Rayden hanya bergeming menatap wanita cantik yang terbaring di bawah tubuhnya dalam kondisi polos itu. "Sayang sekali, aku belum pernah mendengar namamu, Cantik. Kupikir kau PSK yang pulang melayani pelangganmu tadi saat bertemu di lift ...," ujar Rayden sengaja menutupi keterkejutannya tadi.
"PSK, matamu!" umpat Emily meradang.
Pria yang menindih tubuhnya ini benar-benar membuatnya hilang kendali pada apapun. Emily cenderung bersikap kasar dan kehilangan ketenangan ketika berbicara dengannya. Dia rasanya tidak ingin mengenal pria misterius itu.
"Minggir dari tubuhku, Pria Sialan Bangsat Hidup!"
"Tidak! Aku masih menginginkanmu ...," balas pria itu melumat bibir Emily tanpa ampun sembari mengunci setiap sisi tubuh gadis itu dengan tubuhnya.
"Aku tidak ingin!" Emily meronta berusaha melepaskan dirinya dari kungkungan pria misterius itu.
Emily berpikir cepat, apa yang harus dia katakan agar ego pria itu terluka dan akan melepaskannya? Emily tak menemukan kelemahan pria itu, dia terlalu sempurna. Kemudian dia memilih berdiam diri seperti patung.
"Oohh secepat itu menyerah, Cantik?" ejek Rayden sambil tertawa sinis.
Kemudian dia menyatukan kembali tubuh mereka berdua. "Kau suka?" tanyanya.
"Tidak!" jawab Emily singkat menahan gairahnya yang tersulut karena gesekan liar di dalam tubuhnya. 'Ini sangat tidak adil!' protesnya dalam hatinya.
"Selesaikan hasratmu yang rendah itu lalu biarkan aku pulang!" seru Emily dengan kesal.
Rayden pun tertawa keras dan berkata, "Sudah tak sabar kubawa ke puncak gairahmu, Cantik? Baiklah ... jangan mencariku bila kau menginginkannya lagi."
Dia pun memacu tubuhnya dengan keras dan cepat, menghunjamkan miliknya dalam-dalam ke tubuh Emily yang tak dapat berbohong telah takluk dalam permainannya. Pria itu tersenyum menatap wajah Emily lekat-lekat di bawah tubuhnya yang berpeluh hingga akhirnya dia mencapai klimaks dengan sensasi yang meledak-ledak di dalam kepalanya.
Setelah itu Rayden pun bangkit dari ranjangnya dan menggendong tubuh Emily bersamanya ke kamar mandi. Dia menghidupkan keran shower air hangat dan memaksa Emily untuk mandi bersamanya.
"Lebih baik aku mengantarmu pulang. Ini bukan waktu yang tepat untuk seorang wanita cantik sepertimu berkeliaran di luar rumah," ujar Rayden dengan suara bass nya yang sedikit serak yang menjadi ciri khasnya.
Emily menatap wajah Rayden, dia melotot pada pria itu, membuat Rayden tertawa lagi karena kekesalannya.
"Aku membencimu, tak usah sok perhatian!"
"Oohh galaknya ...," sahut Rayden geli.
Emily membalik tubuhnya ingin menjauhi pria itu. Namun, lengan kekar Rayden menangkap pinggangnya dan menarik tubuh telanjang Emily hingga menempel ke tubuh pria itu dan membuatnya terkesiap.
"Lepaskan aku!" Emily meronta-ronta menolak sentuhan Rayden, dia menyikut dan memukuli tubuh Rayden yang keras seperti tembok itu.
Rayden hanya tertawa menanggapi protes Emily. 'Nona jaksa sepertinya sangat liar,' batin Rayden.
"Aku mulai menyukaimu, Manis. Kurasa aku akan menjadikanmu sebagai milikku. Kau tidak boleh menolakku lagi," ujar Rayden seraya menyeret Emily ke rak handuk bersih.
Pria itu membungkus tubuh Emily dengan handuk berukuran besar. Kemudian menghimpitnya ke tembok dengan tubuhnya lalu melumat bibir gadis itu tanpa permisi.
