh, kok, kalau lo yang jatuh cinta sama gue," balas Hugo.
Angga dan Jessica tertawa semakin keras. Sementara Gia diam di tempatnya, memandang Hugo yang sekarang memasang wajah serius. Jantung Gia sudah berdetak tak beraturan. Gia harus menarik napas dalam untuk menenangkannya.
Jatuh cinta memang semenyenangkan ini.
Matahari mulai tenggelam. Teletubbies berpamitan, sementara Gia baru bangun dari tidur siangnya. Bisa tidur siang di hari Senin itu salah satu surga dunia. Jarang-jarang ada orang yang bisa dengan enaknya tidur di siang hari selama lebih dari tiga jam. Gia sangat bersyukur menjadi orang terpilih yang bisa menikmati surga dunia hari ini. Pagi tadi Gia mendapatkan pesan kalau dua kuliah untuk hari ini ditiadakan. Dosen pertama meminta penggantian jam dengan alasan yang tidak diberitahu. Setelah berdiskusi dengan kordinator tingkat, akhirnya diputuskan kuliah diganti besok Rabu jam tiga sore. Sementara dosen kedua ada acara keluar kota, belum ada perintah penggantian kelas. Gia merasa bagai mendapat lamaran perjaka tampan, mapan, dan kuat iman. Gia bahagia dunia akhirat. Hari liburnya bertambah satu hari lagi. Selesai sarapan, Gia kembali masuk ke kamar. Dia memandang sekeliling kamar. Di meja belajar, beberapa buku kuliah saling tumpang tindih tidak beraturan. Pulpen, pensil, dan pen
Gia memandang deretan rak buku kayu yang tinggi menjulang berjejer rapi di depannya. Perpustakaan menjadi tempat yang jarang sekali dikunjungi oleh Gia. Tapi, kali ini dia berdiri di sini, sendirian. Bukan sendirian dalam arti sebenarnya. Ada beberapa mahasiswa lain di sana, sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka larut dalam buku atau terlelap dalam mimpi di sudut perpustakaan yang hening. Gia tidak mengenal satu pun dari mereka. Wajah mereka terlalu asing baginya. Gia yakin mereka adalah mahasiswa semester tua yang sibuk cari referensi bahan skripsi. Gia berjalan menyusuri lorong sambil membaca sepintas judul buku yang ada di sana. Tidak ada buku yang menarik. Semuanya tentang hukum. Sampai akhirnya Gia membaca judul buku yang aneh. "Chicken soup?" tanya Gia bingung. "Ini kan perpustakaan kampus hukum. Gimana ceritanya ada buku resep masakan di sini?" Gia mengambil buku chicken soup dari rak buku. Penasaran, Gia membawa buku itu. Dia mengamati sekeliling perpustakaan. Suasana p
Macet. Suara klakson bersautan di antara barisan mobil dan motor di jalanan. Semua orang yang ada di jalan ini lelah dan ingin buru-buru sampai tujuan. Tapi, menekan klakson berkali-kali juga tidak akan mengubah apa pun. Gia yang menyetir di tengah macet dan berisiknya jalanan ini pun mulai emosi. "Ini pada nggak bisa sabar dikit emang? Makanya kalau nggak mau kena macet, tuh, nggak usah sok beli mobil. Cuma mampu kredit doang belagu. Giliran macet emosi sendiri," omel Gia, entah pada siapa. Dia sendirian di mobil. Gia tidak sadar kalau mobilnya sendiri cicilannya juga belum lunas. Ayah masih harus membayar cicilan setidaknya tujuh bulan lagi. Gia merasakan lelah. Seharian di kampus cukup menghabiskan tenaga dan pikirannya. Padahal, Gia hanya perlu menjalankan mobilnya tidak lebih dari seratus meter lagi. Di kiri jalan di depan sana akan terlihat gerbang masuk Diamond Cluster, perumahan Gia berada. Sayangnya, barisan mobil di depan Gia sama sekali tidak bergerak sejak sepuluh menit y
Single bed milik Gia sudah penuh dengan baju. Hampir seluruh isi lemarinya tumpah di sana. Beberapa pakaian bahkan berceceran di lantai dan tersampir di kursi. Pemilik kamar tidak peduli dengan kekacauan yang terjadi. Gia memandang dirinya di depan cermin. Dia berputar ke kanan dan ke kiri, lalu tersenyum melihat dress putih yang digunakannya mengembang. Gia menggunakan midi dress berwarna putih bermotif bunga abu-abu kecil, lehernya berbentuk V, dan lengannya pendek. Salah satu dress terbaik yang dimiliki Gia karena di dalam lemarinya sebagian besar berisi celana jins, kaus dan kemeja. Di dalam sana jarang ada pakaian yang membuatnya terlihat lebih wanita. "Kalau gini, kayaknya gue harus beli dress lagi, nih," keluh Gia setelah melihat semua pakaiannya sudah tersebar ke seluruh penjuru kamar. Ponsel Gia berbunyi. Tanda ada sebuah pesan masuk. Gia mencari sumber suara, tapi ternyata bukan hal yang mudah. Ponselnya entah berada di mana, mungkin tertimbun tumpukan pakaian. Gia memind
