"Ibu min-ta ma-af ..."
Mila tersenyum, lalu duduk bersimpuh di depan wanita yang rapuh itu. Ia memegangi tangannya yang gemetaran.
"Iya, Bu. Sudah Mila maafkan. Mila juga minta maaf kalau punya salah sama ibu."
Butiran bening menitik dari sudut matanya. Ia mengangguk sambil tersenyum menahan haru.
"Kalau begitu, aku permisi ya, Bu. Semoga ibu cepat sembuh seperti sedia kala. Maaf Mila gak bawa apa-apa. Oh iya hanya ada ini," ucap Mila sembari memberikan bunga anggrek botol hasil kreasinya dan beberapa aksesoris bros.
Wanita tua itu menatap mantan menantunya dengan sayu.
"Ini hasil kreasi tanganku sendiri. Lumayanlah buat hiasan di ruang tamu. Ibu berkenan kan menerima ini?" Pertanyaan Mila hanya dijawab anggukan kepalanya.
"Syukurlah, kalau begitu aku dan anak-anak pamit pulang, Bu. Kasihan mereka belum istirahat, tadi habis ikut aku pelatihan."
"Mila ..."Mila mendongak, sesaat terpana melihatnya. Sudah lama ia tak melihat laki-laki itu."Gimana kabarmu, Mil?" tanya lelaki itu dengan nada lembut."Mas? Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mas kok bisa ada disini?" Mila balik bertanya.Denny tersenyum. "Iya, dua hari yang lalu aku pulang. Aku rindu Indonesia. Tapi aku lebih rindu padamu."Mendengar ucapannya sontak membuat pipi Mila merona merah."Ehem ehem, cie cieeee ..."Tiba-tiba Wulan nimbrung, ia senang menggoda kakaknya. Ledekan Wulan membuat Mila makin salah tingkah. Bahkan ia meletakkan barang dalam posisi terbalik."Mbak, itu kebalik, Mbak.""Eeh, i-iya," sahut Mila gugup, ia tersenyum kaku."Oh ini--""Dia Wulan, adikku, Mas," sahut Mila cepat. Denny tersenyum menyapa adik Mila dengan ramah.
Lima hari berjaga di pameran, begitu mengesankan. Banyak pengalaman yang Mila dapatkan. Begitu pula dengan kenalan dan relasi. Mila jadi banyak mengenal orang-orang penting.Walaupun badan terasa begitu lelah, tapi sepadan dengan yang ia dapatkan. Ia mendapatkan banyak pelajaran serta pelanggan-pelanggan baru. Hasil kreasi kerajinan yang dibawanya habis lebih dari separuh. Hasilnya benar-benar diluar dugaan.Ia tak menyangka jika bazar dan pameran itu menjadi jalan rezeki yang mumpuni. Ia mengantongi uang hampir sepuluh juta rupiah dalam waktu hanya 5 hari saja. Banyak yang memborong hasil kreasinya untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh, kado maupun cinderamata.Hasil kreasi tangannya begitu cantik, membuat orang beramai-ramai ke stand Mila. Dia hampir kewalahan melayani para pembeli meskipun telah dibantu oleh Wulan. Bahkan Denny, setiap hari datang ke stand untuk membantunya. Membantu mengasuh Alina, menggendongnya
"... Begini Pak, kedatangan kami kemari ingin melamar putri bapak secara resmi. Putra saya, Denny ingin meminang Mila. Kami harap Bapak dan keluarga berkenan menerimanya ...""Insyaallah, dengan hati yang lapang dan berbahagia, kami menerima lamaran ini.""Alhamdulillah ..."Bu Rani--Ibunda Denny menyematkan cincin di jari manis Mila. Mereka saling melempar senyum bahagia. Begitu pula dengan Bu Wandi yang ikut hadir menjadi saksi kisah cinta mereka berdua."Seperti yang sudah disepakati, pernikahan akan digelar dua minggu lagi. Mbak Mila dan keluarga tak perlu pusing memikirkan masalah biayanya, semuanya biar keluarga kami yang menanggung," ucap Pak Irawan."Terima kasih banyak, Pak."Usai mengutarakan maksudnya, mereka menyantap makanan sederhana yang sudah disiapkan oleh keluarga Mila. Walaupun orang kaya, keluarga Denny tak mempermasalahkan strat
