Share

Bab 3. Terpaksa setuju

Hening. Farrel bingung harus menjawab apa.

“Tetep nggak bisa, Pa!! Dinara sudah membuat keputusan! Aku gak akan menikah sama Kak Farrel!” Dinara kembali memasuki kamar rawat. Kebiasaan sekali gadis itu, sempat menguping dan langsung masuk membelah percakapan orang lain.

Yandra sempat terdiam menatap lurus putrinya yang nakal itu. Farrel pun hanya bisa menggeleng pelan dan membuang napas.

“Baiklah. Kalau kamu masih tidak mau nurut, papa sudah membuat keputusan lain sebetulnya. Kamu tidak akan masuk ke daftar ahli waris dan itu artinya kamu tidak akan mendapatkan warisan apa-apa dari orang tuamu ini! Silakan cari kehidupanmu di luar sana. Cari tempat tinggal, makan, juga kebahagiaan kamu sendiri. Itu kan yang sejak dulu kamu inginkan?!” tandas Yandra.

Dinara melebarkan mata. Tak menyangka ayahnya akan berbuat begitu jauh padanya.

“Papa ... ngusir aku?” Dinara masih membelalakan mata. Tak menyangka.

“Itu kan yang kamu inginkan sejak dulu! Bebas berkeliaran di luar sana tanpa ada kekangan dari siapa pun! Sekarang, permintaan papa yang terakhir pun tidak juga kamu turuti, maka terima saja konsekuensinya. Tidak akan ada hartaku atas namamu wahai anak pembangkang!” Yandra menatap tajam Dinara. Seperti sudah habis kesabarannya.

“Pa, kenapa sih pilihan Papa itu gak ada yang enak buat aku?!” Suara Dinara mulai terdengar bergetar.

“Karena kamu tidak bisa mengurus diri sendiri. Kamu butuh bimbingan. Butuh diarahkan ke jalan yang benar. Sementara kondisi papa yang kian melemah seperti ini, tidak tau seberapa lama lagi bisa bertahan. Papa gak bisa selamanya ada di sisi kamu!” ujar Yandra. Itu membuat Dinara mendadak merasa takut.

Meskipun sering membangkang dan tidak patuh, Dinara tetap sangat menyayangi ayahnya. Orang tua satu-satunya. Tak bisa dipungkiri, dia pun merasa sangat sedih mendengar ayahnya berujar demikian.

“Pa, jangan ngomong gitu dong, Pa. Papa pasti panjang umur!” kata Dinara.

Yandra menggeleng pelan. “Papa tidak bisa menjamin. Mungkin setelah papa tiada, perusahaan akan di serahkan pada orang lain saja.”

“Kalau Papa khawatir soal perusahaan, kan ada Kak Indira, Pa. Biar aku bicara sama dia!” Dinara hendak beranjak.

“Jangan usik hidup dia!” Ucapan Yandra berhasil membuat langkah Dinara terhenti.

“Kenapa, Pa? Papa nggak pernah usik dan atur-atur hidup Kak Indira. Enak banget dia!” ketus Dinara.

“Karena dia anak yang penurut. Dia memiliki alasan yang kuat dan masuk akal ketika menolak mengelola perusahaan. Kakakmu sudah merancang masa depan dengan jelas. Dia bisa sukses di jalannya sendiri. Sementara kamu gimana? Kuliah saja bolos-bolosan, mau jadi apa kamu, ha?” hardik Yandra.

“Fatalnya kamu juga malah menjalin hubungan dengan anak dari lawan bisnis ayahmu sendiri!” sambung Yandra.

Dinara menghela napas dan mengepalkan jemarinya. Dia kalah telak lagi. Dan hal yang sangat menyebalkan lainnya adalah, lagi-lagi dia dibandingkan dengan kakak kandungnya sendiri.

Dinara memang sulit sekali fokus pada tujuan masa depan. Baginya hidup hanya sekedar senang-senang, makan, menjalankan hobi motor-motoran bersama teman-teman yang juga sama seperti dirinya, tak memilik arah masa depan yang jelas.

Namun, bagi Yandra yang merupakan seorang pengusaha sukses, terhormat, terpandang juga dari keturunan yang tidak sembarangan, tentu merasa sangat malu dengan sikap putri bungsunya itu. Bahkan tak jarang beberapa kerabat juga koleganya yang menyayangkan hal demikian. Harusnya sebagai anak pengusaha yang terpandang, sikap dan perilaku Dinara dapat menjadi contoh yang baik.

Akan tetapi sangat disayangkan, sorot kehidupan Dinara sudah terkesan sangat buruk dan liar di mata masyarakat. Hal itu bahkan hampir saja menggoyahkan nilai positif dari perusahaan. Karena setelah Indira menolak mengisi posisi Yandra di perusahaan, maka Dinara lah yang kini menjadi sorotan.

“Sudahlah, mungkin sudah takdirku memiliki anak pembangkang seperti kamu. Biar saja, aku mati dengan sia-sia!” Yandra terlihat pasrah. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. “Pergi kamu dari hadapanku!”

Dinara menggeleng dan menatap lurus sang ayah. Dia di usir, artinya tak ada jatah apa-apa lagi untuknya.

“Papa, please! Jangan begini dong. Tega banget sih papa ngusir anak sendiri!” Dinara memasang wajah melas.

“Kamu yang tega. Kuliah asal-salan. Di suruh belajar di perusahaan juga ogah-ogahan. Sekarang di suruh nikah malah gak mau juga. Padahal calon yang papa pilihkan untukmu juga bukan lelaki sembarangan! Kamu akan menyesal kalau menolak menikah dengan lelaki seperti Farrel!” Yandra semakin geram.

Dinara menelan ludah. Seperkian detik dia terdiam, dan menatap pria tampan yang sedari tadi setia berada di sisi ayahnya.

Pria itu memang memancarkan aura tulus dan kebaikan yang sangat kental. Dinara telah mengenal Farrel sejak masa kecil mereka. Hubungan akrab mereka bermula dari persahabatan erat antara ayah mereka, yang sering kali berkumpul dan menjalin silaturahmi. Oleh karena itu, Dinara dan Farrel sering bertemu dan bermain bersama sejak masa kanak-kanak.

Dinara pasti paham sebetulnya, bahwa Farrel adalah sosok pria yang sangat baik dan matang. Perlakuannya selalu hangat dan bijaksana, bahkan sejak masa kecil mereka. Farrel selalu bersikap seperti seorang kakak yang melindungi dan menjaga Dinara. Karena hal-hal inilah, tidak heran jika Yandra memilih Farrel sebagai calon suami bagi putrinya.

“Sabar, Om. Tenanglah. Beri waktu untuk Dinara memikirkan semuanya.” Farrel berusaha menenangkan Yandra yang terlanjur tersulut emosi.

“Aku sudah terlalu sabar selama ini. Biarlah, terserah dia saja mau berbuat apa. Yang jelas setelah ini jangan pernah biarkan anak pembangkang itu hadir bahkan diperistirahatan terakhirku!” kata Yandra serius.

Dinara langsung merasa begitu takut mendengar kalimat itu. Ia menghampiri kembali ayahnya.

“Jangan bicara begitu, Pa. Baiklah ... baik. Dari sekian permintaan yang Papa minta dari aku, hanya satu yang sepertinya dapat aku jalani. Aku ... bersedia menikah dengan Kak Farrel.” Setelah berpikir dan menimbang-nimbang di waktu yang sangat singkat ini, akhirnya Dinara dapat menyetujui pernikahan itu.

Yandra yang semula sangat marah juga menahan sakit, langsung menghela napas lega. Akhirnya sang anak mau menuruti arahannya.

“Syukurlah. Farrel, kamu bersedia kan menikahi putri Om?” Yandra menatap Farrel yang juga tampak terkejut saat mendengar Dinara ternyata siap dinikahinya.

“Aku bersedia, Om.” Tanpa ragu Farrel menerima hal itu. Dia pun bukan tanpa alasan menerima begitu saja permintaan Yandra.

Farrel sudah cukup dewasa dan matang. Sehingga tak perlu bimbang memilih sesuatu untuk masa depannya.

“Kalau begitu, segera persiapkan segala urusannya. Papa mau kalian secepatnya menikah.” Yandra tersenyum hangat.

Sementara Dinara tengah menatap tajam dengan tangan mengepal.

Dalam hati ia terus bergumam.“Awas saja, kamu! jangan pikir menikah denganku itu enak! aku buat kamu nyesel!” 

Next ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status