Selepas tengah malam, Emily melepaskan tubuhnya dari pelukan Henry Crawford. Pria itu memang selalu memaksakan dirinya sendiri hingga batas kekuatannya ketika bercinta dengannya. Emily rasa Henry tidak akan terbangun hingga pagi tiba ketika matahari sudah tinggi.
Dia pun membersihkan tubuhnya di bawah shower lalu merapikan make-up di wajahnya supaya tidak tampak terlalu kacau dan menimbulkan penilaian buruk dari orang yang berpapasan dengannya.
Ketika Emily merasa dirinya sudah rapi, dia pun meninggalkan penthouse milik Henry Crawford untuk pulang ke apartmentnya sendiri dengan taksi hotel.
Lift hotel mulai naik dari lantai lobi hingga angka-angka di atas tombol lift bertambah tinggi. Dia berada di lantai 50, agak lama rasanya menunggu hingga lift itu menjemputnya.
Akhirnya, angka 50 itu pun muncul. Emily pun bersiap untuk masuk ke lift dan dia bertatapan dengan seorang pria yang menurutnya tampan di atas rata-rata. Pria itu tidak turun ke lantai 50 melainkan ikut turun bersamanya.
"Baru pulang?" tanya pria itu dengan suara bass yang agak serak, membuat Emily tersentak karena dia tidak menyangka akan diajak berbicara. Mereka tidak saling mengenal.
"Ya." Emily menjawab singkat seraya menoleh ke arah pria misterius itu tersenyum sekilas lalu memalingkan wajahnya melihat angka penunjuk lantai di lift.
Tiba-tiba pandangan Emily menggelap.
***
Rayden Zinedine Dabusche menyelesaikan pekerjaan lemburnya malam itu di pelabuhan bersama anak buahnya. Pengiriman senjata api ilegal terakhir bulan ini pesanan rekan bisnisnya di Rusia. Keuntungannya mencapai 500% dalam satu kali transaksi.
"Guys, aku pulang duluan. Jangan tinggalkan jejak, bereskan dengan benar kiriman barang-barang itu," perintah Rayden sebelum berpamitan pulang ke penthouse-nya di tengah kota Chicago.
"Siap, Bos. Jangan kuatir," sahut Ramon da Costa, orang kepercayaannya.
Pria itu pun naik ke Lamborghini hitamnya yang sekelam malam melaju menuju tempat peristirahatannya.
Hari sudah lewat tengah malam, tubuhnya agak penat. Dia pun segera naik lift menuju ke lantai teratas condotel itu, lantai 50. Rasanya dia tak sabar menunggu angka lantai yang bergerak lambat dari 1 hingga akhirnya sampai ...
Pintu membuka dan seorang wanita yang sangat cantik bertubuh molek semampai masuk ke lift dan berdiri di sisinya. Rasa penat di tubuhnya langsung sirna, dia tidak jadi turun di lantai 50. Dia mengikuti wanita itu turun, sepertinya wanita cantik itu akan turun ke lobi.
'Apakah wanita itu seorang prostitusi kelas atas?' batin Rayden. Wanita secantik itu kelayapan di condotel tengah malam buta. Ahh baguslah ... dia akan menambah pendapatan wanita itu malam ini.
Diapun memukul tengkuk wanita itu dengan sekali pukul di titik yang tepat. Kemudian menangkap tubuh wanita itu yang terhuyung tak sadarkan diri ke dekapannya. Lembut, hangat, dan wangi menggoda angannya.
Rayden menekan tombol 50 kembali dan lift pun naik setelah mencapai lantai lobi. Rayden berjanji dalam hatinya, dia akan membayar wanita itu besok pagi ketika dia sadar.
Dia pun berpikir sejenak, apakah klien wanita ini beberapa jam sebelumnya adalah putera Senator Gordon Crawford? Penthouse di lantai 50 hanya ada 2, miliknya dan milik pria itu. 'Masa bodoh,' putusnya pada akhirnya.
Ketika pintu lift terbuka, dia pun menggendong tubuh ramping wanita itu dan membawakan tas tangan mungil milik wanita itu. Gaun merah yang dipakai oleh wanita itu tersibak menampakkan paha mulus berwarna karamel dan belahan dada yang membulat di kedua sisinya yang membuat gairah Rayden menggila karena kemolekan wanita itu.
Setelah memindai retinanya di alat pendeteksi di samping pintu penthouse-nya, Rayden pun mendorong pintu itu dengan tubuhnya hingga terbuka dan menendang pintu itu dengan kakinya perlahan hingga menutup.
Dengan perlahan, Rayden membaringkan tubuh wanita bergaun merah itu ke atas ranjang king size miliknya. Dia pun melepaskan seluruh pakaiannya, melempar jas, kemeja, dan pakaian dalamnya ke lantai sembarangan.
