✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin.
Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai.
Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan.
***
Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan.
“Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.”
“Pangeran Adam hanya menyapa,” balas Mariam. “Setelahnya, negeri ini hancur lebur dengan sendirinya.”
“Apa maksudmu?” tanya Wynter. “Aku sedang berjalan dan cahaya itu menarik perhatianku, sesuatu membuatnya menerang. Aku bahkan tidak tahu cara kerjanya, tidak ada yang tahu selama ribuan tahun!”
“Aku juga tidak tahu,” balas Mariam. “Aku tidak terlibat selain sebagai korban.”
“Kamu tidak terluka seperti mantan penduduk Shan, atau patah tulang,” ujar Wynter. “Kamu seakan sudah menebaknya.”
“Bukankah ada istilah ‘sedia payung sebelum hujan?’” balas Mariam. “Aku selalu menjaga diri, meski tanpa sihir. Seperti pesan Ibu.”
“Lalu siapa penyebab ‘Perburuan Penyihir’ setelah aku dijatuhkan ke sini?” Wynter menatapnya tajam. “Tidak ada yang pernah sekejam itu pada kami!”
“Tapi, lihat dirimu!” Mariam menunjuk Wynter. “Kamu baik-baik saja dan sempat bertemu lagi dengan Margarita kemudian punya lebih banyak anak. Lagipula, omong kosong macam apa tadi? Raja Khidir yang penyihir saja tidak diusik. Tidak ada sejarah Aibarab pernah memburu penyihir. Kamu pasti salah daerah.”
“Aku yakin kamu yang memulai perburuan ini.”
Mariam terdengar menahan geram. “Selama hidupku, aku hanya menjalani tugasku. Barangkali korban Shan yang kamu maksud itu sudah menyatu dengan tanah.”
“Korban Shan?”
“Ya,” balas Mariam. “Aku tidak punya sihir, untuk apa menghancurkan negeri Shan? Kenapa kamu main tuduh? Korban Shan-lah yang memulai, karena mereka pasti ada dendam dengan pelakunya.”
Wynter hanya membalas dengan tatapan. Pikirannya tampak berantakan, beliau bagai patung di hadapan Mariam. Seperti penduduk di Kota Saghra.
“Aku yakin kamu dalangnya,” ucap Wynter dengan pelan. “Semua orang tahu.”
Mariam menghela napas, terlihat kesal. “Kata siapa? Kenapa harus percaya? Kamu sendiri sudah hidup nyaman dan tenteram. Untuk apa kembali ke masa lalu? Saat kamu masih menjadi ‘Tahanan Istana’ meski berstatus sebagai Putra Raja?”
Wynter menatap Mariam. Sorot matanya semakin tajam. Tatapan itu berlangsung selama beberapa saat. Membuatku gelisah.
Suara Mariam memecah keheningan. “Wynter?”
Count membalas. “Ya?”
“Ada yang ingin disampaikan?” Mariam terlihat tetap tenang.
Wynter mengamati ruangan, tatapannya berhenti ke arahku. “Entahlah.”
***
“Kamu bakal jadi tumbal?” Calvacanti menyerahkan segelas susu untukku. Malam itu, aku berkunjung ke tempatnya demi mencari solusi.
“Mungkin.” Aku menegak susu itu hingga habis. “Terima kasih. Count menatapku saat mengucapkannya.”
“Tenanglah, Count tidak mungkin melakukannya.”
“Yakin sekali.”
“Memang betul,” balasnya. “Tuan tidak perlu tumbal untuk berbuat sesuatu. Ia bisa mengendalikan gerakanmu kalau mau.”
Aku bergidik. “Sama saja!”
“Hei, seharusnya kamu tidur sekarang.” Calvacanti mengalihkan topik.
“Aku tidak bisa tidur, apalagi gara-gara percakapan tadi,” ujarku. “Mana kutahu siapa yang benar atau salah kalau aku saja tidak tahu siapa Ma–Hiwaga sesungguhnya!”
Aduh, hampir saja!
Calvacanti tersenyum. “Aku tahu, Hiwaga itu bukan nama aslinya. Dan kamu, nama aslimu bukan Reem.”
“Terserah kau saja,” sahutku. “Tahu nama asliku juga tidak penting.”
“Nama asliku ya, Dontae Calvacanti,” sahut lamia itu. “Kalian lucu. Selalu menyembunyikan identitas seperti para mata-mata. Padahal, kamu hanya gadis desa biasa yang diasuh seorang wanita. Benar, ‘kan?”
