Home / All / Dream first class / 15. Apa katamu barusan?

Share

15. Apa katamu barusan?

Author: SunšŸŒ…
last update Last Updated: 2021-09-26 00:10:17

ā€œEsa…!ā€ panggilku keras dalam nada berbisik. Ia menoleh gagap.

ā€œApa?ā€

ā€œKamu mau taruh anak-anak di mana?ā€

ā€œDi kamarku.ā€

ā€œKamu nggak antar mereka pulang dulu? Nanti dicari orang tuanya, gimana?ā€

Esa mengapit kedua belah bibir sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Menyuruhku diam sebentar sembari mengikutinya masuk ke dalam kamar. Aku pun terkejut setelah melihat ke-empat bocah tersebut dibaringkan berjajar di atas lantai yang dingin seperti ikan pindang setelah itu Esa mengambil Nana dariku untuk dibaringkan di tempat yang sama.

ā€œHei, kamu mau biarkan mereka semua tidur tanpa alas begini?ā€

Esa melongo. Gusar melanda mentalnya. ā€œAku tidak punya kasur. Kamu nggak keberatan kalau mereka malam ini tidur di kamarmu semua?ā€

ā€œKasurku tidak muat buat lima anak.ā€

ā€œYa sudah biarkan dulu begini. Mau diantar pulang pun nggak bisa karena pada tidur semua.ā€

ā€œKenapa tidak diantar pulang dulu ke rumah masing-masing pakai grab tadi?ā€

ā€œKamu nggak lihat supirnya KEPO begitu?ā€

ā€œKalau dari awal kamu nggak berbohong bilang ini anak-anakmu semua, pak supir itu pasti nggak bakal KEPO-lah!ā€

ā€œKapan aku bilang begitu? dia yang bertanya apa ini benar anak-anakku semua dan kujawab hanya ā€˜iya’, lho.ā€

ā€œIya, itu berbohong!ā€

Esa menarik napas dalam-dalam. Menggaet tanganku untuk berbicara di luar. Ia menutup pintu kamarnya dengan hati-hati sebelum terdiam sejenak dengan tatapan menusuk.

ā€œDengar, kalau seandainya tadi kubilang tidak, apa supir itu akan berhenti bertanya? Lagi pula, apa pentingnya orang lain tahu tentang privasiku? tapi lebih penting dari itu, ini tentang di mana anak-anak harus tidur sekarang.ā€

Suasananya jadi mendadak kelu hanya karena supir asing yang tanpa tahu dimana itu sekarang tengah membuat kami bersitegang. Kurasakan genggaman Esa pada pergelangan tanganku mengeras dan aku berusaha melepaskan itu. Ia tercenung dalam diam.

ā€œLagi pula kenapa kamu nggak punya kasur, sih? katamu gajimu cukup untuk membeli mobil setiap bulan. Itu juga berbohong?ā€ tanyaku memprotes sengit. Ia seolah menjadi orang yang kehilangan arah hidupnya untuk beberapa saat.

ā€œKapan aku pernah berbohong sama kamu? Lagi pula, harus banget ya kita berkelahi karena kasur sekarang?ā€

ā€œLah, itu memang yang jadi perkaranya, bukan? anak-anak butuh kasur katamu!ā€

ā€œJadi kamu menyuruhku beli kasur malam-malam begini?ā€

ā€œAku menyuruhmu untuk mengembalikan mereka semua ke orang tuanya masing-masing. Apa susahnya, sih? kita tinggal membangunkan mereka pelan-pelan. Kenapa harus berbelit-belit begini?!ā€

Esa terdiam. Ketegangan diantara kami pun perlahan mengendur namun syarat akan kekecewaan. Terutama dia. Dia terlihat paling kecewa denganku.

