Share

Licik dan Tampan

Pagi itu Senator Gordon Crawford menggebrak meja makan dengan kemarahan yang menyala-nyala, dia pun berteriak pada putera tunggalnya, Henry.

"Henry, bagaimana bisa kau dipanggil ke persidangan hari ini?! Itu bisa merusak citramu sebagai calon senator potensial berikutnya. Kita tidak membutuhkan kehebohan publikasi yang negatif saat ini," ujar Gordon dengan nada tak sabar dan penuh amarah.

Pria muda berparas tampan itu tidak terpengaruh dengan amarah ayahnya. Dia seolah menjalani pagi yang tenang tanpa badai emosi menyentuh wajahnya yang rupawan. Henry adalah kandidat terkuat calon pengganti posisi senator ayahnya yang telah memegang posisi bergensi dan sarat kekuasaan itu selama 3 periode.

Bukan karena Gordon Crawford orang yang bersih dari kejahatan, tetapi hal itu dikarenakan koneksinya yang kuat yang dapat menyimpan segala kejahatannya tetap terpendam di bawah tanah. Menghilangkan nyawa adalah hal yang remeh dan biasa bagi Gordon Crawford. Tapi di mata publik, dia adalah pejabat loyal dan berhati mulia.

"Jaksa penuntut umum yang menangani kasusmu itu terkenal dengan reputasinya yang bersih tak bercacat sedikit pun. Emily Rose, puteri tunggal jaksa legendaris, Lincoln Carter. Bukankah kalian pernah dekat satu sama lain? Kenapa kau tidak memintanya untuk menolak gugatan kasusmu, Henry?" celoteh Gordon panjang lebar pada puteranya yang hanya dibalas dengan senyuman.

Henry tidak ingin membuat ayahnya lebih bad mood lagi pagi ini. Dia pun akhirnya angkat bicara, "Dad, aku memang dekat dengan Emily. Tapi dia sekeras tembok, aku sangat mengenalnya. Dan ... aku menyukainya. Dia pasangan yang sepadan untukku seandainya aku mencalonkan diri sebagai senator tahun depan. Biarkan dia membacakan tuntutan hukumnya untukku kali ini. Kasus ini hanyalah kasus suap pegawai negeri yang ringan. Kita bisa membayar dendanya nanti. Aku akan membereskan sisanya, tidak akan ada wartawan yang berani meliput berita ini, jadi tenanglah. Jangan merusak pagi yang indah ini dengan amarahmu, Dad."

Setelah menjawab pertanyaan ayahnya, Henry pun meminum kopinya lalu berpamitan untuk berangkat ke tempat pengadilan kasusnya pagi ini.

Sesampainya di depan balai kota Chicago, puluhan wartawan mengerubungi mobilnya. Kilatan lampu blitz kamera dengan rakus mengambil potret pria tampan dan terkenal itu. Henry memakai kaca mata hitam dengan stylish tak terpengaruh dengan cahaya menyilaukan mata itu. Dia tidak melayani pertanyaan wartawan satu pun, para pengawalnya yang bertubuh kekar membukakan jalan untuknya masuk ke ruang persidangan.

Henry pun membuka kaca mata hitamnya dan menyimpan di saku jas hitamnya yang mahal. Dia duduk menunggu sidang dengan tenang di kursi pihak terdakwa bersama para pengacaranya.

Pintu ruang persidangan pun terbuka lebar dengan suara keras. Hakim dan jaksa penuntut umum masuk ke ruang sidang lalu duduk di tempatnya masing-masing. Suasana ruangan persidangan mendadak hening. 

Ketukan palu hakim memulai jalannya persidangan pagi itu. Nama Henry Crawford dipanggil untuk duduk di kursi terdakwa di depan hakim. Tanpa berlama-lama, Emily Rose menanyai saksi perkara kasus penyuapan pejabat tinggi negara terkait dengan asuransi jaminan sosial tenaga kerja pemerintahan. 

"Tuan Albert Jenkins, apakah benar Anda mentransfer sejumlah uang ke rekening Tuan Henry Crawford?" tanya Emily dengan tatapan mata tajamnya pada saksi.

Pria itu gugup dan menggosok-gosok telapak tangannya yang basah. "Iya." jawabnya lirih.

"Tidak ada pertanyaan lagi, Hakim Yang Terhormat."

Kasus penyuapan itu sudah memiliki bukti kuat dengan ditambah jawaban konfirmasi saksi. Tanpa perlu berbelit-belit, vonisnya sudah jelas.

Emily membacakan tuntutan hukum, pasal beserta sanksi hukum untuk Henry Crawford. Hakim pun menyetujui pengajuan itu dan mengetuk palunya tanda putusan perkara hukum selesai.

