Di depan lorong satu-satunya akses menuju ruang restoran, seorang wanita dengan rambut bergelombang cokelat dan seorang petugas terlihat tengah saling melempar argumen sementara seorang pria lain dengan balutan setelan jas biru dongker-nya berdiri di sebelah wanita itu.Ia hanya diam seraya mendengarkan perdebatan kedua orang dewasa itu yang terus berlanjut. Tidak peduli orang-orang yang berlalu lalang, menoleh ke arah mereka, sebelum kemudian memandang dirinya dengan tatapan memuja.Penampilannya dengan setelan resmi, membungkus tubuhnya yang sempurna. Wajah tampan maskulin, garis rahang yang tegas adalah perpaduan sempurna yang diidam-idamkan seluruh kaum adam di seluruh dunia sekaligus menggoda kaum hawa di saat yang bersamaan.Seolah Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya. Tampan. Kaya. Benar-benar godaan yang terlalu sulit untuk tidak menaruh perhatian, terkecuali Maylin Pramanta. Hanya wanita itu yang tidak terpesona pada seorang Valo Wren Osborn.“Apakah Anda tidak mengerti
Mendengar satu nama itu disebut, berhasil melenyapkan ketenangan yang baru saja Maylin dapatkan dari efek alkohol itu. Seketika tubuhnya menjadi kaku. Jantungnya seolah berhenti berdetak. “Kedua orang tuaku ….” Maylin berhenti sejenak.Padahal, ia telah mengubur dalam-dalam semua kenangan yang mengingatkannya pada kebahagiaan sekaligus kepedihan ke dalam lubuk hatinya. Namun, hanya sepersekian detik buih-buih kenangan yang telah lama terpendam itu mendadak berhamburan.Kepalanya tertunduk dalam, berusaha keras menahan rasa sesak serta amarah di dadanya dengan mengepal erat kedua tangannya di bawah meja hingga kuku-kukunya menusuk telapak tangannya.“Mereka membuangku ketika usiaku sepuluh tahun,” ucap Maylin melanjutkan. Kebohongan itu keluar dari mulutnya begitu saja.Kau tidak sepenuhnya berbohong, Lin. Bajingan itu memang meninggalkan kalian terhitung sudah empat belas tahun. Sebuah suara bergema di dalam benaknya.“Bolehkah aku tahu, apa yang telah terjadi?” tanya Valo.Ada keseri
“Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?” Elian balik bertanya dengan datar, “Kak Sio.”“Kau pasti memiliki alasan untuk melakukannya. Aku ingin tahu apa alasan itu.” Sio tersenyum tipis.Suasana menjadi hening beberapa saat. Elian hanya bergeming menatap Sio, menunggu pria itu memutuskan hukuman apa yang harus diterimanya sebagai konsekuensi melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi mereka.“Wanita itu … apakah dia yang menjadi alasanmu mengenyahkan bodyguard-mu sendiri?”Pertanyaan itu sukses membuat ekspresi wajah Elian berubah menjadi tegang. Hanya sesaat, karena sepersekian detik kemudian, ia kembali memasang wajah datarnya.Sio menyeringai menatap Elian. “Apakah uncle sudah tahu?”“Tidak,” jawab Elian singkat. Bagaimanapun juga, ia harus menyelamatkan posisi ayahnya yang telah mencoba menyembunyikan segala perbuatannya.Sio menghembuskan kembali asap rokoknya ke udara. “Kau tahu kalau aku memberikan kepercayaan penuh padamu, bukan? Terus terang aku sangat kece
[Yeah, Deon menyuruhku menghapus semua data kalian untuk berjaga-jaga bila seseorang ingin mencari tahu tentang Frans Pramanta.]“Kalian yang dimaksud apakah mama, Rayla, juga tante Fifi?” Maylin mendelik, terkejut mendengar jawaban Leonel.[Seluruh keluargamu, sweety, termasuk Frans Pramanta. Ada apa? Dari mana kau mengetahuinya?]Serentetan pertanyaan itu menguap begitu saja dari bibir Leonel.“Kalau begitu, apakah diam-diam kak Leonel juga meretas database yang ada di dalam sistem perusahaan Elian, menghapus nama-nama keluarga yang kucantumkan di sana?” Alih-alih menjawab, Maylin balik bertanya. Tidak menutup kemungkinan Leonel melakukannya sebab pria itu memang ahli di bidang tersebut.Tidak ada suara jawaban dari pria itu. Maylin menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatap layarnya sejenak mencoba memastikan. Masih tersambung.Maylin menempelkan kembali ponsel di telinga kanannya. “Halo? Kak Leo? Apakah kau masih berada di sana?”[Bukan aku.]“Apa maksudnya?” Dahi Maylin menger
