āEsaā¦!ā panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap.
āApa?ā
āKamu mau taruh anak-anak di mana?ā
āDi kamarku.ā
āKamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?ā
Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama.
āHei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?ā
Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. āAku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?ā
āKasurku tidak muat buat lima anak.ā
āYa sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.ā
āKenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai grab tadi?ā
āKamu nggak lihat supirnya KEPO begitu?ā
āKalau dari awal kamu nggak berbohong bilang ini anak-anakmu semua, pak supir itu pasti nggak bakal KEPO-lah!ā
āKapan aku bilang begitu? dia yang bertanya apa ini benar anak-anakku semua dan kujawab hanya āiyaā, lho.ā
āIya, itu berbohong!ā
Esa menarik napas dalam-dalam. Menggaet tanganku untuk berbicara di luar. Ia menutup pintu kamarnya dengan hati-hati sebelum terdiam sejenak dengan tatapan menusuk.
āDengar, kalau seandainya tadi kubilang tidak, apa supir itu akan berhenti bertanya? Lagi pula, apa pentingnya orang lain tahu tentang privasiku? tapi lebih penting dari itu, ini tentang di mana anak-anak harus tidur sekarang.ā
Suasananya jadi mendadak kelu hanya karena supir asing yang tanpa tahu dimana itu sekarang tengah membuat kami bersitegang. Kurasakan genggaman Esa pada pergelangan tanganku mengeras dan aku berusaha melepaskan itu. Ia tercenung dalam diam.
āLagi pula kenapa kamu nggak punya kasur, sih? katamu gajimu cukup untuk membeli mobil setiap bulan. Itu juga berbohong?ā tanyaku memprotes sengit. Ia seolah menjadi orang yang kehilangan arah hidupnya untuk beberapa saat.
āKapan aku pernah berbohong sama kamu? Lagi pula, harus banget ya kita berkelahi karena kasur sekarang?ā
āLah, itu memang yang jadi perkaranya, bukan? anak-anak butuh kasur katamu!ā
āJadi kamu menyuruhku beli kasur malam-malam begini?ā
āAku menyuruhmu untuk mengembalikan mereka semua ke orang tuanya masing-masing. Apa susahnya, sih? kita tinggal membangunkan mereka pelan-pelan. Kenapa harus berbelit-belit begini?!ā
Esa terdiam. Ketegangan diantara kami pun perlahan mengendur namun syarat akan kekecewaan. Terutama dia. Dia terlihat paling kecewa denganku.
āNenek dan Kakeknya Ajeng bisa kutelfon sebentar lagi untuk menjemput Ajeng. Rico dan Nana tidak bisa kupulangkan karena ayahnya sekarang sedang berada di luar daerah. Sedangkan Tato dan Toto memang tidak akan kubiarkan pulang karena rumahnya pasti dikunci. Aku tidak mau mereka tidur di luar lagi. Sama saja membiarkan mereka merasakan lebih buruk dari ini.ā
Aku megkerutkan alis, bingung. āKenapa rumahnya dikunci?ā Membuatnya menarik napas beratābersiap menghembuskan cerita.
āBapaknya membawa kunci rumah ke mana-mana sedangkan setiap malam kerjaannya mabuk-mabukkan dan main perempuan. Kamu belum tahu? Dua bocah ini bahkan dibiarkan kelaparan dalam rumah yang sengaja dikunci sampai dua harian. Tergantung kapan Bapaknya pulang.ā
Aku terkejut bukan main. Ada rasa nyeri di bawah perut sementara Jari-jariku mendadak tidak bisa dipakai menggenggam setelah mendengar penjelasan itu. Sekilas, pernyataan yang Tato dan Toto lontarkan saat pertemuan pertama kami dengan tawa candaan khas bocah tujuh tahun tentang ayahnya yang gemar main perempuan itu berdengung hebat di telingaku.
