"Temanku."
"Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar.
"Terus menurutmu apa, Mas?"
Tiba-tiba ... Plaaakk ...!
Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya.
"Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain."
"Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!"
"Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?"
Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang
"Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!""Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu.""Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi."Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian."Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja
Aroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak opor ayam, kemarin diberi ayam ungkep oleh Bu Wandi. Alhamdulillah, dapat rezeki yang tidak terduga.Semenjak Bu Wandi tahu kalau aku bisa berkreasi, membuat karya handmade, kami jadi sedikit lebih dekat."Terima kasih ya, Bu. Sudah mau order aksesorisnya sama saya.""Iya, sama-sama. kalau ada yang dekat kenapa mesti cari yang jauh. Ini aja bagus banget, murah lagi. Coba kalau beli di butik, pasti bisa puluhan ribu satu piecesnya."Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Wandi. Bersyukur ada yang menghargai hasil karyaku."Coba nanti branding karya mbak, siapa tahu harga jualnya bisa makin tinggi. Jualan online sama nitip-nitip di butik mungkin.""Iya Bu, saya juga sedang belajar. Terima kasih sarannya.""Oh iya, kebetulan keponakan saya yang punya konveksi itu, buka bu
Aaarrrggh! Mas Haikal menggeram kesal.Aku pura-pura tak tahu, kujalani aktivitasku seperti biasanya. Kulihat ia begitu gusar, mondar-mandir tak karuan tapi tak berani bertanya padaku."Mil, kamu punya simpanan uang gak?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.Keningku berkerut. Simpanan dari mana? Hah konyol sekali, dia sendiri yang memegang uang kenapa aku yang diminta?"Simpanan dari mana? Mikir dong mas, semua uang kan kamu yang pegang!" tukasku agak emosi.Dia terdiam. "Katanya kamu kan jualan, kamu pasti punya uang kan apalagi jualanmu kan gak pake modal cuma dari barang bekas, jadi uangnya pasti utuh!"Aku hanya tersenyum kecut, sebenarnya dia punya otak gak sih? Picik sekali pikirannya. Kemarin-kemarin menghina usahaku tidak berkelas, sekarang justru bertanya hal yang tidak masuk akal."Karmila, ayolah..." rengeknya seperti anak kecil."Ayo a
Seakan ada yang menusuk ke jantung hatiku. Rasanya sakit mendengar hinaan dari suamiku sendiri. Sangat sakit. Hal ini makin membuatku bertekad untuk segera pulang.Aku berlalu ke kamar. Tanpa terasa kristal bening ini jatuh berderaian di pipi. Allah, tolong hambamu ini ..."Bunda, kenapa nangis?" tanya Daffa sambil mengusap lembut pipiku."Nenek sedang sakit di kampung, Nak. Tapi kita gak bisa pulang. Uang simpanan bunda masih kurang buat beli tiket pesawatnya."Daffa-Daffi langsung memelukku. Entah kenapa hatiku makin terkoyak. Sakit sekali."Bunda jangan sedih ya, kami pasti akan doakan nenek supaya cepat sembuh.""Iya, sayang."Lama aku berpikir. Apa yang harus kulakukan? Apa aku kirim uang saja untuk berobat ibu? Jadi aku gak perlu pulang?'Mbak, apa mbak gak bisa pulang? Ibu sangat rindu sama mbak. Sekarang ibu sedang sakit mbak, udah