“Aku tidak menuntut banyak penjelasan saat tahu kalau kau sudah mengetahui dari Vlora, rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat, lalu perubahan sikapmu setelah kita berada di kota ini ….” Maylin menjeda sejenak. Sepasang netranya menatap Elian penuh menyelisik, menunggu reaksi dari pria blasteran itu. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku kau menutupi identitas keluargaku agar tidak diketahui Valo,” imbuhnya.Melihat ekspresi kedua mata abu-abu itu tersentak kaget, Maylin menemukan jawabannya. “Kau begitu misterius, Elian. Namun, aku tak akan protes karena itu adalah privasimu. Jadi, aku harap kau pun juga bisa menghargai privasiku.”Keheningan memenuhi mereka, kemudian melanjutkan sarapan dalam diam. Sampai ketika Maylin bangun dari kursinya dan membawa peralatan makan hendak mencucinya, suara Elian memecahkan kesunyian di antara mereka.“Semua yang kulakukan, terlepas dari baik atau buruk ….”Maylin memutar tubuhnya menghadap Elian. Kedua mata mereka kini saling bertemu. Sepasang iris
Tampak sesosok wanita berwajah cantik tanpa pulasan makeup, berjalan masuk ke dalam sebuah restoran yang selalu ramai pengunjung. Restoran itu telah beroperasi belasan tahun. Berkat semangat dan keuletan dari pemiliknya, usaha kulinernya itu terus berkembang hingga seperti saat ini.Tentunya tak akan ada kesuksesan yang didapat seseorang tanpa adanya pengorbanan. Seseorang perlu mengorbankan tenaga, waktu, pikiran atau pun yang lainnya bila ingin meraih atas apa yang diniatkan atau diimpikan.Ada sebab maka akan ada akibat. Sebab kita mengorbankan sesuatu, maka akibatnya pun akan kita dapatkan. Namun, di antara semua pengorbanan itu, hanya waktu yang tidak dapat diputar kembali bila kita telah kehilangan itu waktu. Entah kehilangan waktu untuk keluarga maupun untuk diri sendiri.“Hai, Maylin. Apa kabar?” Salah satu pekerja restoran menyapa hangat kepada wanita itu.“Mama ada di ruangannya?” Maylin menolehkan kepalanya, memandang ke pegawai yang telah bekerja lama di restoran milik ibu
Maylin keluar dari taksi yang ditumpanginya, lalu berjalan dengan tangan menggenggam dua ikat bunga besar berwarna putih. Langkahnya berhenti di tempat yang telah menjadi tujuannya dari awal.Maylin duduk berjongkok menghadap dua gundukan tanah yang ada di hadapannya. Bunga yang dibawanya, ia letakkan di atas masing-masing gundukan tanah di hadapannya. Kemudian mengelus-elus kedua batu nisan yang ditancapkan di gundukan tanah itu secara bergantian.Maylin tersenyum melihat nama yang terukir di kedua batu nisan tersebut seraya meneteskan sebutir air mata sedih. Ia mendesah pelan. Nama yang terukir di dua batu itu, satunya adalah nama seseorang yang sangat ia cintai dan satunya lagi adalah nama buah hatinya yang pergi sebelum dilahirkan.“Mengapa kau hanya membawa anak kita, Wan? Mengapa tidak membawaku pergi bersama kalian? Dengan begitu, aku tidak perlu mengetahui aib kedua orang tuaku.” Beberapa ungkapan hati dituturkan keluar oleh Maylin, terdengar begitu menyayat hati.Ia sungguh-s
“Aku pulang kalau sudah menemukan pekerjaan baru. Aku tidak mau seharian penuh berada di dalam rumah.”Maylin segera memberi alasan ketika Rayla dan Deonartus Surbakti, tunangan Rayla, bertandang ke rumah Frida. Rayla dan Deon tengah berusaha membujuk Maylin agar kembali pulang ke rumah.“Bagaimana kalau bekerja di kantor Elian?” Frida tiba-tiba mengucapkan keluar pemikirannya. “Kebetulan Elian sedang mencari sekretaris. Biar Maylin saja yang menempati posisi itu.”“Tapi aku membutuhkan yang sudah berpengalaman sebab pekerjaan sekretarisku sangat banyak. Akan memakan waktu lebih lama kalau aku masih mau mengajari yang tidak memiliki basic sekretaris, Mom,” jawab Elian.“Diterima saja dulu Maylin sebagai sekretarismu. Siapa tahu dia memiliki persyaratan yang kau butuhkan.” Frida mengusulkan idenya itu semata-mata agar hubungan Elian dan Maylin kembali dekat seperti dulu.Sejak Elian melanjutkan pendidikannya ke negara kelahiran putra sulungnya itu, entah mengapa hubungan Elian dengan D