Jangan tanya bagaimana perasaanku saat ini. Hancur sudah pasti. Melihat Mas Haikal yang semakin hari tak respect denganku dan juga anak-anak. Ia sibuk dengan calon istri barunya. Ya, beberapa kali gadis itu datang. Tak segan maupun malu dia bermanja-manja dengan suamiku di depan anak-anak.
"Bun, memangnya tante itu siapa sih?" tanya Daffa dengan polosnya.
"Iya Bun, kenapa dia dekat-dekat sama ayah terus?"
Sesak sudah pasti. Mendengar pertanyaan polos yang terlontar dari si kembarku. Mereka masih kecil kenapa harus di hadapkan dengan kenyataan seperti ini.
"Hai ganteng, sini sayang duduk bareng sama tante," sapa Riska pada si kembarku. Daffa dan Daffi melengos, mereka menghampiriku yang berdiri tak jauh darinya.
"Daffa-Daffi, kalian gak boleh gitu. Sini dulu sebentar, ayah mau kenalin sama calon ibu baru buat kalian," sahut Mas Haikal. Sejenak dia menatapku tapi kemudian beranjak merangkul
Entah sejak kapan aku jadi terpesona dengan gadis itu. Senyuman yang manis dan menggoda membuatku tak bisa berpaling. Apalagi lekuk tubuhnya yang begitu seksi. Pakaiannya modis dan trendy, rambut panjang yang ia kuncir ke atas hingga memperlihatkan leher jenjangnya. Kulit putih mulusnya, makin membuatku terkesima. Aku yang awalnya tak menaruh perhatian apa-apa, serta sebuah malam yang salah membuatku harus menikahinya. Padahal kemarin aku masih ingin mempertahankan Karmila menjadi satu-satunya istriku. Tapi melihatnya menangis karena ulahku jadi tak tega. Apalagi ibu terus saja mendesakku untuk menikahinya.Ijab qobul tadi walaupun sangat sederhana, tapi bisa terlaksana dengan baik. Akhirnya aku resmi memperistri Riska, walaupun kutahu Karmila dan anak-anak keberatan atas keputusanku."Terima kasih, Mas," ucap Riska sembari mengecup pipiku. Gadis ini ternyata agresif juga."Habis ini kalian pulang kemana?" tany
Detik waktu terus berjalan. Jujur saja, sejak Pernikahan kedua Mas Haikal aku tidak bisa tidur. Pikiran ini terlalu banyak beban berat. Seperti malam ini, aku lagi-lagi terjaga. Dada rasanya begitu sesak, sulit untuk bernafas. Kalau begini akhirnya kenapa dulu aku mau diajak pulang kesini lagi? Mas Haikal juga sudah ingkar janji. Kini aku tak ada alasan lagi untuk mempertahankannya.Waktu menunjukkan pukul 04.00 pagi. Anak-anak masih terlelap dalam tidurnya. Dengan hati yang masih dilanda kegamangan, kukemasi baju anak-anakku serta bajuku. Kubawa seperlunya saja. Benar, mulai sekarang aku akan menjadi ibu sekaligus ayah untuk ketiga anakku. Semoga diri ini kuat menjalani ini semua.Setengah jam aku beberes pakaian, lalu membangunkan anak-anak. Rasanya sungguh tak tega, tapi aku tak mau saat kami pergi, Mas Haikal tahu dan melarangku. Aku tak ingin dia mengambil paksa anak-anakku."Nak, bangun sayang. Daffa-Daffi, ayo bangu
Udah satu minggu, Mila dan anak-anak belum pulang juga. Aku mulai kalang kabut. Kondisi rumah tanpa Mila sudah seperti kapal tanpa nahkoda. Padahal ada Riska, tapi sepertinya ia tak cakap untuk mengurus rumah. Rumah dibiarkan kotor berdebu, berantakan disana-sini, bahkan bekas tidur pun masih berantakan, selimut di bawah, sprei yang asal-asalan serta letak bantal yang tak beraturan. Baju kotor masih teronggok manis di keranjang baju kotor.Aaarrrggh! Kerjanya ngapain aja sih dia, masa beresin rumah sendiri aja gak becus!"Riska, kenapa baju gak dicuci-cuci. Itu udah numpuk lho, kotor, bau! Harusnya dicuci disetrika! Baju kantorku dah gak ada gantinya lagi kalau dibiarkan tanpa dicuci seperti itu, bisa jadi sarang tikus dan nyamuk!""Aku capek!" sahut Riska dengan enteng."Capek? Memangnya ngapain aja sampe capek begitu?""Tadi kan ada kuliah, Mas! Udahlah sini aku minta uang! Biar baju-baj
Tidak, ini tidak mungkin kan? Aku tak percaya ini.Dari mana ia mendapatkan uangnya? Nekat sekali Mila! Ini tidak akan kubiarkan! Aku harus ketemu dengan Mila dan membicarakan masalah ini. Aku tak ingin berpisah dengan Mila dan juga anak-anak."Mas, kamu mau kemana? Baru juga balik dah mau pergi lagi?" tegur Riska."Aku cari Mila dulu.""Hhhh, dia lagi dia lagi! Kapan sih kamu bosen ngurusin dia, Mas? Dia terus yang kamu pikirin!""Riska, kamu tahu ini apa? Ini surat panggilan sidang! Mila menggugatku cerai! Ini tak bisa dibiarkan, aku tak ingin kehilangan anak-anak.""Kenapa risau begitu mas? Kau kan akan punya anak dari aku.""Aku tahu, tapi dia belum lahir kan? Sudahlah, aku cari Mila dulu. Aku ingin bicara baik-baik dengannya. Aku pergi.'"Aku ikut, Mas.""Tidak usah, kau disini saja.""Lho kenapa Mas?
