Seorang pria paruh baya tengah menatap kosong ke arah jendela ruangannya yang transparan. Dia menatap kekosongan di antara terik matahari yang terasa mencengkram. "Selamat siang, Tuan," sapa seorang pria muda memakai jas rapi seraya membungkuk hormat padanya. "Bagaimana?" tanyanya tanpa melihat sang asisten. "Peluncuran senjata baru kita sudah mendapat izin, Tuan. Ada beberapa negara yang nanti akan ikut hadir dalam acara itu," jelas sang asisten. "Baik, atur semuanya. Pastikan izin negara bersifat valid, aku tidak mau ada permainan lagi!" titahnya. "Baik, Tuan," sahut sang asisten. "Bagaimana dengan putraku? Cucuku?" tanyanya. Walaupun sudah belasan tahun hubungannya dengan sang anak tunggal tidak baik, tetapi pria paruh baya itu selalu memantau dan mengawasi pergerakan anaknya. "Tuan muda baik-baik saja, Tuan. Hubungan tuan muda dengan nona Zevanya juga semakin hari semakin membaik," jelas pria berpakaian rapi itu. Sejenak pria berusia itu terdiam. Sebenarnya dia mera
"Sini, Kak. Biar aku ambilkan!" Zea mengambil piring dari tangan Zayyan. Semua yang di meja makan memperhatikan sikap aneh Zea. Tak pernah sebelumnya Zevanya bersikap semanis itu pada suaminya. Lagian percuma karena Zayyan pasti akan menolak dan tidak suka dengan sikap istrinya itu. "Kakak mau yang mana?" "Yang mana saja boleh," jawab Zayyan sambil tersenyum. Zavier mengangga melihat sang kakak yang tersenyum manis seperti itu. Ini benar-benar ada yang aneh, biasanya Zayyan tak mau sama sekali melihat istrinya sebagai seorang wanita yang layak dicintai, tetapi kali ini dia seperti sedang jatuh cinta. "Mommy, Ar juga," pinta Ar. "Sebentar ya, Son." Zea tersenyum sambil mengambilkan makanan untuk putranya. Sementara Grace dan Ruth tidak mau ikut makan. Kedua wanita itu kesal melihat Zea yang tampak disukai oleh Zayyan. "Ar mau disuapin Mommy atau makan sendiri?" "Disuapin Mommy!" seru Ar cepat dengan wajah sumringah dan bahagia. Zea terkekeh pelan. Lalu dia menyuapi k
Zea memukul dada Zayyan agar melepaskan ciuman mereka. Sontak ciuman Zayyan terlepas. Sementara Zea menghirup udara sebanyak mungkin. Lelaki ini benar-benar ingin membunuhnya. Apalagi ini pertama kalinya Zea berciuman karena sebelumnya dia belum pernah bersentuhan dengan lelaki manapun. "Kakak benar-benar ingin membunuhku!" protes Zea mengusap dadanya. Zayyan masih menghimpit tubuh gadis itu. Dia mengusap bibir basah Zea akibat ulahnya. Sudut bibirnya tertarik melihat wajah merah gadis ini. Rasanya dia ingin tertawa karena telah mencium gadis sepolos Zea. "Kenapa? Bukankah kau selalu ingin bersentuhan dengan bibir mansiku ini?" goda Zayyan. Zea mendelik. Orang ini memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Jelas-jelas Zea tak menyukai kakak iparnya itu, jangankan ingin bersentuhan dengan bibir Zayyan. Melihat pria itu saja dia malas, jika bukan karena sang ayah. "Kakak mengambil ciuman pertamaku!" ujar Zea tanpa sadar bahwa kini dia sedang menyamar menjadi orang lain. Zayyan t
Zea berjalan dengan mengendap-endap keluar dari pagar mansion mewah itu. "Hufh, untung saja para pengawal tidak melihatku," gumam Zea bernapas lega. Gadis itu sudah memesan taksi sebelum keluar dari rumah mewah itu. Entah ke mana dia akan pergi? Wajahnya tampak gelisah tak menentu. Zea masuk ke dalam mobil. Dia mengelus dada lega karena tak ada yang melihatnya. Jangan heran jika dia ahli dalam hal bersembunyi dan main kabur-kaburan seperti itu karena memang sejak sekolah menengah atas dirinya pernah ikut karate. Walaupun Zea wanita lemah lembut, tetapi dia memiliki sisi bar-bar seperti wanita pada umumnya. "Aku harus bertemu Kak Zeva," gumam Zea menghela napas panjang. "Kak Zeva harus bertanggungjawab, aku tidak mau terkurung dan terikat dalam rumah neraka itu." Zea menatap kosong ke arah jendela kaca mobil. Tanpa sadar air mata gadis itu menetes membahasi pipi cantiknya. Seketika dadanya terasa sesak yang menyekat. Dia mencoba menikmati perannya sebagai Zevanya, tetapi tetap
