Share

Hadiah Yang Tidak Bisa Kau Lupakan

“Tuan Akion, ada urusan apa ke sini?” Levian sedikit merasa terganggu dengan orang-orang berbaju putih yang memandangi kami dengan penasaran. 

“Bisakah kami ke perpustakaan kuil?” tanyaku lembut kepada seorang pendeta pria yang berpapasan dengan kami. 

“Y-ya, tentu ....” Dia sedikit terbata. Namun menjelaskan kepadaku dimana letak perpustakaan dengan baik. 

“Bolehkah saya tahu siapa Tuan?” tanyanya. 

“Aku Akion Naal Sanktessy.” Matanya sedikit membulat, dia terlihat kaget sebentar. Lalu menyentuh dahinya sedetik. 

“Maafkan saya jika bersikap lancang sebelumnya.“

Aku menggeleng. 

“Aku Verion, pendeta di sini. Saya akan mengantar anda ke perpustakaan, Tuan Akion.”

“Tidak perlu, aku sudah mengerti penjelasanmu. Terima kasih telah membantuku, Pendeta Verion.” Aku tersenyum padanya dan berlalu meninggalkan Verion. 

Saat tiba di depan pintu masuk perpustakaan, aku melihat ukiran berwarna emas di pintunya. Pintu besar itu menjulang tinggi, perkiraanku tingginya adalah empat meter. Kedua sisi pintu dijaga oleh kesatria suci. 

Aku melewati mereka, mereka sama sekali tidak bergerak. Tidak kuduga, bahwa Count Invit sangat dermawan dalam akses kuil suci. 

**

Aku telah membaca beberapa buku. Levian ditugaskan untuk mencari buku yang kuinginkan. 

Cukup aneh seorang keturunan Sanktessy mencari tahu tentang keluarganya di perpustakaan wilayah lain. 

Bruk! 

Levian meletakan empat buku tebal berukuran besar di depanku. 

Tanganku menyentuh butuh bagian teratas. Buku itu tua, debunya masih ada di beberapa sisi. Sepertinya Levian sempat membersihkannya untukku. 

Matanya yang tenang itu memperhatikanku untuk beberapa saat, dia mulai membaca kemudian. Tampaknya buku yang kuinginkan sudah tidak ada lagi. 

Ada perasaan aneh menyerangku. Jika keluargaku adalah salah satu keluarga tertua, bukankah akan banyak cerita tentangnya? Terlebih mengenai leluhurku yang bernama Caesar, dia salah satu orang yang berjasa bagi Kekaisaran. Tapi cerita tentangnya sedikit. Sangat kabur. 

Buku-buku ini tidak berguna. Setidaknya yang kuinginkan adalah mengetahui cara mengolah tanah kering beracun di wilayahku. Satu-satunya  yang mampu tumbuh adalah di hutan kegelapan. 

Hidroponik memang bagus, teknologi yang mampu membuat tanaman tumbuh dengan baik di lahan sempit, dan bisa di panen dalam jumlah banyak. Namun, jika kondisi tanah tidak diperbaiki, maka akan ada masalah baru yang akan muncul. Alam itu selalu berasal dari sebab dan akibat. 

Aku melihat Tanka yang berbaring di tumpukan buku. Dia beberapa kali bermain dengan sihirnya, bosan. 

Kenapa aku tidak berpikir sebelumnya? Seharusnya aku bertanya pada saksi sejarah. 

“Tanka, kau pernah keluar dari hutan kegelapan sebelumnya?

Tanka memandangku, lalu mengangguk. 

“Aku mengikuti Caesar, bahkan aku pernah ke kediaman Caesar dan ikut berperang bersamanya.”

Jantungku berdebar, darah begitu terasa mengalir dari ujung-ujung jariku ke kepala. 

“Bagaimana Sanktessy?”

“Wilayah yang bagus. Aku ingat berada di taman bunga bersama Caesar. Ya, aku tak sabar ke sanktessy lagi.” Dia tertawa. 

Aku dan Levian terdiam.

Ketidaktahuan Tanka akan membuatnya kecewa. 

“Sanktessy adalah wilayah tergersang di kekaisaran, Tanka,"

Tanka memandangiku tidak percaya seolah aku sedang bercanda bersamanya. 

“Tanka, banyak yang berubah dari Sanktessy. Tapi orang-orang terdahulu selalu mengatakan Sanktessy adalah wilayah yang miskin." 

“Itu tidak mungkin! Jika ada wilayah terkaya dan terindah itu adalah Sanktessy.”