Aku mengiakan.
“Majikanku sudah lama tahu tentang Hiwaga,” lanjutnya. “Makanya dia langsung diterima bekerja. Tuan juga curiga saat putri keduanya, Ariya, hilang ingatan soal apa yang terjadi sebelumnya. Delina bahkan tidak bisa menjelaskan tentang masa lalu Ariya, karena minuman itu. Jelas-jelas kami lihat kalian berdua di sana, sementara Ariya semakin bingung. Aku tahu, wanita aneh itu yang mengubahnya menjadi gelas baru kemudian diselamatkan Arsya.”
Aku tertegun mendengar ucapan itu. Jelas, tujuan hidupku semakin kabur dan peluang terasa lebih sedikit dibandingkan jumlah uangku. Mariam telah memberi konflik yang harus diselesaikan.
“Lalu ... Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku.
“Menunggu perintah.”
***
Aku terbangun saat tamparan keras melayang ke pipi. Sakit sekali! Padahal hari masih gelap.
“Aduh!” Aku terjatuh dari kasur tipisku dan menatap sosok yang berdiri di depanku. “Apa?!”
“Kita akan melanjutkan perjalanan.” Itu suara Mariam. Terdengar tenang.
“Jangan ditampar, dong!” Aku mengelus pipi.
“Kita tidak punya banyak waktu,” sahutnya. “Ia sebentar lagi akan membunuhmu.”
“Siapa?”
Mariam menarik tanganku. “Sakhor!”
Dia menarikku kasar hingga ke luar rumah dsn sampai pada kudanya. Kuda itu jauh lebih gemuk dari sebelumnya dan barang bawaan pun lebih banyak. Hebat juga, kuda ini tampak sudah lama mendampingi Mariam.
“Kamu yakin kita akan pergi sekarang?” Aku mulai ragu.
“Kamu mau jadi tumbal?” balas Mariam. “Pria itu menuntut sesuatu yang bahkan tidak ada hubungannya denganku.”
“Kenapa tidak diselesaikan secara kekeluargaan?” tanyaku.
“Kamu kira Sakhor mau mendengar?” sahut Mariam sambil menaiki kudanya. “Ayo, naik!”
Mariam memacu kuda secepat kilat, bahkan aku hampir melayang dan jatuh berkali-kali. Jarak antara kandang kuda dengan gerbang sangat jauh dan kami harus setenang mungkin agar tidak mengeluarkan suara. Hebat juga, meski sedang berlari, kuda ini tidak mengeluarkan suara sepatu kuda seperti kuda lainnya.
Kami berhasil keluar.
***
“Apa yang terjadi?” tanyaku. “Kenapa tidak minta bantuan dengan Count?”
“Count mana mau bantu,” balas Mariam.
“Lalu, kenapa aku diincar?”
“Kamu tahu kalung itu? Sejak dia tahu, dia tidak pernah melepaskan kita!”
“Sakhor?” heranku. “Kenapa?”
Mariam menoleh ke belakang. Dia memacu kuda dengan panik.
“Ada apa?” Aku jelas bingung sekaligus takut. “Mariam!”
Belum pernah aku melihat Mariam sepanik itu. Biasanya dia tetap santai atau memasang wajah datar.
“Kamu yang dicari.”
Hanya itu bisikan Mariam selama perjalanan. Tidak menjelaskan lebih rinci. Aku hendak bertanya, tapi situasi tidak memadai.
Mariam hentikan kudanya.
Aku pun penasaran. “Ada ap–”
KRAK!
–Puluhan hewan ternak menghalangi jalan. Nyaris menabrak kami.
Mariam menggeram. “Sakhor!”
Kutatap sekeliling, bingung.
Gerombolan hewan ternak itu masih saja menghalang, kami seakan terjebak dalam lautan.
Hanya ada dua pilihan ; maju tapi berisiko diinjak hewan ternak, atau kembali ke rumah Wynter dan aku mungkin akan tewas jadi tumbal.
Mariam tampak memilih yang pertama. Dia pacu kudanya mendekat dan berjuang melewati kawanan itu.
“Kalian tidak akan lolos!”
Nisma?
Aku menoleh.
“Jangan kabur!” Nisma berlari mengejar, meski tampak tertinggal.
Nisma kini memakai pakaian tidur berwarna hitam. Selain wajahnya yang manis, terukir senyuman licik di bibir tipisnya.