Setelah itu dia naik ke ranjang mengamati wajah dan tubuh molek wanita itu. Dia mendaratkan kecupannya di bibir merah wanita itu yang sedikit terbuka lalu melumatnya ketika rasanya begitu manis seolah membuatnya ingin lebih lagi.
"Uughh ...," lenguhan terbit dari bibir wanita itu.
"Hmmm ...," geram Rayden menyambut lenguhan itu. "Temani aku malam ini, Cantik. Kita bicarakan pembayarannya besok pagi, aku akan berikan berapa pun yang kau mau," ujar Rayden sembari membalik tubuh wanita itu untuk menurunkan risleting gaun merah itu.
Gaun merah itu memang sangat indah ketika wanita itu memakainya, tetapi dia lebih suka bila wanita itu tanpa memakai apapun. Dan ... sempurna! Bagaimana seorang wanita panggilan bisa sedemikian cantik dan mulus seperti ini? pikirnya terkesima dengan pemandangan di balik gaun merah itu.
"Ma Chèrie amor ...," gumam Rayden dalam bahasa ibunya. Dia menyusuri leher wanita itu dan menandainya di ceruk leher dengan isapan kuat yang meninggalkan warna merah tua. Aroma vanila dan jasmine yang memabukkan menguar memenuhi indera penciumannya.
Tangannya membelai tubuh polos itu dengan lembut menggoda membuat tubuh wanita itu bergerak-gerak perlahan. Mata wanita itu perlahan terbuka, bola matanya berwarna hazel begitu cantik dibawah naungan bulu mata yang rimbun menatapnya.
"Hai, Cantik ...," sapa Rayden sembari mengulas senyum di wajah tampannya, dia merapikan rambut wanita itu dari wajahnya.
"Aduh kepalaku pusing ...," keluh Emily dan dia pun menyadari tubuhnya polos tanpa selembar kain pun dengan seorang pria asing di atas tubuhnya. 'Kami belum bersatu, itu bagus ... aku ingin pulang, aku tidak mengenal pria itu ... yang tadi di lift?' pikir Emily cepat.
Ketika pria itu menyesap puncak gunung kembarnya, Emily memberontak. "Keparat! Pria sialan! Apa yang kau lakukan padaku?" umpatnya seraya bertanya.
Rayden tertawa menyembur mendengar lidah wanita itu memakinya dengan pedas. "Oohh lebih baik kau pingsan dibanding tersadar. Apa perlu kubuat pingsan lagi? Haahh!?"
"Kau mengancamku? Lepaskan aku sekarang! Minggir dari atasku!" sembur Emily dengan nada kasar.
Rayden menertawakannya, dia menyukai bagaimana emosi yang kuat itu meledak-ledak dalam bola mata hazel itu, sangat cantik sekaligus menggairahkan. Dia suka.
"Aku mendapatkan yang aku inginkan, kau tahu, Bitch! A wonderful bitch ... sangat menggairahkan. Layani aku seperti pria di seberang penthouse-ku. Berapa yang dia bayar padamu? Aku akan membayarmu 2 atau 3 kali lipat, tapi puaskan aku dulu malam ini," ujar Rayden dengan hasrat yang sudah mencapai ubun-ubunnya.
"Bangsat! Aku tak butuh uangmu, Sinting!" umpat Emily lagi sembari berusaha mendorong pria bertubuh kekar itu menyingkir dari atas tubuhnya.
Rayden mencekal kedua pergelangan tangan Emily dan menahannya di kanan dan kiri kepala wanita itu. "Diam dan nikmati permainan kita ...," ucap Rayden tak mempedulikan protes Emily.
Dia pun mendorong pangkal paha Emily lalu segera menyatukan tubuh mereka. Kemudian menghentakkan pinggulnya dengan keras dan cepat, memenuhi bagian tubuh Emily hingga meledak-ledak dalam gairah. Dia memagut bibir Emily yang terus berteriak, membungkamnya dalam ciuman panas.
Tubuh Emily berkhianat pada pikirannya. Pria itu membawanya ke puncak kenikmatan dalam rasa primitif yang liar dan buas, membuatnya menyerah untuk dimiliki dan ditaklukkan. 'Siapa pria bajingan sialan ini?' batin Emily di sela desahan dan erangannya.
"Aku tahu kau akan menyerah karena kau akan menjadi wanita taklukanku selamanya. Cantik, siapa namamu?" ucap Rayden dengan penuh kemenangan.
"Emily Rosalyn Carter ... apa kau pernah mendengar namaku di suatu tempat di Chicago, Tuan?" balas Emily dengan tenang yang membuat pupil mata pria itu melebar ketika menatapnya.