Aku menggeleng. 

“Bukankah aneh, terlalu banyak perubahan dan dokumen yang dihilangkan.”

Levian dan Tanka mengangguk setuju. 

“Bagaimana dengan Caesar, dia pasti kesatria yang hebat juga kan? Ceritakan padaku. “

“Caesar adalah kesatria yang hebat yang tidak bisa kau bayangkan. Tapi berbeda denganmu, Akion."

Tentu setiap orang berbeda, kan. 

“Akion adalah swordmaster, tapi Caesar adalah seorang Saint.” 

Aku terdiam. Tidak ada yang pernah menyinggung tentang Caesar yang seorang Saint. Bahkan dalam catatan keluarga sekali pun. 

“Saint! Kau pasti bercanda, Tanka.”

Tanka tertawa mengejekku. 

“Apakah ini sebuah rahasia?” Dia mengangkat kedua bahunya, “Caesar mempunyai kekuatan suci yang tinggi. Tampaknya karena kekuatannya yang besar dia ditakuti.”

Pikiranku membeku, tidak bisa mencernanya dengan baik. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Itu pertanyaan yang hanya muncul di pikiranku. 

“Bahkan aku hanya sedikit mengingat Caesar. Rupanya, pembicaraan kami yang panjang, dan sejarahnya, aku melupakannya.” 

Dia kecewa. 

“Tapi apapun itu, sepertinya Caesar tahu apa yang dia perbuat.”

Dia tidak dapat menyembunyikan kekecewaan dan rasa gelisahnya. Sedangkan aku, aku merasa kecewa dengan fakta buram ini. 

“Kau sih keluarga pengemis itu, kan?”

Saat dia menyapaku dengan hinaan busuknya, aku telah didepan gerbang kuil suci. Aku menatapnya tanpa reaksi. Melihat tingkahnya yang tidak sopan, membuatku meragukan baju yang dia kenakan. 

“Kau telah bertindak kurang ajar.”

Aku mengangkat tanganku. Menghentikan Levian menyebabkan pertumpahan darah di depan kuil suci. 

Levian kembali menyarungkan pedang. Dia mundur. 

Coba kuperhatikan bocah di depanku dulu. Rambut coklat seperti ayahnya, dan wajah congkak yang cukup rupawan. Mungkin ... seperti ibunya. 

“Kau seorang pendeta?” Aku bertanya seolah tidak tahu. 

“Apa kau buta?” Sombongnya. 

Aku tertawa mengejek. Anak ini lucu. 

“Kau berani menertawakanku.” Alec mengayunkan tangannya. Sangat ringan sekali tangannya bergerak untuk memukul orang lain. Seperti pepatah, like son like father. Mereka berdua tanpa buangan sedikit pun. 

Tapi tanganku lebih cepat. Kutepis tangannya cukup kuat dan sepertinya itu patah. Karena aku melihat lengan yang bergoyang seperti jeli. 

“ARGH!!” Dia berteriak. Orang-orang  melihat kami dari kejauhan, aku tetap tenang, dan menyentuh Alec seolah peduli padanya. 

“Kau brengsek!" pekiknya. 

“Tutup mulutmu yang seperti anak-anak itu, Alec.”

Auraku mengintimidasinya. 

“Kau pasti memakai seragam ini karna orang dalam ya,” ejekku.  Dimanapun kau berada selalu ada orang busuk yang menggunakan kekuasaan mereka, setidaknya jika dia masuk lewat jalur belakang, maka dia harus belajar keras dan bertanggung jawab. 

Tapi orang yang ingin mudah segalanya dengan menggunakan jalan busuk ini, mana mungkin bisa berpikir seperti orang suci. 

Baju pendeta sama sekali tidak cocok padanya. 

“Sekedar informasi. Hutang Sanktessy telah kami lunasi semuanya.” Aku berbisik pada Alec sambil menepuk-nepuk pundak pelan. 

Terlihat dari jauh mungkin seperti itu, tapi nyatanya setiap kali aku memberikan tepukan, aku menekan mentalnya hingga jatuh lebih jauh dan membuatnya terpuruk.

Tubuhnya bergetar. Kombinasi dari rasa sakit tangan dan mentalnya. Seorang pendeta bahkan tidak bisa menggunakan sihir pengobatan. Lucu. 

Orang-orang datang mendekat melihat Alec terjatuh. Aku mengulurkan tangan. 

“Seseorang tolong bantu pendeta Alec. Dia mencederai tangannya.” Aku memanggil pendeta yang mendatangi kami. 

