Sempat berada dalam situasi sulit, Sheilla Watson atau yang akrab dipanggil Sheilla berhasil memantapkan pilihan. Antara memilih Ayah atau suami, dengan lantang dia memilih Mathew—suaminya. Pilihan itu Sheilla pilih karena dia tidak mau bertahan hidup di lingkungan toxic. Kemewahan yang dia punya, sangat berbanding terbalik dengan realita. Kehidupan baru Sheilla bersama Mathew berjalan mulus, terutama saat Sheilla tengah hamil pasca keguguran. Akan tetapi, di tengah kebahagiaan, tiba-tiba rumah tangga keduanya mendapat ujian karena kedatangan seorang bayi. Lalu, langkah apa yang akan mereka ambil? Bayi siapa pula yang digadang-gadang buah hati Mathew?
Lihat lebih banyak"Jawab yang betul, apa kau hamil?"
"Sshh, aduh, sakit!"Suara decakan kembali terdengar, akan tetapi kegemasannya tidak langsung luruh. Disisa-sisa kesabaran yang ada Mathew semakin memojokkan tubuh Sheilla. Kedua tangan tercekal, tubuh terhimpit, membuat Sheilla mati langkah.Pria yang Sheilla hadapi memang bukan penjahat, bukan pula perampok. Akan tetapi, pria yang selama beberapa bulan ini resmi menjadi suami super posesifnya. Merasa tak punya celah, Sheilla menghela napas.Sejak kepulangannya dari Swiss–satu minggu yang lalu, Sheilla memang merasa ada keanehan pada tubuhnya. Berawal dari acuh, tidak menganggap pusing, tapi lusa kemarin dirinya sukses dibuat jantungan.Garis dua.Garis itulah yang tertera setelah Sheilla mendapat desakan dari Daisy untuk mengecek. Jika di luar sana banyak yang mendambakan moment ini tapi sayangnya tidak berlaku untuk Sheilla. Otaknya sudah pening, itu artinya saar mereka bulan madu, sudah ada janin yang berkembang.Melihat sang istri terdiam Mathew mengangkat dagunya. Tatapan mereka bertemu, detik kemudian cengiran Sheilla tak bisa ditahan lagi. Otak Sheilla sudah pening, sudah tidak bisa mikir, bahkan dia lelah menangis saat tahu Tuhan kembali mempercayainya untuk menjadi ibu."Kau....""Apa? Kau puas sekarang?" sahut Sheilla memotong ucapan Mathew. Rasanya memang sulit berkelit, ditambah Sheilla tahu kalau ini ulah Daisy. Padahal sejak awal Sheilla sudah mewanti-wanti untuk tutup mulut.Bukankah itu sangat menyebalkan?Seringai serta tatapan Mathew kembali membuat Sheilla mencak-mencak. Sepertinya memang hanya dia wanita yang tak mengharapkan anak dalam pernikahan. Persetan tidak tahu terima kasih, tetap saja Sheilla kesal."Lepas, menjauh dari tubuhku! Aku kesal, aku tidak mau lihat wajahmu!" Sebisa mungkin Sheilla melepaskan cekalan kuar di pergelangan tangannya. Entah sudah berapa lama, yang jelas cukup panas.Mendengar perintah itu tidak Mathew gubris. Alih-alih menuruti, pria itu justru mendaratkan beberapa kecupan di leher jenjang Sheilla. Akibat dari tindakan Mathew itu tubuh Sheilla bergeliat layaknya cacing kepanasan karena geli."Mathew, stop!""Jaga anakku baik-baik, tapi ada satu yang harus kau ingat, Sheilla," bisik Mathew tepat di telinga Sheilla. Sheilla tidak berkutik, dia menunggu apa yang akan pria itu katakan lagi.Sesaat suasana kamar berubah panas, padahal di depan sana cuaca sangat mendung."Hamil bukan alasan kau tidak bisa melayaniku."Glek!Perkataan singkat, jelas, padat."Awas!" Hempasan keras Sheilla, lalu disusul dorongan, membuat tubuh Mathew menjauh darinya. Seperti biasa, kekesalan Sheilla selalu berbanding terbalik dengan Mathew. Pria itu kini tertawa sembari bersedekap dada.Satu langkah Mathew mundur, akan tetapi tatapannya masih terus tertuju pada wanita cantik di