Dunia Mainan Hampir pukul sepuluh, Mas Angga mengajakku kembali ke halaman sekolah. Aku sudah menghabiskan roti bakar dan minumanku. Kami berjalan kembali menuju ke seberang, di mana sekolah Arjuna berada. Sebentar lagi Arjuna akan keluar dari kelasnya. Tak lama Arjuna berlari kecil melihat bunda dan Papa Angga menunggunya di depan gerbang. “Papa Angga... Bunda. Arjuna senang sekali.” Mas Angga berjongkok dan memeluknya. Arjuna melingkarkan tangannya pada leher Papa Angga, yang langsung menggendongnya. Mereka menuju mobil yang sudah bersiap di halaman. “Papa, kita jadi kan beli mainannya?” “Iya sayang, Papa kan sudah janji.” Mereka masuk ke dalam mobil. Mas Angga meminta sopir menuju pusat perbelanjaan di Kuningan. Disana ada toko mainan yang sangat besar dan lengkap. Sopir langsung menjalankan mobil menuju tempat yang diminta bosnya. “Arjuna, kita nanti makan dulu ya baru beli mainan,” ucapku sambil menatap Mas Angga. “Arjuna mau langsung ke toko mainan bunda, biar bisa memil
Arjuna Hilang Aku dan Mas Angga saling berpandangan. Mas Angga meletakkan alat penangkap ikan di dekat kolam. Dan aku meletakkan susu coklat di dekatnya. “Alisha mas ke arah sini, kamu ke sana ya,” ucap Mas Angga sambil menghubungi Hendra meminta bantuan menghubungi pemilik mall agar petugas keamanannya membantu mencari Arjuna. Aku mengangguk dan langsung bergerak ke arah berlawanan dengan Mas Angga. Semakin cepat dia mencari semakin dekat jarak yang mungkin ditempuh oleh Arjuna. Aku mencari sambil menengok ke kanan dan ke kiri, hingga sepuluh menit berlalu namun kami tidak bisa menemukan Arjuna. Aku putus asa, beberapa kali pengumuman mencari anak hilang yang bernama Arjuna terdengar di penjuru mall. Aku sangat berharap ada orang yang baik hati menemukan Arjuna dan membawanya ke pusat informasi sehingga aku bisa menjemputnya. Air mataku sudah tak terbendung, hampir setengah jam kami mencari namun tak ada hasilnya. Akhirnya butiran air mata tumpah saat Mas Angga kembali dan melih
Rasa Bersalah Arjuna Kami memutuskan untuk pulang. Rencana membeli mainan buyar karena kejadian yang membuat dadaku sesak. Aku tak pernah membayangkan apa yang akan terjadi jika Arjuna benar-benar hilang. Selama perjalanan pulang, tak ada percakapan yang terjadi. Aku masih sedikit kesal, namun melihat Arjuna yang cemberut karena rencananya membeli mainan gagal membuat aku tak sampai hati. “Arjuna sayang, papa minta maaf ya. Nanti kita atur jadwal lagi ya. Saat ini papa masih berhutang pada Arjuna, bagaimana?” ucap Mas Angga pada Arjuna pelan. “Arjuna mau mainannya dua, karena hari ini tidak jadi beli,” ucapnya sambil menatap dengan tatapan memelas. Mas Angga mengangguk setuju. Dia berhutang bukan hanya satu mainan tapi dua. Arjuna tersenyum kecil. Saat di lirik bundanya, kembali Arjuna bersedih. “Bunda, Arjuna minta maaf. Lain kali Arjuna tidak akan menyusahkan papa lagi. Bunda jangan marah pada papa ya. Arjuna yang salah,” ucapan Arjuna yang sambil menarik tanganku merayu. Aku
Mendadak Pulang “Hendra, dua agenda berikutnya bisa kamu tangani?” tanya Angga pada Hendra. “Bisa saja, pak. Sebaiknya jika tidak dapat menemuinya bapak menghubunginya dahulu. Mereka sangat menjaga kesopanan dalam berbisnis.” Jelas Hendra. Aku menintanya menghubungi sekarang untuk meminta maaf. Sekalian pesankan tiket ke Jakarta malam ini. Sepertinya aku memutuskan kembali ke Jakarta. Mas Angga sudah dalam perjalanan ke Jakarta. Selama di pesawat pikirannya tak tenang. Alisha juga sudah tak menghubunginya lagi. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa pada Arjuna. *** “Oma, Alisha bawa Arjuna ke rumah sakit saja ya. Panasnya tidak turun-turun. Semakin mengigau juga. Alisha takut Oma.” Oma meminta sopir menyiapkan mobil. Mereka akan berangkat ke rumah sakit membawa Arjuna. Sekarang sudah pukul satu malam. Saat aku akan masuk ke dalam mobil sebuah mobil berhenti dan turun sosok yang aku kenal. “Mas Angga.” Bukannya pekerjaannya banyak di sana. Mengapa dia pulang? “Mau di bawa ke masa Al
Mencari Tahu Isi Hati “Tak perlu menjawab sekarang. Mas hanya merasa jika menunggu hingga tiga pekan ke depan itu terlalu lama.” Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk walau tak yakin apakah bisa memenuhinya atau tidak. Aku bangun dan kembali duduk di samping Arjuna yang masih tertidur. “Sudah hampir pukul delapan, Sha. Mau ke kantor? Kalau iya biar mas saja yang menjaga Arjuna.” “Tadi pagi Dania sudah aku kabari. Kemungkinan hari ini tidak ke kantor. Tapi nanti setelah makan siang ada rapat. Dania masih mencoba melakukan penjadwalan ulang. Aku masih menunggu kabar darinya.” Jawabku menjelaskan. Paling tidak, jika nanti Arjuna bisa pulang siang ini. Aku akan ke kantor setelah mengantar Arjuna pulang. Rapat bisa dimulai dan aku akan menyusul secepatnya.