“Pengkhianat!” desis Nisma sambil menuangkan gelas itu ke tanah.
Tanah bergetar.
“Arggghhhh ...!”
Muncul tangan dan tulang belulang bergerak meraih kami.
Mariam berjuang memacu kudanya menjauh, namun ada saja tangan yang mencakar kakinya.
“Kalian tidak akan lolos!”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kini jeritan membangunkan seisi kota. Hewan ternak tadi memnuhi jalan kini menjadi santapan Tentara Nisma. Ya, kurasa itu gelar yang cocok bagi kumpulan makhluk menjijikkan ini. Seekor sapi melenguh selagi disantap mentah-mentah. Mariam memacu kuda selagi jalan sedikit terbuka– Sebuah tangan menarikku. “Kyaaa!” Srek! Bruk! Aku terempas ke tanah. Bau tangan itu busuk berpadu dengan tanah yang menyelimuti tubuh mereka. “Kyara!” Kudengar Mariam menjerit, tak peduli jika kami sedang menyamar atau tidak. Tangan-tangan itu mencengkeram pakaianku. Tubuhku tidak mampu memberontak. Mereka bagai rantai yang membelenggu dan terus menyeret semakin dalam. “Mariam! Mariam!” Aku menjerit sebisanya. Mariam memacu kuda dengan kasar. Kudanya justru jatuh, bersamaan dengan Mariam yang melompat sebelum mendarat di tanah. Tak peduli
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ “Otosan! Otosan!” Kukerjapkan mata. Kulihat seorang gadis berambut turquoise diurai hingga pinggang, di ujungnya terdapat warna hitam. Kulitnya sawo matang, dan tubuh sedikit lebih tinggi dariku. Kulihat sosok Mariam di sisi gadis itu. Bukan. Ia seperti Mariam, tapi dalam wujud pria. Perbedaan mencolok hanya ada pada matanya, merah. Rambut agak panjang dibandingkan pria lain yang pernah kulihat, kulitnya juga putih. Ia sedang memegang sebuah bakul, tatapannya tertuju pada gadis itu. Gadis tadi kembali memanggil. “Otosan, minta!” Ia membalas dengan elusan di rambut. “Dari tadi makan terus. Pulangnya jangan makan lagi!” Senyum gadis itu memudar. “Sedikit saja.” “Ingat-ingat, Hayya.” Gadis yang dipanggil Hayya itu
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Kebun Takeshi jauh lebih menawan dibandingkan milik Count Wynter. Beragam tanaman menghiasinya, mulai dari bunga sampai pohon unik tumbuh dengan subur. Saking lebatnya sampai menutupi langit di atas kami. Dengan sinar matahari yang tertutup, membuatnya bagai hutan rimba dilengkapi suara para hewan yang saling menyahut. “Ada berapa hewan di sini?” tanyaku. “Tupai, burung, ikan hias, dan beragam hewan ternak, tapi itu peliharaan tetangga yang mampir sebentar,” balas Hayya. “Mereka dirawat dengan baik.” “Untuk dimakan?” Azya mengiakan. “Kecuali tupai. Mereka membantu menumbuhkan pohon kalau lupa tempat mengubur kacangnya. Ada juga kelelawar yang kadang menggugurkan biji buah ke tanah sehingga pohon baru akan tumbuh.” Hayya menambahkan. Aku mengamati kebun, atau lebih tepatnya hutan. Sungguh asri dan damai. Aku ingin berlama-lama di sini. Hutan di desaku tidak pernah selebat ini. Kebanyakan hanya sawah dan pertanian sederhana. Jadi ingat Ibu. Beliau rajin mer
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Petangnya, Takeshi memasak di dapur sementara aku hanya menonton. Ia tidak mau dibantu, tapi menolak ditinggal. Rupanya ia senang melihatku terkagum-kagum melihat masakannya yang menggoda.“Di Shan dulu, aku dilarang memasak,” ujar Takeshi. “Para pelayan yang memasak. Padahal aku lebih suka masakan buatanku sendiri.”“Dari mana kamu belajar?” tanyaku. “Ibumu?”“Dari Kepala Pelayan,” balas Takeshi. “Ibu tidak bisa memasak.”Ia selesai merebus makanan panjang berwarna kuning lalu meletakkannya di sebuah mangkuk berisi kuah. Ditaburinya sayur-mayur yang dipotong kecil dan sejumput garam. Belum pernah aku melihat makanan seperti itu sebelumnya.“Ini masakan favorit kami,” ujar Takeshi. “Kami menyebutnya mie. Kamu pasti pernah mendengarnya.”Aku menggeleng. “Aku hanya tahu kuah da
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵Dia bilang apa? Aku dari Shan?Tinggal di sana bersamanya sebagai tuan dan abdi?Tapi ...“Aku tidak ingat apa-apa,” bantahku.Takeshi tampak bingung. “Tidak ingat?”Aku jelas tidak tahu.Baru hendak bertanya, terdengar suara Hayya memanggil Takeshi.“Otosan! Otosan!”Pria itu lantas keluar. “Kenapa, Hayya?”“Aku belum mengucapkan ‘Selamat malam.’ Selamat malam!”***Aku merasakan getaran hebat di lantai pagi itu. Mengira ini gempa bumi, aku melesat mencari lapangan luas untuk berlindung. Aku tidak sempat berteriak karena kakiku menjadi satu-satunya anggota badan yang fokus saat itu.“Lian-chan! Ada apa denganmu?” Hayya menatapku heran ketika keluar kamar bak kesetanan. “Kamu merasakan getaran tadi, ya?”
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵«Azya»Sudah lama negeriku, Kyrvec, diganggu oleh dunia luar, terutama oleh Sakhor. Ia bisa mengendalikan binatang dan sering menjadikan kami sebagai kelinci percobaan, meski gagal lantaran kami bisa menguasai kedua akal dan nafsu.Kyrvec adalah negeri tersembunyi. Kami tidak punya mata uang atau alat tukar barang. Tapi tidak juga kekurangan jatah makanan. Meski kadang kami memakan bangkai saudara sendiri yang mati. Sakhor akan datang di saat seperti itu dan menawarkan kehidupan indah.“Kalian cukup tunduk padaku,” ujarnya. “Maka hidup kalian terjamin.”Target kami tidak lain adalah kamu–Lian–lalu Otosan dan teman-temannya yang lain. Tapi, kami selalu menolak.Akibatnya, sebagian dari kami dibantai oleh pasukan hewannya tanpa alasan yang jelas. Banyak korban berjatuhan, menyebabkan peperangan sia-sia.“Ylfa!” panggil
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵“Lalu ... Apa katanya?” tanyaku.Azya diam sejenak. “Um, habis itu mereka pergi tanpa mengucapkan sepatah kata. Aku dan Hayya lalu menunggu kepulangan Otosan.”“Kamu atau Hayya tahu masa lalunya selain fakta kalau ia penduduk Shan dulu?”“Ya. Tapi, beliau sepertinya memang lupa sesuatu. Kami yakin seseorang mengacak ingatannya.”Meski selamat, ia tidak luput dari serangan hilang ingatan. Aku jadi penasaran, benarkah sikapnya selama ini berbeda dengan yang dulu? Kalau iya, seperti apa?“Permisi, Lian-chan, aku ke kamar.” Azya langsung meninggalkanku.***Aku memetik rangkaian bunga dari kebun selama menunggu kepulangan Takeshi. Aku dan Hayya duduk di pondok sambil merangkai tumbuhan yang ada. Kupegang rangkaian bungaku yang acak-acakan untuk dijadikan mahkota bersama Hayya.“Tara!
✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵ Sesuatu menangkap tubuhku. Aku membuka mata. Rupanya aku digendong seorang wanita berambut biru. Dia lalu menurunkanku. “Nenek!” seru Aoi. “Maaf, Lian.” Aku menatap wanita yang ternyata nenek dari Aoi. Wajahnya tidak menunjukkan kalau dirinya sudah tua, justru sebaliknya. “Te ... Terima kasih.” Aku menunduk. “Aku terlalu bersemangat.” Wanita itu mengelus rambutku. “Lain kali, hati-hati.” Hayya terpaku menatapku. Kulihat dia baru saja turun tanpa hambatan. Aku yang heran memanggil namanya. “Hayya?” Gadis itu malah lenyap seketika itu juga. Dia bahkan tidak menjerit atau mengeluarkan suara selain langkah kakinya yang sayup-sayup menyatu dengan udara. Aku berbalik dan hanya ada kami bertiga di hutan ini. “Ada apa?” Wanita itu menatap sekeliling. “Mungkin Pengalih-Rupa,” ujarnya. “Kalian bermain terlalu jauh, sebaiknya menginap di rumah kami.” Aku menatap s