depannya. Ditatap lekat dari atas sampai bawah sontak membuatnya salah tingkah. Sial memang, tidak seharusnya Sheilla merasakan itu."Layani aku malam ini, pakai pakaian yang menantang. Tenang, semua sudah aku siapkan, kau tinggal eksekusi." Mathew mengedipkan matanya. Setelah mengatakan itu Mathew berlalu ke luar dari kamar. Bukan marah, hanya saja dia enggan terkena omelan sang istri.Mulut Sheilla mengatup, tangannya tanpa sadar mengusap perut ratanya. Kalau otaknya tidak salah ingat, saat ini kandungannya masuk tujuh minggu."Oh, ayolah, apa ada bayi di perutku? Apa aku akan jadi ibu seperti mama?" Sheilla berugam frustasi.Menikah, hamil, jadi ibu.Astaga, mimpi buruk!***"Jadi, semua sudah deal?"Dua pria berpakaian formal kompak mengangguk. Salah satu dari mereka mematikan layar laptop, lalu fokus pada pembahasan. Sangat lelah sebetulnya, akan tetapi dia juga tahu yang kini dihadapi bosnya."Untuk material, semua aman ya?""Sampai saat ini semuanya aman, Tuan."Senyum puas Mathew terpancar. Orang-orang di kantornya memang orang terpecaya plus bisa diandalkan satu sama lain. Seharusnya hari ini Mathew ke kantor, tetapi tadi pagi dia mendapat kabar dari Daisy jika Sheilla positif hamil.Perjalanan pernikahan ini memang mengalir layaknya air. Sekalipun ada desakan tak kasat mata, Mathew bisa menarik kembali Sheilla ke dalam dekapannya. Karena sampai kapanpun dia tak akan melepaskan wanita itu.Dari arah lain, Sheilla menghembuskan napas lelahnya. Kurang lebih dua puluh menit dia duduk di anak tangga terakhir. Bukan tanpa alasan, dia menatap tiga sosok pria yang sejak tadi asik berdiskusi. Selain kapasitas otaknya rendah soal kantor, Sheilla teramat enggan tahu isi pembahasan mereka.Hanya saja ... rasa bosan menghantui Sheilla."Ada siapa di depan, Bi?""Itu, ada driver antar makanan, Tuan."Kening Mathew mengerut, dia juga berusaha mengingat apa tadi pesan makanan? Dan seingatnya ... tidak."Bibi Rubby, itu pesananku, bukan bom. Tadi aku pesan pizza sama pasta." Sheilla bangkit berdiri, membuat semua mata tertuju padanya.Tidak ada yang berubah dari Sheilla, bahkan saat ini dia hanya menggunakan dress selutut tanpa lengan. Dress ketat itu tentu membuat lekukan tubuh Sheilla terlihat sempurna. Lagipula Mathew tidak pernah mempersalahkan, hanya saja ... apa wanita itu tidak melihat di sini ada tamu?"Bi, berikan lalu ajak Sheilla ke kamar. Seperti biasa, cek terlebih dahulu sebelum dia memakannya," kata Mathew yang langsung mendapat anggukan dari Rubby.Rubby Margareth–asisten rumah tangga yang baru masuk beberapa hari belakangan. Selain Rubby, ada satu asisten rumah tangga serta dua satpan. Setidaknya rumah ini tidak terlalu sepi jika Mathew di kantor atau urusan lainnya.Walaupun baru masuk, masih meraba, tetapi saat bertemu Sheilla Rubby tidak terlalu canggung. Selain sifatnya yang apa adanya, di mata Rubby sosok Sheilla sangat manja, mirip putrinya.Kedua mata Sheilla menyipit, lalu dia mengikuti Rubby yang mengajaknya ke atas."Nona, mau Bibi buatkan cokelat panas?"Sheilla menggeleng seraya menjawab, "tidak, Bi, nanti saja. Aku mau makan pizza dulu."Rubby tertawa kecil, tangannya terulur mengusap punggung majikan mudanya itu. Saat Sheilla hendak masuk, dia dibuat bingung kenapa Rubby tidak ikut. Justru wanita paruh baya itu sibuk melihat paper bag bawaannya."Bibi, jangan dengarkan apa kata Mathew, dia berlebihan. Makanan ini aku pesan sendiri, mana mungkin ada racun." Sheilla mendengus kesal, lalu