"Aku tidak ada waktu untuk ke luar, Freya. Ikut aku, kita bicara di ruanganku saja." Tanpa aba-aba Mathew menarik lengan Freya menuju ruangannya.Banyak pasang mata menatap namun tak digubris oleh Mathew. Lagipula hanya tatapan sekilas, karena detik selanjutnya mereka memilih tidak ingin menatap lebih lanjut. Mereka seakan sadar diri dengan posisi.Tanpa melepaskan cekalan Mathew menggiring Freya masuk ke dalam ruangan. Setibanya di dalam, Mathew melepaskan lalu memberi jarak agar tidak terlalu dekat."Katakan, ada apa kau kemari lagi, Frey?""Wanita kemarin, ap–""Istriku." Tanpa aba-aba Mathew memotong perkataan Freya. Karena apapun dan sepanjang apapun wanita di depannya bersua, Mathew sudah tahu ke mana arah tujuannya.Mulut Freya mengatup. Satu jawaban simple, namun sangat kena di hati. Tatapan Freya masih tertuju kepada pria di depannya. Raut wajahnya serius, tak nampak ada kebohongan di sana. Seketika hati Freya tersentil dengan pengakuan Mathew.Benarkah pria itu sudah menikah
"Mama masih bingung. Kamu sama Mathew mau makan pakai menu apa? Mau buat masakan biasa atau steak? Kalau mau steak, Mama akan siapkan dagingnya dulu.""Kalau masakan biasa?""Ada cumi dan ayam crispy. Selain itu, sup daging yang Mama bikin tadi masih ada "Mendengar jawaban demi jawaban Elena sudut bibir Sheilla tertarik membentuk lengkungan senyum tipis. Elena sangat excited, Sheilla bisa melihat itu.Walaupun sempat tertangkap basah tengah bersedih, hal itu tidak membuat Elena diam. Alih-alih bercerita penuh air mata, pada kenyataannya wanita itu memilih ke dapur untuk masak makan malam. Ada Rubby memang, tapi untuk hari ini Elena ingin memasaknya sendiri. Alhasil Rubby hanya membantu seperlunya."Apapun yang Mama masak, pasti akan aku sama Mathew makan. Aku ikut bantu sebisanya ya, Mah?"Elena mengangguk, namun otaknya masih sibuk berfikir. Apa semua anak seperti itu? Diberi pilihan, tetapi akhirnya menyerahkan kembali. Semua bahan makanan yang Elena tawarkan ada semua, tinggal pil
Makan malam sederhana namun penuh kehangatan membuat hati siapapun pasti akan bahagia. Hal itu pula yang kini Sheilla rasakan. Berada di tengah Mathew dan Elena, Sheilla merasa jika dirinya benar-benar hidup. Tentu hal hangat seperti ini tidak pernah dia rasakan sewaktu di rumah. Walaupun beberapa kali makan bersama, tetapi diisi oleh keheningan. Lalu setelah makan, mereka pergi meninggalkan meja makan.Akan tetapi, lihatlah sekarang. Obrolan singkat terjadi, bahkan apapun yang Sheilla tunjuk langsung dikabulkan oleh suami dan mertuanya. Bahagia? Tentu sangat. Sheilla merasa tak ingin kehilangan moment ini sampai mati."Ada rasa yang kurang sama masakan Mama? Ayo beri komentar, masukan juga boleh.""Semua sempurna. Tangan Mama memang tidak perlu diragukan."Percakapan antara Elena dengan Mathew membuyarkan lamunan Sheilla. Ditatapnya anak dan ibu itu secara bergantian, senyum simpul seketika terpancar di bibir Sheilla. Selagi mendengarkan percakapan keduanya Sheilla memilih lanjut mak
Hari-hari sebagai ibu hamil Sheilla lewati. Sejak awal kehamilan, sampai kini menginjak usia kandungan tiga bulan, semua Sheilla rasakan sendiri. Karena kalau bukan dirasa sendiri, mau berbagi kesiapa? Memang bisa ke Mathew, tapi tetap saja pria itu tidak bisa memindahkan rasa.Akan tetapi, walaupun sedikit tersiksa, Sheilla teramat beruntung akhir-akhir ini Daisy selalu datang. Baik Daisy ataupun Elena, mereka selalu datang bergantian jika ada kesibukan. Kalau free? Keduanya kompak datang bahkan menginap.Selain mendapat kasih sayang dari kedua ibu, kasih sayang lain juga dia dapatkan dari Mathew–suaminya. Sempat beberapa kali Mathew kesal, tapi ujung-ujungnya pria itu melunak sendiri. Selain itu, Mathew tidak lagi memaksakan kehendaknya.Pada pagi yang cerah ini, sebangunnya dari tidur, Sheilla sudah disambut hangat oleh suaminya. Saat bangun tadi sempat kaget, ternyata suaminya itu sudah ada di lantai bawah. Sheilla berlari kecil lalu memeluk Mathew yang sudah merenggangkan kedua t
