✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini.
Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah.
Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka–
Sebuah tangan menarikku.
“Kyaaa!”
Srek! Bruk!
Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka.
“Kyara!”
Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak.
Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam.
“Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya.
Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli jika pakaian yang dikenakannya sedikit robek karenanya.
“Minggir! Minggir!” Mariam berjuang memukuli setiap tangan yang menyentuhku.
Tangan itu semakin memanjang. Terlihat wajah busuk mereka ; wajah hancur, mata meleleh, tanpa hidung, bau mulut, lengkap dengan bau anyir dan tanah yang berpadu sempurna.
Aku berusaha meninju wajahnya, meski hanya merusak sebagian.
Krak!
Mariam menginjak setiap tangan dan bahkan kepala mencuat yang menghalangi.
“Minggir!” Mariam menendang salah satu kepala hingga terputus.
Aku menatap ke belakangnya. “Ma ... Mariam!”
Mariam mengikuti arah tatapanku. “Tidak!”
Kudanya meringkik kesakitan. Gerombolan makhluk terkutuk itu memakannya hidup-hidup. Mengoyak dagingnya dengan gigi rusak mereka. Hingga tersisa tinggal bagian dalam tubuhnya.
“A ... A ...”
Aku hanya dapat menyaksikan dengan ngeri, tidak mampu merangkai kata melainkan kalimat terputus. Tanpa sadar, tubuhku gemetar dan air mata membasahi pipi.
Bagaimana jika ini takdirku? Mati dimangsa makhluk menjijikan ini?
Bahuku dipegang.
Krak!
Mariam meninju sosok yang menyentuh bahuku. Kepalanya terputus dan menggelinding di antara tangan kawanannya.
“Lari!” Mariam menarikku.
Nisma berdiri tepat di depan. “Mau ke mana, he?”
Mariam berdiri di sampingku. “Anak ini tidak boleh kalian ambil!”
“Kenapa tidak?” sahut Nisma. “Abi tahu, kamu menyayanginya. Kamu tidak akan mengaku sampai aku singkirkan dia.”
“Ha!” Mariam meledek. “Meski anak ini mati, aku tidak akan buka mulut!”
Nisma menuangkan gelas baru ke tanah.
“Hahaha...!” Tawanya melengking. Bagai sangkala.
Mariam menarikku sebelum tentaranya menyerang.
Kami terus berlari, tidak peduli berapa jumlah makhluk yang mengejar.
Aku tidak ingin menoleh. Mendengar geraman dan erangan di belakang saja sudah membuat mentalku menciut.
Kakiku perlahan kaku. Terpaksa Mariam terus memegang tanganku sambil berlari.
“Ayo, gerak, Kyara!” desaknya. “Kamu mau hidup, ‘kan?!”
Aku berjuang menggerakkan kaki meski terasa berat seakan sedang ditarik sesuatu.
Lalu, kudengar suara itu.
“Oh, lihat, anak itu!”
“Aku lihat dia akan menoleh, menatap kita.”
“Ah, aku sedih melihatnya harus bersama dengannya.”
“Iya, Reem anak yang baik.”
“Ya, anak yang baik.”
Suara saling menyahut. Perlukah kujelaskan? Delisa dan Delina dengan santai duduk di pinggir jalan sambil menyaksikan kami dikejar tentara mayat hidup milik Nisma.
“Seharusnya dia tahu soal ini.” Delisa berkomentar.
“Mana mungkin, dia hanya anak desa.” Dan Delina pun membalas.
“Bukankah ibunya mati dimakan monster pada malam saat wanita itu datang? Mana mungkin dia sempat cerita.”
“Kasihan, dia harus melewatinya nanti.”
“Ya, melewatinya.”
“Andai para Guardian tidak mencari.”
“Ya, andai mereka tidak mencari.”
Mariam melompati tumpukan bangkai hewan yang tidak begitu tinggi lalu membantuku naik.
Sebuah tangan mencengkeram kakiku.
Krak! Aku menendangnya.
Tangan itu terlepas.
Mariam menarikku.
Kami berlari.
Terus saja berlari.
Hingga aku terjatuh.
***
Dapat kurasakan sentuhan lembut di dahi. Begitu membuka mata, kulihat Mariam menatapku dengan sorot berbeda. Seakan bukan wanita yang baru saja kutemui, melainkan sosok Ibu.
“Kyara?” bisiknya.
Aku terduduk. Rupanya kami berada di dalam lubang pohon yang amat besar. Begitu kutengok, letaknya jauh dari rumah Wynter.
“Ini di mana?” tanyaku.
“Aku tidak tahu,” sahut Mariam. “Seisi kota Aibarab gempar ketika mayat hidup itu menyerang. Raja Khidir mengerahkan pasukan dan memukul mundur mereka. Ia menyuruhku untuk menitipkanmu ke lain selagi Sakhor masih di sini.”
