Share

Kecurigaan Sofia

Sofia menatap hamparan sawah yang menguning. Rasanya sangat damai setiap kali ia berkunjung ke desa orang tuanya. Sofia saat ini memilih untuk pergi ke rumah kedua orang tuanya untuk mencari penghiburan dari hatinya yang tengah gundah. Wanita itu berjalan menuju kumpulan para petani yang sedang sibuk di pagi hari ini. Matanya menyipit mencari keberadaan orang tuanya di antara para petani yang sedang membersihkan tanggul. Senyuman merekah dari bibir Sofia tatkala ia menemukan orang tuanya yang sedang bahu membahu membersihkan tanggul dan jerami yang terinfeksi oleh hama.

"Ibu, Bapak?" Seru Sofia sembari berjalan dengan langkah-langkah kecil.

"Sofia?" Seru kedua orang tuanya sembari membetulkan caping atau topi petani yang berbentuk kerucut di kepala mereka.

"Kamu datang sama siapa, Fia?" Tanya ayahnya yang bernama Rahman sembari naik ke atas pematang sawah dengan diikuti oleh istrinya.

"Fia sendirian, Pak," jawab Sofia masih dengan senyuman yang terulas di wajahnya. Kedua orang tuanya tidak boleh tahu jika dirinya sedang ada masalah dengan Eril dan keluarganya.

"Ayo kita ke rumah!" Ajak ibunya yang bernama Sri.

Mereka berjalan beriringan menuju rumah sederhana yang tepat berada tepat di depan sawah. Sesekali tawa mereka terdengar kala sang ayah bernostalgia mengenai masa kecil Sofia.

"Bapak jadi ingat kamu main sepeda terus jatuh ke sawah, Nak," cetus Rahman dengan berbinar. Mengingat hari di mana Sofia masih kecil.

"Iya, waktu itu tangan Sofia keseleo," timpal Sofia dengan senyum tipis.

Kilas balik membawa Sofia pada kenangan indah kala hidup bersama kedua orang tuanya. Walau mereka hidup dalam keterbatasan, tapi Sofia belum pernah merasa tertekan dan menderita seperti saat ini. Selama pernikahan, Sofia lebih banyak menangis dari pada tertawa.

Mata Sri yang berjalan di belakang Sofia terlihat berembun kala melihat baju yang Sofia kenakan. Baju itu adalah gamis saat Sofia masih gadis dulu. Terlihat baju itu sudah usang dan ada bolongan kecil di tengahnya. Sri menatap sedih keadaan putrinya. Matanya kemudian menilik sandal yang Sofia kenakan. Sandal jepit yang sudah usang dan terdapat paku kecil sebagai tanda jika Sofia menyambungkan sandal yang telah putus itu. Mengapa penampilan putrinya selalu terlihat menyedihkan? Padahal Sri tahu pasti jika Eril adalah seorang pegawai kantoran.

"Apa yang kamu alami, Nak?" Batin Sri sedih kala ia juga melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Sofia diabaikan di acara pernikahan Mega. Sri dan Rahman memang datang ke pernikahan Mega demi memenuhi undangan dari Bu Laksmi.

"Fia, Eril engga pernah beliin kamu baju?" Tanya Bu Sri saat mereka kini mendudukan dirinya di teras rumah yang terbuat dari bambu. Rumah Sofia memang masih tradisional

"Se-sering kok, Bu. Sofia engga pake karena udah kekecilan bajunya. Maklum, Sofia naik 10 kilo saat hamil. Kebetulan baju Sofia saat gadis ini masih muat," Sofia berusaha menyembunyikan masalah rumah tangganya.

Memang Eril terlihat tidak peduli terhadap kebutuhan Sofia. Dia hanya akan memberikan jatah uang bulanan yang pas-pasan. Jangankan untuk baju, kadang untuk kehidupan sehari-hari pun Sofia harus utang ke warung. Mengeluh sudah pernah pastinya. Akan tetapi, lagi-lagi Eril memberi tahu jika gajinya dipakai untuk biaya kuliah Mega. Saat Mega berhasil lulus dari program S1 nya, Sofia merasa senang karena penghasilan Eril pasti akan di alokasikan untuk hidup mereka berdua. Tapi kenyataan pahit harus Sofia terima kala Eril tidak pernah memberikan gajinya secara full padanya. Bahkan Sofia tidak tahu pasti berapa jumlah nominal gaji suaminya. Sofia pernah menggeledah tasnya untuk mencari slip gaji Eril, tapi nihil. Secarcik kertas yang dicari Sofia tidak pernah ia temukan.

