Share

15. Apa katamu barusan?

ā€œEsaā€¦!ā€ panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap.

ā€œApa?ā€

ā€œKamu mau taruh anak-anak di mana?ā€

ā€œDi kamarku.ā€

ā€œKamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?ā€

Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama.

ā€œHei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?ā€

Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. ā€œAku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?ā€

ā€œKasurku tidak muat buat lima anak.ā€

ā€œYa sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.ā€

ā€œKenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai grab tadi?ā€

ā€œKamu nggak lihat supirnya KEPO begitu?ā€

ā€œKalau dari awal kamu nggak berbohong bilang ini anak-anakmu semua, pak supir itu pasti nggak bakal KEPO-lah!ā€

ā€œKapan aku bilang begitu? dia yang bertanya apa ini benar anak-anakku semua dan kujawab hanya ā€˜iyaā€™, lho.ā€

ā€œIya, itu berbohong!ā€

Esa menarik napas dalam-dalam. Menggaet tanganku untuk berbicara di luar. Ia menutup pintu kamarnya dengan hati-hati sebelum terdiam sejenak dengan tatapan menusuk.

ā€œDengar, kalau seandainya tadi kubilang tidak, apa supir itu akan berhenti bertanya? Lagi pula, apa pentingnya orang lain tahu tentang privasiku? tapi lebih penting dari itu, ini tentang di mana anak-anak harus tidur sekarang.ā€

Suasananya jadi mendadak kelu hanya karena supir asing yang tanpa tahu dimana itu sekarang tengah membuat kami bersitegang. Kurasakan genggaman Esa pada pergelangan tanganku mengeras dan aku berusaha melepaskan itu. Ia tercenung dalam diam.

ā€œLagi pula kenapa kamu nggak punya kasur, sih? katamu gajimu cukup untuk membeli mobil setiap bulan. Itu juga berbohong?ā€ tanyaku memprotes sengit. Ia seolah menjadi orang yang kehilangan arah hidupnya untuk beberapa saat.

ā€œKapan aku pernah berbohong sama kamu? Lagi pula, harus banget ya kita berkelahi karena kasur sekarang?ā€

ā€œLah, itu memang yang jadi perkaranya, bukan? anak-anak butuh kasur katamu!ā€

ā€œJadi kamu menyuruhku beli kasur malam-malam begini?ā€

ā€œAku menyuruhmu untuk mengembalikan mereka semua ke orang tuanya masing-masing. Apa susahnya, sih? kita tinggal membangunkan mereka pelan-pelan. Kenapa harus berbelit-belit begini?!ā€

Esa terdiam. Ketegangan diantara kami pun perlahan mengendur namun syarat akan kekecewaan. Terutama dia. Dia terlihat paling kecewa denganku.

ā€œNenek dan Kakeknya Ajeng bisa kutelfon sebentar lagi untuk menjemput Ajeng. Rico dan Nana tidak bisa kupulangkan karena ayahnya sekarang sedang berada di luar daerah. Sedangkan Tato dan Toto memang tidak akan kubiarkan pulang karena rumahnya pasti dikunci. Aku tidak mau mereka tidur di luar lagi. Sama saja membiarkan mereka merasakan lebih buruk dari ini.ā€

Aku megkerutkan alis, bingung. ā€œKenapa rumahnya dikunci?ā€ Membuatnya menarik napas beratā€”bersiap menghembuskan cerita.

ā€œBapaknya membawa kunci rumah ke mana-mana sedangkan setiap malam kerjaannya mabuk-mabukkan dan main perempuan. Kamu belum tahu? Dua bocah ini bahkan dibiarkan kelaparan dalam rumah yang sengaja dikunci sampai dua harian. Tergantung kapan Bapaknya pulang.ā€

Aku terkejut bukan main. Ada rasa nyeri di bawah perut sementara Jari-jariku mendadak tidak bisa dipakai menggenggam setelah mendengar penjelasan itu. Sekilas, pernyataan yang Tato dan Toto lontarkan saat pertemuan pertama kami dengan tawa candaan khas bocah tujuh tahun tentang ayahnya yang gemar main perempuan itu berdengung hebat di telingaku.

 ā€œKamu bisa bayangkan bagaimana kalau terjadi kebakaran atau tiba-tiba gempa sedangkan mereka ada di dalam rumah dalam keadaan terkunci? Mereka bisa tahan tidak makan berhari-hari lho, di usia segini. Bayangkan kalauā€”ā€

ā€œStop!ā€ sergahku cepat. Tanganku tanpa sengaja menyentuh dadanya karena jarak kami terlalu dekat. Mencoba mengatur napas agar bayang-bayang mengerikan itu tidak berkembang liar di dalam kepalaku.

ā€œCukup dulu, Esa,ā€ ujarku gemetaran. Tak mampu menghentikan rasa ngilu di dada. ā€œKita harus berpikir dengan jernih.ā€

Air mataku menitik saat kutahan dengan jari. Kepalaku menempel telak di dada lawan sementara bajunya kutarik erat untuk menyembunyikan wajahku. Tak lama ia mendekat lalu mendekapku dengan prihatin. Kurasakan dagunya menempel di kepalaku dan kami berpelukan sebentar. Ia membantuku mengelap air mata dengan wajah pilu setengah frustasi.

ā€œKita pindahkan anak-anak ke kamarku sekarang, nanti posisinya bisa diatur.ā€

Kedipan lambat serta anggukan lembut itu telah mengabulkan permintaanku dalam beberapa menit. Tiga kesatria cilik ditempatkan pada kasur sementara dua gadis manis di tempatkan pada matras di atas lantai yang dialasi selimut tebal. Mereka masih mendengkur pulas dan nampaknya akan terus berlanjut sampai fajar tiba.

