공유

Bab 4

작가: RENA ARIANA
last update 최신 업데이트: 2021-09-15 23:42:18

POV Vina

Selama di danau Mas Anton terus melamun. Entah, mungkin dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Kasihan juga melihatnya seperti ini. Tapi bagaimana lagi? Aku juga sedikit kesal dan kecewa. Mau tidak mau harus tetap kujalani karena sudah menjadi pilihan. Rasanya menjadi aku kali ini itu, nano-nano. Tapi lebih banyak kesalnya. Bagaimana tidak seperti itu? Aku berharap hidup enak menikahi bosku. Malah jadi seperti ini. Siapa sangka juga Rani yang lembut bisa berubah seperti singa yang garang hendak menerkam.

Sekarang begini, normal bukan aku mencintai bosku? Mas Anton tampan! Kaya! Dia juga perhatian. Jadi wajar aku menaruh hati padanya. Mana aku tahu kalau ternyata tidak bisa menyimpan perasaan cintaku padanya. Justru setelah dia membalas perhatianku, aku mulai agresif. Aku juga yang mulai mengirim pesan untuknya. Sekedar say hello. Hubungan itu berlanjut setelah Mas Anton membalas pesanku. Semakin lama, aku semakin merasa nyaman. Dari pesan biasa menjadi pesan yang sedikit berbeda. Sekedar mengingatkan mandi, dan makan.

Semakin lama, perasaan itu semakin dalam. Mas Anton mengungkapkan perasaannya. Karena aku memiliki rasa yang sama, kuterima perasaan dia tanpa memikirkan Rani. Mungkin saja aku bisa menyingkirkan Rani. 

Tapi, kenyataannya malah seperti ini. Apa-apaan masa Mas Anton tidak memiliki apapun? Benci deh aku! Kesaaallll… Boddoh banget sih jadi suami! Kalau aku tetap akan berusaha dan memperjuangkan hak Mas Anton. Rani tidak bisa seenaknya begitu. Lagi pula, aku juga berhak atas separuh uang Mas Anton. Bukankah itu modal berdua? Padahal awalnya aku mengira Mas Anton yang kaya orang Mas Anton yang menghandle semuanya. Bahkan, aku juga sering kecipratan bonusnya disaat yang lain tidak mendapat.

"Mas, bukannya kamu pegang kartu ATM? Gesek saja uangnya, Mas. Ah cerdas 'kan aku. Tidak masalah kalau Rani menyuruh kita keluar dari rumah. Kita bawa saja uangnya untuk modal." Akhirnya, aku mendapatkan ide brilian. Mas Anton menatapku. Lalu tersenyum.

"Betul juga ucapan kamu, Sayang!" balasnya.

"Ayo, jangan tunggu lama. Kita pergi ke ATM sekarang," ajak Mas Anton. Dengan sigap kami bergegas menaiki motor, dan aku pun tersenyum penuh kemenangan. 'Sukurin kamu, Rani.'



Gerimis rintik-rintik mulai menyapa. Kami tetap melanjutkan perjalanan menuju ATM terdekat. Ternyata, ada 4 kartu ATM di dompet suamiku. Jelas aku tahu, karena Mas Anton menyerahkan dompetnya padaku. Setelah mengambil uang cash untuk pegangan, selebihnya akan ditransfer ke nomor rekening-ku. Memiliki uang banyak, "Yeeeeeeee!" Aku berteriak senang dalam hati. Gemas sekali rasanya. Memang hidupku ini paling beruntung. Sudah dapat suami, tampan, penyayang, banyak uang pula. Oh indahnya hidupku ini. Aku yakin pasti tetangga di kampung yang suka menghina akan mulai memuji-muji aku. Emang dasar, kebanyakan orang dihargai dari seberapa banyak uangnya. 

"Sudah sampai, Sayang. Turun," suruh Mas Anton. Aku mengangguk dan penuh senyum. Ternyata kami sudah Sampai di galeri ATM terdekat. Tak perlu jauh-jauh mencari satu-satu ATM. 

"Yesss … YESS … yes … duit, duit, duit," girangku dalam hati. Maklum saja, aku tidak pernah memiliki uang banyak. Sehingga, pilihanku menikah dengan Mas Anton memang tepat. Jika aku menikah dengan Tono, dia hanya bekerja sebagai tukang bangunan. Mana cukup untukku? Yang ada aku harus membantunya cari uang. Ya, meski kata Ibu, gaji Tono besar walaupun tukang bangunan. Tapi aku menginginkan suami yang sedikit berbeda. 

"Sayang, bengong? Kamu ambil di link  BRI dan BCA," ucapnya seraya membisikan nomor PIN-nya. Sedangkan Mas Anton BNI dan Mandiri. Memang benar, pemilik toko memiliki semua rekening. Gemetar tanganku kala mulai mengetik-kan nomor PIN-nya. 