Pikiran Emily berkabut ketika bibirnya disandera oleh pria itu, dia sungguh tak mengerti mengapa sulit sekali mengendalikan tubuhnya sendiri dari serangan hasrat pria yang tidak dia ketahui namanya itu.
Ketika Rayden menyudahi ciumannya, bibir gadis itu sudah bengkak dan merah, basah oleh air liur mereka yang bercampur. Rayden menata ritme napas dan jantungnya yang berpacu tak karuan.
Baru kali ini dia begitu lepas kendali dan menginginkan seorang wanita hingga nyaris kehilangan kewarasannya. Naluri dominan miliknya seperti tertantang untuk menaklukkan jaksa cantik itu. Dia tahu pasti siapa wanita di hadapannya yang menjadi buah bibir di kalangan pelaku kriminal.
Sungguh menegangkan rasanya ketika bisa bercinta dengan jaksa cantik yang biasa disebut malaikat penjaga gerbang neraka. Dia tak akan menyebutkan namanya di hadapan Emily. Biarkan wanita itu menebak-nebak siapa dia sebenarnya.
Jemari Rayden membelai wajah Emily dengan perlahan. Kemarahan yang tadinya nampak itu berubah menjadi kegalauan di wajah Emily.
"Aku harus pulang sekarang ...," ucap Emily sekali lagi.
"Aku belum selesai denganmu." Rayden tersenyum miring.
"Bukan urusanku, minggirlah!" tukas Emily galak.
Emily mendorong tubuh Rayden dan bergegas keluar dari kamar mandi. Ketika berjalan di depan pintu kamar mandi, tubuh Emily diangkat lalu dibawa lari ke arah ranjang dan dihempaskan lagi.
"Astaga! Apa kau ingin memperkosaku lagi, Tuan?!" teriak Emily dengan penuh amarah.
"Seharusnya bukan pemerkosaan karena kau pun menikmati sentuhanku," jawab Rayden dengan ringan.
Emily sulit untuk mendebatnya. Dia kesal dengan tubuhnya sendiri. Apakah dia sudah berubah menjadi seorang submissive yang suka didominasi oleh orang lain? Rasanya bodoh sekali, batinnya memarahi dirinya sendiri.
"Oohh tolonglah, Tuan. Sudahlah, lepaskan aku, biarkan aku pulang ...," pinta Emily dengan lemah ketika dia berteriak pun seolah diabaikan.
Rayden menatap mata hazel Emily sembari tersenyum. "Syaratnya adalah aku harus diperbolehkan mengantarmu hingga ke depan pintu rumahmu. Setuju, Cantik?" ucapnya.
"Oke, ayo ...," balas Emily menyerah pada kehendak Rayden.
"Jangan pakai gaun itu lagi, pakailah bajuku," ujar Rayden seraya bergegas ke walk in closet miliknya.
Dia mengambil sebuah kemeja hitam bersih dan celana pendek kain lengkap dengan sabuknya. Tubuh Emily sangat ramping, pasti celananya akan melorot bila tidak ditahan dengan sabuk. Dia membelai sabuk kulit itu. Sepertinya lain kali dia akan mencambuk Emily dengan sabuknya bila mereka bercinta lagi. Pasti menyenangkan mendengar wanita itu menjerit.
Emily duduk di tepi ranjang menunggu pria itu membawakan baju ganti untuknya. Dia sudah mengenakan pantiesnya tanpa bra tentunya.
Ketika sudah berdiri di hadapan Emily, Rayden seolah tak mampu berpikir jernih. Dia menelan salivanya, pemandangan itu tampak terlalu menantang. Dia pun tersenyum miring menatap Emily.
"Terlalu menggoda ... Emily, apa kau selalu begini?" tanya Rayden.
"Kemarikan bajunya, aku sudah tak sabar ingin segera pulang," ucap Emily dingin tak mempedulikan pertanyaan Rayden, dia berdiri mengambil baju itu dari tangan pria itu.
Tanpa merasa jengah, Emily memakai kemeja dan celana pendek beserta sabuk milik pria itu di bawah tatapan lapar pria itu yang sedang berdiri sambil bersedekap di hadapannya.
"Ayo antar aku pulang!" kata Emily seraya membawa tas tangannya lalu melangkah ke arah pintu keluar penthouse milik pria itu.
