"Mbak, kau tidak apa-apa?" tanya Mas Denny membuyarkan lamunanku.
Sekuat hati menahan rasa sakit dan penghinaan yang mereka torehkan. Aku menoleh, dan mengangguk pelan. Mas Denny tampak memandangku lekat Sedangkan anak-anakku dan Bu Wandi sudah masuk ke dalam saat Riska mengomel tak jelas padaku.
"Tarik nafas dalam-dalam, Mbak. Coba tenangkan hatimu dulu," ucapnya kemudian.
Aku kembali terduduk di teras. Aku tahu tujuan Mas Denny dan Bu Wandi kesini adalah untuk mengambil pesanannya. Mas Denny memesan aneka aksesoris dengan ciri khas Indonesia, batik. Rencananya, ia akan mengadakan bazar dan pameran untuk memperkenalkan produknya serta hasil karya handmade dengan tema Cintai Produk Indonesia. Sementara Bu Wandi juga memesan beberapa aksesoris hijab untuk teman-teman arisannya.
"Nih minumlah dulu," ucap Mas Denny sembari menyodorkan sebotol air mineral. Ia membuka tutup botolnya lalu
"Oh, jadi kamu masih belain dia ya? Oke!! Awas saja! Jangan salahkan, kalau aku nekat!""Apa maksudmu, Ris?"Riska terdiam dengan sorot mata penuh kebencian.Haikal menghela nafasnya dalam-dalam. "Aku takkan biarkan kamu bertindak nekat, Ris. Sama saja kamu telah mempermalukanku di depan Mila. Terlebih ada laki-laki sok jagoan itu di sampingnya. Benar-benar memuakkan!" Haikal menggeram kesal. Sementara Riska masih bergeming. Kebenciannya terhadap Mila semakin memuncak.'Masa iya aku kalah sama wanita kampungan itu! Aku yakin anak-anaknya lah yang dijadikan tameng untuk kedekatan mereka kembali. Apalagi Mas Haikal terlihat masih mengharapkannya. Takkan kubiarkan dia berbuat lebih lanjut. Aku akan buat perhitungan. Tunggu saja.' Batin Riska mulai meracau sendiri.Riska membanting pintu kamarnya. Wanita itu merasa kesal dengan sang suami karena ia telah membela mantan istrinya itu dari
"Halo Assalamualaikum.""Waalaikum salam, Mas. Apa sudah ada kabar tentang si kembar?""Iya. Saya mau pergi ke tempat si kembar berada.""Benarkah?""Iya. Tadi saya dapat kabar dari asisten saya. Mereka disandera di Gudang pabrik kosong.""Apa mereka baik-baik saja?" Netra Mila mulai berkaca-kaca."Ya, saya akan menyusulmu sekarang dan sudah melaporkan kejadian ini ke polisi. Sebentar lagi pelaku sebenarnya akan segera tertangkap.""Alhamdulillah beneran kan, Mas?""Iya. Saya tutup dulu teleponnya dan segera ke rumahmu.""Terima kasih, Mas."Semalam, setelah mengantarkan makanan untuk Mila, Denny terus gencar mencari keberadaan si kembar. Ia menambah personel untuk misi pencarian ini. Bahkan dia sendiri pun berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Hingga ia menemukan titik
Haikal menjatuhkan pantatnya dengan kesal di sofa ruang tamu rumah ibunya."Kamu kenapa, Haikal? Kenapa kesal begitu? Kamu bertengkar sama Riska?""Bagaimana gak kesal, Bu! Riska, dia yang sudah menculik si kembar, Bu. Dia dalangnya!""Apa? Mana mungkin, Kal! Riska kan wanita baik-baik.""Gak mungkin gimana, Bu. Aku dengar sendiri dia berbicara di telpon sama seseorang!"Wanita paruh baya itu terdiam, seolah tak percaya apa yang dilakukan oleh menantu barunya."Anakku, darah dagingku diculik oleh ibu tirinya sendiri! Ibu bisa bayangkan betapa jahatnya dia, Bu! Riska sungguh keterlaluan!""Ibu gak nyangka Riska yang melakukan semuanya, memangnya dia punya dendam apa sama anak-anak. Rasanya itu tidak mungkin!""Tidak mungkin bagaimana? Kenapa sih ibu selalu belain Riska? Apa karena dia anak orang kaya?"