Alec diam sambil merintih, dia pergi dibopong dua orang pendeta lainnya. Aku melihat dari kejauhan, amarahku belum hilang. 

Kuil suci bukanlah tempatnya. 

**

Aku memerintahkan Levian untuk beristirahat. Selama dia bersamaku, aku belum pernah melihatnya istirahat dengan baik. 

Tentu karna aku tidak ingin diganggu juga. Mengingat umurku yang masih muda, aku masih mempunyai sifat kekanak-kanakan. 

“Akion mau kemana?”

Tanka mengikutiku. Angin menembus kami dengan kencang, aku melompat dari atas gedung ke gedung lainnya. 

Aku memasang telinga dengan baik. Benar dugaanku, anak manja itu pasti pulang dan mengadu pada ayahnya. 

Dari dalam kamarnya, Alec sedang merintih dengan berteriak mengumpat diriku. Dua pendeta baru saja keluar dari rumahnya.

“Ayah, kau harus membuat perhitungan dengan keluarga pengemis itu!” Dia berteriak pada ayahnya.

“Tanganku patah karnanya ....” Dia merintih sejadi-jadinya seakan nyawanya sedang dalam masalah. 

“Anakku yang tampan, ayah pasti akan membuat perhitungan pada keluarga mereka.” Ayahnya memeluk Alec. Wajahnya sedih bercampur emosi. 

Aku menggeleng menyaksikan drama komedi ini.

“Akion mau apa?”

Tanka yang memperhatikanku ingin tahu apa yang ingin kuperbuat. 

“Sesuatu yang lucu. Kau pasti menyukainya, Tanka.”

Aku memandang Tanka dengan wajah jail. Tampaknya Tanka mengerti apa yang akan kuperbuat pada mereka. 

Tiga puluh menit kemudian, aku masuk ke rumah mereka dengan wajah tertutup topeng. Kumulai dari kamar Count Invit yang menyebalkan. Aku mengikatnya, menghancurkan berkas-berkasnya. 

Matanya berteriak minta tolong. Tapi sayang sekali, seisi rumah ini dalam pengaruh ilusi yang Tanka berikan. 

Jadi mereka tidak akan mendengar semua kebisingan ini. Jadi, aku tidak butuh waktu yang terburu-buru. 

Aku menatap wajah Count Invit lagi. Wajahnya yang menderita membuatku terhibur, dia menggeliat seperti seekor cacing yang kepanasan. Lalu aku memukul wajahnya sekali hingga pingsan. 

Sekarang, aku masuk ke kamar Alec, dia sedang tertidur seperti bayi. Wajahnya yang berantakan mirip seperti bocah. Aku lemparkan buku tebal dari lemarinya secara kuat mengenai wajahnya. 

Dia berteriak keras, darah segar mengalir dari hidung dan bibirnya yang pecah. Ya, mulut busuk itu harusnya kuhancurkan sedari tadi. 

Dia berteriak minta tolong, satupun tidak ada yang datang menolongnya. Aku menamparnya beberapa kali, membuat kedua pipinya sangat merah. 

Beberapa kali juga dia berusaha menggunakan kekuatan suci, tapi dia tidak bisa. Karna dia tampaknya memang tidak punya. Dia hanya masuk untuk bergaya, dan status agar lebih dihormati. 

Kutarik lidahnya, lidah yang cukup panjang. 

Lidah tak bertulang yang menyebabkan masalah. Bicara tentang status, seharusnya dia paham sedang berhadapan dengan siapa. 

“kayi-an shiyaa-pa? (Kalian siapa?)”

Dia berbicara terbatas dengan suara tidak jelas. Kutekan lagi lidah yang sedang kupegang ini. Dia mengeram kuat, hingga air matanya jatuh dari kedua bola matanya. 

Kupukul kepalanya karna tiba-tiba saja aku ingin. 

“Seorang pendosa sepertimu tidak pantas untuk tahu.”

Suaraku telah diubah menggunakan sihir Tanka. Dia menggeleng. Tapi lihat, aku tidak peduli padanya. Tangannya yang sebelumnya patah karnaku, kuinjak dengan kuat. Dia pingsan. 

Beginilah mereka seharusnya.  Kedua orang yang sering menghina keluargaku ini, kuseret keluar. Mereka akan mendapatkan hadiah yang tidak akan bisa dilupakan seumur hidupnya. 

Hadiah terbaikku untuk mereka. 

BERSAMBUNG....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status