ā€œNenek dan Kakeknya Ajeng bisa kutelfon sebentar lagi untuk menjemput Ajeng. Rico dan Nana tidak bisa kupulangkan karena ayahnya sekarang sedang berada di luar daerah. Sedangkan Tato dan Toto memang tidak akan kubiarkan pulang karena rumahnya pasti dikunci. Aku tidak mau mereka tidur di luar lagi. Sama saja membiarkan mereka merasakan lebih buruk dari ini.ā€

Aku megkerutkan alis, bingung. ā€œKenapa rumahnya dikunci?ā€ Membuatnya menarik napas berat—bersiap menghembuskan cerita.

ā€œBapaknya membawa kunci rumah ke mana-mana sedangkan setiap malam kerjaannya mabuk-mabukkan dan main perempuan. Kamu belum tahu? Dua bocah ini bahkan dibiarkan kelaparan dalam rumah yang sengaja dikunci sampai dua harian. Tergantung kapan Bapaknya pulang.ā€

Aku terkejut bukan main. Ada rasa nyeri di bawah perut sementara Jari-jariku mendadak tidak bisa dipakai menggenggam setelah mendengar penjelasan itu. Sekilas, pernyataan yang Tato dan Toto lontarkan saat pertemuan pertama kami dengan tawa candaan khas bocah tujuh tahun tentang ayahnya yang gemar main perempuan itu berdengung hebat di telingaku.

 ā€œKamu bisa bayangkan bagaimana kalau terjadi kebakaran atau tiba-tiba gempa sedangkan mereka ada di dalam rumah dalam keadaan terkunci? Mereka bisa tahan tidak makan berhari-hari lho, di usia segini. Bayangkan kalauā€”ā€

ā€œStop!ā€ sergahku cepat. Tanganku tanpa sengaja menyentuh dadanya karena jarak kami terlalu dekat. Mencoba mengatur napas agar bayang-bayang mengerikan itu tidak berkembang liar di dalam kepalaku.

ā€œCukup dulu, Esa,ā€ ujarku gemetaran. Tak mampu menghentikan rasa ngilu di dada. ā€œKita harus berpikir dengan jernih.ā€

Air mataku menitik saat kutahan dengan jari. Kepalaku menempel telak di dada lawan sementara bajunya kutarik erat untuk menyembunyikan wajahku. Tak lama ia mendekat lalu mendekapku dengan prihatin. Kurasakan dagunya menempel di kepalaku dan kami berpelukan sebentar. Ia membantuku mengelap air mata dengan wajah pilu setengah frustasi.

ā€œKita pindahkan anak-anak ke kamarku sekarang, nanti posisinya bisa diatur.ā€

Kedipan lambat serta anggukan lembut itu telah mengabulkan permintaanku dalam beberapa menit. Tiga kesatria cilik ditempatkan pada kasur sementara dua gadis manis di tempatkan pada matras di atas lantai yang dialasi selimut tebal. Mereka masih mendengkur pulas dan nampaknya akan terus berlanjut sampai fajar tiba.

ā€œIbunya bayi kembar ini di mana? sudah meninggal juga?ā€ tanyaku pada Esa saat sibuk memperbaiki posisi kepala mereka pada bantal yang cukup panjang dipakai berdua.

ā€œHm. Meninggalkan negeri untuk jadi TKW di Arab Saudi.ā€

ā€œBeliau nggak pernah menengok anaknya?ā€

ā€œTidak tahu. Aku belum lama kenal the twins,ā€ ujarnya, memberikan sebutan untuk Tato dan Toto.

ā€œKalau Ajeng?ā€

ā€œSama.ā€ Aku mengoperkan bantal serupa kepadanya dan ia mengangkat kepala gadis mungil itu dengan hati-hati.

ā€œBaru sekitar kurang dari sebulan yang lalu. Ia ingin ikut bermain di sini karena gemas melihat Nana yang kubawa ke pasar saat itu.ā€

ā€œDia nggak sekolah?ā€

Esa mengusap helai rambutnya yang menutupi mata. Tersenyum hangat sebelum mengambil napas berat.

ā€œSudah berhenti.ā€

ā€œKenapa?ā€ tanyaku sembari beranjak membuka lemari. Mengeluarkan stok selimut yang dari dulu jarang kupakai.

