Diam-diam Ananda Kusuma menatap kepergian mobil milik hotelnya yang mengantarkan gadis lumpuh yang tadi tercebur di kolam renang dan juga ibundanya pulang ke rumah. Sungguh pertemuan tak terduga baginya karena tadi ia sebenarnya hanya memeriksa event akbar pertunangan artis yang menyewa tempat di hotelnya.
Langkahnya terhenti saat hendak meninggalkan venue acara yang tiba-tiba heboh dengan teriakan histeris minta tolong. Namun, herannya tak ada satu orang pun yang tergerak menolong sosok yang tenggelam di kolam renang hotelnya. Ananda sempat merutuk karyawannya yang seharusnya bertanggung jawab di area kolam renang, mereka tidak stand by di posisi tugas seharusnya.
Alhasil dia sendiri yang berlari melompat ke dalam air karena cemas dengan kasus tenggelam di kolam renang hotelnya yang bisa mencoreng reputasi hotel bintang 5 miliknya. Namun, ketika melihat sosok gadis yang tenggelam di dasar kolam sedalam 2.5 meter itu, jantung Ananda serasa terpukul. Seraut wajah cantik yang tak akan mudah terlupa dari benaknya. Maya Angelita, si model terkenal yang kecelakaan itu.
Rasa bibir wanita itu sulit untuk ia abaikan dan membuatnya mendambakannya kembali. Sayangnya itu hal yang mustahil ia dapatkan, mengenal Maya pun tidak. Aslinya dibanding fotonya di poster promosi jauh lebih menawan hati. Kenang Ananda tersenyum sendiri dalam diam di depan pintu lobi hotelnya.
Mobil sedan Ferrari merah miliknya diantarkan oleh petugas vallet parking. "Silakan Pak Nanda!" ucap pemuda itu membukakan pintu mobil untuk pemilik hotel tempat ia bekerja.
"Terima kasih ya, Endro," balas Ananda lalu naik ke dalam mobil sport mewah itu. Dia melajukan mobilnya menuju ke jalanan kota Jakarta yang sudah mulai mereda kemacetannya di atas pukul 21.00 WIB.
Dia berkendara pulang ke daerah Kebayoran Lama dimana rumah keluarga Kusuma berada. Ananda memang masih single dan tidak berminat menjalin hubungan spesial dengan wanita manapun saat ini, dia lebih mengutamakan pekerjaannya yang setiap hari seolah tak ada habisnya.
Sesampainya di rumah, dia langsung disambut oleh keponakan laki-lakinya yang berusia 8 tahun. "Om Nanda, pulangnya malem banget sih! Edward 'kan nungguin dari tadi, Om," gerutunya dengan nada tak sabar memeluk pamannya.
Pria itu hanya terkekeh lalu menjawab, "Apes bener nih, Om Nanda. Baru aja sampai rumah udah diomelin sama kamu, Edu! Memangnya kamu ngapain nggak bobo, tapi malah nungguin Om?"
Mereka berdua berjalan ke sofa lalu duduk bersebelahan di sana. Edward pun mulai bercerita kenapa ia menunggu paman kesayangannya itu, "Jadi, Om ... besok 'kan Sabtu ya. Edu mau minta ditemenin ke suatu tempat, mau ya?"
"Ohh gitu ... mau kemana dan ngapain kamu ke sana, Edu?" balas Ananda santai sembari mengusap-usap kepala keponakannya yang berambut hitam lebat itu.
Dengan penuh semangat bocah laki-laki 8 tahun itu pun menjawab, "Besok di Graha Cipta Karya ada acara spesial pembacaan dongeng dan jumpa fans penulis dongeng. Salah satunya idolaku, Om, namanya Maya Angelita."
Mendengar nama gadis yang ia sukai diam-diam itu disebut oleh keponakannya, Ananda terperangah lalu mengerjap-ngerjapkan matanya. "Maya Angelita? Emm ... boleh, besok pagi Om anterin deh ke acara itu." Mendadak Ananda salah tingkah membayangkan akan bertemu gadis yang diam-diam disukainya besok bersama keponakannya.
"Om ... memangnya Om kenal ya sama Kak Maya?" tebak Edward penasaran melihat pamannya sedikit aneh tingkahnya.
"Ehh—ohh ... nggak ... nggak kenal kok! Besok ya kita kenalan sama Kak Maya di sana. Berhubung udah malam, sekarang kamu bobo gih, Edu. Jangan kesiangan bangun besok pagi, oke?" Ananda mengajak keponakannya bangkit dari sofa lalu mengantar bocah itu masuk ke kamar tidurnya yang bertempat tidur single queen size.
Edward naik ke tempat tidurnya lalu diselimuti oleh paman kesayangannya. Dia lalu berkata, "Om, boleh tanya sesuatu?"
"Apaan tuh? Tanya aja, Edu," sahut Ananda yang duduk di tepi ranjang.
"Om apa belum punya pacar?" tanya Edward.
Pamannya tertawa kering lalu menjawab, "Mau tahu aja deh kamu—"
"Jomblo 'kan, Om? Jangan ngeles deh!" desak Edward pantang menyerah dengan jawaban mengambang pamannya.
"Oke ... oke, iya. Om memang masih jomblo, terus ... kenapa?" balas Ananda bersedekap menantang keponakannya dengan tatapan memicing.
"Besok pedekate-in Kak Maya aja ya?" saran Edward menatap pamannya dengan menggerak-gerakkan alisnya jenaka.
"Hahaha ... bocah! Udah bobo deh kamu—besok malah kesiangan. Om keluar ya," pamit Ananda lalu mengusap kepala Edward sebelum bangkit berdiri.
Ananda menyalakan lampu redup di nakas samping tempat tidur Edward lalu mengecup kening keponakannya sebelum melangkah keluar dan mematikan lampu terang di langit-langit kamar itu.
"Good night, Edu!" ucap Ananda sebelum menutup pintu kamar keponakannya.
Edward pun menjawabnya, "Good night, Om Nanda. Mimpiin bidadari ya ... namanya Maya Angelita!"
"Hahaha ... kamu ya. Ckkk ... kalau udah niat—bye, Edu!" Ananda pun melambaikan tangannya lalu menutup pintu kamar Edward kali ini.
Malam yang menyisakan kepenatan di tubuh Ananda Kusuma, seharian ini dia begitu sibuk dengan pekerjaannya sebagai CEO perusahaan keluarganya. Dia dan kakak perempuannya hanya dua bersaudara. Olivia Kusuma tidak berbakat mengelola perusahaan dan memilih untuk menjadi ibu rumah tangga saja. Jadi hanya Ananda yang memimpin perusahaan pengelola mall dan perhotelan milik Kusuma Mulia Grup.
Usai mandi di bawah shower air hangat, Ananda membaringkan tubuhnya di tempat tidur berukuran king size miliknya. Benda itu seolah terlalu luas untuknya sendiri. Dia pun memikirkan kata-kata keponakannya tadi. Dengan kekayaan melimpah yang ia miliki, hari gini masih jomblo abadi ... itu sesuatu yang sedikit menyedihkan sebenarnya.
Rasa lelah yang menggelanyuti raganya membuat sepasang mata itu pun terpejam. Sesaat Ananda masuk ke alam mimpi dalam lelap tidurnya. Napasnya dalam dan teratur dengan dada yang bergerak ritmis perlahan.
Waktu yang bergulir perlahan membawa langit Jakarta disinari oleh mentari pagi yang cemerlang menggantikan kegelapan malam yang berlalu. Alarm ponsel itu berbunyi berisik di atas nakas samping ranjang. Tangan Ananda meraihnya untuk menghentikan kegaduhan itu.
"Aarrhh ... udah pagi aja!" erangnya karena harus bangun dari tidurnya yang nyaman. Ananda duduk di tepi tempat tidurnya sembari memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan masuk dari para bawahannya di kantor, dia membacanya lalu membalas seperlunya.
Pagi ini dia memang libur, tetapi semalam ia sudah berjanji kepada keponakannya untuk menemani ke acara buku dongeng. Maka ia pun bergegas mandi di bawah shower air dingin untuk mengusir rasa kantuk di dalam dirinya.
Setelah selesai mandi Ananda berdiri di depan cermin meja wastafel, nampaknya wajah tampannya itu perlu dicukur karena bulu-bulu gelap itu mulai tumbuh bak semak liar di sana. Dia pun mulai menggunakan alat pencukur elektrik di janggut serta pipinya. Sambil merapikan wajahnya, ia tersenyum-senyum sendiri teringat wajah Maya Angelita yang kecantikannya sulit dilupakan.
Namun, satu hal yang mengganggu pikirannya. Kaki gadis itu masih lumpuh setelah kecelakaan beberapa bulan yang lalu. Apakah tidak merepotkan bila ia berpacaran dengan gadis cacat seperti Maya saat ini? Ananda pun bimbang menimbang-nimbang pilihannya. Sebuah ketidaksempurnaan yang bisa menjadi hal yang sulit diterima olehnya dan juga keluarga besar Kusuma tentunya.
Ketika Ananda Kusuma melangkahkan kakinya menuju ke ruang makan, dari kejauhan dia sudah mendengar adik perempuan semata wayangnya sedang merayu putera tunggalnya untuk makan pagi. Dia pun tertawa kecil sembari duduk di samping keponakannya."Kalau rewel sarapannya, janji kita semalam batal aja deh!" ancam Ananda dengan efektif kepada bocah laki-laki 8 tahun itu.Edward mengerutkan alisnya dengan sengit lalu duduk bersedekap menoleh ke pamannya. "Om Nanda curang kalau begitu! Janji adalah janji," protesnya.Namun, Ananda hanya menanggapinya santai sambil mengambil satu porsi sandwich daging asap keju ke piringnya. "Kalau begitu selesaikan sarapanmu cepat. Om selalu makan tanpa harus dipaksa sejak kecil. Sarapan itu penting untuk mengisi energi sebelum beraktivitas!" ujar Nanda ringan sembari memberikan wejangannya untuk keponakan kesayangannya.Sebuah helaan napas terpaksa lalu Edward membiarkan maminya menyuapinya dengan menu nasi kuning yang sebetulnya lezat. Dia hanya terlalu malas
"Halo ... namanya siapa ini?" Maya menyapa bocah laki-laki tampan yang ditemani oleh pria yang tadi membetulkan posisi mikrofon untuknya.Edward menyeringai lebar tertular senyuman seterang lampu LED 100 watt itu. Dia pun menyahut, "Namaku Edward, Kak. Ohh ... iya, kenalkan juga pamanku, ini Om Nanda!" Dia menyikut paha pamannya yang jangkung itu dengan agak keras."Ehh ... Ananda," ucap Nanda mengulurkan tangan kanannya kepada Maya. Dia sedikit terkejut karena tak menyangka akan dikenalkan kepada gadis itu oleh keponakannya yang getol menjodohkannya dengan penulis idolanya."Maya—" Gadis itu menatap lurus wajah Nanda yang sama-sama merona seperti dirinya dan agak salah tingkah.Namun, ia pun teringat antrean yang mengular dibelakang Ananda dan Edward. Lalu ia pun menanda tangani buku dongeng milik bocah itu sembari berkata, "Apa mau foto bareng aku juga?""Mau dong, Kak Maya! Ayo Om, buruan banyak yang antre tuh. Pake ponsel Om Nanda aja ya?" Edward segera berpindah posisi ke samping
"Mbak Maya, selamat ya—Anda terpilih menjadi model ambassador produk Flexi Wheel Chair. Kalau pengambilan fotonya siang ini pukul 12.00 WIB apa bisa?" tutur manager bagian promosi perusahaan kursi roda impor asal Jerman di sambungan telepon.Maya yang memang sempat dihubungi sebelumnya oleh Bu Monica Berliana, manager yang sedang meneleponnya saat ini pun merasa gembira. Dia memang sudah tak bisa lagi berjalan melenggak-lenggok di atas sepatu high heels, tetapi dia masih bisa duduk dan berpose dengan menarik di depan lensa kamera. Ada rasa rindu di hatinya menjadi seorang model seperti dulu."Ohh ... siap, Bu Monic. Dimana lokasi pemotretannya ya?" balas Maya dengan sopan."Di Studio Ice-Xpression, Jakarta Selatan. Tahu 'kan, Mbak Maya?" jawab Bu Monica Berliana. Maya pun mengonfirmasi pertanyaan Bu Monica dan mengatakan akan datang ke pemotretan tepat waktu sebelum mengakhiri sambungan telepon mereka. Setelah itu Maya mencoba untuk berpindah dari atas ranjangnya ke kursi roda sendir
"TOK TOK TOK." Suara ketukan jamak di pintu ruangannya membuat Ananda menghentikan pekerjaannya dan berseru, "Masuk!"Aji Prasetyo, sekretaris sekaligus asprinya masuk diikuti seorang pria paruh baya berkepala botak dengan rambut berseling uban di sana sini. "Pak Nanda, ini Pak Rudiyanto yang tadi sudah Anda tunggu kedatangannya," ujar Aji seraya mempersilakan tamu bosnya duduk di seberang meja CEO."Oke, Ji. Kamu boleh keluar. Kalau ada yang cari saya—suruh kembali besok saja atau buat janji lagi, oke?" balas Ananda Kusuma yang duduk di kursi CEO dengan jemari tangan terlipat di meja menatap Aji."Baik, Pak Nanda. Saya permisi kalau begitu," jawab Aji lalu bergegas keluar dan menutup pintu ruangan bosnya rapat-rapat. Kini hanya tinggal Ananda bersama pria yang ia tunggu-tunggu di ruangan itu. Dia pun berdehem lalu menyambut kedatangan tamunya, "Ehm ... selamat datang, Pak. Jadi—Anda Pak Rudiyanto Situmorang? Saya baca di internet kalau Bapak ini instruktur profesional yang bisa mene
