Share

Kesaktian Randu Aji

Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga.

"Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya.

"Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima.

Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam.

"Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima.

"Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimiliki oleh mendiang Gusti Prabu Sanjaya," terang Senapati Sulima berdecak kagum.

"Memang benar. Ayahanda dan Paman Rumi merupakan sahabat satu paguron, dan mereka juga pernah berlatih ilmu kanuragan di Padepokan Wereng Ireng di alas Purba," tandas sang pangeran.

Perbincangan tersebut tidak berlangsung lama, Senapati Sulima pun langsung pamit kepada Erlangga untuk kembali ke alamnya. Dengan penuh rasa hormat Senapati Sulima meminta izin untuk segera pulang.

"Aku izin untuk pulang sekarang, Pangeran," ucap Sulima menundukkan kepala di hadapan Erlangga.

"Iya, Senapati. Terima kasih banyak sudah membantuku," jawab Erlangga.

Saat itu juga, Senapati Sulima langsung menghilang dari hadapan Erlangga.

"Aku harus menemui guru sekarang," bisik Erlangga bangkit dan melangkah keluar, hendak menemui sang guru.

Ia bergegas menemui Ki Bayu Seta yang saat itu sedang bercengkrama dengan Anggadita dan juga Aryadana di dalam padepokan.

"Sampurasun," ucap Erlangga menjura hormat kepada sang guru.

"Rampes," jawab Ki Bayu Seta dan kedua muridnya yang saat itu tengah bersamanya. "Silahkan duduk, Pangeran!" sambung Ki Bayu Seta tersenyum hangat menyambut kedatangan Erlangga.

"Hatur nuhun, Guru. (Terima kasih, Guru)." Erlangga langsung duduk di hadapan sang guru dengan sikap ajrih.

"Ada apa, Pangeran?" tanya Ki Bayu Seta meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga yang duduk di hadapannya.

"Mohon maaf sebelumnya, Guru. Aku ingin mengatakan hal penting kepada Guru," jawab Erlangga lirih.

"Tentang apa, Pangeran?" KI Bayu Seta mengerutkan kening tampak penasaran dengan apa yang hendak diutarakan oleh muridnya itu.

Erlangga menarik napas sejenak. Lalu menjawab pertanyaan dari gurunya, "Aku sudah mengetahui siapa itu pendekar topeng tengkorak." Erlangga mengungkapkan apa yang ia ketahui berdasarkan informasi dari Senapati Sulima. "Aku pun sudah mengutus Senapati Sulima untuk meminta pendekar itu bergabung dengan kita," sambungnya lirih.

"Lantas, apakah pendekar itu setuju untuk datang dan bergabung dengan kita?" tanya Ki Bayu Seta, bola matanya terus terarah ke wajah muridnya itu.

"Dia setuju, Guru. Dan akan secepatnya datang ke padepokan ini," tandas Erlangga menjawab pertanyaan sang guru.

Selain membicarakan tentang Randu Aji sang pendekar bertopeng tengkorak, Erlangga juga sedikit mengusulkan kepada sang guru untuk membentuk tim khusus yang akan diberi tugas mendatangi paguron-paguron yang ada di sekitaran dusun-dusun di bawah kaki gunung Sanggabuana. Dengan maksud mengajak mereka untuk bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam demi mempersiapkan diri untuk membentuk pasukan yang kuat sebagai persiapan menyerang kerajaan Kuta Tandingan yang masih dalam kekuasaan Senapati Rawinta yang mendaulat dirinya sendiri sebagai raja di kerajaan tersebut.

Ki Bayu Seta pun setuju dengan apa yang diusulkan oleh Erlangga kepadanya. Saat itu juga Ki Bayu Seta langsung mengumpulkan 15 pendekar senior yang ada di padepokan tersebut termasuk Erlangga, Aryadana, dan Anggadita. Kemudian langsung dibentuk tim untuk menjalankan misi menyebar ke seluruh paguron-paguron persilatan yang ada di sekitaran daerah tersebut, dengan maksud mengajak para pimpinan paguron tersebut untuk bergabung dengan Padepokan Kumbang Hitam.

* * *

Di tempat terpisah, Randu Aji dan kedua rekannya sedang melancarkan aksi. Mereka tengah menghadang para prajurit kerajaan Kuta Tandingan yang saat itu sedang melakukan perjalanan menuju salah satu dusun yang ada di wilayah tersebut, dengan niat hendak menangkap salah seorang pimpinan padepokan yang ada di dusun tersebut.

Randu Aji meminta kepada Soarna dan Sargeni untuk mendekati iring-iringan para tentara itu dan menyamar sebagai petani biasa. Kedua pendekar itu setuju dan langsung melaksanakan tugas yang diemban oleh Randu Aji kepada mereka.

"Berhentilah!" seru salah seorang pimpinan prajurit kerajaan Kuta Tandingan mengarah kepada para prajuritnya.