Panik!

Itu yang terjadi ketika tiga kali ada tulisan tidak dapat melakukan transaksi kenapa ini. Masih penasaran, kucoba sekali lagi.

"Sialan! Disable!" Tak gentar aku melakukan transaksi di link BCA. "Kartu anda sementara tidak dapat dipergunakan." 

"Ya Robby, nggak bisa juga!" gerutuku. Apa mungkin Ranimprot itu telah mengganti nomor PIN-nya? Kalau iya, kelewatan itu namanya. Tidak bisa tinggal diam ini. Kesal aku pun menghampiri Mas Anton. 

"Nih! ATM-nya tidak bisa!" sungutku seraya memanyunkan bibir. Wajah Mas Anton terlihat lusuh. Jangan bilang kalau dia juga tidak bisa mengambil uang.

"Kamu gimana, Mas?" ketusku.

"Sama, Vin. Tidak bisa juga. Kartu ATM-nya di blokir.

"Ya Allah, Ya Robby, Mas. Terus gimana dong? Gagal lagi. Mudah-mudahan aja Rani hanya menggertak. Ya sudah kita pulang aja yuk, Mas," ajakku. Sia-sia banget aku. Masa iya si, kehidupanku setelah menikah justru seperti ini?

"Ayok," ucap Mas Anton. Kami melangkah dengan malas untuk naik ke atas motor pun rasanya tak bertenaga. Pusing, itu yang terasa di kepala saat ini.

Gerimis kali ini seakan menambah kesedihanku. Selama di atas motor kami saling terdiam. Ternyata tidak semua perempuan itu lemah dan mau menerima. Kakak-ku juga merebut suami orang. Tapi yang terlantar justru istri pertamanya. Kakak- ku lah pemenangnya. Hidupnya juga bahagia. Ya, meski sekarang dia tengah merasakan suaminya seakan kembali mengulang perselingkuhannya. Tapi tetap saja suaminya itu fokus pada Kakak-ku dan anaknya. Keluarga mereka juga terlihat tenang. Tapi aku tidak tahu bagaimana di dalamnya. Nanti akan kucoba korek informasi terbarunya.

****

Tepat pukul delapan malam, kami tiba di rumah. Mas Anton memarkirkan motornya di halaman. Sedangkan aku menunggunya di depan pintu. Mau masuk duluan tapi ada rasa sedikit enggan. 

"Masuklah! Kenapa berdiri aja disitu?" 

"Aku nunggu kamu, Mas."

"Memang istri kesayangan," pujinya seakan membuat diriku ingin terbang. Hanya saja yang disayangkan Mas Anton kini tak ber-uang. Entah bagaimana ke depannya nanti. 

Beberapa kali Mas Anton menekan bel. Namun, Rani tak kunjung membukakan pintu. Sampai akhirnya ia mengetuk dan berteriak, Rani masih juga tak membuka pintu. Mustahil kalau dia tidak mendengarnya.

"Dobrak saja, Mas!" Aku sengaja mengomporinya.

"Rani!!!!!" teriak Mas Anton. 

"Kalau sampai kamu tidak membuka pintu, maka pintunya aku dobrak!" berangnya penuh emosi.

"Rani!!!! Buka!" bentak Mas Anton. Suaranya mulai terdengar serak. Sedangkan pintu iya tendang menggunakan kakinya.

"Tidak malu bikin kegaduhan di rumah orang?" ucap Rani tenang setelah membuka pintu. 

"Sini kamu!" Mas Anton menyeret tangan Rani. 

"Lepasin! Aku bisa jalan sendiri! Jijik tahu dipegang-pegang sama kamu! Najis!" Mulut perempuan ini ingin sekali rasanya kukeruwes.

"Halah! perempuan mandul saja sombong kamu!" maki Mas Anton seraya menjatuhkan tubuh Rani di sofa. 

Gelegar!

Bagaikan petir menyambar. Menohok sekali kata-kata Mas Anton. Mampus kamu, Rani ….

"Sadar! Buka mata! Masih mending aku tidak menceraikan kamu! Kamu itu mandul! Mana ada laki-laki yang mau nikah sama kamu!" cemooh Mas Anton. 

"Kalau kata orang Jawa, kamu itu ligar! Tidak ada yang mau. Sudah tampang pas-pasan! Tidak bisa kasih anak pula! Bersyukur aku mau nikah sama kamu!" 

Jlep! 

'Sakitnya tuh disini, Rani! Teruskan makianmu, Mas. Serang mental Rani.'

Rani masih terlihat tenang. Lalu, ia mengambil tisu basah di meja. Menggunakannya untuk mengelap tangan yang sudah dicengkram oleh Mas Anton. 

