Share

MARTIN AND BIANCA- I’M UGLY.

MARTIN AND BIANCA- I’M UGLY.

MARTIN hendak menceritakan masa lalu yang membuatnya terluka sangat dalam. Ia merasa sudah saatnya ia berbagi kisah itu dengan salah satu orang terdekatnya, meskipun yang ia maksud saat ini adalah Bianca dan gadis itu sendiri sepertinya tidak peduli dengannya. Ketika Martin membuka mulutnya, Bianca justru berkata. “Jangan ceritakan apa pun padaku.”

“Kenapa?” tanya Martin cepat.

“Karena aku tidak bisa menjaga rahasia.” Ujar Bianca tenang. Bianca memandangi ponselnya. Ia melihat sebuah panggilan masuk dari nomor tidak dikenal. Dengan hati-hati, Bianca menerima panggilan tersebut. “Hallo…”

Melihat Bianca menhubungi seseorang, menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benak Martin. Seharusnya, ia tidak boleh seperti itu. Mungkin saja Bianca sudah memiliki kekasih. Martin, meskipun menginginkan Bianca, ia tidak mau merusak kebahagiaan gadis itu. Lagipula, ia tidak yakin apakah lukanya sudah benar-benar sembuh atau yang terjadi padanya selama ini hanyalah emosi sesaat.

“Kevin?” ucap Bianca. Gadis itu tampak mengerutkan keningnya. “Bagaimana kau bisa mendapatkan nomorku?”

Bianca terdiam sejenak, mendengar jawaban seseorang bernama Kevin. Entah mengapa Martin sangat yakin kalau orang yang saat ini menghubungi Bianca adalah Martin yang dikenalnya.

“Oh… Kakakku.” Kata Bianca lagi. “Apa dia masih di sana?” gadis itu kembali terdiam, menunggu jawaban.

“Besok Ben akan mengajakku ke bar lagi? Untuk apa?” Bianca bertanya dengan ekspresi malas. Martin menduga gadis itu sudah sering mendapat perlakuan sepeti itu dari orang-orang di sekitarnya.

“Aku tidak tahu apakah besok aku bisa atau tidak karena besok aku harus pergi ke sekolah.” Bianca menggunakan telunjuk untuk menggambar sesuatu di kaca jendela. Martin lagi-lagi memperhatikannya.

“Kau mau ke rumahku?” Kali ini Bianca terperanjat. “Besok malam?” ulangnya.

Memejamkan mata, Bianca kembali berbicara setelah beberapa saat. “Aku harus pergi setelah pulang sekolah. Kemungkinan pulang malam. Maaf, sepertinya kita tidak bisa bertemu besok, Kevin.”

Bianca kembali terdiam, kali ini untuk mendengar jawaban Kevin. Sesaat kemudian gadis itu kembali berkata. “Kau mau menjemputku sepulanh sekolah? Tapi Kev-“

Kesal dengan ocehan Kevin, Martin merebut ponsel Bianca dan berbicara dengan pria itu. “Kevin, kusarankan agar kau tidak menganggu Bianca lagi.” katanya lalu menutup panggilan tersebut.

Bianca menganga, tidak percaya Martin berani berbuat senekat itu padanya. Gadis itu menerima ponsselnya saat Martin mengembalikan gawai itu padanya. Sesaat, keheningan menyelimuti mereka berdua. Bianca asyik melihat pemandangan di luar jendela sementara Martin sibuk mengembarakan pikirannya. Marin tidak seharusnya bersikap seperti itu pada Bianca. Ia sama sekali tidak punya hak untuk ikut campur dengan urusan Bianca atau Kevin. Tapi, kenapa dia nekat melakukannya?

“Aku minta maaf.” Ucap Martin pada akhirnya.

“Terima kasih.” Bianca berkata tulus. Gadis itu memusatkan pandangannya pada Martin. Meski setengah hatinya tidak yakin mereka bisa berteman baik, Bianca cukup yakin Martin bukanlah orang yang berniat buruk padanya. Ujung bibirnya terangkat, membentuk sebuah senyuman yang cukup membuat Martin terjatuh begitu dalam. Jatuh hati, mungkin itulah maksudnya.

Cukup lama Martin berusaha mengalihkan pandangannya dari Bianca. Pria itu kembali pada jalanan yang kini dihiasi lampu-lampu malam. “Terima kasih untuk?” katanya setelah berdeham satu kali.

“Menyelamatkanku dari Kevin.” Kata Bianca. Kali ini suaranya jauh lebih rileks.

“Sama-sama. Aku akan mengusir Kevin kalau kau tidak menyukainya.”