Jadi, semua ini salah Sakhor atau Nisma?
“Ayo, kita lanjutkan perjalanan!”
Aku teringat. “Kuda?”
“Dengan atau tanpa kuda.” Mariam menggaruk kepalanya. “Untung aku punya dompet dengan banyak uang. Harta yang kukumpulkan kini tertinggal di rumah Wynter. Sial!”
Aku diam saja.
Wanita itu berdiri lalu melangkahkan kakinya.
Aku menyusul.
***Kalau kemarin kami menyusuri padang pasir, kini hutan rimba yang menyambut. Pemandangan ini sering kutemukan di desaku, bahkan sering dijadikan sebagai wahana bermain.
“Hati-hati, ada banyak siluman,” bisik Mariam sambil terus memegang tanganku.
“Siluman?” Aku berbisik, takut jika ada penghuni hutan yang mendengar.
“Mereka kebanyakan tinggal di sini,” bisik Mariam. “Kalau kita masuk, seharusnya kita harus sopan. Meski aku sudah meminta izin, mereka tetap saja akan membunuh kita.”
“Kenapa?”
“Sebagian egois dan sangat menjaga wilayahnya.”
Tak lama, sayup-sayup tawa menggema. Dahan pohon mulai bergerak seakan ada yang membebaninya. Terdengar bunyi dedaunan terinjak di tanah, ada yang menguntit.
“Mariam?” bisikku takut.
Mariam menatap sekeliling. Tawa itu semakin melengking hingga menyakiti telinga. Muncul makhluk dengan beragam bentuk dan rupa. Mereka menertawakan kami, entah apa yang lucu.
Aku refleks berlindung di balik tubuh Mariam.
“Apa mau kalian?!” seru Mariam pada mereka.
Hening.
“Katakan saja!” seru Mariam. “Tertawa membuat kalian tampak bodoh!”
Seruan itu membuat mereka geram. Tak lama, keheningan pecah menjadi jeritan amarah mereka.
“Oh, sekarang kalian marah?” sahut Mariam. “Kalian tampak seperti monyet sekarang!”
Hening lagi.
Mariam berpaling padaku. “Kyara, mungkin seseorang akan menolongmu. Tapi, untuk saat ini, keluarga Wynter tengah mengincar kita. Aku mau kamu ikuti sinar dari kalungmu dan–”
Tawa itu terdengar lagi.
Suara itu berpadu dengan jeritan makhluk itu. Mereka mulai bermunculan dari dahan pohon sampai bawah tanah.
“Kalian tidak akan lolos!”
Nisma?
Gadis itu berdiri tepat di belakang kami. Rambut berkibar diterpa angin malam sementara matanya yang hitam memancarkan kematian.
Nisma mendorong Mariam.
Peganganku terlepas.
“Akh!” seruku. Bingung harus memanggil apa jika berhadapan dengan orang lain.
Keduanya terjatuh tepat di bawah para mayat. Mariam sempat bangkit dan berlari menghampiriku.
“Tangkap mereka!” titah Nisma.
Makhluk terkutuk itu mendekat dan memamerkan giginya yang rusak. Bau yang menusuk menambah derita.
Mariam melempar batu.
Buk!
Kepalanya menggelinding. Mereka berhenti menyaksikan kepala temannya.
“Kejar!” seru Nisma.
Mariam menarik tanganku lalu kami berlari.
Aku jadi ingat. Wynter memiliki tujuh anak. Nisma seingatku anak keempat, dua tahun lebih tua dari si Kembar. Masih banyak anak yang belum kukenal. Sudah jelas, kami ditakdirkan bertatap muka satu per satu baru kemudian–
“Lari!” seruan Mariam membuyarkan lamunanku. “Jangan lengah!”
Aku mempercepat langkah. Kusempatkan diri untuk menoleh.
Tentara Nisma sudah jauh, namun tidak berhenti mengejar kami. Tak bisa kubayangkan seberapa cepat larinya Mariam sampai-sampai penyihir pun tidak mampu mengejar.
“Tanpa kuda, semua lamban!” seru Mariam.
Aku diam saja. Lalu teringat. “Bagaimana dengan Id–”
“Aku akan mencari bantuan ke Kikiro,” potong Mariam. “Kalau lewat jalan pintas, mungkin membutuhkan waktu beberapa waktu.”
Aku bingung. “Kikiro?”
“Kamu benar-benar tidak tahu,” sahut Mariam. “Kikiro sedikit jauh dari sini. Itu tempatnya tinggal.”
Beberapa langkah dilalui dalam keheningan, kini kami tiba di sebuah jembatan kayu yang agak rapuh. Jaraknya menuju seberang lumayan jauh dan jelas membuatku takut. Di bawahnya pun tidak jelas apa itu, entah ada makhluk lain atau batu-batu yang siap meremukkan tulang.