"Orang yang sakit hati itu, hanya bisa memaki. Kasihan," ucap Rani menyeringai sinis. Seolah merendahkan kami. Ia bangun dari tempat duduknya dan hendak beranjak. Namun, Mas Anton kembali menarik tangannya hingga ia kembali terduduk. 

"Mau apalagi kamu, Mas? Oh iya lupa. Kamu tolong tidur di kamar pembantu kalau memang tidak mau keluar dari rumah ini. Dan kamu, Vina! Aku tidak menggratiskan rumah ini. Kalau kamu mau tinggal di sini juga, silahkan menjadi pembantu di sini. Atau, kamu membayar saja?" Mataku membulat mendengar ucapannya. Gila perempuan ini. Sepertinya dia sudah sakit jiwa.

Plak!

Mas Anton menampar pipi Rani. 

"Hargai aku sebagai suamimu!" bentak Mas Anton. Lagi-lagi Rani hanya tersenyum sinis.

"Minta dihargai tapi tidak mau menghargai! Dasar egois!" balas Rani. 

"Kalau kamu tidak bisa menjaga adab dan etika kamu disini, pintu rumah ini terbuka lebar untuk kalian. Silahkan keluar!" tunjuk Rani ke arah pintu. 

"Sebentar," lanjutannya. Rani beranjak. Aku dan Mas Anton saling berpandangan.

Tak lama, dia kembali lagi dengan sebuah koper hitam.

"Ini baju kalian sudah aku siapkan. Silahkan kalau mau keluar. Seharusnya, aku tidak memberikanmu pakaian ini juga, Mas. Karena pakaian ini 'kan hasil kerja kita berdua. Sedangkan sekarang, kamu sudah menikah lagi. Harusnya kamu menggunakan pakaian hasil kerja kalian berdua!" ucap Rani membuatku terbelalak. 

Benar-benar, separah inikah isi otak Kakak maduku? Perhitungan sekali. Mas Anton bangundari duduk-nya. Mungkin hendak meninggalkan rumah ini. Namun, dengan sigap aku menggenggam erat tangannya. Memberi kode jangan gegabah dulu. Sebab, tidak ikhlas rasanya pergi dari rumah ini tanpa hak yang seharusnya didapatkan. Masih banyak jalan menuju Roma bukan? Entah, tiba-tiba saja aku memiliki ide untuk menghabisinya. Tak tahu, apakah Mas Anton akan setuju dengan rencanaku?

"Oke, kalau kalian tidak mau keluar dari rumah ini, silahkan tidur di kamar pembantu. Kalau begitu, selamat menyusun rencana jahat kalian. Semoga berhasil. Manusia seperti kalian pasti picik! Dan aku suka melawan orang picik! Terutama kamu, Vina!" ucap Rani seolah dapat mengerti apa yang ada di pikiranku. 

Seperginya Rani, aku mengajak Mas Anton pergi ke kamar. "Begini amat ya, Mas!" keluhku. 

"Sabar," lirih Mas Anton seraya merangkul pundakku. Jujur saja, rasanya hari ini hatiku teramat sedih. 

Kurang sempurna rasanya kalau bisa mendapatkan orangnya tapi tidak dengan hartanya. Ada rasa tidak ikhlas. 

"Mas, kamu kasarin aja si Rani itu. Kamu 'kan laki-laki. Pasti tenagamu lebih kuat daripada Rani. Paksa saja, Mas! Bikin dia itu nurut sama kamu." 

Mas Anton tak menimpali ucapanku. Dia sibuk mendiam sampai masuk ke kamar yang super sempit. Mana panas! Tidak ada kipas angin pula. Apes banget sih! Rasanya hari ini aku ingin menelan manusia hidup-hidup. 

Tertanda

Vina pelakor gagal yang sedang berusaha.

******

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • DIBUAT BANGKRUT ISTRI   Ending

    POV YUDHASampai di kamar, aku coba untuk kembali menghubungi Cintia. Tak menyerah! Sampai teleponku mendapat jawaban aku terus berusaha menghubunginya."Halo." Tiba-tiba terdengar suara seraknya. Sepertinya dia baru bangun tidur."Halo, kamu dimana? Kenapa bikin aku khawatir?" tanyaku dengan nada suara terdengar panik."Maaf, Mas. Aku hanya ingin menenangkan diri. Aku ada di hotel bersama Afi," jawab Cintia."Hotel mana? Aku jemput yah sekarang. Aku udah dapat rumahnya. Kita pindah. Aku bukan lagi kontrak rumah, tapi aku beli rumah untuk kamu. Untuk kita. Rumah yang sudah lengkap dengan isinya. Pasti kamu suka. Maafin aku ya kemarin sempat marah sama kam