ā€œKarena dia nggak punya teman di sekolah. Kata Neneknya, semenjak ayahnya meninggal dunia, dia setiap pagi selalu menjerit-jerit minta ikut Kakek-Neneknya ke pasar dan berubah menjadi anak penakut.ā€

ā€œDia trauma ditinggal pergi?ā€ tanyaku, membuatnya menoleh. Aku pun teringat sesuatu.

ā€œPantas saja. Kamu tahu, tadi saat Toto tiba-tiba muntah di ujung lapangan dia lari ke arahku sambil berteriak bilang apa?ā€

ā€œApa?ā€

ā€œMama…!ā€

ā€œOh, ya?ā€

ā€œIya. Tapi kayaknya itu hanya ilusi pendengaran karena sebelumnya aku bilang sama Nana begini, ā€˜maafin mama, ya,’ sambil elus kepalanya karena dia nangis kulepas buat duduk di atas rumput.ā€

Esa mendengus melepas senyuman mencelos. Menatap kembali duo gadis mungil yang sepertinya dimabuk bunga tidur itu.

ā€œDari kejauhan dia sudah panggil, ā€˜Mama…! Mama…!’ terus dia tunjuk Toto di ujung lapangan dengan muka panik. ā€˜Toto muntah!’ katanya. Terus aku lari tergupuh-gupuh ke sana,ā€ ceritaku yang sebenarnya masih dalam mode bahagia karena di panggil Mama.

ā€œAku jelas panik saat itu, tapi kalau dipikir-pikir lucu juga. Saat satu diantaranya muntah, semuanya ikut muntah. Untung saja Nana nggak punya inisiatif yang sama,ā€ kataku sambil cengengesan. Esa pun ikut terkekeh kecil demi menanggapi cerita receh hari ini. Setelah itu ia menggapai selimut yang kuberikan untuk dibentangkan di atas mereka. Menoleh bingung sesaat padaku.

ā€œSekarang kamu mau tidur di mana?ā€ tanyanya sebelum melanjutkan pekerjaan selanjutnya: memasangkan kaus kaki. Menggeser mereka pelan-pelan agar lebih dempet dan hangat. Aku duduk lemas di sebelahnya. Menepuk permukaan selimut yang tebal.

ā€œDi sini saja. Nanti posisiku miring biar muat.ā€

Esa meregangkan pundak. Melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku.

ā€œKalau mau, kamu bisa tidur di kamarku saja. Aku tidak pakai.ā€

ā€œKenapa?ā€

ā€œAku biasa tidak tidur malam.ā€

Dahiku mengkerut. Apa lagi ini? batinku berbicara risau. Menopang pipi ditangan untuk memperhatikannya dengan seksama.

ā€œSebenarnya kamu itu apa, sih, Esa? Kenapa kamu punya banyak sekali rahasia?ā€

ā€œMaksudmu?ā€

Ia benar tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu? Aku memposisikan diri lebih dekat untuk melipat jari-jemari satu per satu di depannya.

ā€œPertama, kamu punya amnesia yang tidak biasa sampai lupa identitas sendiri dan keluarga. Kedua, kamu punya gaji tapi ngekos di tempat sewa enam ratus ribu per bulan. Ketiga, kamu adalah seorang hacker yang rela menampung anak-anak asing untuk diasuh, lho, dan sekarang apa lagi? Kamu menawariku kamar karena biasa tidak tidur malam?ā€ tanyaku heran dengan alis bertaut. Ia pun membalas tatapanku dengan datar tapi cukup membuat getir. Aku berkedip gugup.

ā€œTidak, terima kasih. Para tetangga pasti sudah melihat kita misuh-misuh tidak jelas dari tadi dan mungkin sekarang sedang sibuk menulis artikel untuk dimuat dikabar berita besok pagi. Aku tidak mau menambah masalah lagi.ā€

Esa tak lain hanya memberikan respon tertawa sebelum menyisakan hening begitu lama. Saat kulengah, ia bertanya begini, ā€œkamu mau menikah denganku, Noumi?ā€ yang sontak membuatku hampir terkena serangan jantung di tempat.