Bianca tertawa. “Jangan berlebihan. Sepertinya Ben tertarik dengan Kevin.”

Salah satu alis Martin terangkat cukup tinggi. “Maksudmu, kakakmu homo?”

Kali ini Bianca tertawa nyaring. “Bukan, bukan itu maksudku. Ben tertarik berteman dengan Kevin. Kakakku normal asal kau tahu. Tadi siang aku memergokinya meniduri tiga gadis sekaligus.”

“Tiga?” ulang Martin tidak percaya.

“Begitulah.” Bianca mengedikkan bahu.

“Dan kau melihatnya?” tanya Martin tidak percaya.

“Dengan mata kepalaku sendiri.” jawab Bianca mantap.

Martin kembali terdiam. Sejujurnya, ia sama sekali tidak peduli dengan bagaimana lingkungan pergaulan Bianca di luar sana. Namun, melihat pengakuan gadis itu, membuatnya iba. Di usianya yang masih terlalu dini, Bianca harus melihat tingkah laku kakaknya yang tidak senonoh.

“Kau pasti berpikir keluargaku tidka normal.” Ujar Bianca lamat-lamat. Bukannya tersinggung, gadis itu justru kembali mengulas senyuman.

“Tidak.” jawab Martin tegas. “Keluargamu tidak ada hubungannya dengan kita.”

“Kita?” ulang Bianca.

Martin menghela napas. “Maksudku, pendapatku terhadap dirimua sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluargamu. Aku masih ingin menjadi salah satu orang yang dekat denganmu.”

“Aku berasal dari lingkungan yang tidak sehat, Martin.” Kali ini Bianca mengucapkannya dengan lembut. Ini kali pertama ia menyebut nama Martin, rasanya menakjubkan.

“Begitu juga denganku. Sepertinya kita cocok.”

Bianca terkekeh. Astaga, pembicaraan dengan Martin benar-benar menghiburnya. “Cocok dalam hal?”

“Banyak.” Jawab Martin antusias. “Contoh sederhananya, kau dan aku sama-sama menyukai minuman beralkohol.”

“Itu bukan contoh sederhana. Jadi, coba jelaskan padaku bagian mana saja yang menurutmu cocok.”

“Apa aku perlu menjawab dengan rumus juga?” suasana mulai mencair. Martin bersyukur akhirnya Bianca mau terbuka dengannya. Tidak sekaku sebelumnya. Jika Bianca masih saja sekaku kanebo, Martin bersumpah akan membasahi gadis itu dengan ciuman bertubi-tubi dan-

“Tentu saja!” Bianca menutup mulut. Membayangkan apa yang akan diucapkan oleh Martin, sekaligus memutus lamunan nakal Martin. “Coba sekarang jelaskan padaku apa saja kecocokan yang kita miliki dan bagaimana kau bisa menyimpulkan kita bisa sangat cocok.”

“Begini,” Martin memulai. “Kau berpikir kau berasal dari lingkungan yang buruk, anggap saja negatif. Begitu juga denganku, itu berarti kita sama-sama negatif, bukan? Nah, sekarang kita tambahkan antara negatif dan negatif maka hasilnya adalah negatif.”

“Astaga, Martin.” Bianca tidak bisa membendung tawanya. Gadis itu memegangi perutnya yang keram, bisa-bisanya Martin berpikir seperti itu. “Kalau kau dan aku sama-sama negatif, itu berarti kita tidak cocok satu sama lain. Salah satu di antara kita harus dominan positif agar kita tidak terjerumus ke dalam hal buruk bersamaan.”

Martin berpikir sejenank. “Jadi, rumusku salah?”

“Tentu saja!” Bianca meninju lengan Martin. “Kau aneh!”

Seulas senyum terbit di bibir Martin. Ah, aneh. Biarlah Bianca menganggap dirinya aneh. Martin hanya ingin melihat senyum menawan itu setiap harinya. Setiap saat dalam hidupnya, mulai detik ini. “Jadi, intinya kita tidak cocok?” tanya Martin dengan suara sendu yang sengaja ia ucapkan untuk menarik simpati dari Bianca.

Different does not mean unsuitable and similar does not mean suitable. What our eyes see is not always the same as what our hearts see. After all, hearts and eyes must go hand in hand to achieve something we want. And if you are looking for someone who suits you, forever you will never find that person. Because every human has their own character, so nothing in this world is compatible with other people. Unless each is willing to accept their respective shortcomings.” Bianca berkata bijak. Gadis itu menatap tepat di manik mata Martin, yang entah bagaimana terasa begitu nyaman. Senyaman berbalut selimut tebal di tengah badai salju. Menyenangkan.

