Share

3. Kembali ke Rutinitas

Seperti biasa, Ina akan bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan sang suami tercinta. Banyak yang berubah dari Ina, dulu wanita itu tidak bisa memasak, tidak terbiasa dengan kegiatan yang berhubungan dengan rumah. Tapi, semenjak mengenal Amir dan menikah dengan pria itu, perlahan ia mulai belajar memasak, bahkan sekarang memasak menjadi hobinya. Lalu pekerjaan rumah seperti menyapu dan mengepel, Ina yang membersihkan ketika ia pulang dari butiknya. Ia juga tidak mengandalkan asisten rumah tangga sejak mereka menikah hingga sekarang, padahal Ina cukup sibuk dan pasti sangat melelahkan baginya selama seharian penuh mengurus butik hingg sore lalu ketika pulang masih menyempatkan untuk menyiapkan makan malam dan membereskan rumah.

Berulang kali Amir sudah mengusulkan untuk mempekerjakan aisten rumah tangga, tapi selalu ditolak olehnya. Katanya, akan ribet, dan percuma jika mempekerjakan aisten rumah tangga yang masih muda Ina tidak suka, jika yang sudah paruh baya Ina kasihan. Lebih baik semua ia kerjakan sendiri daripada harus menggunakan art. Baginya, jika sendiri saja ia masih sanggup, kenapa tidak?

Lalu, tidak jauh dari di mana dapur berada, Amir berdiri dengan menyandarkan tubuhnya di tembok sambil bersedekap dada. Matanya menatap Ina penuh kagum dan cinta. Begitu banyak peningkatan yang dialami Ina sejak mereka mulai membangun bahtera rumah tangga. Amir jugalah saksi di mana ketika pertama kali mereka tinggal bersama, Amir lah yang memasak atau jika tidak mereka harus pergi keluar untuk makan. Hingga beberapa minggu kemudian, Ina memintanya untuk mengajari memasak. Ina juga meminta pendapat padanya bagaimana jika dia mengikuti kursus memasak. Tentu Amir mengajari Ina dengan senang hati, dan sangat mendukung jika Ina mengikuti kursus.

Amir tersenyum hangat, sebelum akhirnya berdeham membuat Ina yang sibuk pada aktivitas memasaknya mendongak, matanya melirik jam di dinding. "Tumben udah rapi?" tanya Ina menaikkan sebelah alisnya.

Amir berjalan, menghampiri Ina menatap wanitanya dalam. "Aku ada rapat," jawabnya membuat Ina mengangguk paham dan setelahnya melanjutkan memasaknya.

"Bentar yah, sebentar lagi." Kata Ina tanpa mengalihkan pandangannya pada ayam yang sedang digoreng.

Amir terkekeh, ah istrinya itu sangat menggemaskan. Batinnya. "Iya, nggap papa kok, ai. Pelan-pelan aja."

Sembari menunggu Ina selesai memasak, Amir memutuskan untuk duduk di meja makan. Pandangan matanya tidak lepas dari sang istri dengan gaya rambut yang dicepol, celemek yang terpasang pada tubuhnya, dan jangan lupakan daster yang melengkapi gayanya pagi ini. Benar-benar seperti ibu rumah tangga yang sesungguhnya. Amir meraih ponsel, lalu membuka kamera untuk mengambil gambar istrinya. "Ah, sudah siap!" seru Ina melangkahkan kakinya menuju meja makan dengan membawa mangkuk berisi soup. Satu-persatu, masakan sudah terhidang di atas meja.

Amir bersorak melihatnya, dengan sigap Ina segera menuangkan nasi beserta lauk-pauknya di atas piring Amir. "Silakan dimakan, Tuan," kata Ina membuat Amir terkekeh lalu mengusap pelan kepala istrinya itu.

"Aku mandi dulu ya, ai. Kamu makan aja," lanjut Ina membuat Amir menghentikan langkah istrinya itu.

Amir menggeleng, lalu memberi kode untuk Ina bergabung. "Sarapan dulu, masa aku makan sendiri. Berasa jomblo dong," guraunya membuat Ina terkekeh sebelum akhirnya ikut bergabung.

"Tumben belum mandi? Biasanya sebelum masak udah mandi dulu," tanya Amir membuka percakapan.

"Tadi males, airnya dingin," balas Ina memasukkan nasi ke dalam mulutnya.

"Harusnya kamu bangunin aku, biar bisa mandi bareng," goda Amir mengedipkan matanya. Ina mendelik tajam menatap suaminya itu.

"Ish, pikirannya itu loh!"