"Diakah jaksa wanita itu?" batin Rayden mencelos seolah seember air es ditumpahkan ke atas kepalanya.
Rayden hanya bergeming menatap wanita cantik yang terbaring di bawah tubuhnya dalam kondisi polos itu. "Sayang sekali, aku belum pernah mendengar namamu, Cantik. Kupikir kau PSK yang pulang melayani pelangganmu tadi saat bertemu di lift ...," ujar Rayden sengaja menutupi keterkejutannya tadi."PSK, matamu!" umpat Emily meradang.Pria yang menindih tubuhnya ini benar-benar membuatnya hilang kendali pada apapun. Emily cenderung bersikap kasar dan kehilangan ketenangan ketika berbicara dengannya. Dia rasanya tidak ingin mengenal pria misterius itu."Minggir dari tubuhku, Pria Sialan Bangsat Hidup!""Tidak! Aku masih menginginkanmu ...," balas pria itu melumat bibir Emily tanpa ampun sembari mengunci setiap sisi tubuh gadis itu dengan tubuhnya."Aku tidak ingin!" Emily meronta berusaha melepaskan dirinya dari kungkungan pria misterius itu.Emily berpikir cepat, apa yang harus dia katakan agar ego pria itu terluka dan akan melepaskann
Mendengar deheman pria yang ada di dalam lift, mereka berdua pun langsung saling menjauh lalu bergiliran masuk ke dalam lift.Rayden melingkarkan lengannya di pinggang Emily, sementara wanita itu berusaha melepaskan tangan Rayden dari pinggangnya.Pria lain di dalam lift itu mengamati mereka berdua dengan agak bingung."Apa kalian suami istri?" tanyanya penasaran."Bukan," jawab Emily cepat.'Lift ini begitu lama turun ke lobi, sampai kapan aku harus disandera oleh pria gila ini,' pikir Emily.Mereka bertiga turun hingga lantai lobi. Pria asing di lift yang sepertinya orang Turki itu berjalan ke pintu keluar lobi sembari memperhatikan Emily dan pria satunya dengan penasaran. Ini bukan waktu orang normal berkeliaran. Saat ini pukul 03.30, lewat malam dan belum cukup pagi untuk beraktivitas. Dan ... mereka bukan suami istri, selain itu tak ada tanda-tanda kesamaan genetik di antara kedua orang itu."Emily, tunggu!" ser
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu kantor jaksa Emily Rose Carter terdengar nyaring."Masuk saja," sahut Emily santai. Dia sedang menekuri berkas kasus kriminal yang sudah mengantre untuk disidangkan dalam waktu dekat, sebuah kasus pembunuhan berencana yang berkaitan dengan perebutan harta warisan. Dia telah menarik kesimpulan praktis ketika membaca data mentah dari catatan saksi dan bukti. Tugasnya adalah mengajukan tuntutan hukum pidana serta denda kepada terdakwa, bukan menyelidiki sekalipun terkadang kasus yang pelik pun membutuhkan campur tangannya secara tidak langsung bekerja sama dengan pihak kepolisian Chicago.Seorang pria muda bertampang keturunan Timur Tengah memasuki ruang kantornya bersama Brendan Nieson, asisten Emily. Kedua pria berbeda generasi itu duduk bersebelahan di seberang meja kerja Emily.Ingatan Emily tentang wajah pria muda bercambang dan berkumis tipis itu masih hangat dalam benaknya, dini hari tadi mereka bertemu di lift Baltimore Eclat Tower. Na
Kantor kepolisian Chicago selalu ramai dengan aktivitas para penegak hukum berlencana dan tentunya para kriminal baik yang kelas teri maupun kelas kakap. Semua bertumpah ruah di gedung berlantai 10 itu menimbulkan suara berdengung bagai kumpulan lebah yang sibuk. Dering telepon tanpa jeda membuat stres para penegak hukum itu meningkat, tidak jarang mereka harus mengonsumsi obat tidur hanya untuk meredakan migren dan beristirahat beberapa jam. Berhenti dari kewajiban mereka di jam-jam tak normal dimana orang lain telah terlelap ke alam mimpi.Dan di sanalah Emily Rosalyn Carter saat ini, langkah ringan kakinya di atas high heels 10 cm mengetuk-ngetuk lantai kayu di koridor department kriminal Kepolisian Chicago hingga terhenti di depan sebuah pintu tertutup bertuliskan Detektif Ryan Falderson. Wanita itu tersenyum tipis sembari mengetok pintu kantor sang kapten.Pria itu menyuruhnya masuk dengan suara bernada tak sabar dari dalam ruangan. Dengan perlahan Emily menarik gagang pintu di