Gia sedang asik di dapur sendirian. Dia sibuk memotong-motong wortel menjadi bentuk dadu. Tangannya terampil dan cekatan. Walaupun jarang di dapur, keahlian memasak Gia lumayan. Kalau hanya memasak sup sederhana, dia sudah ahli, tidak perlu diragukan lagi. Sup ayam buatan chef Gia akhirnya jadi. Aroma gurihnya menguar, memenuhi dapur. Perut Gia semakin memberontak. Gia segera memindahkan sup dari panci ke mangkuk. Dibawanya sup buatannya ke meja makan. Hari ini Gia sendirian di rumah. Ayah dan Bunda pergi ke acara family gathering kantor Ayah. Acaranya di puncak selama dua hari semalam. Gia yang merasa sudah dewasa menolak ikut. Dia berniat menghabiskan akhir pekan di rumah atau pergi bersama Jessica nanti. "It's a lazzy time. Hibernasi dua hari semalam tanpa omelan Bunda." Dia berharap saat bangun nanti ada Pangeran Tampan mengajak menikah. Ingatan Gia kembali ke ulah usil Hugo kemarin. Sikap Hugo sukses membuat Gia mirip dispenser, panas dingin. Hugo tanpa beban mengajak anak pe
"Kamu mau minum apa? Saya ada kopi, teh, dan susu." Restu berdiri di samping kulkas. Di tangannya ada toples kopi. Dia baru saja keluar dari kamar Gavin, memastikan anak lelakinya itu sudah benar-benar tertidur. Gavin memaksa Gia ikut ke rumahnya untuk memamerkan robot terbaru miliknya. Baru sebentar mereka bermain, Gavin sudah menguap berkali-kali. Jam baru menunjukkan pukul 8 malam, tapi Gavin sudah lelah. Perang air tadi siang lumayan menguras tenaganya. Gia menoleh ke arah Restu. "Susu cokelat boleh, deh, Om." Gia jelas tidak akan menolak minuman favoritnya. "Panas atau dingin?" tanya Restu sambil melangkah ke rak gelas. "Panas. Soalnya Gia juga hot. Biar kompakan kita," jawab Gia, lalu pindah ke ruang makan. Dia menarik kursi makan dan duduk manis. Dapur Restu cukup minimalis dengan peralatan masak yang tidak terlalu banyak. Restu selesai membuat minuman favorit Gia. Aroma manisnya susu dan pahitnya kopi beradu memenuhi ruangan. Susu cokelat panas untuk Gia, dan kopi hitam t
Sejak Gavin mulai dekat dengan Gia, Restu jadi sering mengajak Gavin main ke rumah Gia. Entah hanya menemani Gavin berbincang dengan Gia atau mereka asik bercanda bertiga. Terkadang Ayah dan Bunda juga ikutan bergabung. Sesekali Gia dan Gavin sibuk bermain, Ayah dan Restu asik bertanding catur. Sekarang, bahkan Gavin sudah sering dititipkan di rumah Gia, jika Restu harus lembur atau keluar kota. Walau Gia tidak selalu di rumah, Gavin akan dengan senang hati sementara waktu tinggal di rumah Gia. Bunda dan Ayah juga sudah jatuh cinta dengan Gavin. Harapan mereka untuk punya anak lelaki seperti terwujud. Mereka merasa punya cucu. Apa pun yang Gavin mau, pasti dituruti. Restu yang tahu diri, saat menjemput Gavin pasti membawakan sesuatu untuk Gia dan keluarganya. Terkadang hanya berupa martabak telur, tapi di lain waktu dia juga membawakan sesuatu sesuai permintaan Gia. Om-om BawelGi, saya dalam perjalan pulang.Adakah yang harus saya beli? Anggiana Praba Kwetiau goreng seafoodnya Ma
Enam bus berukuran besar memasuki halaman sebuah villa. Setelah bus berhenti, segera serombongan mahasiswa berhamburan keluar. Di hadapan mereka berdiri bangunan kayu dua lantai yang tidak terlalu lebar, tapi bentuknya memanjang ke belakang. Villa itu cukup longgar untuk menampung dua ratus orang selama tiga hari dua malam ini. Suasana villa cukup sejuk. Di sekeliling bangunan utama penuh aneka macam pohon rimbun. Di dekat gerbang masuk ada pos satpam yang dijaga dua orang pria berbadan besar. Di bagian belakang bangunan utama, pemandangan pantai dengan pasir putihnya begitu menggoda. Sayangnya, untuk bermain ombak harus keluar area villa dan berjalan memutar, sekitar seratus meter dari gerbang keluar terlebih dahulu. "Ini villa punya siapa, Bang?" tanya Gia yang terpesona dengan suasana sejuk di sekitarnya. Gia berputar perlahan demi memandang ke seluruh penjuru villa. Matanya jelas memancarkan kekaguman. Gia bahkan tidak sadar kalau mulutnya sudah terbuka. "Ini tempat langganan an