"Berita kehamilan lo lagi panas banget, ya?"Sekilas Sheilla menoleh. Hanya beberapa detik, setelah itu dia kembali menatap layar televisi di depannya. Sudah satu jam lamanya Chelsea datang, banyak juga cerita yang gadis itu bawa. Akan tetapi, dari banyaknya pembahasan, Sheilla enggan membahas berita soal kehamilan dirinya.Sebetulnya Sheilla sempat kesal karena Mathew mempublikasi kehamilannya. Bukan apa-apa, Sheilla tidak suka menjadi pusat perhatian. Lebih dari itu dia takut jika ayahnya melihat lalu kembali tidak terima. Tapi Sheilla yakin berita itu sudah sampai ke telinga Alexander.Akan tetapi, karena pria itu memutus hubungan, jadi tidak ada alasan untuk bertanya lebih lanjut."Woy!"Sheilla menerjap ketika tangannya ditepuk oleh Chelsea. Lagi, Sheilla menoleh. "Gue dengar, Chels, dengar. Cuma gue bingung mau jawab apa. Sebetulnya gue lebih aman pakai mode private, tapi Mathew kekeh bilang kalau ini demi kebaikan bersama. Menurut lo, kebaikan apa yang dia maksud? Otak gue ngga
"Nona Sheilla, awas!"Sheilla tersentak kaget. Teriakan dibarengi tarikan membuat dirinya hampir saja terjatuh. Entah apa yang baru saja terjadi, otaknya belum mencerna. Dibantu oleh Steven dan Chelsea, ketiganya mudur menepi. Selagi menghilangkan rasa kaget Sheilla menoleh ke kanan dan kiri."Lo gapapa, Sheill? Serius, ada luka atau sakit?""Ngga, gue gapapa. Tadi itu ada apa?""Nona hampir saja terserempet mobil. George tidak berhasil menghentikan mobil itu." Bukan Chelsea, tetapi kini yang menjawab adalah Steven. Mendengar itu Sheilla mengangguk-anggukan kepalanya.Tidak ada rasa sakit apapun, nasib baik orang disekelilingnya bergerak cepat. Sheilla tidak tahu bagaimana nasibnya jika beberapa detik saja Chelsea telat menarik. Mungkin hari ini menjadi hari terakhir dirinya bisa ke luar rumah tanpa seorang Mathew. Mengingat ... pria itu teramat posesif.Merasa tidak ada masalah Sheilla mengajak Chelsea kembali berjalan. Tujuan Sheilla memang ingin menikmati udara di taman, tapi sebel
Layaknya sedang mengetik di laptop, jari telunjuk Sheilla sejak tadi menunjuk-nunjuk perut yang mulai tidak rata lagi. Itu semua bisa Sheilla lihat saat dia menggunakan dress atau tank top ketat. Walaupun ocehannya tak mendapat respon, tetap saja Sheilla tak menyangka di dalam perutnya ada calon manusia tengah berkembang.Kira-kira, mirip siapa nanti anak pertamanya?Memasuki trimester awal kedua perubahan memang Sheilla rasakan. Walaupun tidak semual trimester pertama, untuk saat ini dia bisa bernapas lega. Lebih dari itu, Sheilla penasaran apa jenis kelamin buah hatinya. Kalau boleh berharap, Sheilla ingin sekali anak pertamanya perempuan. Bukan tanpa alasan, karena bagi Sheilla bayi perempuan lebih banyak pernak-pernik lucu yang bisa digunakan."Apa di dalam sana kamu nyaman? Semoga kamu tidak menyesal pas lahir ke dunia nanti, ya. Aku memang tidak berbakat, tapi tenang saja, Ayahmu pasti akan menjaga dengan baik. Dan kita akan belajar sama-sama," tutur Sheilla. Senyum manis Sheill
Bukan hanya tamu undangan, banyak pula wartawan yang sedang melakukan wawancara. Hal itu lah yang membuat Sheilla menghentikan langkah. Ada rasa ingin mundur lalu pulang, tapi sepertinya tidak mungkin."Apa kita harus melewati kerumunan itu? Tidak ada akses jalan lain?" tanya Sheilla tanpa menoleh ke arah Mathew. Sejak dulu Sheilla memang anti bertemu wartawan, bahkan saat dia harus berpura-pura bahagia bersama kedua orang tuanya.Pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban membuat Sheilla menoleh. Tatapan keduanya beradu, belum Sheilla buka suara, Mathew sudah lebih dulu menggeleng. Merasakan tubuh Sheilla memberontak, Mathew semakin mengeratkan pelukannya."Tenanglah, mereka tidak akan memakanmu. Lagipula sangat wajar di sini banyak wartawan, mereka ingin meliput. Tidak akan ada yang mengusikmu, sekalipun ada mereka yang akan berurusan denganku."Perkataan yang tidak bisa dibantah.Saking takut dan gugup, Sheilla tanpa sadar meremas ujung jas yang Mathew kenakan. Sheilla juga baru