“Maju!” titah Mariam.
Aku terpaku. Apa jadinya jika aku jatuh?
“Tenang, aku akan menjagamu di belakang.” Mariam membalikkan badan.
“ARRGGGHHH!”
“Lari!” seru Mariam. “Biar aku tahan!”
“Tapi-”
“Lari!” desak Mariam. “Kamu mau hidup, bukan?”
Aku mempercepat langkah. Meski jembatannya sudah tua dan goyang, aku berusaha untuk terus menyeimbangkan diri.
Di belakangku, beragam sosok bermunculan dari hutan menghadang tubuh Mariam yang tampak mungil bagaikan seekor tikus di antara kucing-kucing.
“Mariam!” seruku. “Ayo!”
Mariam menyeru. “Pergi! Biar aku tahan!”
Aku justru membeku.
Para siluman dari beragam rupa berdatangan. Jumlah tidak terhitung saking banyaknya. Mariam tetap berdiri tegap menghadang mereka.
Aku tidak tahan! “Mariam!”
Mariam menatapku dengan tajam. “Pergi! Aku akan menyusul!”
Saat itulah sekelompok siluman menyerangnya. Mariam dengan gesit menghindar sambil terus mengawasiku yang semakin jauh dari pandangan matanya.
Aku berhasil ke ujung.
Begitu menoleh, para siluman menyusulku di belakang.
“Mariam!” seruku.
Wanita itu terpojok. Para siluman semakin dekat. Sebagian malah menerobos ke jembatan, mendahului Mariam.
“Mariam!” seruku. “Ayo!”
Mariam melayangkan pisaunya dan menancapkan benda itu ke tali penghubung jembatan.
Tali terputus.
Para siluman dan mayat hidup berjatuhan ke dasar jurang. Terdengar jeritan mereka.
Aku menatap wanita itu. “Mariam!”
Mariam sudah terkubur di antara para siluman. Aku mendengarnya menyeru namaku.
“Lari, Kyara! Lari!” serunya. “Jangan berhenti! Terus saja!”
Sayup-sayup, suaranya semakin samar. Aku mundur beberapa langkah saat para siluman mulai mundur.
Aku lari. Terus berlari.
***
Aku teruskan langkah.
Hanya itu yang bisa kulakukan.
Aku harus pergi, sebelum–
“Minggir!”
Seseorang menutup mulutku. Aneh, aku seakan ditarik oleh hantu. Tiada wujudnya, tapi bukti bahwa dia menyeretku kasar, sudah menunjukkan bahwa dia nyata.
Kucoba menggigit, malah tidak ada apa-apa. Makhluk macam apa yang menyeretku?
Aku berjuang memberontak, lagi-lagi percuma lantaran tidak bisa menyentuh lawan.
“Reem ...!”
Entah kenapa, aku berhenti diseret. Tapi, sesuatu itu masih menahanku. Aku bahkan tidak bisa membuka mulut apalagi bicara.
“Mana budak itu?” seruan Nisma menggelegar. Dia cengkeram gelasnya. “Mana?!”
Dia tidak bisa melihatku? Aku berada tepat di depannya.
Terdengar suara tawa kecil. “Hihihi, Otōsan pasti marah.”
“Apa?”
Aku dan Nisma sama-sama bingung.
Sosok tanpa wujud itu hanya terkikik. Hingga senyap.
Tanah bergetar.
Raungan menggelegar.
Nisma berdiri di antara pasukannya. Kulihat tangannya bergetar, gelasnya pun turut merasakan, mata Nisma tampak memancarkan ketakutan.
Seekor naga ungu melompat dan menyisir para mayat hidup bagai burung menyambar ikan. Ia menginjak dan membelah musuh dengan mudah. Anehnya, mereka masih berani melawan meski maut tepat di depan mata.
Nisma justru kabur melihat pemandangan mengerikan itu. Tampaknya dia tidak menyangka ini bakal terjadi.
Sementara naga itu mengamuk menghancurkan separuh pasukan dan hampir memenangkan pertarungan, aku terus menonton sambil terpaku.
Ia meraung lagi. Terus menginjak Tentara Nisma sementara sang majikan justru kabur entah ke mana. Aku hanya bisa menyaksikan sang Naga menyisir mayat itu hingga yang hanya tersisa bau anyir beserta organ busuk berhamburan di tanah.
Setelah sekian lama menunggu, ia pun berhenti dan menatapku.
Naga itu menjelma menjadi seorang pria berambut putih. Sosok yang kutemui di pasar kemarin.
Saat itulah, pandanganku memburam. Aku merasa bagai ditarik ke dalam tanah.
Sebelum kegelapan menguasai, aku melihat semburat cahaya di depan mata.
Kalungku bercahaya.
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Dia bilang apa? Aku dari Shan?Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?Tapi ...“Aku tidak ingat apa-apa,” bantahku.Takeshi tampak bingung. “Tidak ingat?”Aku jelas tidak tahu.Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.“Otosan! Otosan!”Pria itu lantas keluar. “Kenapa, Hayya?”“Aku belum mengucapkan ‘Selamat malam.’ Selamat malam!”***Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.“Lian-chan! Ada apa denganmu?” Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. “Kamu merasakan getaran tadi, ya?”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵«Azya»Sudah lama negeriku, Kyrvec, diganggu oleh dunia luar, terutama oleh Sakhor. Ia bisa mengendalikan binatang dan sering menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, meski gagal lantaran kami bisa menguasai kedua akal dan nafsu.Kyrvec adalah negeri tersembunyi. Kami tidak punya mata uang atau alat tukar barang. Tapi tidak juga kekurangan jatah makanan. Meski kadang kami memakan bangkai saudara sendiri yang mati. Sakhor akan datang di saat seperti itu dan menawarkan kehidupan indah.“Kalian cukup tunduk padaku,” ujarnya. “Maka hidup kalian terjamin.”Target kami tidak lain adalah kamu–Lian–lalu Otosan dan teman-temannya yang lain. Tapi, kami selalu menolak.Akibatnya, sebagian dari kami dibantai oleh pasukan hewannya tanpa alasan yang jelas. Banyak korban berjatuhan, menyebabkan peperangan sia-sia.“Ylfa!” panggil
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵“Lalu ... Apa katanya?” tanyaku.Azya diam sejenak. “Um, habis itu mereka pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku dan Hayya lalu menunggu kepulangan Otosan.”“Kamu atau Hayya tahu masa lalunya selain fakta kalau ia penduduk Shan dulu?”“Ya. Tapi, beliau sepertinya memang lupa sesuatu. Kami yakin seseorang mengacak ingatannya.”Meski selamat, ia tidak luput dari serangan hilang ingatan. Aku jadi penasaran, benarkah sikapnya selama ini berbeda dengan yang dulu? Kalau iya, seperti apa?“Permisi, Lian-chan, aku ke kamar.” Azya langsung meninggalkanku.***Aku memetik rangkaian bunga dari kebun selama menunggu kepulangan Takeshi. Aku dan Hayya duduk di pondok sambil merangkai tumbuhan yang ada. Kupegang rangkaian bungaku yang acak-acakan untuk dijadikan mahkota bersama Hayya.“Tara!
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Sesuatu menangkap tubuhku. Aku membuka mata. Rupanya aku digendong seorang wanita berambut biru. Dia lalu menurunkanku. “Nenek!” seru Aoi. “Maaf, Lian.” Aku menatap wanita yang ternyata nenek dari Aoi. Wajahnya tidak menunjukkan kalau dirinya sudah tua, justru sebaliknya. “Te ... Terima kasih.” Aku menunduk. “Aku terlalu bersemangat.” Wanita itu mengelus rambutku. “Lain kali, hati-hati.” Hayya terpaku menatapku. Kulihat dia baru saja turun tanpa hambatan. Aku yang heran memanggil namanya. “Hayya?” Gadis itu malah lenyap seketika itu juga. Dia bahkan tidak menjerit atau mengeluarkan suara selain langkah kakinya yang sayup-sayup menyatu dengan udara. Aku berbalik dan hanya ada kami bertiga di hutan ini. “Ada apa?” Wanita itu menatap sekeliling. “Mungkin Pengalih-Rupa,” ujarnya. “Kalian bermain terlalu jauh, sebaiknya menginap di rumah kami.” Aku menatap s
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵“Itukah?”“Itu mereka!”Kami disambut dengan kerumunan begitu tiba di Desa Embi. Mereka berdiri depan rumah masing-masing seolah menunggu sedari tadi. Aku menunduk, takut akan tatapan tajam itu.“Itu Oruko-san!” Ada yang berseru.Takeshi terus melangkah dalam wujud naga."Mana rubah itu?"Hayya yang menyahut. "Sudah mati."“Kamu tidak melindunginya, he?” sahut seseorang. “Kamu ini penyihir! Gunakan sihirmu!”Hayya diam saja. Aku turut merasa tidak enak. Tidak mampu membalas ucapan mereka. Bibir Hayya gemetar sambil menggenggam erat rambut Takeshi.“Sudah,” ujar Takeshi. “Kyoki berhasil kubunuh, kita aman untuk sementara.”“Kamu terluka parah,” sanggah seseorang. “Apa anak itu belum juga tahu masa lalunya? Dia bahkan nyaris membunuhmu untuk kedua kalinya–”&ld