Sidang kedua, Mila datang ditemani oleh Denny serta pengacaranya. Pembacaan surat gugatan dibacakan oleh majelis hakim.Aku melihatnya dengan tatapan nanar, perempuan yang dulu membahagiakanku, sekarang justru balik menyerang seperti sayatan sembilu. Ia bergeming saat berpapasan denganku, seolah-olah dia tak mengenalku. Wajahnya begitu tenang, bahkan tak ada raut kesedihan secuil pun disana. Apakah hatinya sudah mati rasa?Patut diacungi jempol, Mila dan pengacaranya sudah menyiapkan segalanya dengan matang. Dia benar-benar ingin berpisah denganku. Berkas-berkas, foto saat aku bermalam bersama Riska, lalu rekaman saat aku marah-marah pada Mila dan mengancamnya. Entah kenapa aku tak menyadari kalau Mila ternyata merekam pembicaraanku saat itu. Rupanya Mila sudah menyiapkan dari awal. Hingga aku tak bisa membantahnya lagi. Aku tak punya bukti kuat untuk menyanggahnya karena semua itu benar.Sidang ketiga, kembali dilanjutkan
Setelah mengatakan hal itu, aku pergi. Melajukan mobilku tak tentu arah. Sepanjang perjalanan hanya terlintas bayangan Mila dan anak-anak yang tengah tersenyum.Ah kenapa setelah kepergiannya, justru mereka begitu penting dalam hidupku.Tiiiinnn ... Tiiiiiiiiiiiiinnnn ....Suara klakson mobil dari belakang membuyarkan lamunanku. Ternyata lampu lalulintas sudah menyala warna hijau, mobil-mobil sudah mengantri di belakang.Memikirkan ini semua membuatku tak fokus. Hal ini benar-benar membuatku gila!Aku mampir di cafe, tempatku nongkrong seperti biasa, memesan makanan favorit. Tapi sayangnya, rasanya begitu hambar. Aku kehilangan selera makan.Beberapa kali ponselku berdering, panggilan dari Riska tapi aku tak menggubrisnya. Saat ini hatiku sedang kalut. Rasa benci dan kesal bercampur jadi satu.[Mas, kamu pergi kemana? Kenapa gak angkat teleponku? Pulang se
Pukul 14.00 WIBDisaat aku tengah sibuk bekerja, ponselku terus saja bergetar, kulihat empat panggilan tak terjawab dari ibu."Halo, ya Bu, ada apa? Aku lagi sibuk," ujarku malas."Haikal cepat pulang sekarang!""Tidak bisa, Bu. Aku lagi sibuk.""Cepat pulang, Haikal. Ini istrimu perutnya kesakitan.""Bu, aku minta tolong sama ibu. Ibu saja yang bawa Riska ke rumah sakit ya. Aku gak bisa ninggalin pekerjaan, Bu.""Duh, kamu gimana sih jadi suami! Harusnya siap siaga dong, istri lagi hamil kamu cuek begini!""Haish! Aku pulang juga percuma, gak bisa ngubah apa-apa, Bu. Aku kan bukan dokter. Ibu bawa aja Riska ke Rumah Sakit. Udah dulu ya, Bu. Aku tutup teleponnya.""Haikal, tunggu Haikal! Ibu belum selesai bicara. Istrimu gak mau pergi sama ibu, maunya sama kamu. Apa kamu gak bisa izin sebentar saja?""Gak
"Udah gak usah bawel, pokoknya bikinin aku makanan sekarang. Aku lapar. Jangan pesan online, aku ingin makan masakanmu," tukasku lagi. "Ya sudah, aku bikinin mie instan aja deh!" celetuknya kemudian berlalu ke belakang. Benar saja, yang ia hidangkan mie instan diatas meja. Apa boleh buat, akhirnya kusantap juga. Padahal aku lebih kangen masakan Mila, biarpun sederhana tapi dia pintar sekali mengolahnya. "Ris, mulai sekarang biasakan masak. Jangan beli terus. Kalau masak sendiri kan lebih hemat." "Hemat-hemat terus sih mas, itu mah namanya pelit!" "Kalau ada suami ngomong malah ngeyel!" "Iya, iya. Harusnya kamu juga ngertiin aku dong mas, aku kan lagi hamil. Aku kan ingin dimanja juga sama kamu." Jawabannya itu terus yang dijadikan alasan kemalasannya. * Aku tersenyum saat mengambil uang yang ada di ATM, syu