mengambil paksa paper bag itu dari tangan Rubby.Berbeda dengan kekesalan Sheilla, di bawah Mathew kembali berdiskusi dengan Victor dan juga Fredy. Masalah kantor memang aman, kini Mathew kembali membahas soal Alexander."Sekretaris tuan Alexander menitip pesan, jika tuan Alexander ingin bertemu anda. Saya belum menjawab apapun sebelum Tuan memutuskan," ujar Victor seperti tahu apa yang akan bosnya bahas."Kosongkan jadwal pagi saya, lalu malam ini kau bilang kalau besok pagi saya mau bertemu. Dan kamu Ferdy, tetap awasi pengeluaran uang kantor, lusa saya minta rekapan data dua tahun belakangan." Perintah serta tatapan tegas Mathew layangkan kepada dua karyawannya itu.Dreet...dreet...dreet.Chat from : Sheilla Watson.Sebelah alis Mathew terangkat menatap nama yang tertera di layarnya. Tidak salah baca, itu memang nama istrinya. Tapi ada apa?***"Menjauh dan pergi dari hadapan saya.""Kasih saya waktu untuk bic–""NOW!"Bentakan tak terbantahkan itu menggema di ruang tamu. Akan tetapi walaupun begitu nyali Mathew tidak menciut. Walaupun hatinya sangat berat untuk ke sini dan bertemu Alexander, semua ini Mathew lakukan demi Sheilla yang akan melahirkan sore hari ini."Sheilla, putri anda, dia akan melahirkan sore ini. Persalinan normalnya batal karena ada beberapa kendala, maka dari itu dia harus melakukan caesar demi keselamatannya dan juga kedua anak kami. Sheilla ingin dan berharap anda datang. Setidaknya temuilah dia sebentar," ujar Mathew dengan penuh kesabaran. Untuk saat ini dia harus menghilangkan keegoisannya.Mendengar permintaan Mathew barusan Alexander tertawa. Masih dengan tatapan remehnya dia menjawab, "putri? Apa telinga saya tidak salah mendengar? Sejak dia ke luar dari rumah ini, dia resmi bukan putri saya! Dia sendiri yang mengambil keputusan itu, dan dia pula yang harus bertanggung jawab."Masih keras kepala
Hari masih terbilang masih pagi. Bagaimana tidak, matahari belum sepenuhnya terbit menyinari bumi. Tapi seperti biasa, Sheilla sudah terbangun karena tidurnya tidak nyenyak. Bahkan semalam Sheilla hanya bisa tidur satu jam paling lama. Posisi tidur yang serba salah, perut sakit, semua beradu menjadi satu. Andai bisa berteriak, mungkin mulutnya sudah menyuarakan kata nyarah puluhan kali.Sheilla menghembuskan napasnya perlahan. Sebelum beranjak dari tempat tidur wanita itu mengamati wajah suaminya yang masih terlelap. Mathew terlihat sangat damai, semalam juga dia ditemani pria itu begadang karena tidak bisa tidur. Maka dari itu Sheilla tidak ada niat membangunkan, biarkan saja suaminya tidur. Tangan Sheilla terulur mengusap pipi Mathew."Maaf ya kalau selama ini aku selalu ngerepotin. Makasih kamu masih mau memperjuangkan aku. Aku sadar belum bisa jadi istri yang baik, tapi akan selalu aku usahakan. Begitupun nanti, aku akan belajar jadi ibu yang baik untuk anak kita," ujar Sheilla pe
Setelah tiga hari berada di rumah sakit kini Sheilla sudah diperbolehkan untuk pulang. Selama di rumah sakit, Mathew lah yang setia menunggu serta merawat dengan tulus. Sheilla sendiri sampai detik ini masih bingung. Bingung ingin merespon apa. Mathew memang tidak membahas apapun soal kejadian di rumah ayahnya, tetapi tetap saja ada yang mengganjal.Infusan sudah dilepas, baju sudah ganti, kini Sheilla tinggal menunggu Mathew yang sedang mengurus administrasi serta mengambil obat. Sheilla turun dari tempat tidur, kakinya melangkah menuju jendela. Dari atas Sheilla bisa melihat kendaraan berlalu-lalang."Sudah bukan waktunya berfikir soal masalah kemarin. Itu sudah berlalu, sekarang fikirkan saja anak kita. Kau akan segera melahirkan, jadi jangan banyak fikiran. Aku di sini, bersamamu, selamanya. Iya, selamanya. Sudah aku bilang, apapun yang sudah menjadi milikku akan kembali pada tuannya. Sudahlah, lupakan ayahmu."Tubuh Sheilla berputar, dia menatap pria yang kini berdiri tepat ri de