"Tunggu, aku tentunya juga harus berpakaian. Beri aku waktu semenit ...," seru Rayden lalu bergegas ke walk in closetnya menyambar kaos hitam polos dan celana jeans birunya. Dia segera mengenakannya lalu menyusul Emily di dekat pintu keluar penthousenya.
Rayden menggenggam tangan Emily sembari melangkah ke depan lift lalu menekan tombol lift untuk turun.
"Haruskah kau menggandeng tanganku, Tuan? Kita tidak sedang berpacaran ...," ujar Emily geli bercampur bingung dan kesal. Pria itu selalu saja membuat emosinya bercampur aduk.
"Peduli amat, aku melakukan yang aku suka, Nona Emily ...," jawab Rayden melirik ke arah Emily yang berdiri di sebelahnya.
Emily memutar bola matanya seraya mengendikkan bahunya. Penampilan Emily dalam balutan pakaiannya membuat Rayden gemas. Dia pun menarik tubuh Emily ke dekapannya lalu menautkan bibirnya di bibir wanita itu.
Ting. Pintu lift pun terbuka.
"Ehhmmm!" Suara seseorang berdehem dari dalam lift.
Langkah-langkah kaki yang cepat itu terdengar di telinga Emily yang sedang membantu putera bungsunya mengenakan pakaian di kamar pangeran cilik tersebut."Darling, aku mencari-carimu sedari tadi!" ujar Sultan Murat berdiri di ambang pintu kamar putera kedua mereka."Ini kebiasaan rutinku di sore hari, memandikan putera-putera kita. Ada apa, Yang Mulia?" sahut Emily yang baru saja usai menyisir rambut Pangeran Fazil yang berusia 3 tahun di pangkuannya.Murat pun tersenyum memandangi putera-puteranya yang terawat dengan baik oleh istri tercintanya. Akan tetapi, dia membutuhkan Emily saja saat ini. Maka dia pun berkata, "Baiklah, aku yang kurang mengerti kebiasaanmu, Emily Sayang. Hmm ... ikutlah pergi berkereta bersamaku. Ini hari yang spesial untuk kita berdua. Titipkan anak-anak kepada pengasuh mereka!"Tawa geli meluncur dari bibir ranum berbelah milik Emily. Dia merasa curiga, suaminya akan mengajaknya bernostalgia penuh kemesraan bersamanya. "Siap, Yang Mulia. Keinginan Anda adalah
Seusai menanda tangani akte pernikahan bersama pria yang telah sah menjadi suaminya baru saja di balai kota, Emily berbicara empat mata dengan papanya."Pa, bagaimana dengan pekerjaanku sebagai jaksa wilayah di Illinois?" tanya Emily merasa bingung dengan segala perubahan statusnya yang mendadak serta rencana Murat yang akan membawanya ke Istanbul secepatnya. Lincoln Carter pun menjawab segala kegundahan hati puterinya, "Emily, papa akan memberimu nasihat. Terkait pekerjaanmu, ajukan pengunduran diri sesuai alasan terfaktual. Lembaga Kehakiman United States akan memaklumi alasan pengunduran dirimu yang terkesan mendadak ini.""Tapi, Pa—""Tidak ada kata tapi. Dengarkan papa, seorang pejuang yang baik saat dia mencapai puncak dari perjalanan panjang perjuangannya akan tahu kapan harus berhenti. Maka dari itu ada istilah gantung sarung tinju, hal itu pun sama untukmu, Emily. Biarlah kenangan baik tentangmu dan segala reputasi tak bercela sepanjang karir hukum yang kau torehkan akan dii
"Dokter, izinkan saya melihat Rayden untuk terakhir kalinya!" Emily meraih tangan Dokter Wilbur Anderson."Maaf, pesan beliau tadi seandainya tidak dapat bertahan hidup, Anda tidak diizinkan untuk melihat beliau lagi. Jenazah akan dikirim segera dengan pesawat ke Paris untuk dikebumikan. Mungkin Anda lebih baik pulang saja ke rumah, permisi!" jawab dokter poli IGD tersebut lalu membalikkan badan kembali ke tempat praktiknya.Lincoln Carter memeluk puterinya yang terisak-isak karena merasa sangat bersalah untuk segala keputusan tanpa hati yang dilakukannya semenjak awal undangan makan malam dari Rayden tiba di kantornya. "Emily Darling, lepaskan apa yang telah berlalu. Ingatlah kau harus tetap tenang demi janin yang hidup di rahimmu. Ibu yang stres dapat mengalami keguguran!" hibur mantan jaksa itu sembari membelai rambut panjang Emily."Kita pulang sekarang, Pa. Bolehkah aku mengambil cuti besok pagi?" ujar Emily seraya membersit hidungnya yang buntu oleh ingus."Tentu saja boleh. Kam