"Tidak semudah itu, Sean!" balas Zevanya dengan senyuman mengejek ke arah lelaki yang ada di depannya itu. "Kenapa tidak mudah?" Sean membalas dengan senyuman ejekan. "Kau lupa? Jika kau membongkar identitas Zea, maka dia yang akan jadi korban. Sementara aku akan bebas karena aku mengenal suamiku, dia tidak akan melepaskan orang yang sudah bermain mempermainkan dirinya!" tekan Zevanya. "Sudah, sudah!" Miko melerai kedua orang itu. "Zeva, katakan apa maksud dan tujuanmu meminta adikmu datang ke sini?" Miko menatap ke arah anak sulungnya. "Apa Ayah tidak dengar? Tadi aku memerintahkan agar Zea mengambil rahasia perusahaan Zayyan," sahut Zevanya. Zea menggeleng tidak mau. Dia tidak akan pernah mengkhianati Zayyan, apalagi selama ini kakak iparnya itu sudah baik padanya. "Aku tidak akan pernah melakukannya, Kak," tegas Zea. "Kenapa? Apa kau mulai jatuh cinta pada pria yang tak memiliki perasaan itu?" * * * "Kenapa dengan wajahmu?" Samuel duduk di samping Zayyan. "Berikan
Zea keluar dari mobil. Dia menghela napas panjang saat melihat gerbang terbuka dengan beberapa pengawal yang tampak tertidur di pos jaga. Tidak lama kemudian datang sebuah mobil mewah menghampirinya. Wajah Zea langsung pucat fasih, apalagi dia tak mengenal itu mobil siapa. Tampak Samuel keluar dari dalam mobil. Kening Zea semakin mengerut heran, jelas dia tidak kenal siapa lelaki yang ada di depannya. "Nona Zevanya!" "Siapa?" tanya Zea penuh selidik. "Saya anak buah tuan Zayyan. Tuan sekarang berada di club' dalam keadaan mabuk. Dia meminta Anda untuk menjemputnya," lapor Samuel hormat. Zea terkejut mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Samuel. Wanita itu menatap Samuel penuh selidik. "Kakak tidak bohong, 'kan?" Samuel terkekeh ketika Zea memangilnya kakak. Gadis ini benar-benar tak bisa menyamar jadi orang lain. Samuel membuka pintu mobil agar Zea masuk ke dalam sana. "Silakan masuk, Nona. Saya akan antar Anda menemui tuan!" ucap Samuel sopan. Zea tampak ragu,
"Kita harus cari cara agar Zea mau mencuri rahasia perusahaan Zayyan," ucap Zevanya tampak frustasi. Adiknya itu sangat sulit sekali untuk dibujuk dan rayu. "Kau benar, Sayang." Marvin tersenyum sendiri mengingat wajah Zea. "Kenapa kau tersenyum tidak jelas?" Zevanya memincingkan matanya curiga. "Kau menyukai adikku?" "Kau ini berbicara apa sih, Sayang? Mana mungkin aku menyukai wanita lain selain dirimu!" kilah Marvin sambil memeluk tubuh Zevanya dari belakang. "Awas saja kalau kau menyukainya!" ancam Zevanya menatap kekasihnya tajam. "Itu tidak akan mungkin terjadi, Sayang," sangkal Marvin mengecup leher Zevanya. Zevanya masih kesal karena Zea susah sekali diajak kerja sama. Namun, dia tidak akan tinggal diam. Nantinya dia akan kembali pada Zayyan dan meminta uang pada suaminya itu sendiri. "Apa aku kembali saja pada Zayyan?" gumam Zevanya yang masih didengar oleh Marvin. "Apa kau yakin akan kembali?" tanya Marvin membalikan tubuh kekasihnya itu. "Tidak ada pilihan lain. Ak
Zea membuka matanya perlahan. Dia merasa ada sesuatu yang menimpa tubuhnya dengan berat. Wanita itu terkejut ketika melihat sang kakak ipar yang masih berada di atasnya. Air mata Zea menetes mengalir membasahi pipi cantiknya. Dadanya seketika sesak mengingat pergulatan panas mereka tadi malam. Zea berusaha menyingkirkan tangan Zayyan dari perutnya. Wanita itu perlahan menurunkan kakinya. Dia meringgis kesakitan merasakan perih di area sensitifnya. "Aku hancur," gumamnya berlinang air mata. "Apa yang bisa aku banggakan pada calon suamiku nanti, sementara mahkota yang selama ini aku jaga dengan susah payah malah direnggut oleh kakak iparku sendiri!" Gadis yang sudah menjadi wanita itu memungut pakaiannya yang ada di atas lantai. Dia berjalan menuju kamar mandi dengan kaki yang diseret, sebab area sensitifnya terasa benar-benar sakit. Apalagi ini pengalaman pertama bagi Zea berhubungan badan dengan pria. Zea menatap sedih pantulan dirinya di depan cermin. Tanda kepemilikan bekas Zay