"Gue gak nyumpahin, Kal. Tapi hukum tabur tuai itu masih berlaku! Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan-jangan nanti berbalik sama lu sendiri, kalau gak sekarang berarti saat tua nanti, anak-anak lu pelit sama lu, gak mau ngurusin lu sebagai bapaknya!"
"Jangan nyumpahin yang enggak-enggak deh, Han! Makin pusing gue dengernya! Dah lah mikir pekerjaan, di rumah juga Mila gak mau ngurusin uang lagi, ditambah ceramah lu, bikin kepala gue nyut-nyutan. Lu tau gak, kemarin gue disuruh belanja sembako. Ckck bener-bener deh istri gue gak ngehargai banget, laki-laki disuruh belanja kebutuhan pokok."
"Gue gak nyumpahin kok, sekarang aja lu sepertinya gak peduli sama anak lu sendiri. Terus gimana pengalaman lu belanja? Habis berapa duit?"
"Tekor gue, Han! Sekali belanja kemarin habis 800 ribu, itu baru separuh katanya. Belum belanja sayur dan yang lain. Kemarin uang kebersihan, air, listrik 700 ribu. Jadi
[Iya Bu, nanti sore aku mampir ke tempat ibu]Setelah mengirim balasan itu, ibu tak lagi protes.***Pulang bekerja, langsung menemui ibu di rumahnya."Nah, kebetulan kamu datang, Kal! Banyak yang ingin ibu katakan," sambut ibu sesaat setelah membuka pintu."Ada apa, Bu?""Soal Mila.""Mila kenapa?""Sekarang istrimu itu ngelunjak ya, Kal! Dia berani menjawab perkataan ibu. Gak sopan memang!""Mungkin lagi capek, Bu.""Kamu bilangin kek, biar gak ngelunjak sama mertua.""Iya Bu.""Oh iya mana jatah ibu?"Kuambil amplop coklat berisi uang dan kuberikan padanya."Kok cuma segini, Kal! Harusnya ditambah kok malah jatah ibu berkurang sih!" protes ibu.Aku tahu ibu pasti akan bersikap seperti ini. Biasanya aku memberi ibu tiga
"Temanku.""Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar."Terus menurutmu apa, Mas?"Tiba-tiba ... Plaaakk ...!Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya."Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain.""Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!""Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?"Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang
"Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!""Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu.""Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi."Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian."Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja
Aroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak opor ayam, kemarin diberi ayam ungkep oleh Bu Wandi. Alhamdulillah, dapat rezeki yang tidak terduga.Semenjak Bu Wandi tahu kalau aku bisa berkreasi, membuat karya handmade, kami jadi sedikit lebih dekat."Terima kasih ya, Bu. Sudah mau order aksesorisnya sama saya.""Iya, sama-sama. kalau ada yang dekat kenapa mesti cari yang jauh. Ini aja bagus banget, murah lagi. Coba kalau beli di butik, pasti bisa puluhan ribu satu piecesnya."Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Wandi. Bersyukur ada yang menghargai hasil karyaku."Coba nanti branding karya mbak, siapa tahu harga jualnya bisa makin tinggi. Jualan online sama nitip-nitip di butik mungkin.""Iya Bu, saya juga sedang belajar. Terima kasih sarannya.""Oh iya, kebetulan keponakan saya yang punya konveksi itu, buka bu
Aaarrrggh! Mas Haikal menggeram kesal.Aku pura-pura tak tahu, kujalani aktivitasku seperti biasanya. Kulihat ia begitu gusar, mondar-mandir tak karuan tapi tak berani bertanya padaku."Mil, kamu punya simpanan uang gak?" tanya Mas Haikal tiba-tiba.Keningku berkerut. Simpanan dari mana? Hah konyol sekali, dia sendiri yang memegang uang kenapa aku yang diminta?"Simpanan dari mana? Mikir dong mas, semua uang kan kamu yang pegang!" tukasku agak emosi.Dia terdiam. "Katanya kamu kan jualan, kamu pasti punya uang kan apalagi jualanmu kan gak pake modal cuma dari barang bekas, jadi uangnya pasti utuh!"Aku hanya tersenyum kecut, sebenarnya dia punya otak gak sih? Picik sekali pikirannya. Kemarin-kemarin menghina usahaku tidak berkelas, sekarang justru bertanya hal yang tidak masuk akal."Karmila, ayolah..." rengeknya seperti anak kecil."Ayo a
Seakan ada yang menusuk ke jantung hatiku. Rasanya sakit mendengar hinaan dari suamiku sendiri. Sangat sakit. Hal ini makin membuatku bertekad untuk segera pulang.Aku berlalu ke kamar. Tanpa terasa kristal bening ini jatuh berderaian di pipi. Allah, tolong hambamu ini ..."Bunda, kenapa nangis?" tanya Daffa sambil mengusap lembut pipiku."Nenek sedang sakit di kampung, Nak. Tapi kita gak bisa pulang. Uang simpanan bunda masih kurang buat beli tiket pesawatnya."Daffa-Daffi langsung memelukku. Entah kenapa hatiku makin terkoyak. Sakit sekali."Bunda jangan sedih ya, kami pasti akan doakan nenek supaya cepat sembuh.""Iya, sayang."Lama aku berpikir. Apa yang harus kulakukan? Apa aku kirim uang saja untuk berobat ibu? Jadi aku gak perlu pulang?'Mbak, apa mbak gak bisa pulang? Ibu sangat rindu sama mbak. Sekarang ibu sedang sakit mbak, udah
"Tapi, Nak--""Bunda, ayo! Mumpung ada om baik," celetuk Daffi seraya menarik tanganku.Mas Denny hanya tersenyum melihat tingkah anak-anakku."Pak Wid, kita anterin teman saya dulu ya," titah Mas Denny pada sopirnya."Baik, Mas. Kita mau kemana ya, Mbak?""Desa Siayuh, Pak.""Mas, desa itu jauh sekali dari sini, bisa-bisa kita kemalaman disana.""Tidak apa-apa, Pak. Saya masih punya banyak waktu luang," jawab Mas Denny dengan tenang.Pak sopir mengangguk dan mulai menjalankan setir bundar itu. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, bersiap menuju kampung halamanku.Kampung halamanku memang sangat jauh dari kota, mungkin bisa dikatakan desa terpencil. Butuh waktu enam jam perjalanan agar bisa sampai disana. Kondisi jalan tidak beraspal dan penuh dengan batu. Desaku sangatlah berbeda, tak seperti di kota yang semuanya serba
Deg! Jantungku berdetak dengan cepat. Firasat seorang ibu memang tak pernah salah. Apakah harus kukatakan semua tentang Mas Haikal? Tapi aku takut badan ibu makin drop. Aku memandang ke arah bapak."Ibu, ibu coba ibu lihat, ini anak-anak Mila, cucu kita. Lucu-lucu kan mereka?" Bapak mendekat sembari menggandeng si kembar."Nah, Daffa-Daffi ini nenek. Beri salam pada nenek," sergah bapak.Si kembarku mencium punggung tangan neneknya. "Assalamualaikum, Nek."Ibu tersenyum sembari mengangguk lemah. "Waalaikum salam.""Ini yang digendongan Wulan juga cucu dan ibu lho!""Boleh ibu menggendongnya?" tanya ibu dengan lirih. Ibu bangkit dari tidurnya dan duduk.Wulan mendekat, dia menyerahkan Alina pada ibu. Ibu tersenyum. Meskipun tangannya gemetaran, ibu tampak antusias memangku cucunya."Alina cucu nenek, cantik sekali kamu, Nak," puji Ibu sambi