"Miss Emily Carter, tolong datang ke poli IGD Rumah Sakit Umum Chicago. Pasien kecelakaan lalu lintas bernama Tuan Rayden Zinedine Dabusche membutuhkan kehadiran Anda segera. Kami menunggu kehadiran Anda!" tutur seorang wanita yang mengaku sebagai perawat jaga rumah sakit yang menerima korban tabrakan mobil mengenaskan malam ini.Mendengar permintaan wanita tak dikenal di telepon itu, Emily ragu untuk datang ke rumah sakit yang disebutkan. Namun, bila memang benar Rayden membutuhkan kehadirannya maka dia akan terbeban oleh perasaan bersalah bila menolak datang. "Baiklah, aku akan datang segera!" putus Emily mengikuti dorongan hati nuraninya. Dia berganti pakaian untuk pergi keluar rumah lalu membangunkan papanya untuk menemani dirinya ke rumah sakit.Lincoln Carter yang dibangunkan tengah malam buta oleh puterinya tidak banyak bertanya. Dia memilih untuk melihat situasi gawat apa yang tengah terjadi? Sementara naik taksi yang selalu stand by di depan apartment, Emily menjelaskan tent
Ketika Murat selesai membaca email dari Emily yang mengabarkan bahwa wanita tersebut tengah hamil 6 bulan, dia merasa gelisah. Sang sultan baru negeri Ottoman ingin memboyong kekasihnya ke istana. Namun, pemerintahannya masih dilanda rendahnya tingkat kepercayaan kepada pimpinan dirinya. Kudeta demi kudeta harus dihadapi olehnya. Ancaman pembunuhan terhadap Murat dari kubu oposisi mengintai di setiap sudut istana. Beruntungnya karena Jendral Hersek dan para petinggi militer mendukung penuh pemerintahan Murat. Jaring pengaman diperketat demi menjaga keselamatan nyawa sang sultan baru.Di ujung fajar yang merekah, Murat berdiri di balkon kamar istana yang ada di lantai 3. Pemandangan laut lepas dengan ratusan kapal terapung di semenanjung terbentang di hadapannya. Kekuasaan atas seluruh Turki ada di genggaman tangannya. Sultan muda itu menghela napas panjang sembari mencengkeram besi susuran balkon, dia berteriak kencang melampiaskan rasa tertekannya. "Emily, aku merindukanmu. Aku jug
Emily menjalani kehamilannya ditemani oleh ayah tercintanya, mantan jaksa Lincoln Carter di Chicago. Pria berumur itu yang menemani puteri tunggalnya ke mana-mana, beliau juga membantu Emily memeriksa berkas kasus yang akan disidangkan agar tidak kelelahan bekerja. Alasannya adalah dia masih bisa melakukan pekerjaan jaksa dan menganggur saat ini."Jadi kapan persidangan kasus Harvey Robinson disidangkan perdana, Emily?" tanya Lincoln Carter yang duduk bersebelahan di mobil dinas bersama puterinya. Mereka akan berangkat kerja ke balai kota Chicago pagi ini.Emily yang tadinya duduk melamunkan Murat sambil menatap sisi jalan yang dilalui mobil dinasnya lalu menoleh ke arah ayahnya, dia menjawab, "Lusa persidangan perdana kasus pembunuhan wanita prostitusi itu akan digelar. Hakim Louis Bernard Miller yang akan memimpin sidang, Pa.""Ohh, hakim muda itu. Dia pernah ingin melamarmu dulu sekitar lima tahun silam, tetapi Papa menolaknya karena tahu kamu sedang fokus mengejar kariermu sebagai