  • DIBUAT BANGKRUT ISTRI   Bab 61

    Sampai di cafe terdekat, aku langsung mengambil meja paling pojok. Setelah itu pelayan datang menghampiri. Langsung aku pun memesan makanan. "Afi mau pesan apa?""Nasi goreng daging dengan telur ceplok setengah matang, Ma. Sama pesan lemon tea," ucapnya."Mbak pesan itu aja dua. Sedang ya jangan terlalu pedas," ujarku pada Pelayan. Mbak Pelayan itu pun mengangguk dan segera beranjak.Sungguh, dalam keadaan seperti ini, aku kembali teringat dengan Mas Reno. Aku kira hatiku sudah mampu menerima Yudha seutuhnya, tapi ternyata tidak. Laki-laku itu sama sekali belum sepenuhnya memenangkan hatiku. Dan yah, mungkin aku menikahinya karena atas dasar rasa kasihan melihat perjuangannya. Atau aku mau menikah dengannya karena Afi? Afi menganggap Yudha Ayahnya.

  • DIBUAT BANGKRUT ISTRI   Bab 60

    Pov Rani"Bang aku kok gak bisa tidur ya? Kepikiran nasib Vina," lirihku karena mataku masih terjaga. Bang Roel langsung mengusap rambutku dengan lembut dan mencium pucuk kepalaku."Iya. Abang juga kasihan. Doakan saja yang terbaik. Apa kita coba tengok ke kampung halamannya?""Ide bagus tuh, Bang. Tapi anak-anak kasihan kalau harus dibawa pergi jauh. Pasti mereka kecapekan, Bang," ujarku."Iya juga sih. Besok Abang bicarakan dengan Yudha," ujarnya."Dia lagi malam pertama pasti, Bang.""Abang juga mau malam pertama kita diulang. Boleh?" ijinnya sembari menatap dalam mataku.

  • DIBUAT BANGKRUT ISTRI   Bab 59

    POV RANIMalam ini seperti biasa kami berkumpul di ruang tamu. Hujan sedari siang tadi masih belum berhenti. Justru semakin deras. Sudah pukul delapan malam Yudha belum juga pulang. Begitupun dengan Dita. Ponsel mereka tidak aktif sama sekali. Kemana mereka pergi.Ting … nong ….!Terdengar suara bel berbunyi. Segera ART kami berlari membukakan pintu. Mungkin Yudha dan Dita."Assalamualaikum!" ucap Dita."Walaikumsalam!" jawab kami serempak. Segera adik Iparku itu berjalan menghampiri kami."Baru pulang?" tanyaku."Ya, Mbak. Tadi aku mampir dulu di restoran makan. Hujannya bikin male

  • DIBUAT BANGKRUT ISTRI   Bab 58

    POV CINTIA"Jangan melamun, Nak. Apa yang kamu pikirkan? Kenapa seperti hilang konsentrasi?" sapa Ibu mertua saat aku tengah membuat sarapan pagi ini. Aku tersenyum pada mertuaku sambil menggenggam tangannya."Tidak ada, Bu. Setelah berpikir semalaman, memang ada baiknya aku mencoba membuka diri untuk menerima Mas Yudha," ujarku lirih. Tak kusangka ku lontarkan juga kata-kata ini."Alhamdulillah. Memang sebaiknya begitu. Terlebih Afi pun sudah sangat dekat dengan Yudha," ucap Ibu. 'Bukan hanya dekat, Bu. Tapi Afi bilang sosok Ayahnya ada pada Yudha. Aku tidak boleh egois. Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat Yudha bisa bersama orang lain, lantas bagaimana dengan Afi. Aku tidak mau itu kembali terjadi."Iya, Bu," ucapku coba tersenyum sambil membawa nasi go

  • DIBUAT BANGKRUT ISTRI   Bab 57

    POV RANIHari terus berlalu seiring berjalannya waktu. Setelah beberapa bulan ini, sejak bertemu dengan Vina, aku tidak pernah lagi mendengar kabar tentangnya. Terakhir dia mengabari sudah berada di kampung dan sampai saat ini tidak pernah lagi memberi kabar. Nomor yang digunakan untuk menghubungiku juga sudah tidak pernah aktif lagi. Pernah aku coba hubungi untuk menanyakan kabarnya, tapi tidak bisa. Apapun itu, semoga saja keadaan Vina membaik. Diangkat segala penyakitnya supaya bisa menjalani hidup dengan baik.Dalam beberapa bulan ini banyak yang terjadi. Sekarang Damar dan Wulan sudah berusia 7 bulan. Keduanya tumbuh sehat. Mereka sudah bisa mengucapkan kata mama atau papa, juga sudah mulai bisa tengkurap, dan bahkan berguling untuk berpindah dari satu sisi tempat tidur ke sisi lainnya. Pokoknya aku dan Bang Roel benar-benar tidak mau melewati masa lucu

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status