Share

05 - Tanggung Jawab?

SHOWER masih menyala dengan air yang mengalir deras. Alan memeluk tubuh Jeanne dengan erat. Dia mencoba sebaik-baiknya untuk melindungi Jeanne dari guyuran air yang menghantam dengan keras.

"Berengsek lo!" Namun, Jeanne ingin lepas. Dia memaki seraya memukuli tubuh Alan yang ada di depannya dengan bebas. "Kenapa lo tega ngelakuin hal itu ke gue? Gue salah apa sampai lo tega garap gue semalam, hah?!" tanyanya dengan suara penuh emosi.

Amarahnya meluap bercampur rasa kecewa, sedih, dan terluka. Jeanne marah, tentu saja dia merasa sangat marah, karena kali ini dia tidak berhasil melindungi dirinya sendiri. Dia sangat sedih dengan kenyataan itu, tapi dia juga merasa kecewa setengah mati, karena Alan lah yang melakukan hal itu padanya.

Dia terluka dengan semua perasaan yang kini menghantamnya satu per satu. Kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang berhasil melukainya dengan sangat dalam.

"Sorry!" Alan hanya bisa meminta maaf sembari mengeratkan pelukannya.

Dia mengecup pelan puncak kepala Jeanne yang kini mulai basah, karena air-air yang jatuh dari tubuhnya mulai mengenai tubuh Jeanne juga. Bahkan air itu dengan perlahan turut membasahi baju Jeanne yang sebelumnya dipungut perempuan itu dengan susah payah.

Alan ingin mematikan shower itu, tapi dia tidak bisa melepaskan pelukannya pada Jeanne saat ini. Terlebih ketika Jeanne masih mengamuk sembari memaki dan memukuli tubuhnya tiada henti. Dia tidak bisa meninggalkan Jeanne begitu saja atau perempuan itu akan merasa semakin marah padanya setelah ini.

"Berengsek lo, Lan! Bajingan tahu, nggak!" maki Jeanne dengan suara keras dipenuhi emosi.

"Gue tahu," jawab Alan pelan sembari tersenyum pedih. "Sorry, gue beneran minta maaf soal ini, Jeanne."

Jeanne merasa dadanya berdesir pelan saat mendengar Alan meminta maaf padanya. Setelah sejak tadi dia mengamuk, berteriak, memaki, dan terus memukuli Alan dengan sekuat tenaga. Pria itu hanya memeluk tubuhnya dengan erat saja. Dia hanya menciumi puncak kepalanya dengan pelan dan lembut, lalu mengucap maaf yang terdengar begitu tulus dari bibirnya.

Jeanne menangis tanpa suara, air matanya turun bercampur dengan air yang jatuh dari tubuh Alan dan ikut membasahi wajahnya. Dia berhenti mengamuk, dia berhenti memaki, dia hanya menangis dengan mulut terbuka lebar layaknya sedang berteriak, tapi tak ada suara apa pun yang keluar dari mulutnya.

"Kenapa ...." Jeanne menelan ludahnya, membasahi kerongkongannya sebelum kembali bicara, "kenapa lo sampai lakuin hal itu ke gue?"

Bukannya menjawab, Alan malah melepaskan pelukannya. Cepat-cepat dia mematikan shower agar Jeanne tidak benar-benar basah kuyup sekarang. Tak lupa dia menarik sebuah handuk untuk menutupi benda kebanggaannya dalam sekali gerakan.

"Kita bicara di luar aja, bisa?" tawarnya.

Jeanne langsung mendelik dan menatapnya murka.

Alan mengangkat kedua tangannya. Pasrah dan menyerah. Dia tidak akan pergi apalagi lari. Dia akan menjelaskannya dengan detail apa yang sudah terjadi. Tidak ada yang akan dia tutup-tutupi, karena dia tidak berani menutupi apa pun dari Jeanne saat ini.

"Lo nggak mungkin biarin gue telanjang kayak gini selagi lo ajak bicara, kan?" Dia memperjelas maksudnya agar Jeanne tidak memikirkan macam-macam tentangnya.

Jeanne pun melirik pakaiannya sendiri. Basah. Walaupun tidak parah karena sejak tadi Alan berusaha keras melindunginya dari derasnya guyuran shower, tapi tetap saja sebagian bajunya masih basah dan membuatnya merasa tidak nyaman.

"Nggak perlu khawatir kayak gitu, gue bisa pinjemin baju." Alan bicara sekali lagi sebelum keluar lebih dulu dari kamar mandi.