āKamu bisa bayangkan bagaimana kalau terjadi kebakaran atau tiba-tiba gempa sedangkan mereka ada di dalam rumah dalam keadaan terkunci? Mereka bisa tahan tidak makan berhari-hari lho, di usia segini. Bayangkan kalauāā
āStop!ā sergahku cepat. Tanganku tanpa sengaja menyentuh dadanya karena jarak kami terlalu dekat. Mencoba mengatur napas agar bayang-bayang mengerikan itu tidak berkembang liar di dalam kepalaku.
āCukup dulu, Esa,ā ujarku gemetaran. Tak mampu menghentikan rasa ngilu di dada. āKita harus berpikir dengan jernih.ā
Air mataku menitik saat kutahan dengan jari. Kepalaku menempel telak di dada lawan sementara bajunya kutarik erat untuk menyembunyikan wajahku. Tak lama ia mendekat lalu mendekapku dengan prihatin. Kurasakan dagunya menempel di kepalaku dan kami berpelukan sebentar. Ia membantuku mengelap air mata dengan wajah pilu setengah frustasi.
āKita pindahkan anak-anak ke kamarku sekarang, nanti posisinya bisa diatur.ā
Kedipan lambat serta anggukan lembut itu telah mengabulkan permintaanku dalam beberapa menit. Tiga kesatria cilik ditempatkan pada kasur sementara dua gadis manis di tempatkan pada matras di atas lantai yang dialasi selimut tebal. Mereka masih mendengkur pulas dan nampaknya akan terus berlanjut sampai fajar tiba.
āIbunya bayi kembar ini di mana? sudah meninggal juga?ā tanyaku pada Esa saat sibuk memperbaiki posisi kepala mereka pada bantal yang cukup panjang dipakai berdua.
āHm. Meninggalkan negeri untuk jadi TKW di Arab Saudi.ā
āBeliau nggak pernah menengok anaknya?ā
āTidak tahu. Aku belum lama kenal the twins,ā ujarnya, memberikan sebutan untuk Tato dan Toto.
āKalau Ajeng?ā
āSama.ā Aku mengoperkan bantal serupa kepadanya dan ia mengangkat kepala gadis mungil itu dengan hati-hati.
āBaru sekitar kurang dari sebulan yang lalu. Ia ingin ikut bermain di sini karena gemas melihat Nana yang kubawa ke pasar saat itu.ā
āDia nggak sekolah?ā
Esa mengusap helai rambutnya yang menutupi mata. Tersenyum hangat sebelum mengambil napas berat.
āSudah berhenti.ā
āKenapa?ā tanyaku sembari beranjak membuka lemari. Mengeluarkan stok selimut yang dari dulu jarang kupakai.
āKarena dia nggak punya teman di sekolah. Kata Neneknya, semenjak ayahnya meninggal dunia, dia setiap pagi selalu menjerit-jerit minta ikut Kakek-Neneknya ke pasar dan berubah menjadi anak penakut.ā
āDia trauma ditinggal pergi?ā tanyaku, membuatnya menoleh. Aku pun teringat sesuatu.
āPantas saja. Kamu tahu, tadi saat Toto tiba-tiba muntah di ujung lapangan dia lari ke arahku sambil berteriak bilang apa?ā
āApa?ā
āMamaā¦!ā
āOh, ya?ā
āIya. Tapi kayaknya itu hanya ilusi pendengaran karena sebelumnya aku bilang sama Nana begini, āmaafin mama, ya,ā sambil elus kepalanya karena dia nangis kulepas buat duduk di atas rumput.ā
Esa mendengus melepas senyuman mencelos. Menatap kembali duo gadis mungil yang sepertinya dimabuk bunga tidur itu.
āDari kejauhan dia sudah panggil, āMamaā¦! Mamaā¦!ā terus dia tunjuk Toto di ujung lapangan dengan muka panik. āToto muntah!ā katanya. Terus aku lari tergupuh-gupuh ke sana,ā ceritaku yang sebenarnya masih dalam mode bahagia karena di panggil Mama.