“Entah cocok atau tidak, kita tetap bisa berteman. Begitu menurutmu?” tanya Martin serius.

Bianca mengangguk, kembali melempar senyuman pada Martin. “Kau keras kepala.”

“Dan kau gadis yang menyenangkan.” Martin melajukan mobilnya dengan kecepatan yang bisa dibilang sangat lamban. Ia ingin berlama-lama dengan Bianca. Tidak terburu-buru berpisah dengan gadis itu. “Apa besok kau punya waktu luang?”

“Tidak.” Bianca menjawab cepat. “Aku harus sekolah.”

“Berapa usiamu?” tanya Martin antusias. Ia tidak peduli jika Bianca masih berstatus pelajar. Lagipula usia mereka tidak terpaut terlalu jauh.

“Seminggu lagi tujuh belas.”

“Dan kau kelas?”

“Tinggat akhir Sekolah Menengah Atas.” Jawab Bianca. “Bagaimana denganmu? Apa kau masih kuliah?”

“Aku pengangguran dan tidak kuliah. Jadi, bolehkah aku menjemputmu besok sepulang sekolah?”

“Tidak.” jawab Bianca cepat.

“Bee…”

“Tidak, Martin.” Tolak Bianca halus.

“Kemana kau akan pergi sepulang sekolah?”

“Bukan urusanmu.” Bianca menghela napas sekali.

“Oh, ayolah, Bee. Aku berjanji tidak akan mengacau. Katakan kemana kau akan pergi, di mana kau bersekolah dan aku tidak akan mengganggumu. I swear.” Martin mengangkaat jari telunjuk dan jari terngahnya bersamaan. Pria itu memohon dengan menampakkan wajah manisnya. “Apa kau berencana pergi dengan kekasihmu?”

“Kalau itu bisa membuatmu menyingkir dariku, aku akan menjawab ‘iya’.”

Martin terdiam. Astaga, kenapa ia benar-benar berharap bisa dekat dengan Bianca dalam waktu yang relative singkat? Apa yang ia harapkan sebenarnya? Bianca mungkin peri yang dikirim Tuhan untuk menyadarkannya dan membantunya untuk bangkit. Namun bukan berarti ia harus memiliki gadis itu. Bagaimana pun, Martin tidak boleh egois, bukan? Bianca punya kehidupannya sendiri. Itu saja.

“Martin?” Bianca menggerak-gerakkan tangan di depan pria itu. “Kau melamun. Kau bisa membunuh kita berdua.”

“Astaga.” Martin mengeluh dalam. “Tolong maafkan aku.”

“Apa yang kaupikirkan?” tanya Bianca penasaran.

“Kau.” Jawab Martin singkat.

Lengang sejenak di antara keduanya. Martin tidak tahu kenapa ia begitu ingin mendekati Bianca. Sedangkan Bianca sendiri tidak tahu alasan Martin ingin bersamanya meski bukan atas hubungan yang lebih serius. Namun tetap saja, dia tidak bisa mempercayai orang asing.

Getaran ponsel Martin menginterupsi lamunan keduanya. Martin bergegas menerima panggilan yang ternyata dari salah satu sahabatnya. “Hallo…”

Di mana kau?” ucap suara dari seberang.

“Di jalan. Ada apa?”

Datanglah ke clubku, aku butuh bantuanmu.

“Ada apa? Aku tidak mau berurusan dengan-“

Aku butuh DJ. DJ yang seharusnya datang malam ini sedang terjerat kasus narkoba dan aku belum menemukan penggantinya. Datang dan bermainlah di clubku satu malam saja.

Awalnya Martin tampak ragu dengan tawaran sahabatnya, tetapi ia tidak bisa menolak permintaan itu. Bagaimana pun, sahabatnya membutuhkan bantuan yang sangat bisa ia lakukan. “Satu jam lagi aku akan sampai di sana.” Ujar Martin pada akhirnya. Panggilan terputus. Martin kembali meletakkan ponselnya di dashboard.

“Ada masalah?” tanya Bianca setelah beberapa saat.

“Aku harus menemui temanku di club. Tapi aku akan mengantarmu pulang dulu. Kau tidak perlu khawatir.” Martin menoleh untuk melihat Bianca sekilas.

Bianca menghela napas, sedikit merasa bersalah. “Temui dulu temanmu baru setelah itu kau bisa mengantarku pulang dengan tenang. Kasihan dia.” Ucap Bianca.

“Tidak, Bee. Aku sudah berjanji pada kakakmu-“

“Martin,” Bianca menyentuh jemari Martin dengan lembut. “Temui dia dan antar aku pulang setelah itu.”