"Tapi, Nak--""Bunda, ayo! Mumpung ada om baik," celetuk Daffi seraya menarik tanganku.Mas Denny hanya tersenyum melihat tingkah anak-anakku."Pak Wid, kita anterin teman saya dulu ya," titah Mas Denny pada sopirnya."Baik, Mas. Kita mau kemana ya, Mbak?""Desa Siayuh, Pak.""Mas, desa itu jauh sekali dari sini, bisa-bisa kita kemalaman disana.""Tidak apa-apa, Pak. Saya masih punya banyak waktu luang," jawab Mas Denny dengan tenang.Pak sopir mengangguk dan mulai menjalankan setir bundar itu. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, bersiap menuju kampung halamanku.Kampung halamanku memang sangat jauh dari kota, mungkin bisa dikatakan desa terpencil. Butuh waktu enam jam perjalanan agar bisa sampai disana. Kondisi jalan tidak beraspal dan penuh dengan batu. Desaku sangatlah berbeda, tak seperti di kota yang semuanya serba
Deg! Jantungku berdetak dengan cepat. Firasat seorang ibu memang tak pernah salah. Apakah harus kukatakan semua tentang Mas Haikal? Tapi aku takut badan ibu makin drop. Aku memandang ke arah bapak."Ibu, ibu coba ibu lihat, ini anak-anak Mila, cucu kita. Lucu-lucu kan mereka?" Bapak mendekat sembari menggandeng si kembar."Nah, Daffa-Daffi ini nenek. Beri salam pada nenek," sergah bapak.Si kembarku mencium punggung tangan neneknya. "Assalamualaikum, Nek."Ibu tersenyum sembari mengangguk lemah. "Waalaikum salam.""Ini yang digendongan Wulan juga cucu dan ibu lho!""Boleh ibu menggendongnya?" tanya ibu dengan lirih. Ibu bangkit dari tidurnya dan duduk.Wulan mendekat, dia menyerahkan Alina pada ibu. Ibu tersenyum. Meskipun tangannya gemetaran, ibu tampak antusias memangku cucunya."Alina cucu nenek, cantik sekali kamu, Nak," puji Ibu sambi
Rasa letih begitu mendera. Beberapa hari terakhir ini rasanya begitu menyiksa. Semenjak terluka karena dikeroyok preman, badan jadi sering sakit. Apalagi uangku sudah ludes tak bersisa. Untuk akomodasi aku sampai meminjam uang Farhan. Malu sebenarnya, tapi dari pada kelaparan terpaksa aku meminjam uangnya.Mentari sore di ufuk barat, bersiap untuk bersembunyi ke peraduan. Menjelang maghrib, aku baru pulang ke rumah.Berharap istri dan anakku menyambut di teras, namun harapan itu hanya semu belaka. Rumah seperti tempo hari, gelap dan sepi. Apakah Mila dan anak-anak sedang pergi lagi? Jangan-jangan menemui laki-laki itu?Gegas aku membuka kunci rumah. Semua ruangan begitu gelap. Kunyalakan saklar lampu, akhirnya ruangan jadi terang. Kondisi rumah begitu sunyi senyap seperti tempo hari. Kenapa aku merasa dejavu?Ruangan tampak begitu rapi, tak ada perabot ataupun mainan yang berserakan. Bersih layaknya tak be
Rasa kesal langsung merajai diri. Bisa-bisanya istriku pergi dengan orang lain. Langsung kuhubungi nomor asing itu, ia dapatkan dari mana dan siapa dia sebenarnya, namun sayang panggilanku tidak digubrisnya.Tak lama pesan dari nomor itu datang lagi.[Jangan percaya sepenuhnya pada istri yang dianggap polos, justru dia bisa jadi boomerang untuk dirimu sendiri][Siapa kamu? Jangan fitnah! Kalau berani angkat telepon saya!][Kau tak perlu tahu siapa saya, akan saya kirimkan gambar lain yang lebih membuatmu tercengang]Selang beberapa detik, pesan itu datang lagi, berisi kiriman foto antara Mila dan juga Denny. Foto yang pertama tadi dipotret dari jarak yang jauh hingga terlihat jelas kalau mereka sedang berada di Bandara.Ting! Satu foto Mila dan Denny tengah bersama, mereka tampak akrab.Ting!Satu foto lagi Denny sedang menggandeng si kembar Daf