"Po-polisi?" pekik Riska dalam hati. Seketika jantungnya berdetak dengan kencang. Apa yang harus ia lakukan.Tok ... tok ... tok ...Suara ketukan pintu itu kembali membuatnya takut. Ia berjalan menjauh dari pintu dengan langkah mundur."Ris, siapa yang datang? Kenapa pintunya gak dibuka?" tanya Haikal saat melihat gelagat aneh pada Riska. Pria itu berjalan melewatinya, Riska menahannya kemudian menggeleng perlahan."Kamu kenapa sih? Kayak orang ketakutan aja, biar aku saja yang buka pintu," ucap Haikal mengibaskan tangannya."Aku mohon jangan, Mas. Jangan dibuka," pinta Riska, ia takut luar biasa. Takut kalau langsung ditangkap. Haruskah ia merasakan dinginnya jeruji penjara."Halo, permisi ... Apa ada orang di dalam?" teriak suara dari luar. Haikal memandang Riska dan pintu secara bergantian."Permisi ...!"Akhirnya Haikal menuju ke pint
Karmila tersenyum senang saat anak-anaknya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sebuah pelukan hangat menyambut mereka.Tentu saja, kali inipun dia dibantu oleh Denny."Jagoan, sudah siap pulang?" tanya Denny pada Daffa-Daffi."Siap dong, Ayah!" Daffa segera menutup mulutnya ketika keceplosan bicara. Denny mendekat lalu mengacak rambut keduanya dengan lembut."Hahaha, tidak apa-apa, ayo masuk mobil."Dengan riang mereka masuk ke mobil mewah milik Denny. Lelaki itu mengantar Mila dan anak-anaknya ke rumah kontrakan."Mas, terima kasih banyak ya selama ini udah nganterin kami, udah mau direpotin.""Iya, sama-sama. Saya langsung pulang ya, ini ada pekerjaan mendadak," pamit Denny."Baik, Om. Terima kasih banyak. Kapan-kapan ketemu lagi ya, Om!" ucap Daffi. Mereka berdua melambaikan tangannya."Iya sayang," sahut Denny.
"Mila, bolehkah aku memeluk anak-anak?"Wanita itu hanya mengangguk. Sedetik kemudian, Haikal memeluk ketiga anaknya dalam satu dekapan. Ia menumpahkan segala rasa disana. Perasaan rindu yang membuncah serta perasaan bersalah. Lelaki itu menangis, air matanya jatuh berderai. Bahkan ia tak malu, Mila melihatnya menangis. Karena saat ini lelaki itu merasa berada di titik terendah."Ayah minta maaf, Nak. Ayah minta maaf. Selama ini ayah abai terhadap kalian. Ayah minta maaf, Nak ..." Haikal tergugu hingga membuat Alina ikut menangis.Haikal melepaskan pelukannya, lalu menggendong Alina yang menangis semakin kejer. Gadis kecil mungil itu masih takut bila bertemu dengan ayah kandungnya sendiri."Sayang, sayang, tidak apa-apa, Nak. Ini ayah."Alina tetap menangis. Mila segera meraih Alina dari gendongan mantan suaminya itu."Alina sepertinya masih takut denganmu, Mas. Biar aku s
"Ibuuuu bertahanlah, Bu ...!"Sesampainya di klinik terdekat, para perawat menyambutnya, tubuh penuh darah itu langsung dibawa dengan brankar dorong menuju ruang UGD."Sebaiknya Mbak tunggu disini saja, atau urus-urus data administrasinya dulu," cegah seorang perawat laki-laki saat Indah hendak menemani ibunya.Indah mengangguk pelan. Ia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Gara-gara masalahnya justru sang ibu jadi seperti ini.Langkahnya sedikit terseok, hatinya begitu pilu, melihat darah yang banyak berceceran di tubuh wanita yang telah melahirkannya.Indah mengambil ponselnya lalu menelepon adik-adiknya."Haikal, hiks hiks.""Ya, Mbak. Ada apa?""Kal, tolong segera ke rumah sakit. Ibu kecelakaan.""Apa?""Ibu ditabrak motor, Kal. Sekarang lagi di UGD.""Baik, Mbak. Aku segera kesana."
"Ibu min-ta ma-af ..."Mila tersenyum, lalu duduk bersimpuh di depan wanita yang rapuh itu. Ia memegangi tangannya yang gemetaran."Iya, Bu. Sudah Mila maafkan. Mila juga minta maaf kalau punya salah sama ibu."Butiran bening menitik dari sudut matanya. Ia mengangguk sambil tersenyum menahan haru."Kalau begitu, aku permisi ya, Bu. Semoga ibu cepat sembuh seperti sedia kala. Maaf Mila gak bawa apa-apa. Oh iya hanya ada ini," ucap Mila sembari memberikan bunga anggrek botol hasil kreasinya dan beberapa aksesoris bros.Wanita tua itu menatap mantan menantunya dengan sayu."Ini hasil kreasi tanganku sendiri. Lumayanlah buat hiasan di ruang tamu. Ibu berkenan kan menerima ini?" Pertanyaan Mila hanya dijawab anggukan kepalanya."Syukurlah, kalau begitu aku dan anak-anak pamit pulang, Bu. Kasihan mereka belum istirahat, tadi habis ikut aku pelatihan."