"Mas?" panggil Mila lembut, ia jadi salah tingkah karena dipandangi sebegitunya."Eh, i-iya. Kamu sangat cantik. Sempurna."Mila kembali tersipu, pipinya merona merah."Benarkan? Bu Mila memang cantik dari awal. Gimana, jadi bapak puas dengan hasilnya?" tanya Devi."Ya, sangat puas. Nanti Bu Devi lah yang akan jadi MUA pernikahan kami," sahut Denny."Oke. Deal.""Untuk tempat dan waktunya akan saya kabari menyusul.""Siap, Pak Denny. Selamat ya buat kalian, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warrahmah.""Aamiin."Usai fitting baju pengantin, mereka bergegas kembali pulang ke rumah. Tentu saja sebelumnya Denny membelikan makanan agar Mila tak repot-repot memasak di rumah.*Wulan tengah asyik berselancar di dunia maya, ia tengah melihat-lihat barang-baran
"Mas Haikal, kenapa gak masuk? Ayo dong masuk, nikmati suasananya. Kita lihat mantan istrimu yang dulu kau abaikan kini tengah jadi ratu."Haikal gugup saat Bu Wandi menghampirinya dengan wajah ramah."Eh i-iya Bu, biar saya disini aja.""Lho, kenapa? Udah ayo masuk. Sudah datang ke sini kok malah diam saja. Kita harus menghargai yang punya hajat."Haikal mengangguk, walau hatinya begitu sakit, apalagi harus melihat Mila bersanding dengan pria lain. Ia tertegun melihat wanita itu, ia tampak cantik dan menawan. Sungguh kali ini dia sangat menyesal, menyesal telah melepaskan berlian seperti dirinya."Haikal, kamu datang juga!" tepuk seseorang. Haikal menoleh, rupanya sang kakak dan adiknya yang tengah mengganggunya memandang Mila."Gila, Haikaaaaal. Mas kawinnya aja logam mulia 100 gram. Berapa duit itu?! Ckckck, pantas aja dia pilih si Denny. Soalnya
Denny tampak panik saat melihat darah Haikal yang tak berhenti bercucuran. Ia menyuruh sopirnya untuk mempercepat laju mobilnya saat ini."Haikal, bertahanlah!" ucap Denny.Sesampainya di Rumah Sakit, para perawat langsung menyambutnya dan membawa Haikal dengan brankar dorong menuju ruang UGD."Bapak sebaiknya urus pendaftarannya dulu ya biar secepatnya kami lakukan tindakan," ujar seorang perawat. Denny langsung menuju ruang pendaftaran pasien."Keluarganya pasien?" Salah seorang perawat keluar dari ruang UGD."Keluarganya belum ada yang datang, Sus. Saya yang membawanya kesini.""Oh iya Pak, begini kami harus meminta persetujuan bapak untuk tanda tangani dokumen ini. Pasien harus segera di operasi, Pak. Luka di perutnya cukup dalam.""Baik. Lakukan apa saja yang menurut kalian itu solusi terbaik. Biar nanti saya yang bicara ke keluarganya."
Mila segera memakai hijabnya kembali, berlalu keluar menghampiri Alina yang tengah dipangku ibu mertuanya. Denny pun ikut menyusulnya ke depan."Nak, badan Alina sepertinya panas," ucap Bu Rani. Wanita paruh baya itu terlihat khawatir.Mila meraih Alina dan memeriksa keningnya, agak panas. Begitu pula dengan Denny."Kita ke dokter ya," ucap Denny yang tak kalah khawatir."Mas, kita ikhtiar di rumah dulu ya. Tolong belikan obat penurun panas di apotik. Besok kalau panasnya masih belum turun baru kita ke dokter," ucap Mila."Oke."Denny segera berlalu keluar, walaupun Alina bukan anak kandungnya, tapi ia benar-benar sayang.Isakan tangis Alina mulai mereda."Dia sepertinya kecapekan, Mil," ucap ibu mertuanya."Iya, Bu. Insyaallah nanti juga sembuh."Setelah seperempat jam, Denny kembali pulang membawa obat u
"Haikal kritis lagi.""Apaa?""Kamu harus bertanggung jawab kalau ada apa-apa dengan adikku! Kamu akan kami tuntut ke jalur hukum!""Saya akan segera kesana, Mbak."Panggilan terputus begitu saja. Denny menghela nafas dalam-dalam, lalu mengusap wajahnya sendiri."Mas, kenapa?" tanya Mila lembut."Aku akan ke Rumah Sakit, Haikal kritis lagi."Ayah dan ibunya saling berpandangan. Begitu pula dengan Mila, ia menatap suaminya dengan tatapan entah."Apa mereka mengancammu, Mas?" tanya Mila lagi."Ya, dia bilang akan menuntutku kalau terjadi sesuatu padanya.""Tapi kan kamu gak salah apa-apa, Mas."Denny justru tersenyum."Ini nih ibaratnya orang lain yang salah kamu yang kena getahnya."Denny meraih tangan istrinya. "Gak usah khawatir. Ini terjadi di acara pern