"Jadi maksudnya ... ini semua?"Rasa kaget kini menyelimuti hati Daisy. Bukan hanya Daisy, tetapi Elena juga. Keduanya baru saja mendengar rekaman dari ponsel Mathew. Dalam rekaman itu sangat jelas disebut kaau dalang dari kekisruhan ini adalah Alexander."Iya, mantan suami anda.""Math, kamu serius?" Elena meraih tangan Mathew, menunggu jawaban detail dari mulut putranya sendiri.Bukan lagi rekaman, kini Mathew mengeluarkan kertas dari dalam sakunya. Kertas itu dia berikan kepada Elena agar kedua wanita di dekatnya membuka sendiri tanpa perlu dia jelaskan. Mathew sudah teramat lelah dengan semua drama ini, ingin rasanya dia cepat-cepat mengakhiri."Tapi saat ini Sheilla sedang menginap di rumah ayahnya. Mathew, kamu bisa hari ini juga jemput Sheilla. Mama akan dampingi kamu untuk ke sana. Ternyata semuanya benar. Ini semua ulah Alexander." Daisy berdecak tidak percaya. Padahal selama sebulan kebelakangan dia sudah menilai beda mantan suaminya itu.Akan tetapi semua dugaan baik Daisy
“Alexander!”“Alexander siapa yang kau maksud? Di dunia ini banyak nama Alexander. Maka dar—”“Alexander Harrvad Watson! Dia yang menyuruh saya untuk melakukan ini semua. Dia juga yang menyuruh serta membayar kalau saya berhasil menaruh bayi itu di depan rumah anda. Sungguh, apa yang saya katakana benar adanya. Tuan Alexander juga yang menyuruh saya pergi dari kota ini sebelum anda mencari tahu.”Mendengar itu Mathew sempat terdiam sesaat. Bukan kaget, justru yang ada di dalam hati Mathew diisi oleh kemarahan. Ternyata dugaannya beberapa hari ini benar adanya. Awalnya Mathew mengira dalang dibalik ini semua adalah Freya, tapi setelah berfikir ulang kecurigaan Mathew tertuju pada Alexander. Dan sial, ternyata semua benar adanya.“Sialan!” umpat Mathew.Semua informasi yang dia tunggu-tunggu sudah didapat. Tanpa mengatakan apapun Mathew berdiri meninggalkan wanita yang masih tersungkur di lantai. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dia papasan dengan Arvel. Hanya dengan saling tata
“Sialan!”BRAK!Umpatan yang dibarengi gebrakan meja membuat Arvel dan juga Calvin terlonjak kaget. Boleh saja keduanya kaget, pasalnya mereka sedang fokus menatap layar laptop yang menampilkan beberapa video. Calvin melirik Arvel, pria itu yang tahu kode sang sahabat langsung mendelikkan bahu. Toh dia juga sama-sama tidak tahu.“Lagi-lagi mengibarkan bendera perang,” ujar Mathew lagi.Arvel beranjak dari kursi menghampiri Mathew. Tepukan kecil dia sematkan di pundak sahabatnya itu. “Ada apa lagi, Math? Semua hampir rampung, sabar sedikit apa tidak bisa?”Tanpa menjawab Mathew memberikan ponselnya kepada Arvel agar pria itu melihatnya sendiri. Sambil menunggu apa respon Arvel, Mathew menghabiskan minuman sodanya yang tinggal setengah. Rasa tidak sabar kini bersemayam di dalam hati Mathew. Ingin rasanya dia segera menutaskan masalah yang ada lalu membawa Sheilla ke dalam dekapannya.“Siapa yang menaikkan berita ini, Math? Kenapa bisa tercium media?” tanya Arvel tanpa mengalikan tatapan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen