Share

Keluarga Wynter – 7

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Aku terbangun pada tengah malam. Entah mengapa percakapan antara majikanku dengan Mariam terus saja mengganggu batin. 

Mariam masih terlelap di sisiku dan mendengkur pelan. Beruntung aku juga terbiasa mendengar dengkuran Ibu dulu. Anehnya, kebiasaan ini tidak menurun padaku. Barangkali dari mendiang Ayah yang tidak pernah kujumpai. 

Aku langkahkan kaki ke luar rumah sambil menikmati udara malam. Pikiranku seketika tertuju pada sore itu. Ah, perdebatan.

***

Wynter dengan tatapan dingin terus menginterogasi Mariam yang juga dibalasnya dengan santai. Ia tidak lepas pandangan, apalagi setiap kali Mariam menjawab pertanyaannya seakan baru saja mendengar penjelasan rumit. Sementara lawan bicaranya tidak pernah menanggapi dengan serius, yang justru menyulut bara di hati sang majikan. 

“Aku melihatmu terakhir bersama adikku sebelum ledakan itu,” ujar Wynter. “Aku tahu kamu siapa.” 

“Pangeran Adam hanya menyapa,” balas Mariam. “Setelahnya, negeri ini hancur lebur dengan sendirinya.” 

“Apa maksudmu?” tanya Wynter. “Aku sedang berjalan dan cahaya itu menarik perhatianku, sesuatu membuatnya menerang. Aku bahkan tidak tahu cara kerjanya, tidak ada yang tahu selama ribuan tahun!” 

“Aku juga tidak tahu,” balas Mariam. “Aku tidak terlibat selain sebagai korban.” 

“Kamu tidak terluka seperti mantan penduduk Shan, atau patah tulang,” ujar Wynter. “Kamu seakan sudah menebaknya.” 

“Bukankah ada istilah ‘sedia payung sebelum hujan?’” balas Mariam. “Aku selalu menjaga diri, meski tanpa sihir. Seperti pesan Ibu.” 

“Lalu siapa penyebab ‘Perburuan Penyihir’ setelah aku dijatuhkan ke sini?” Wynter menatapnya tajam. “Tidak ada yang pernah sekejam itu pada kami!” 

“Tapi, lihat dirimu!” Mariam menunjuk Wynter. “Kamu baik-baik saja dan sempat bertemu lagi dengan Margarita kemudian punya lebih banyak anak. Lagipula, omong kosong macam apa tadi? Raja Khidir yang penyihir saja tidak diusik. Tidak ada sejarah Aibarab pernah memburu penyihir. Kamu pasti salah daerah.” 

“Aku yakin kamu yang memulai perburuan ini.” 

Mariam terdengar menahan geram. “Selama hidupku, aku hanya menjalani tugasku. Barangkali korban Shan yang kamu maksud itu sudah menyatu dengan tanah.” 

“Korban Shan?”

“Ya,” balas Mariam. “Aku tidak punya sihir, untuk apa menghancurkan negeri Shan? Kenapa kamu main tuduh? Korban Shan-lah yang memulai, karena mereka pasti ada dendam dengan pelakunya.” 

Wynter hanya membalas dengan tatapan. Pikirannya tampak berantakan, beliau bagai patung di hadapan Mariam. Seperti penduduk di Kota Saghra. 

“Aku yakin kamu dalangnya,” ucap Wynter dengan pelan. “Semua orang tahu.” 

Mariam menghela napas, terlihat kesal. “Kata siapa? Kenapa harus percaya? Kamu sendiri sudah hidup nyaman dan tenteram. Untuk apa kembali ke masa lalu? Saat kamu masih menjadi ‘Tahanan Istana’ meski berstatus sebagai Putra Raja?” 

Wynter menatap Mariam. Sorot matanya semakin tajam. Tatapan itu berlangsung selama beberapa saat. Membuatku gelisah. 

Suara Mariam memecah keheningan. “Wynter?” 

Count membalas. “Ya?” 

“Ada yang ingin disampaikan?” Mariam terlihat tetap tenang. 

Wynter mengamati ruangan, tatapannya berhenti ke arahku. “Entahlah.” 

*** 

“Kamu bakal jadi tumbal?” Calvacanti menyerahkan segelas susu untukku. Malam itu, aku berkunjung ke tempatnya demi mencari solusi. 

“Mungkin.” Aku menegak susu itu hingga habis. “Terima kasih. Count menatapku saat mengucapkannya.” 

“Tenanglah, Count tidak mungkin melakukannya.” 

“Yakin sekali.” 

“Memang betul,” balasnya. “Tuan tidak perlu tumbal untuk berbuat sesuatu. Ia bisa mengendalikan gerakanmu kalau mau.” 

Aku bergidik. “Sama saja!” 

“Hei, seharusnya kamu tidur sekarang.” Calvacanti mengalihkan topik. 

“Aku tidak bisa tidur, apalagi gara-gara percakapan tadi,” ujarku. “Mana kutahu siapa yang benar atau salah kalau aku saja tidak tahu siapa Ma–Hiwaga sesungguhnya!” 

Aduh, hampir saja! 

Calvacanti tersenyum. “Aku tahu, Hiwaga itu bukan nama aslinya. Dan kamu, nama aslimu bukan Reem.” 

“Terserah kau saja,” sahutku. “Tahu nama asliku juga tidak penting.” 

“Nama asliku ya, Dontae Calvacanti,” sahut lamia itu. “Kalian lucu. Selalu menyembunyikan identitas seperti para mata-mata. Padahal, kamu hanya gadis desa biasa yang diasuh seorang wanita. Benar, ‘kan?” 

Aku mengiakan. 

“Majikanku sudah lama tahu tentang Hiwaga,” lanjutnya. “Makanya dia langsung diterima bekerja. Tuan juga curiga saat putri keduanya, Ariya, hilang ingatan soal apa yang terjadi sebelumnya. Delina bahkan tidak bisa menjelaskan tentang masa lalu Ariya, karena minuman itu. Jelas-jelas kami lihat kalian berdua di sana, sementara Ariya semakin bingung. Aku tahu, wanita aneh itu yang mengubahnya menjadi gelas baru kemudian diselamatkan Arsya.” 

Aku tertegun mendengar ucapan itu. Jelas, tujuan hidupku semakin kabur dan peluang terasa lebih sedikit dibandingkan jumlah uangku. Mariam telah memberi konflik yang harus diselesaikan. 

“Lalu ... Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku. 

“Menunggu perintah.” 

***

Aku terbangun saat tamparan keras melayang ke pipi. Sakit sekali! Padahal hari masih gelap. 

“Aduh!” Aku terjatuh dari kasur tipisku dan menatap sosok yang berdiri di depanku. “Apa?!” 

“Kita akan melanjutkan perjalanan.” Itu suara Mariam. Terdengar tenang. 

“Jangan ditampar, dong!” Aku mengelus pipi.

“Kita tidak punya banyak waktu,” sahutnya. “Ia sebentar lagi akan membunuhmu.” 

“Siapa?” 

Mariam menarik tanganku. “Sakhor!” 

Dia menarikku kasar hingga ke luar rumah dsn sampai pada kudanya. Kuda itu jauh lebih gemuk dari sebelumnya dan barang bawaan pun lebih banyak. Hebat juga, kuda ini tampak sudah lama mendampingi Mariam.

“Kamu yakin kita akan pergi sekarang?” Aku mulai ragu. 

“Kamu mau jadi tumbal?” balas Mariam. “Pria itu menuntut sesuatu yang bahkan tidak ada hubungannya denganku.” 

“Kenapa tidak diselesaikan secara kekeluargaan?” tanyaku. 

“Kamu kira Sakhor mau mendengar?” sahut Mariam sambil menaiki kudanya. “Ayo, naik!” 

Mariam memacu kuda secepat kilat, bahkan aku hampir melayang dan jatuh berkali-kali. Jarak antara kandang kuda dengan gerbang sangat jauh dan kami harus setenang mungkin agar tidak mengeluarkan suara. Hebat juga, meski sedang berlari, kuda ini tidak mengeluarkan suara sepatu kuda seperti kuda lainnya. 

Kami berhasil keluar.

*** 

“Apa yang terjadi?” tanyaku. “Kenapa tidak minta bantuan dengan Count?” 

“Count mana mau bantu,” balas Mariam. 

“Lalu, kenapa aku diincar?” 

“Kamu tahu kalung itu? Sejak dia tahu, dia tidak pernah melepaskan kita!” 

“Sakhor?” heranku. “Kenapa?” 

Mariam menoleh ke belakang. Dia memacu kuda dengan panik. 

“Ada apa?” Aku jelas bingung sekaligus takut. “Mariam!” 

Belum pernah aku melihat Mariam sepanik itu. Biasanya dia tetap santai atau memasang wajah datar. 

“Kamu yang dicari.” 

Hanya itu bisikan Mariam selama perjalanan. Tidak menjelaskan lebih rinci. Aku hendak bertanya, tapi situasi tidak memadai. 

Mariam hentikan kudanya. 

Aku pun penasaran. “Ada ap–” 

KRAK! 

–Puluhan hewan ternak menghalangi jalan. Nyaris menabrak kami. 

Mariam menggeram. “Sakhor!” 

Kutatap sekeliling, bingung. 

Gerombolan hewan ternak itu masih saja menghalang, kami seakan terjebak dalam lautan.

Hanya ada dua pilihan ; maju tapi berisiko diinjak hewan ternak, atau kembali ke rumah Wynter dan aku mungkin akan tewas jadi tumbal. 

Mariam tampak memilih yang pertama. Dia pacu kudanya mendekat dan berjuang melewati kawanan itu. 

“Kalian tidak akan lolos!” 

Nisma? 

Aku menoleh. 

“Jangan kabur!” Nisma berlari mengejar, meski tampak tertinggal. 

Nisma kini memakai pakaian tidur berwarna hitam. Selain wajahnya yang manis, terukir senyuman licik di bibir tipisnya. 

“Pengkhianat!” desis Nisma sambil menuangkan gelas itu ke tanah. 

Tanah bergetar. 

“Arggghhhh ...!” 

Muncul tangan dan tulang belulang bergerak meraih kami.

Mariam berjuang memacu kudanya menjauh, namun ada saja tangan yang mencakar kakinya. 

“Kalian tidak akan lolos!”

✵────────┈⊰✵⊱┈────────✵

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status