Pilihan Alisha “Arjuna, Papa antar bunda dahulu ke kantor ya. Papa nanti langsung kembali. Kalau mengantuk Arjuna bisa tidur dahulu.” Kulihat Arjuna mengangguk. Aku naik ke kamar untuk berganti pakaian. Tak lama turun kembali dengan blazer cream dan tas dengan warna senada. Aku pamit dan menyalami Oma dan Nenek. Mencium pipi gembul Arjuna yang membalas mencium pipiku. Mas Angga juga pamit pada Oma dan Nenek. Serta melakukan tos dengan Arjuna. Arjuna tertawa senang dan melambaikan tangannya pada kami. “Papa, hati-hati ya. Bunda jangan cemberut terus sama Papa ya.” Aku memandang sekilas Mas Angga yang tersenyum mendengar ucapan jagoannya. Kami berjalan menuju mobil yang sudah disiapkan sopir. Mas Angga mengambil kunci dari sopir dan melangkah ke pintu sebelah. Sopir membukakan pintu samping kemudi. Setelah aku naik pintu ditutupnya. Tak lama mesin menyala dan kami mulai berangkat. Aku menghubungi Dania yang menjawab jika Pak Andi dan tim sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Keinginan Mama dan Bunda “Oma, kami bingung untuk menjawab beberapa keinginan dan pertanyaan Arjuna belakangan ini,” Mas Angga memberanikan diri memulainya. Oma dan bunda saling berpandangan, masih belum memahami arah pembicaraan ini. Aku juga belum bisa menyampaikannya menunggu Mas Angga melanjutkan ucapannya. “Arjuna meminta adik perempuan. Menurut oma bagaimana seharusnya kami menjawabnya? Arjuna pasti belum memahami sepenuhnya.” Oma tersenyum mendengarnya. Oma sesaat melempar pandangan pada bunda yang duduk di sampingnya. Bunda hanya terdiam dan menarik napas dalam. “Angga, oma bukan mengajari Arjuna yang tidak baik. Oma hanya ingin kalian berdua berdamai dengan hati kalian. Oma tahu almarhum Tyo adalah putra oma satu-satunya. Kehadiran Arjuna seakan menggantikannya dengan generasi yang berbeda.” Oma menarik nafas sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. Oma berjalan ke dalam ruang kerja dan kembali dengan membawa dua buah foto. Diletakkannya foto tersebut di atas meja. “Angga,
Shinta dan Satria“Jadi kalian belum menikah?” tanya Adrian penasaran.“Doakan ya, Alisha masih belum bisa menerimaku.”Adrian memandang tak percaya, pemilik Anugerah Aksara masih ditolak oleh Alisha. Bagaimana jika nanti aku juga menyatakan perasaanku.Aku meminta pemilik ShaBra yang hadir pada rapat kemarin karena aku ingin melihat Alisha. Selama ini aku hanya bisa memandangnya melalui foto di media sosial saat dia memenangkan beberapa lomba di Paris.Setelah sekian lama menanti saat yang tepat aku harus bersaing kembali dengan Angga. Dulu saat Sekolah Menengah Atas (SMA) aku mengalahkannya mendapatkan gadis yang sama-sama kami sukai. Walau aku akhirnya menikahi mama Ryan bukan gadis yang kami rebutkan.Alisha menghubungi, menanyakan apakah kami sudah selesai makan malamnya? Nanti mau makan lagi di rumah atau tidak, jika mau akan disiapkan.“Arjuna, bunda tanya nanti mau makan lagi di rumah tidak?” tanyaku pada Arjuna.“Tidak Papa, aku sudah penuh. Tidak muat lagi.”“Oke.”Kusampaik