Getaran lembut di sekujur tubuh Martin akibat setuhan Bianca membuat Martin berpikir kalau ia memang benar-benar membutuhkan Bianca dalam hidupnya. Martin tidak peduli apakah Bianca memiliki kekasih atau tidak. Ia membutuhkan Bianca meskin saat ini ia sedang tidak jatuh cinta. Bianca adalah obat untuk rasa sakit yang teramat dalam di dalam tubuhnya. Entah Bianca menginginkannya atau tidak, ia hanya ingin bersama gadis itu. Melindungi dan menjaganya, selalu. “As you wish, Bee.”

“Martin…” Bianca memutar bola matanya. Bukannya ia tidak suka dipanggil seperti itu, Bianca hanya tidak mau Martin kecewa memiliki teman kacau seperti dirinya.

“Mulai sekarang, kau harus mencatatku sebagai salah satu orang yang dekat denganmu.”

“Bagaimana kalau aku tidak mau?”

“Aku memaksa.”

“Aku memiliki kekasih.”

“Tidak masalah. Kita bisa jadi teman yang baik. Atau aku mungkin akan menjadi kakakmu yang baik.”

“Kekash khayalan.” Bianca tertawa. Astaga, melihat wajah Martin yang tampak terkejut membuatnya tidak bisa berlama-lama membohongi pria itu. Bianca tahu Martin sedang terluka entah karena apa, tetapi ia juga tidak mau menambah luka di hati pria itu. Mereka mungkin cocok satu sama lain. Meski bukan sebagai sepasang kekasih.

Martin mendengus. “Kau membohongiku?”

“Begitulah.” Gadis itu kembali terkekeh. Menikmati wajah masam Martin. “Dan kau percaya padaku.”

“Tidak lucu, Bee.”

“Tapi wajahmu lucu, Martin sayang.”

“Jangan memanggilku sayang.” Bentak Martin.

“Kenapa?” Bianca tahu Martin hanya bercanda. “Martin sayang sudah memiliki kekasih, ya?”

“Bukan urusanmu.” Martin menepikan mobilnya. Pria itu menoleh ke arah Bianca, menatapnya lekat-lekat. “Kau bukan kekasihku dan kau tidak boleh memanggilku sayang!”

“Kau yakin?” Bianca menantang tatapan tajam dari pria di hadapannya. Ah, Martin sangat tidak cocok dengan wajah antagonis itu. Martin jauh lebih cocok memerankan tokon protagonis di banding antagonis.

“Kau menantangku, nona?”

“Seperti yang kaulihat.” Bianca memajukan wajah. Kini jarang keduanya hanya tinggal beberapa senti saja.

“Kau membohongiku.” Gerutu Martin seraya memonyongkan bibirnya.

“Aku tidak berbohong soal memiliki kekasih khayalan, Martin. Aku serius.”

“Tapi itu berbeda.” Ujar Martin sembari memiringkan kepala.

“Aku sedang membayangkan dia menciumku saat ini.”

“Gadis liar.” Komentar Martin. Kemudian ia mulai membayangkan bibir Bianca di dalam mulutnya. Menghisapnya perlahan… sepertinya menyenangkan.

“Tapi,” Bianca kemudian tertunduk lesu. “Itu tidak mungkin terjadi, Martin.” Gerutunya.

Martin menggunakan satu tangannya untuk mengangkat dagu Bianca. “Kenapa?”

“Karena dia tidak mencintaiku. Dia bahkan tidak menganggap aku ada. Benar-benar menyebalkan, bukan?” cahaya di manik mata Bianca redup begitu saja. Seolah ia telah kehilangan dunianya.

“Kau benar-benar menginginkannya, ya?” Martin ikut prihatin. Membayangkan gadis enam belas tahun menginginkan seorang laki-laki yanag mustahil digapainya sepertinya sangat menyakitkan. Jangankan Bianca, dirinya saja pasti sudah sangat frustasi menghadapi masalah hati itu.

“Begitulah. Kurasa aku terlalu jelek.”

“Kau cantik.” Puji Martin.

“Buktinya dia tidak mencintaiku.”

“Cinta bukan hanya tentang fisik, Bee, bukan definisi cantik atau jelek. Cinta berkaitan erat dengan hati dan perasaan. Itulah yang harus kau pahami.” Martin mengusap wajah Bianca dengan jemari panjangnya. Kulit lembut gadis itu bak porselen, terlalu halus dan mudah hancur. Bahkan saat ini, ia takut merusak gadis bermata hazel itu hanya dengan sentuhannya.

Kiss me.” Pinta Bianca.

“Ha?” Martin menganga. Mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau saat ini ia sedang tidak berhalusinasi.

"Kiss me. So I can imagine him kissing me right now."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status