Vivian lalu tertawa sembari menutup senyumnya, terlihat persis anak kecil. Dibalik baju berseragam itu ternyata ada jiwa kanak-kanak yang melekat pada River, dan Vivian sangat menyukainya. "Baiklah," jawab Vivian masih tetap dengan tawanya."Tapi seandainya nanti aku bahagia, kamu harus memberikan seragam mu ya.""Baju ini? Ini sangat lusuh." River mencubit seragam yang dikenakan, tampak jijik dengan pakaiannya sendiri."Tidak mau, aku ingin yang ini," paksa Vivian."Walaupun lusuh bagiku tak ada satupun yang dapat menyamainya. Aku tidak hanya melihat dari bagus atau tidaknya, namun hanya baju itu saja yang memiliki sejarah dan juga saksi dari kisah kita." Ucapan Vivian tampak tulus terucap dengan halus."Kamu tahu bagaimana perasaanku setiap kali melihat seragam itu? Ada perasaan menggelitik yang selalu membuatku ingin tersenyum, dan aku ingin terus merasakan perasaan itu."Vivian lalu menoleh dan memberikan kelingkingnya lagi."Bagaimana apakah kamu bisa berjanji juga padaku?"Tawa
Max melepas cengkraman dan beralih menarik pinggang sang istri. Hanya dengan memberikan sedikit tenaga, kini Vivian telah berada dalam pangkuan, tubuhnya yang ringan semakin mempermudah aksinya."Kau!"Vivian secepat mungkin mendorong untuk memastikan ada jarak diantara mereka, namun sayangnya Max telah mengambil alih kendali, dia mengikis habis jarak serta mengendalikan penuh atas tengkuk Vivian hingga wanita itu sulit hanya untuk sekedar menoleh.Bagai binatang buas, Max menyambar bibir ranum sang istri. Dia nikmati setiap tindakan dan sentuhan bibir yang saling bertautan, terasa manis dan nikmat.Di samping itu, bola mata Vivian membulat, dia ingin menolak, namun tangannya terimpit diantara tubuh mereka. Tubuhnya bahkan tak mampu bergerak sedikitpun, bagai terkunci tanpa bisa melakukan apapun."Hmmp..."Semakin disadari ciuman berlangsung panas, Max terlihat menikmatinya, namun disamping itu Vivian sangat ingin mengakhirinya. Wanita itu benci dengan tindakan diluar perjanjian, cium
Ada rasa gugup yang menyelimuti rencana mereka, namun Vivian tetap kukuh pada prinsip untuk menjalankan perjanjian dengan profesional. "Lakukan yang telah ku ajarkan semalam." Mendengar perintah tersebut, perlahan Vivian mulai mendekat, dia belai pipi suaminya dengan lembut lalu mendaratkan ciuman tepat di bagian bibir.Bagi seorang ahli seperti Max, ciuman tersebut terasa bagai amatiran, kegugupan serta getaran tipis dari ciuman mereka yang sengaja ditutupi sangatlah dapat terasa. Untuk menciptakan suasana lebih sempurna, Max mengangkat tubuh sang istri dalam pangkuan hingga bola mata wanita itu sontak membulat."Lakukanlah dengan baik," ucap Max disertai senyuman memikat.Mengingat masih ada sepasang mata yang menyaksikan mereka, Vivian pun memutuskan untuk mengikuti irama ciuman panas yang ditawarkan. Bibir mereka saling beradu, semakin lama semakin membara, hingga bernapas pun menjadi semakin sulit.Akibat kehabisan napas, Vivian mendorong bahu Max, berusaha untuk menghentikan
Waktu berlalu dengan cepat, meninggalkan jejak tak terhapuskan dalam perjalanan hidup mereka. Mengiringi sinar mentari setiap hari, momen-momen indah telah terangkai menjadi butir-butir rencana masa depan yang tersusun dengan sempurna. Diwaktu itu pula banyak karya indah telah tercipta, berpuluh sastra telah ditorehkan, berpuluh ukiran nama terpahat dengan cinta dan berpuluh rangkaian mahkota bunga telah dibuat, mewakili keindahan dan kebahagiaan yang pernah mereka rasakan."Anginnya lumayan kencang hari ini."Sambil memandang keindahan alam, bola mata coklat tampak tenang menyembunyikan haru. Hari ini adalah detik-detik terindah dalam hidupnya, Vivian sangat bahagia. Sebelum meninggalkan segala keindahan ini untuk selamanya, dia pandang sosok sempurna dari cinta, River berada disampingnya tersenyum tenang dan bangga. "Sudah satu bulan saja, rasanya terlalu cepat waktu berjalan bersamamu." River genggam tangan yang selalu memperlihatkan ketakutan dan getaran.Tepat di saat ini , wan