"Ada apa, Panglima?" tanya salah seorang wadiya balad merasa heran dengan sikap panglimanya yang secara tiba-tiba memerintahkan mereka untuk berhenti.

"Di depan sana ada dua petani! Kita hampiri mereka dan cari informasi tentang keberadaan padepokan silat yang ada di daerah ini. Kalau mereka enggan untuk memberitahu, bunuh saja mereka!" tegas sang panglima menjawab pertanyaan dari prajuritnya.

"Baik, Panglima." Prajurit itu menyahut penuh kesiapan.

Dengan demikian, rombongan para prajurit itu langsung melangkah menghampiri Sargeni dan Soarna yang saat itu sedang menyamar sebagai dua orang petani.

Mereka sedang duduk santai di pinggiran ladang di tempat itu, Sargeni dan Soarna bersikap seperti orang ketakutan, ketika para prajurit itu tiba di hadapannya.

"Hai, Petani! Apa kalian tahu tempat Padepokan Elang putih?" tanya Sugriwa menatap tajam ke arah Sargeni dan Soarna yang saat itu berpura-pura sebagai petani.

"Kami tidak tahu, Den," jawab mereka serentak.

"Jangan bohong kalian! Kalian akan tahu akibatnya jika berdusta!" gertak Sugriwa tampak geram mendengar jawaban dari Sargeni dan Soarna.

"Sumpah, Raden. Kami tidak tahu apa-apa tentang paguron itu," tandas Soarna bersimpuh di hadapan para prajurit yang berperawakan tinggi besar dan gagah itu.

Sugriwa dengan segenap kegagahan yang ia miliki melangkah penuh keangkuhan, dan langsung menghunus pedangnya, kemudian ujung pedangnya yang tampak tajam ia arahkan ke leher Soarna.

Seketika para prajuritnya pun mengikuti langkah pimpinannya itu mereka melangkah, merapat dan berdiri mengitari dua pemuda itu.

Randu Aji hanya mengamati dari atas dahan pohon besar yang tidak jauh dari tempat dikepungnya Sargeni dan Soarna oleh para prajurit itu.

"Kami tidak tahu, Den."

"Bedebah, bunuh mereka!" teriak Sugriwa memerintah kepada para prajuritnya yang berjumlah belasan orang itu, agar segera membinasakan dua orang yang tengah menyamar menjadi petani.

Mendengar titah dari Sugriwa para prajurit itu tampak bersemangat seakan-akan mereka haus darah dan rindu dengan pertarungan. Belasan prajurit itu langsung melancarkan serangan, dan menggulung Sargeni dan Soarna.

Namun ada keanehan yang mereka alami, mereka justru saling menancapkan pedang kepada rekannya sendiri, sehingga menyebabkan sebagian di antara mereka gugur berjatuhan karena terkena tusukan pedang dan tombak dari rekannya sendiri, hingga hanya tersisa dua orang prajurit saja.

"Hentikan!" teriak Sugriwa, ia tampak terheran-heran ketika tahu dua orang yang sedang dikepung oleh para prajuritnya sudah tidak ada di tempat tersebut.

"Ke mana larinya dua orang petani itu?" Sugriwa tampak geram dan merasakan ada hal yang aneh tidak masuk dalam akal pikirannya.

"Niscaya ini semua bisa terjadi, Panglima," ucap salah seorang prajurit yang masih hidup itu. "Apakah mereka bangsa lelembut yang menguasai tempat ini?" sambungnya mengerutkan kening.

"Ya, aku lelembut yang akan menghancurkan tubuh kalian dan memotong leher kalian!" seru Randu Aji.

Ia langsung meloncat dari dahan pohon tersebut, dan mendarat sempurna di hadapan ketiga prajurit yang masih hidup itu.

Kemudian disusul oleh Sargeni dan Soarna yang bangkit di antara mayat-mayat para prajurit yang sudah tewas.

Sugriwa terperanjat dan merasa aneh dengan pemandangan yang menghias penglihatannya kala itu.

"Tidak masuk akal ... kenapa dua orang itu bangkit di antara mayat-mayat prajuritku? Padahal tadi jelas di antara tumpukkan mayat prajurit, dua orang itu tidak ada di sana?!" desis Sugriwa tampak bingung.

"Aku sarankan kalian pulang ke istana. Sebelum nasib sial menimpa kalian!" tegas Randu Aji.

Tanpa menjawab pertanyaan dari Randu Aji, Sugriwa langsung membalikan badan, kemudian berlari kencang menjauh dari Randu Aji dan meninggalkan kedua prajuritnya.

"Tunggu, Panglima!" teriak dua prajurit itu, mereka langsung berlari mengejar Sugriwa yang sudah kabur lebih dulu.

* * *

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rajo Bungsu
mantap sekali
goodnovel comment avatar
Stefanus Ludji
seru author... mantap ceritanya
goodnovel comment avatar
Mul Lintau
tak bosan2 membaca nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status