"Loh kenapa? Udah sah, kan?" protes Amir.

"Terserah ih," dengus Ina mulai kembali melahap sarapannya.

Mereka sudah selesai sarapan, Amir mulai beranjak dari duduknya berniat untuk berangkat ke kantor, sedangkan Ina mengekor di belakang. Ketika sampai di depan pintu, Amir berbalik menatap Ina–wanita itu yang paham segera menempelkan tangan Amir ke hidungnya. Bukankah itu juga termasuk salah satu bentuk hormat istri pada suami? Tapi, tidak sedikit pula seorang istri di luar sana yang melupakan hal sekecil itu.

Ah, Ina juga merasa sangat bersyukur. Pertemuannya dengan Amir adalah hal terbaik yang pernah ia dapatkan. Pria itu dengan sabar membimbingnya dari nol. Amir benar-benar suami idaman dan Ina sangat beruntung mendapatkannya, lebih tepatnya Ina beruntung karena Amir memilihnya sebagai pasangan hidup pria itu.

Amir mengusap kepala Ina lembut, tersenyum hangat. "Aku berangakat dulu, ai," katanya menempelkan bibirnya ke kepala Ina agak lama.

Ina mengangguk, balas tersenyum hangat. "Hati-hati, ai!" katanya melambaikan tangan dan dibalas pria itu.

Setelah mobil Amir keluar gerbang, Ina masuk ke dalam rumah, membereskan meja makan terlebih dulu sebelum bersiap untuk berangkat ke butik. Untung saja, Ina adalah pemilik butik. Jadi, berangkat telat sedikit saja tidak masalah karena tidak akan ada yang marah dan protes akan hal itu.

Sebuah dress berbahan satin selutut dengan lengan model terompet menjadi pakaian Ina hari ini. Ina terlihat anggun dan cantik di balik dress bermotif bunga daisy itu. Apalagi high heels 15 senti menjadi pelengkapnya. Ina melihat dirinya dari pantulan kaca, merasa puas setelah menyentuh wajahnya dengan sedikit riasan. "Perfect!" serunya tersenyum lebar.

*****

Sesampainya di sebuah gedung bertuliskan AA Boutique, Ina turun dari mobil. Langkah kakinya mulai memasuki butik, beberapa pegawai yang melihatnya menyapa Ina dan dibalas ramah olehnya. "Pagi, Mbak Ina!" sapa salah satu pegawai Ina yang memakai hijab. Dia pegawai pertama Ina dan sampai sekarang masih ada untuknya.

"Pagi juga, Din!" balas Ina tersenyum. "Hari ini ada jadwal ketemu klien, nggak?" tanyanya. Selain pegawai, dia juga menjadi asisten Ina.

Dini menggeleng, "Nggak ada, Mbak. Tapi besok lusa ada," jawabnya.

"Oke, Din. Aku masuk dulu, ya!" kata Ina sebelum melangkah pergi memasuki ruangannya.

Ruangan yang tidak besar, tapi membuat Ina nyaman. Selain butik yang didesain khusus oleh Amir, suaminya. Pria itu juga mendesain ruangan miliknya. Waktu itu Ina hanya berkata, dirinya ingin ruangan yang seperti ini dan itu, lalu tanpa harus menunggu lama Amir menyelesaikannya. Bahkan ia tidak membutuhkan untuk memanggil seorang arsitek dan ahli desain interior, karena suaminya saja sudah ahli dengan semua itu.

Ruangan bernuansa hijau putih, ketika masuk kalian akan disuguhkan dengan sebuah hiasan Menara Eiffel dengan tinggi yang hampir menyamai tinggi Ina. Lalu di sebelah kirinya, ada foto pernikahan Ina dan Amir terpasang. Meja panjang dengan kursi kebangsaan Ina untuknya ketika sedang sibuk mendesain berada di tengah dengan latar belakang sebuah kaca besar tertutup tirai, jika di buka akan memperlihatkan jalanan Kota Bogor. Dan di samping kanan meja kerja, terdapat sebuah lemari untuk memajang penghargaan-pengharagaan yang telah Ina dapatkan selama kurang lebih lima tahun ini, seperti beberapa piala dan sertifikat. Lalu sofa panjang dengan meja kecil untuk menyambut tamu berada di depan lemari.

Ina menatap seluruh ruangannya, ia tahu Amir membuatnya penuh cinta. Bahkan butik ini, Amir persembahkan sebagai kado ulang tahunnya. Kadang jika mengingatnya saja, membuat jantung Ina berdebar lebih kencang dari ritme biasanya.

Ah, dirinya benar-benar mencintai pria itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status