Dipagi yang diselimuti angin dingin, seorang wanita manis tengah menenteng tas dengan selimut dan mantel tebal di bahunya. Langkah kecil menapaki rumput hijau menyambut saat-saat dimana kata perceraian akan terlontar pagi ini.Dari kejauhan terlihat Justin baru saja keluar dari dalam mobil, dengan langkah cepat wanita itu menghampiri Justin untuk bertanya tentang keberadaan Max hari ini."Justin, dimana Max?" tanya Vivian langsung pada intinya.Justin yang hendak menuntaskan beberapa tugas langsung terhenti. Baru kali ini wanita yang berstatus sebagai istri temannya itu bertanya tentang keberadaan suaminya."Kau mencarinya untuk apa?""Aku ingin bercerai," jawab Vivian dengan sangat ringan. Wajahnya tampak berbinar senang."Baiklah, besok akan ku sampaikan padanya." Justin tampak tergesa-gesa sembari terus menerus melihat arloji."Baiklah, terimakasih." Senyuman indah terukir diwajahnya, matanya menyipit saat ucapan terimakasih berhasil dikatakan.Justin sejenak terhipnotis, senyuman
Mobil hitam yang mewah berhenti di depan Vila, mencuri perhatian semua orang yang berada di sekitarnya. Para pelayan yang berdiri berjejer dengan rapi segera melipat tangan mereka di depan dada, menunjukkan penghormatan kepada tuan mereka yang baru saja tiba."Selamat datang Tuan," sambut Lin dengan rendah hati.Max, yang mengenakan kacamata hitam melepas kacamata itu dengan cepat. Wajahnya terlihat serius saat dia berbicara dengan Lin, ekspresi tegang yang sulit disembunyikan.Semua pelayan menundukkan kepala mereka, tak berani menatap mata tuan mereka, sampai suara pecahan kacamata terdengar ...Prang!Semua orang terdiam."Di mana istriku?!" tanya Max, amarahnya meledak tanpa bisa ditahan lagi.Lin mengangguk dengan cepat, "Saya akan segera mencarinya, Tuan."Ini adalah pertama kalinya para penghuni Vila melihat amarah nyata dari tuan mereka yang selama ini terkenal dengan ketenangan dan kesempurnaannya di dunia hiburan. "Memangnya apa yang kalian lakukan seharian? Mengawasi satu
Setelah meluapkan sebagian emosi, Max tengah memperhatikan satu mobil hitam dari celah jendela, Moa dan Lin tampak berbincang sejenak sebelum mobil tersebut kembali pergi tanpa menginjakan kaki di Vila ini.Max bersandar pada dinding. Helaan nafas yang terdengar berat berembus pelan. Tangannya yang kuat mengepal erat, mencerminkan kemarahan yang masih tersisa. Dia mengusap darah di bibir dengan tangan kiri yang selalu terpasang cincin berwarna perak di sana. "Perceraian ya."...Esok menjemput, sejak pertemuan singkat kemarin tak sekalipun Max menampakkan batang hidungnya kembali, dan saat ini tepat pukul satu siang, Vivian baru selesai membersihkan diri. Saat pintu kamar mandi terbuka, Vivian langsung dikejutkan dengan kehadiran suaminya yang tengah duduk ditepi ranjang. Disampingnya terlihat gaun berwarna merah marun tersimpan rapi bersama dengan sepasang tuxedo senada."Pakai ini," titah Max jelas.Dengan langkah pasti Vivian membawa gaun tersebut, sembari sesekali menatap suamin
Saat mereka tiba di Vila, Max membuka pintu dengan gerakan cepat dan tegas. Melepas emosi yang diredam selama perjalanan.Dengan sorot mata yang tajam dan penuh otoritas, dia memberikan perintah, "Keluarlah."Disisi lain Vivian tampak enggan untuk menuruti perintah. Ada firasat buruk yang tiba-tiba muncul dalam hatinya, membuatnya merasa tidak nyaman."Kau duluan saja, nanti aku menyusul," ujarnya, menghindari tatapan mata biru Max yang terus menusuknya.Sejak dua hari yang lalu, kesabaran Max telah dipacu. Penolakan, kebencian, dan rasa sakit yang mengganggu semakin membesar dalam dirinya, dan hari ini, satu penolakan lagi berhasil dia dengar dengan sangat jelas, memicu kemarahan yang tak mampu lagi diberi sabar.Tanpa memberikan aba-aba, Max dengan kasar mengangkat Vivian dengan pangkuan ala fireman's carry. "Hey kau! Lepaskan aku!" Vivian terkejut lalu meronta untuk segera diturunkan.Beberapa pelayan tampak terkejut melihat kedatangan tuan dan nona muda mereka, namun segera fokus