"Syukurlah, Nak," jawab Bu Sri walau hatinya terasa gamang pada jawaban putri semata wayangnya. Wanita paruh baya itu kemudian masuk ke dalam rumah dan keluar kembali dengan membawa singkong rebus dan tiga gelas teh hangat yang masih mengepul.

Rahman melepas topi capling dan mengibas-ngibaskan pada wajahnya. Matanya menerawang jauh. Entah apa yang dipikirkannya. Sesekali matanya menyorot pada wajah polos Sofia yang tidak pernah memakai make up. Bahkan olesan bedak tidak pernah terlihat di sana.

"Eril engga anterin kamu ke sini?" Tanya Rahman seraya menerima segelas teh dari Bu Sri dan meminumnya dengan pelan.

"Engga, Pak. Mas Eril kerja," Sofia mengambil singkong rebus yang ibunya bawa. Kemudian wanita itu melahapnya dengan senang.

"Kamu engga ada masalah kan sama Eril, Nak?" Rahman memastikan. Ia sangat hapal gelagat putrinya.

"Engga, Pak. Sofia ke sini karena bosan di rumah terus. Pengen ada temen," Sofia tersenyum menyembunyikan duka yang selalu ia telan sendiri.

"Ibu bukan ngelarang kamu ke sini. Tapi kandungan kamu makin besar, Nak. Kalau mau ke sini, minta anterin sama suami mu ya? Atau kamu bisa telfon. Nanti Bapak yang jemput," Bu Sri memegang tangan Sofia yang hangat. Putrinya hanya mengangguk mendengar ucapan Sri.

"Besok kita mau ke ibu kota, Nak. Mau jengukin kakek kamu. Katanya sakit," Sri memberitahu.

"Emang ibu engga apa-apa ke sana? Mereka bakal terima ibu?" Sofia mengernyitkan dahi.

Pasalnya Sofia tahu jika kakek dan neneknya dari pihak Rahman begitu tidak menyukai Sri. Mereka menikah tanpa restu dari orang tua Rahman karena Sri berasal dari keluarga miskin. Keluarga Rahman adalah keluarga konglomerat di kota. Akan tetapi, mereka merahasiakan hal itu dari Sofia. Mereka hanya mengatakan jika orang tua Rahman tidak menyetujui pernikahan Sri dan Rahman karena akibat menikahi Sri, Rahman harus meninggalkan bangku kuliahnya.

*****

"Ini jam berapa, Bu?" Sofia mengucek-ngucek matanya. Rupanya ia ketiduran setelah melaksanakan shalat ashar tadi.

"Jam setengah lima sore, Nak. Kamu mau menginap?" Tawar Pak Rahman.

"Engga. Sofia mau pulang. Mas Eril pasti nyari," kilah Sofia. Padahal ia tidak tahu apakah suaminya akan pulang atau tidak.

Sofia segera merapikan bajunya dan mengambil tas selempang kecil yang ia bawa.

"Sofia pamit ya, Bu, Pak?" Sofia mencium tangan kedua orang tuanya bergantian saat kini dirinya berpamitan di ambang pintu.

"Iya, hati-hati, Nak. Ini ada sedikit uang untuk beli susu hamil, Nak," Bu Sri memberikan beberapa lembar uang pada putri semata wayangnya itu.

"Ibu, Sofia masih ada uang," Sofia menolak dengan cepat.

"Ambil, Nak! Rejeki tidak boleh ditolak. Ibu dan bapak baru saja dapat rejeki. Tolong terima ya, Nak!" Harap Sri sembari memegang tangan Sofia.

"Bu, Pak!" Air mata meleleh di pipi wanita berparas ayu itu. Baru saja dirinya kebingungan mengenai bagaimana caranya dirinya pulang. Pasalnya Sofia tidak memegang uang lagi.

"Tolong jaga kesehatan ya, Nak! Kalau perlu apa-apa hubungi kami!" Rahman menatap Sofia dengan berkaca-kaca.

"Iya, Maaf Sofia merepotkan!' Sofia menangis sesenggukan. Kemudian setelah tangisnya mereda, wanita itu segera pergi karena hari sudah semakin senja.

Sofia berjalan kecil menuju angkot yang sedang mengetem. Saat ia berjalan, Sofia melihat suaminya sedang membonceng seorang wanita yang amat Sofia kenali.

"Mas Eril bonceng Lily?" Sofia membulatkan matanya dengan sempurna saat mengetahui jika sang suami tengah membonceng mantan kekasihnya.

Bahkan Lily terlihat memeluk Eril dengan erat. Dagu wanita itu pun terlihat menempel pada bahu pria yang Sofia cintai. Dadanya terasa sesak. Sejak kapan suaminya kembali dekat dengan Lily? Dan mengapa mereka bisa berboncengan seperti itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status