Sidang pun selesai tanpa drama yang tidak diperlukan. Emily mengikuti Hakim keluar dari ruang sidang.

Hakim Malcom pun berkata pada Emily, "Em, kau sungguh berani menerima kasus suap putera Senator Crawford. Gordon Crawford, pria itu memiliki banyak koneksi, kau harus berhati-hati karena telah menyinggungnya."

Emily tidak bergeming, dia pun menjawab Hakim Malcom, "Tentu, Mr. Malcom. Saya akan berhati-hati."

Mereka pun berpencar ke ruang kerja masing-masing.

Setelah masuk ke ruang kerjanya, Emily melepas 

pakaian jaksanya. Menampilkan baju seksinya seperti biasa. 

Dia mengambil Mr. Long, ular Boa albino yang sudah dia pelihara selama 5 tahun belakangan ini. Dia memeliharanya di sebuah akuarium di samping meja kerjanya. Ular itu jinak pada Emily dan sangat suka membelit pinggang ramping Emily dengan tubuh panjangnya serta menaruh kepalanya di bahu Emily, menghadap ke arah yang sama dengan Emily, membuat Emily nampak seperti ratu ular.

Emily kadang membiarkan Mr. Long berada di tubuhnya hingga berjam-jam sambil melakukan pekerjaannya membaca kasus-kasus yang mampir ke meja kerjanya.

"Tok tok tok." 

"Silakan masuk," jawab Emily sambil menekuri berkas kasus yang akan dia sidangkan besok.

Seorang pria necis berkacamata hitam masuk ke ruang kantor Emily. "Em!" panggilnya.

Emily pun sontak mendongakkan wajahnya ke arah suara yang memanggilnya. "Henry!"

Dengan segera Emily pun berdiri bersama Mr. Long di tubuhnya mendekati Henry Crawford untuk memberinya pelukan. Namun, pria itu sepertinya phobia ular dan segera menjauhkan dirinya dari Emily.

Emily pun tertawa renyah melihat reaksi Henry Crawford. Dia pun menaruh Mr. Long ke akuarium, tempat ular itu biasa tinggal. Kemudian dia berjalan ke hadapan Henry yang dengan segera mendekap tubuh Emily serta melumat bibirnya tanpa permisi.

"Uugghhh ...," desah Emily memprotes tindakan Henry yang justru membuatnya lebih mengeratkan dekapannya di tubuh Emily.

Ketika kadar oksigen di otaknya menipis, Henry menghentikan ciumannya. Wanita cantik itu sungguh membuatnya lepas kendali. Dia sempat berpikir untuk mengangkat dan menindih tubuh wanita itu di meja kerja kantornya. Tapi tindakan itu sangat berisiko, dia pun membatalkan niatnya.

Pria itu berjalan ke arah jendela melihat jalanan di depan kantor departemen kehakiman. Dia pun berkata, "Mengapa kau tidak memberitahuku bahwa jaksa penuntut umum yang bertugas menyidangkan kasusku hari ini adalah kau sendiri, Em?"

Henry lalu menatap langsung ke wajah Emily yang tersenyum dengan mata yang dingin kepadanya. 

"Ohh oke, aku memang bersalah, Manis. Tapi segalanya sudah selesai bukan? Aku membayar denda yang cukup besar ke negara." ucap Henry mengangkat kedua tangannya tanda menyerah dengan keteguhan Emily. Dia kenal betul siapa Emily, bagi wanita itu vonis 'bersalah' adalah perbuatan melawan hukum.

Dia pun meraih Emily ke dalam pelukannya seraya berkata, "Apa kau ada waktu untuk makan malam bersamaku malam ini, Em?"

Emily sudah lama tidak bertemu dengan Henry sejak musim dingin tahun lalu yang terasa begitu hangat bagi mereka. Henry membawanya ke Swiss untuk ski bersamanya. Namun, mereka lebih sering menghabiskan waktu di kamar hotel untuk bergumul di atas ranjang sepanjang hari.

"Baiklah. Di mana kita akan makan malam?" balas Emily berusaha menyenangkan Henry karena hari ini dia menuntut Henry dengan denda yang cukup menguras kantongnya yang tebal.

Pria itu tersenyum puas seraya menjawab, "Di penthouseku tentunya. Berdandanlah yang cantik, Sayang. Supirku akan menjemputmu pukul 19.00." 

Emily menggigit bibir bawahnya, tampaknya dia akan menjalani malam yang panas lagi bersama Henry.

Pria itu pun mengecup bibir Emily dengan lembut lalu berpamitan meninggalkan ruang kantor Emily dengan langkahnya yang elegan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status