Jeanne mengikuti jejaknya dengan ekspresi tidak sedap dipandang. Dia benar-benar takut kalau Alan akan pergi apalagi lari darinya kali uni. Namun ternyata pikirannya salah, Alan benar-benar mencari pakaian yang bisa Jeanne gunakan sekarang.

Pria itu mencari pakaian di lemari paling bawah, kemudian dia mengeluarkan sebuah kemeja dan celana jeans yang terlihat pas untuk Jeanne.

Jeanne mengerjap saat Alan menyodorkan pakaian itu padanya. "Baju lama gue, harusnya masih muat dan pas buat lo pakai." Alan meletakkan sepasang pakaian di kedua tangan Jeanne yang menerima pemberiannya dengan kaku. "Lo ganti baju di kamar mandi aja! Gue bakal nunggu sampai lo selesai, baru setelah itu kita lanjut bicaranya."

Jeanne hanya bisa menganggukkan kepala dan menuruti ucapan Alan, karena bagaimanapun juga dia perlu mandi sekarang. Tubuhnya terasa sangat tidak nyaman. Walaupun rasa sakit yang dia rasakan sebelumnya sudah cukup hilang, tapi tubuhnya yang penuh bekas keringat, bercampur aroma parfum, dan alkohol sukses membuat tubuhnya terasa lengket dan amat menjijikkan.

Ditambah lagi dengan aroma tidak sedap yang keluar dari tubuhnya. Kepalanya langsung terasa pusing bukan main saat mencium aroma dari tubuhnya sendiri.

Setelah Jeanne menghilang ke balik pintu kamar mandi, Alan mendesah panjang sembari memegangi kepalanya yang terasa pusing.

Bagaimana dia harus memulai penjelasannya nanti?

Apa dia harus mengatakan yang sejujurnya saja, seperti saat perempuan itu menggodanya dengan cara membuka kancing celana, menurunkan ritsleting, dan mengeluarkan miliknya untuk dikulum saat mereka sedang dalam perjalanan pulang?

Alan mengembuskan napas panjang. Dia mendekati ranjang dan mengambil ponselnya yang ada di atas nakas, kemudian mulai memesan makanan untuk makan siang mereka.

Jangan kira sekarang masih pagi buta, karena hal itu tidak mungkin terjadi pada mereka. Alan bahkan baru membuka matanya saat jam di dinding sudah menunjuk angka sebelas pagi. Dan sangat terpaksa dia harus membatalkan semua janji temu dan agendanya hari ini melalui asisten pribadinya, karena ada acara mendesak yang tidak bisa dia tinggalkan begitu saja kali ini.

Acara mendesak yaitu Jeanne. Dan semua emosinya.

Semua itu adalah tanggung jawab Alan. Semua itu adalah kesalahan Alan. Jika saja dia bisa menahan diri, semua ini tidak akan terjadi. Namun pemikiran tololnya yang sudah bercampur dengan nafsu berahi membuatnya tidak bisa berpikir jernih lagi.

Setelah memesan makanan, Alan mulai mencari pakaian dan mengenakannya dengan cepat. Sembari menunggu pesanan makanannya datang, dia akan duduk dengan tenang.

Omong kosong. Dia tidak bisa tenang. Sama sekali.

Andaikan semua masalah ini bisa berakhir dengan cara Alan menikahi Jeanne, mungkin semuanya akan terasa sangat mudah sekali dijalani.

Namun, itu bukanlah solusi. Terutama untuk mereka berdua yang punya kondisi masing-masing.

Jeanne sudah punya pacar saat ini. Dia punya orang yang sudah melamar dan siap menikahinya suatu hari nanti. Walaupun Alan tidak tahu seperti apa orang itu, tapi jelas alasan itulah yang membuat Jeanne marah besar padanya hingga tak terkendali.

Sedangkan Alan, dia baru saja membatalkan pertunangannya dengan Risa bulan lalu. Dia tidak bisa tiba-tiba saja membawa calon istri baru ke hadapan kedua orang tuanya atau ayahnya benar-benar akan langsung memenggal kepalanya saat itu juga.

Terlebih ... jika kali ini dia gagal menikah lagi, maka itu akan menjadi kegagalannya untuk yang ketiga kalinya.

Alan mengembuskan napas berat. "Semoga ada jalan tengah terbaik yang tidak akan menyakitinya sebagai pihak paling dirugikan di sini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status