"Baiklah, Ryan. Kau memberiku cukup banyak PR kali ini, mungkin aku harus pulang ke kantorku sendiri sekarang untuk segera mengerjakannya!" pamit Emily seraya berpelukan dengan Kapten Ryan Falderson sebelum meninggalkan ruangan 3 x 4 meter persegi bercat dinding putih membosankan itu.Saat Emily keluar dari ruang kerja Kapten Ryan Falderson, kedua ajudannya telah menunggu di bangku yang ada di koridor depan ruangan itu."Kita kembali ke kantorku, Ron, Thomas!" ucap Emily lalu berjalan mendahului kedua pria itu menuju ke mobil dinasnya yang terparkir di depan gedung Kepolisian Chicago.Sesampainya di kantornya, Emily tak menduga dia akan kedatangan tamu yang memang sudah dia rindukan."Papaaa ..., apa sudah lama menungguku?" sapa Emily lalu memeluk mantan jaksa legendaris yang telah memasuki masa pensiunnya itu.Lincoln John Carter masih tampak gagah di usianya yang menginjak kepala 6. "Hey, Gadis Cantik Papa! Dari mana saja kau, Emily?" balasnya."Dari Kantor Kepolisian Chicago, Pa. A
Aroma tubuh pria itu bercampur parfum mahal yang terhirup hidung Emily bersama air hangat shower seolah membuat paru-parunya sesak hingga ia terbatuk-batuk hebat.Tatapan nanar mata Emily mengenali siapa pria itu. 'Bagaimana dia bisa menerobos masuk ke apartmentku?!' batin Emily panik saat tubuh kekar pria itu menghimpitnya hingga punggungnya membentur dinding kamar mandi."Menerobos kediaman seorang jaksa adalah tindakan kriminal berat, kuperingatkan kepadamu—"Pria itu terkekeh dengan nada menghina lalu menjawab perkataan Emily, "Ohh ... jadi pasal-pasal hukum itu akan kau bacakan kepadaku sekarang?! Aku akan dengan senang hati mendengarkannya, tapi dengan satu syarat—""Hah? Syarat ...!" tukas Emily geli dengan nada sarkastis memalingkan wajahnya menghindari tatapan tajam nan menggoda dari pria yang tak mau menyebutkan nama kepadanya."Bacakan pasal-pasal hukum itu sambil mendesah di bawah tubuhku, Jaksa Emily Carter yang cantik. Apa kau setuju?" ujar pria dengan suaranya yang bera
Pukul 09.00 PM, Moira Jackson sedang mengajak Fluffy, Golden Retrievernya untuk jalan-jalan rutin di sepanjang tepian Sungai Chicago yang biasanya diwarnai hijau pada St. Patrick's Day. Untungnya setelah hujan ringan tadi, cuaca cerah juga jadi rutinitasnya membawa Fluffy buang air besar di luar flat sewaannya bisa terlaksana. Sinar lampu senternya dia pancarkan ke sekeliling jalan yang mereka lewati hingga ketika Moira menyinari ke permukaan air sungai berpermukaan tenang itu, dia merasa ada benda hanyut yang berbentuk memanjang berwarna merah tua.Rasa penasarannya pun muncul dan dia pun menarik tali kekang anjingnya menuju ke dekat sungai. "Sshhh ... Fluffy! Kemari sebentar—" serunya bernada tegas yang diikuti oleh Fluffy dengan bersemangat."AAAAAARRRHHHH!" jerit Moira Jackson ketika menyadari bahwa benda terapung berbentuk panjang itu tak lain adalah cardigan merah yang dikenakan seorang wanita yang dia yakin tak bernyawa lagi."Ohh Gosh ... ohh Gosh! A–aku harus panggil 911!" s
Mobil SUV Ford warna hitam itu melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota Chicago yang sepi, sudah lewat tengah malam ketika proses perekaman TKP pembunuhan wanita yang ternyata ditemukan identitasnya bernama Cecilia Briane Sommerhalder. Letnan Benjamin Roosevelt bersama rekannya Sersan Rodney Bradford segera mengunjungi tempat tinggal korban yang berstatus single, belum menikah. Petugas forensik juga mengikuti mobil itu menuju ke Gladious Sky apartment untuk mengambil semua sampel yang mungkin dapat dijadikan bahan penyelidikan pembunuhan itu sekalipun TKP penemuan mayat itu di Sungai Chicago.Segala kemungkinan tak boleh ada yang terlewatkan dan mereka berusaha secepatnya mengejar setiap petunjuk yang bisa mereka temukan.Akhirnya 2 mobil dinas warna hitam itu terparkir di lantai underground apartment tempat tinggal korban pembunuhan, Cecilia Sommerhalder. Para pria tegap berpakaian seragam resmi itu segera naik ke lantai lobi untuk meminta akses masuk ke unit milik wanita itu.