ā€œApa katamu?!ā€

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dream first classĀ Ā Ā 71. Sky Diving (Tamat)

    Esa mengepak pakaian seadanya. Ia memasukan baju dan celana panjangnya secara serampangan ke dalam koper. Aku yang bersandar pada kusein pintu, yang sudah siap pergi dengan berpakaian rapi dan cantik, langsung tergerak untuk mendekat, membantunya mengeluarkan baju-baju itu kembali untuk dilipat. Ia menunggu dengan sabar di sampingku sementara aku berusaha tersenyum sambil mengusap pipinya. *** Hari H menuju kematian. Bandara Nusawiru, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pukul 08.30, Esa memasangkan goggles padaku setelah dirinya selesai memakai jumpsuit. Perlengkapan untuk olahraga berbahaya ini sudah disiapkan oleh tim manajemen NSW Paracenter, namun entah mengapa ia lebih memilih untuk membeli semuanya sendiri. Dan itu tidak murah. ā€œKenapa nggak sewa aja, sih? Kan kita pakainya sekali.ā€ Esa mengancingkan helmnya dengan erat. Lalu menghela napas sambil menaruh tangan di pinggang. ā€œAku sih, sekali. Tapi apa iya kamu hanya sekali?ā€ ā€œMaksudmu aku a

  • Dream first classĀ Ā Ā 70. On the clock

    Pagi hari pukul 08.30 wita. Seperti biasa, aku melingkari angka dikalender. Tak terasa 6 bulan berlari begitu cepat secepat citah. Kuharap setelah melewati hari-hari penuh pemikiran yang dalam ini, Esa bisa mengubah keputusannya.Sejak hari terakhir kami di Gili Trawangan, pemuda berinisial E itu banyak melamun. Ia tidak lagi mengkonsumsi kafein secara berlebih. Tidak lagi menyisihkan sayur di piring makannya. Ia bahkan tidak pernah mengatakan kata-kata perpisahan selama kami menghabiskan seluruh sisa rencana kami hingga tanpa tahu, 6 bulan telah berlalu begitu saja. Apakah keputusannya sudah benar-benar berubah? Aku tak berani bertanya karena takut ia jadi terkecoh. Namun sebagai gantinya, aku berusaha ada disetiap kali ia butuhkan.Aku mendengarkannya bercerita, ikut memancing, berbicara padanya, bermain game di warnet, mencium pipinya ketika ia minta, membaca buku yang tidak begitu kusuka, mendengarkan musik Rock n roll kesukaan dia, menonton Netflix, bergandengan tangan di malam h

  • Dream first classĀ Ā Ā 69. Minta doa

    Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan sepertinya bagian favorite Esa juga. Sebagian waktu kami dihabiskan untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Saat duduk makan, kami bergandengan tangan. Menari dan menikmati suasana pesta malam, bergandengan tangan. Berdansa, bergandengan tangan. Mengobrol dan bercerita sambil bergandengan tangan. Bahkan saat mau tidur setelah memesan dua kamar di satu hotel, Esa menawariku satu kasur berdua supaya bisa berpegangan tangan.Aku tahu dia punya rencana untuk memenggal waktunya sebentar lagi, namun tak lantas membuat kami harus tidur bersama—menghalalkan segala cara.ā€œKalau kamu mau fight untuk hidupmu dalam waktu yang lama …. pasti aku akan tidur sambil pegangan tangan setiap waktu sama kamu. Menghabiskan hari tua bersama. Jangan khawatir.ā€Ia tentu mengerti maksudku dengan terdiam kaku di atas kedua kakinya. Menatap penuh kehampaan di depan pintu kamarnya sendiri. ā€œAku ngerti, kok. Mengambil keputusan sampai di detik ini pasti nggak mud

  • Dream first classĀ Ā Ā 68. Gili Trawangan

    Kami terdiam di mobil. Mengisi energi setelah mengobrol panjang dengan keluarga Pak Imron seharian. Esa tadi sempat meminta bantuan kepada Pak Imron untuk menghubunginya jika ada yang membutuhkan perabotan rumah tangga. Dan keesokan harinya rumah Esa tak henti-hentinya didatangi mobil pick up untuk mengangkut barang. Rumahnya menjadi kosong. Kami bahkan duduk termenung di tengah-tengah ruangan beralaskan lantai marmer tersebut. Merasakan sepi yang merasuki ulu hati. ā€œKamu nggak menyesal, kan?ā€ tanyaku. Takut kalau-kalau ini tak sesuai ekspetasinya. Namun hebatnya ia mencebik sambil menggeleng. Meletakan kertas wish list di sampingnya dengan tenang. ā€œAku nggak pernah menyesali segala keputusanku, Nom. Ini udah seperti yang aku bayangkan, kok.ā€ *** Wush~ ā€œAyo kejar aku!ā€ kataku mengejeknya ketika mengkayuh pedal sepeda lebih cepat di sore hari. Pada naik-naikan jalan, pemuda itu ternyata sudah ngos-ngosan. Tak disangka ia lebih payah dariku yang bertubuh gempal begini. Aku menghen

  • Dream first classĀ Ā Ā 67. Jodoh

    ā€œBapak ada siapa aja nih, di rumah?ā€ tanya Esa sesudah mencium tangannya. Aku secara otomatis juga melakukan hal tersebut sambil senyam-senyum canggung.ā€œIstri sama anak saya, si Soleh.ā€ Pak Imron langsung membalik muka seratus delapan puluh derajat. Mengumpulkan semua energi di dalam mulut sebelum menyemburkannya keras-keras ke dalam rumah.ā€œBUK! ADA TAMU INI, BUK! LEH! KELUAR LEH!ā€ Teriaknya semangat. Kemudian berbalik lagi. ā€œAyo! Ayo! mari masuk dulu.ā€Soleh sang anak tiba-tiba keluar dengan tergupuh-gupuh. Sontak Esa langsung mengajaknya untuk mengambil TV di mobil.ā€œNah, ini! Ayo bro, bantu aku ambil TV kamu di mobil. Siapa lagi temannya?ā€ā€œSendiri.ā€ā€œOke, deh. Ayo kita let’s go!ā€Si Soleh meski dengan alis yang terangkat riang, tak bisa memungkiri kebingungannya setengah mati. Ia tanpa mengerti kondisi langsung saja mengiyakan permintaan Esa yang sok akrab merangkulnya—mengajak keluar secara paksa. Cara menyapa laki-laki ini memang agak bar-bar. Maklumi saja. Aku terdiam bingu

  • Dream first classĀ Ā Ā 66. Project amal pt 2

    ā€œTapi …. tapiā€”ā€ā€œUdahlah sayang. Nggak usah terlalu dipikirin. Nih, kukasih tahu cara kerjanya.ā€Esa membuka laptopnya di atas meja bar dekat kolam. Aku ikut duduk di sampingnya sambil membawa rasa penasaran yang cukup besar dalam genggaman. Ia membuka laman facebook di website dan mengklik market place.ā€œKarena yang kita mau jangkau orang-orang disekitaran Lombok aja, jadi kita pakai ini,ā€ katanya. Jari-jarinya begitu cepat mengoperasikan benda tersebut. ā€œUpload di sini gambarnya,ā€ jelasnya. ā€œPilih kategori barangnya, terus barang dalam kondisi bagus-bekas klik centang, terus tentukan harganya centang, dan isi deskripsinya, deh.ā€ā€œKamu kan mau memberi, bukan menjual.ā€ā€œIya mangkanya tinggal diisi deskripsinya sayang.ā€ Aku mengangguk. Menatap dengan kagum saat ia mulai mengetikan deskripsinya.Tidak dijual. Barang bekas mau pindahan. Khusus bagi orang yang membutuhkan. Kalau deal bisa langsung angkut ke rumah. Alamat:blablabla. Tidak pakai perantara. Siapa cepat dia dapat.Dan begitu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status