āAku jelas panik saat itu, tapi kalau dipikir-pikir lucu juga. Saat satu diantaranya muntah, semuanya ikut muntah. Untung saja Nana nggak punya inisiatif yang sama,ā kataku sambil cengengesan. Esa pun ikut terkekeh kecil demi menanggapi cerita receh hari ini. Setelah itu ia menggapai selimut yang kuberikan untuk dibentangkan di atas mereka. Menoleh bingung sesaat padaku.
āSekarang kamu mau tidur di mana?ā tanyanya sebelum melanjutkan pekerjaan selanjutnya: memasangkan kaus kaki. Menggeser mereka pelan-pelan agar lebih dempet dan hangat. Aku duduk lemas di sebelahnya. Menepuk permukaan selimut yang tebal.
āDi sini saja. Nanti posisiku miring biar muat.ā
Esa meregangkan pundak. Melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku.
āKalau mau, kamu bisa tidur di kamarku saja. Aku tidak pakai.ā
āKenapa?ā
āAku biasa tidak tidur malam.ā
Dahiku mengkerut. Apa lagi ini? batinku berbicara risau. Menopang pipi ditangan untuk memperhatikannya dengan seksama.
āSebenarnya kamu itu apa, sih, Esa? Kenapa kamu punya banyak sekali rahasia?ā
āMaksudmu?ā
Ia benar tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu? Aku memposisikan diri lebih dekat untuk melipat jari-jemari satu per satu di depannya.
āPertama, kamu punya amnesia yang tidak biasa sampai lupa identitas sendiri dan keluarga. Kedua, kamu punya gaji tapi ngekos di tempat sewa enam ratus ribu per bulan. Ketiga, kamu adalah seorang hacker yang rela menampung anak-anak asing untuk diasuh, lho, dan sekarang apa lagi? Kamu menawariku kamar karena biasa tidak tidur malam?ā tanyaku heran dengan alis bertaut. Ia pun membalas tatapanku dengan datar tapi cukup membuat getir. Aku berkedip gugup.
āTidak, terima kasih. Para tetangga pasti sudah melihat kita misuh-misuh tidak jelas dari tadi dan mungkin sekarang sedang sibuk menulis artikel untuk dimuat dikabar berita besok pagi. Aku tidak mau menambah masalah lagi.ā
Esa tak lain hanya memberikan respon tertawa sebelum menyisakan hening begitu lama. Saat kulengah, ia bertanya begini, ākamu mau menikah denganku, Noumi?ā yang sontak membuatku hampir terkena serangan jantung di tempat.
āApa katamu?!ā
***
Keesokkan harinya, ia mengajakku membahas perihal kontrak kerja yang akan kami sepakati bersama di sebuah cafĆ©. Seorang kasir tampan bercelemek hitam gaya barista mewakili kearifan tempat itu. Richie. Ia kali ini menyapaku dengan menyebutkan nama, bahkan tersenyum lebar seperti telah bertemu teman lama. āHai, Noumi.ā āHai,ā jawabku malu-malu sambil menunjukkan telapak tangan yang digoyangkan pelan. Ada buntut di belakang kepalanya. Entah sejak kapan surainya jadi begitu panjang. Aku hampir tidak mengenalinya tadi karena sebelumnya sempat memberitahu kalau akan ke sini sore hari. āKapan hari kami pernah bertemu di tempatku bekerja. Noumi belum cerita, ya?ā tanya Richie secara terbuka untuk memberitahukan Esa yang sepertinya sempat memperhatikan kami dengan tatapan curiga. āKamu sama temanmu waktu itu, bukan?ā Kali ini memastikannya kepadaku. Esa merespon lebih cepat. āTeman?ā lalu tanpa sengaja menuntut pembenaran dariku. āI
Isi kontraknya begitu padat dan tidak bertele-tele. Esa bahkan banyak menawarkan keuntungan padaku dengan menyediakan fasilitas maupun susunan agenda kerja yang praktis. Jam kerja hanya enam jam perhari dengan libur akhir pekan sabtu dan minggu. Kami akan mengikuti tes untuk mendapatkan lisensi psikologi anak lebih dulu sebelum mengikuti webinar dalam mempelajari bayi dari umur nol sampai sepuluh tahun. Visi perusahaannya adalah mewujudkan mimpi setiap anak di Indonesia. Misinya adalah menciptakan taman bermain yang luas dan membangun kelas mimpi yang sangat produktif. Aku belum tahu bagaimana cara hal itu akan diwujudkan namun membacanya saja sudah mampu membuat api semangatku menyala-nyala. āIni hanya garis besar yang tidak mungkin tercapai kalau effort-nya tidak besar. Aku harap kita bisa mencapai itu bersama-sama, sementara untuk saat ini kita bisa mulai melatih dan membekali diri untuk menjadi orang tua yang handal dari lima anak-a
āIni kartu namamu,ā ucap Esa saat memberikan beberapa padaku. Aku menyimpannya di dalam dompet. āHati-hati simpannya. Jangan sampai hilang.ā āIya,ā kataku sedikit jengah. Kemudian beranjak dari tempat duduk sendiri. āAku boleh ke toilet sebentar?ā āBoleh... tempatnya persis di samping bawah anak tangga itu, ya.ā āHm,ā jawabku mengangguk, kemudian dengan cepat berjalan menuju tempat itu. Akibat over dosis minuman gratis dari Richie, aku jadi kebelet pipis. Pria manis itu seenaknya memberikan minuman mahal dengan gratis beberapa kali mentang-mentang tidak dimarahi yang punya. Kalau aku yang punya cafĆ© ini, sudah kupastikan ia hanya akan menyisakan namanya di sini. āKakā¦ā āOh!ā Aku menoleh ketika merasakan seseorang menarik kemejaku dan terkejut melihat sosoknya yang polos. āSaya lupa taruh tisu di kamar mandinya tadi, mohon maaf,ā katanya sambil menyodorkan tisu gulung utuh padaku. Rautnya tidak dibuat sebagaimana semest
Manusia setampan dan sesempurna Richie ternyata punya nasib yang cukup menyedihkan. Kukira selama ini keceriaannya adalah bawaan dari lahir, tapi tak tahunya untuk menutupi ini. Untung saja ia belum kumasukkan dalam daftar list orang-orang yang kubenci. Tak lama setelah membesuk Olin, kami pun pergi ke gereja untuk mengikuti webinar psikologi anak. Esa jadi tidak banyak omong selama sesi itu. Ia hanya terfokus mengisi kolom-kolom formulir yang diberikan atas materi tentang pentingnya bermain pada anak. Bangku-bangku dibiarkan berjarak, dan aku memperhatikan para Ibu yang memangku anak-anak mereka sambil mencatat point penting yang disampaikan dengan cermat. Tidak ada kejengkelan yang dipendam atau ancaman kecil kepada anak yang sudah bisa berlarian ke sana ke mari hingga menangis nyaring kala membentur sudut meja. Orang tua mereka hanya memberitahu, menggeleng jika tidak setuju, membisikkan sesuatu kalau anaknya tidak mau diam, atau yang terak
Entah untuk mengalihkan topik atau sejenisnya, ajakan menikah dari yang kemarin-kemarin itu sudah mulai mengusik ketenanganku dimenit-menit terakhir. Saat ini kami sedang bermain dengan anak-anak. Esa menyiapkan satu kursi di tengah ruangannya. Mempersilahkan siapapun yang bersedia duduk di sana untuk menceritakan apapun yang mereka inginkan. Puzzle, Blok, rubik, buku teka-teki silang, dadu, bola karet, dan berbagai macam mainan lainnya yang sempat kami beli tadi disimpan oleh Esa sejenak. Tujuannya demi fokus kepada acara berikutnya. āTes.ā Itu suara Ajeng. Ia sudah duduk duluan di bangku tersebut. Membuat kami terkejut. Esa langsung menjalin kontak mata dengannya secara intens. āKamu yakin?ā āYakin.ā Kira-kira, begitu dialognya. āOke, Ajeng. Apa yang kamu ingin ceritakan?ā Ajeng menggeleng. Menatap ke sana ke mari sebelum menunjukkan senyum lebar kepada kami. Membuat penonton k
Hari ini kegiatan belajar mengajar selesai. Anak-anak sudah tertawa, menangis, dan belajar banyak hal melalui bermain. Perut mereka bahkan sudah cukup terisi dengan buah-buahan dan makanan bergizi sebelum diantar pulang oleh Esa seperti biasa setelah bergiliran mengecup pipi dan keningku. Suara kompak yang berkata “dadah” kepadaku sambil melambaikan tangan, perlahan pudar dikejauhan malam.Aku terpaku. Kesadaran melayang. Mendadak merasa letih disekujur tubuh. Lesu. Kupikir banyak tertawa tadi dapat membuat suasana hatiku membaik. Nyatanya tidak. Tidak sama sekali. Jadi aku berusaha mengingat hal apa saja yang berhasil membuatku tertawa, dan itu membuatku tertawa lagi. Dengan cepat kututup kamar Esa. Menaruh kunci di bawah keset welcome-nya sebelum bergegas masuk ke dalam kamarku.Aku menghempaskan diri ke atas kasur. Memijat tengkuk dan pelipis dengan satu tangan lalu membiarkan resah menganggu ketenanganku sebentar. Kubawa tidur. Tenang. Setid
āSudah pesannya?ā āHm.ā āPesan apa?ā āBurger. Lagi banyak diskon soalnya, gratis ongkir pula.ā āOh ā¦.ā Dagunya naik. Aku bisa melihat itu walau sedang ketagihan melihat tampilan menu lain yang terlihat lebih lezat dari yang kupesan tadi. āNih, ada sms penting juga masuk tadi,ā kataku. Mencoba tenang, setenang-tenangnya manusia di muka bumi ini. Ia menyodorkan minuman dingin dalam gelas panjang yang airnya berwarna caramel kepadaku. Aku menyesapnya perlahan, mencoba menyembunyikan tremorku sambil melipat kaki dengan anggun. Menunggunya mengecek sms tadi. āSempat kamu baca?ā āHm, iya.ā Dia jadi bingung mau menjawabnya bagaimana. āSebenarnya itu untukāā āPrivasi kan? maaf, ya. Soal tadi kenapa aku lihat karena notifikasinya muncul begitu saja, jadi nggak bisa dihindari.ā āAh ā¦. iya. Nggak apa-apa.ā Dia bingung sekaligus merasa aneh. Sambil menggaruk-garuk pelipis dan menyesap minuman yang warnanya lebih pekat dariku, keresahannya pun dilontarkan. āKamu nggak penasaran?ā Aku b
āSa, kita mau ke mana?ā Ada anakan tangga kecil yang letaknya cukup tersembunyi dari ruang cafĆ©. Esa mengajakku ke sana. āKe atas. Aku punya ruangan pribadi di atas.ā Persis seperti halusinasiku yang tadi. Bedanya sekarang kami tidak pakai berkelahi. Sampai di atas, sempat gelap dan menyeramkan sebelum berubah menjadi terang dan layak huni hanya karena Esa menyalakan lampunya. Nuansa dekornya minimalis seperti ruang tengah yang hanya memiliki sofa putih: meja hitam di tengahnya yang sempat ditaruh makanan tadi oleh Esa dan sebuah TV yang menempel di dinding. Lantainya dibuat dari kayu mengkilap. Di luar, setelah gordennya disingkap oleh Esa dan pintu yang terbuat dari kaca tersebut digeser olehnya, pemandangan kota terlihat lebih jelas di sana. Atap semen seluas sama dengan ruangan di dalam yang dibatasi pagar besi itu terlilit tangkai bunga mawar disepanjang relingnya. Tempat itu terbiasi cahaya bulan yang temaram juga kerlap-kerlip kota. Menghadap barat di mana hal itu bisa dija