Sesuai pelajaran yang ia terima dari kursus kilat fisioterapi Pak Rudiyanto, pria tampan itu menyiapkan seember air hangat yang ia ambil dari keran bathtub serta beberapa krim khusus yang mengandung obat pelancar peredaran darah serta merangsang impuls saraf. Maya duduk berselonjor di kursi panjang khusus untuk terapi kakinya yang lumpuh. Ia membaca majalah mode Famous sembari menunggu kesibukan perawat barunya yang masih belum selesai juga."Maaf nunggu agak lama, May. Yuk kita mulai saja terapinya!" ucap Ananda sambil duduk di bangku pendek di samping kursi panjang Maya. Dengan wajah merona Maya menganggukkan kepalanya seraya menjawab, "Silakan saja, Mas Nanda. Aku siap kok."Tangan Ananda terampil mencelupkan dua handuk berukuran kecil ke dalam air hangat di ember lalu memerasnya sebelum dikompreskan ke kaki bagian betis Maya kanan kiri. Dia mengusap-usapkan handuk setengah basah itu dengan teratur ke sepanjang kaki Maya. Ketika sampai di lutut, ia terhenti dan menatap wajah Maya
"Oke, aku pulang dulu ya, Maya. Lusa kita lanjutkan fisioterapinya. Tetap semangat ya!" pamit Ananda Kusuma kepada Maya di teras depan rumah berhalaman asri siang itu.Gadis cantik di atas kursi roda itu melambaikan tangannya melepas kepergian perawat barunya yang baik dan sangat perhatian. "Mas Nanda pulangnya hati-hati ya! Nggak usah ngebut," pesan Maya sembari melengkungkan bibirnya untuk tersenyum manis."Pasti. Tenang saja, May! Aku 'kan jago ngepot di jalan raya," jawab Ananda mencandai Maya seraya terkekeh sebelum mengenakan helm standar di kepalanya. Kemudian pria itu melambaikan tangannya ke arah Maya sebelum tancap gas sepeda motor menuju ke rumah keluarga Kusuma. Dia akan berangkat siang ke kantor, tetapi dengan diantar oleh sopir pribadinya. Badannya agak kelelahan setelah melakukan banyak pekerjaan ala rakyat jelata yang dia kesalkan dalam hatinya.Memang naik sepeda motor membuatnya tak terlalu buang waktu dengan kemacetan yang merajalela di ibu kota. Ananda sampai di r
Sesaat Aji Prasetyo sampai di kantor managemen Mall Cakrawala Indonesia, sebuah pesan masuk ke inbox ponselnya. Dia duduk di balik meja sekretaris dan membaca isi pesan dari Ipda Purnomo yang tadi memproses laporan kriminal darinya."Pelaku pendorongan korban ke kolam renang sudah teridentifikasi yaitu Melinda Riana, Mas Aji. Terima kasih atas laporannya. Tersangka akan kami jemput di rumahnya untuk diminta keterangannya terkait kasus kriminal tersebut." Isi pesan dari Ipda Purnomo untuknya. Aji pun merasa bahwa ia harus segera melaporkan hasil investigasi kepolisian ini ke bosnya. Maka ia pun bergegas mengetok pintu ruangan CEO."TOK TOK TOK." Ananda sedang sibuk membaca penawaran rekanan bisnis yang menyewa venue di mall miliknya. Namun, ia pun berhenti dan menyuruh tamunya masuk.Dengan tenang Aji duduk di kursi seberang bosnya lalu melapor, "Selamat sore, Pak Nanda. Saya baru saja mendapat kabar dari kepolisian. Emm—pelaku yang mendorong Mbak Maya itu seorang model juga namanya Me
"P—pak ... emm ... sa—saya nggak sengaja itu," ucap Melinda terbata-bata membela dirinya di hadapan bapak komandan polisi yang berkarisma itu.Pria itu tersenyum tipis seraya mendengkus lalu menyahut, "Nggak sengaja itu bisa jadi nyawa orang ilang lho. Kamu sadar nggak, waktu dorong kursi roda itu ke kolam 2.5 meter?"Kepala dengan rambut panjang lebat bergelombang hitam legam bak model iklan shampo itu tertunduk tak berani menatap Kompol Dani Kurniawan. Namun, hal itu justru membuat Pak Dani terkekeh geli. "Coba bilang ke saya, alasan kamu apa hingga melakukan tindakan berbahaya itu, Non?" bujuk Kompol Dani yang perlu mengetahui motif pelaku tindak kriminal di hadapannya.Helaan napas lembut meluncur dari gadis itu diikuti oleh sebuah pengakuan yang mengejutkan. "Saya hanya membantu sahabat saya saja, Pak. Maya itu mantan tunangan Andre yang malam itu bertunangan dengan Sherrin. Dia hadir ke acara itu membuat kehebohan, saya nggak suka ditambah Sherrin memberi kode agar saya mendoro