ā€œIbunya bayi kembar ini di mana? sudah meninggal juga?ā€ tanyaku pada Esa saat sibuk memperbaiki posisi kepala mereka pada bantal yang cukup panjang dipakai berdua.

ā€œHm. Meninggalkan negeri untuk jadi TKW di Arab Saudi.ā€

ā€œBeliau nggak pernah menengok anaknya?ā€

ā€œTidak tahu. Aku belum lama kenal the twins,ā€ ujarnya, memberikan sebutan untuk Tato dan Toto.

ā€œKalau Ajeng?ā€

ā€œSama.ā€ Aku mengoperkan bantal serupa kepadanya dan ia mengangkat kepala gadis mungil itu dengan hati-hati.

ā€œBaru sekitar kurang dari sebulan yang lalu. Ia ingin ikut bermain di sini karena gemas melihat Nana yang kubawa ke pasar saat itu.ā€

ā€œDia nggak sekolah?ā€

Esa mengusap helai rambutnya yang menutupi mata. Tersenyum hangat sebelum mengambil napas berat.

ā€œSudah berhenti.ā€

ā€œKenapa?ā€ tanyaku sembari beranjak membuka lemari. Mengeluarkan stok selimut yang dari dulu jarang kupakai.

ā€œKarena dia nggak punya teman di sekolah. Kata Neneknya, semenjak ayahnya meninggal dunia, dia setiap pagi selalu menjerit-jerit minta ikut Kakek-Neneknya ke pasar dan berubah menjadi anak penakut.ā€

ā€œDia trauma ditinggal pergi?ā€ tanyaku, membuatnya menoleh. Aku pun teringat sesuatu.

ā€œPantas saja. Kamu tahu, tadi saat Toto tiba-tiba muntah di ujung lapangan dia lari ke arahku sambil berteriak bilang apa?ā€

ā€œApa?ā€

ā€œMamaā€¦!ā€

ā€œOh, ya?ā€

ā€œIya. Tapi kayaknya itu hanya ilusi pendengaran karena sebelumnya aku bilang sama Nana begini, ā€˜maafin mama, ya,ā€™ sambil elus kepalanya karena dia nangis kulepas buat duduk di atas rumput.ā€

Esa mendengus melepas senyuman mencelos. Menatap kembali duo gadis mungil yang sepertinya dimabuk bunga tidur itu.

ā€œDari kejauhan dia sudah panggil, ā€˜Mamaā€¦! Mamaā€¦!ā€™ terus dia tunjuk Toto di ujung lapangan dengan muka panik. ā€˜Toto muntah!ā€™ katanya. Terus aku lari tergupuh-gupuh ke sana,ā€ ceritaku yang sebenarnya masih dalam mode bahagia karena di panggil Mama.

ā€œAku jelas panik saat itu, tapi kalau dipikir-pikir lucu juga. Saat satu diantaranya muntah, semuanya ikut muntah. Untung saja Nana nggak punya inisiatif yang sama,ā€ kataku sambil cengengesan. Esa pun ikut terkekeh kecil demi menanggapi cerita receh hari ini. Setelah itu ia menggapai selimut yang kuberikan untuk dibentangkan di atas mereka. Menoleh bingung sesaat padaku.

ā€œSekarang kamu mau tidur di mana?ā€ tanyanya sebelum melanjutkan pekerjaan selanjutnya: memasangkan kaus kaki. Menggeser mereka pelan-pelan agar lebih dempet dan hangat. Aku duduk lemas di sebelahnya. Menepuk permukaan selimut yang tebal.

ā€œDi sini saja. Nanti posisiku miring biar muat.ā€

Esa meregangkan pundak. Melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku.

ā€œKalau mau, kamu bisa tidur di kamarku saja. Aku tidak pakai.ā€

ā€œKenapa?ā€

ā€œAku biasa tidak tidur malam.ā€

Dahiku mengkerut. Apa lagi ini? batinku berbicara risau. Menopang pipi ditangan untuk memperhatikannya dengan seksama.

ā€œSebenarnya kamu itu apa, sih, Esa? Kenapa kamu punya banyak sekali rahasia?ā€

ā€œMaksudmu?ā€

Ia benar tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu? Aku memposisikan diri lebih dekat untuk melipat jari-jemari satu per satu di depannya.

ā€œPertama, kamu punya amnesia yang tidak biasa sampai lupa identitas sendiri dan keluarga. Kedua, kamu punya gaji tapi ngekos di tempat sewa enam ratus ribu per bulan. Ketiga, kamu adalah seorang hacker yang rela menampung anak-anak asing untuk diasuh, lho, dan sekarang apa lagi? Kamu menawariku kamar karena biasa tidak tidur malam?ā€ tanyaku heran dengan alis bertaut. Ia pun membalas tatapanku dengan datar tapi cukup membuat getir. Aku berkedip gugup.

ā€œTidak, terima kasih. Para tetangga pasti sudah melihat kita misuh-misuh tidak jelas dari tadi dan mungkin sekarang sedang sibuk menulis artikel untuk dimuat dikabar berita besok pagi. Aku tidak mau menambah masalah lagi.ā€

Esa tak lain hanya memberikan respon tertawa sebelum menyisakan hening begitu lama. Saat kulengah, ia bertanya begini, ā€œkamu mau menikah denganku, Noumi?ā€ yang sontak membuatku hampir terkena serangan jantung di tempat.

ā€œApa katamu?!ā€

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status