Ronal
1 Januari. 21.04 WIB.Pikiranku kacau. Perutku terpelintir dan ada sebongkah makanan yang hendak keluar dari tenggorokan.
Aku tak sanggup membayangkan nasib Hendro, dan terlebih lagi, darah Kim yang terhambur. Aku ingat jelas semuanya. Jemariku yang menarik pelatuk, percikan api dari mulut senapan, lalu kepala Kim yang ambruk.
Terlebih-lebih, aku ingat warna cairan gelap yang membungkus tengkuk Kim.
Aku menahan bobot tubuh ke pohon, satu tanganku memegangi perut. Sentakan rasa mual kembali hadir. Biasanya aku tak selemah ini. Tapi melihat ceceran darah yang bisa ditampung gelas, akan membuat siapa saja mendadak lemas.
Langkah Hughes semakin pelan hingga akhirnya berhenti. “Kita istrirahat dulu kalau kau mau,” katanya.
Tiba-tiba aku teringat kunci. Dan bersyukur karena rasa asam di kerongkonganku mendadak cair kare
Garrincha.1 Januari. 22.03 WIB. Aku bergantian melirik tubuh Ernest yang kaku dan suar yang luar-biasa-terang. Kami kini berada di atap, berdempetan, dan bersembunyi di gelap. Tubuh Ernest dijadikan Pedro sebagai peringatan. Jadi yang berniat mendekat, mereka bisa tahu kalau ada tubuh melintang dengan darah kering di sekitarnya. Otot keras Pedro menempel di bahuku. Napas temanku itu teratur dan tenang. Luncuran suar membuatnya mengokang senapan. “Orang gila lagi,” kata Pedro datar. “Perang mulai menjalar,” gumamku. Pedro menyeringai dengan lagaknya yang sinis. “Aku tahu, aku tahu. Kita tak perlu turun ke lapangan, sobatku. Kita lihat seberapa hebat kurcaci-kurcaci itu malam ini. Kau tahu, kita seperti timnas AS saat melawan Inggris. Tak diperhitungkan, tapi mematikan.” Menunggu rasanya memuakkan. Karena aku mengalaminy
Hughes.1 Januari. 23.16 WIB. “Kerusuhan 2023 menewaskan orang tuanya,” kata Ardian saat kutanya perihal orang tua Ishak. “Dia baca apa?” Ronal menyentakkan ibu jari ke arah Ishak. Ardian tak perlu menoleh untuk mengetahui keponakannya membaca apa. “Alkitab. Dia kuajari membaca. Sangat lamban, benar-benar lamban kalau soal baca-tulis. Tapi dia hebat berkebun dan menombak.” Eve berkata, “Aku tahu soal kerusuhan 23. Kakekku terkena imbasnya. Dia didepak dari pabrik kertas setelah isi pabrik dijarah.” Ardian menghela napas, membuat api lilin menari-nari. “Zaman gelap. Seharusnya pemerintah tak perlu membunuh aktivis malang itu.” “Dunia makin kacau,” kataku tanpa emosi. “Terutama permainan ini. Kita tidak tahu keburuntungan di tangan siapa.” Ardian menyeringai. “Jangan pesimis teman-teman, kita bermain pasif saja sampai saatnya benar-
Ronal.2 Januari. 03.40 WIB. Aku bermimpi soal ayah. Permah sekali, tangannya yang seukuran pipiku telak menghantam wajah ibu, setelahnya, aku dihajar habis-habisan dan disumpahi macam-macam. Akar pahit memang tertanam di hatiku karena orang tua itu. Seperti cerita klise kebanyakan. Hidup kami selayaknya dilabeli ‘tragis'. Tapi nyatanya tidak. Ibu diam-diam menjadi selingkuhan salah satu pemilik toko-bangunan di pinggir kota. Dia mendapat banyak uang dari permainan gelapnya, dari situlah kami bisa makan roti dan aku dapat sekolah. Ibuku memang cantik. Wajahnya oriental. Dan aku mendengarnya beberapa kali bergumam, soal betapa bodoh dirinya mau menikahi ayah. Ayah tak pernah mau tahu kenapa aku bisa sekolah. Hampir siang-malam pria itu main perempuan dan mabuk. Namun aku tahu, ayahku tak pernah meniduri perempuan selain ibu—karena dia pengecut. Kebejatan ibu terbongka
Garrincha.2 Januari. 05.25 WIB. “Ayo keluar kawan-kawan!” seru seorang pria tua berperawakan kurus di samping mayat Ernest. Matahari sempurna memancar dan menyemburkan cahaya pucat-hangatnya. Suasana di Bilik masih sama remang-remang seperti di hari pertama, namun kami kedatangan orang asing yang tanpa gentar membusungkan dada. Setahuku, matahari buatan arena memang diformat agar langsung menyebar tanpa menunggu waktu normal. Dan kau bisa mendapati bahwa jam 5 pagi sudah sangat terik. Pedro belum menarik pelatuk, dia memantau keadaan layaknya serigala berdarah dingin. Di bagian bawah matanya, terdapat garis gelap yang didapat dari kurang tidur. Emosinya kembali terpancing setelah melihat “target yang bisa dibunuh”. Pria tua itu berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang. Dia memakai topi berwarna kelabu yang membungkus rambut, badannya ceking, dan memakai
Hughes.2 Januari. 06.17 WIB. Ronal memberiku sebotol air yang masih tersegel. Persiapan kami soal urusan logistik memang banyak, namun kejadian panjang yang dilalui, membuat semua dahaga dan rasa lapar luntur. Ronal membuka bungkus roti, membelah dua, lalu menguyahnya dalam keheningan. Aku dan Eve ikut makan. “Apa alasanmu ikut?” tanyaku pada Eve agar situasi canggung ini enyah. Eve menggigit rotinya secuil. “Karena abangku,” katanya datar. “Kami terpaksa ikut karena ayah sakit keras dan ... yah, kami butuh uang secara instan.” “Kenapa bisa lolos?” “Lagi-lagi karena abangku. Dia jenius, peraih nilai tinggi, dan siap kerja saat lulus nanti...” Gadis itu menundukkan mata, dia tersenyum sedih. “Sayangnya, diterima kerja sama sulitnya dengan mencari Kunci.” “Dunia memang kejam,” sahut Ronal. “Nikmati saja. Karena
Garrincha.2 Januari. 08.28 WIB. Pedro membacakan kartu identitas yang terselip di saku celana korbannya. “Frederick ... Lamar.” Pedro melempar kartu nama itu sembarangan. “Siapa nama rekannya?” “Elisabeth Burg,” jawabku. “Mereka suami-istri. Ada foto pernikahan di dompetnya.” Pedro mendenguskan tawa mengejek. “Dia pasti menikah lebih dari sekali. Kebiasaan pria bau tanah di provinsi Barat.” “Tapi kau juga dari Barat,” tanyaku—tanpa maksud apa pun. Air muka Pedro sukar dibaca. “Itu beda. Biasanya pekerja kasar ... atau pemabuk ... yang melepaskan penat dengan perempuan muda. Itu hal biasa di tempatku.” Aku mengiyakan dan menggeledah ransel Frederick. Isi ransel pria tua itu hanya obat tidur, pil anti-depresan yang tersisa dua butir, makanan ringan, dua botol air, pisau seukuran jari tengah yang bahkan tak b
Hughes.2 Januari. 09.54 WIB. Kami sudah hendak meninggalkan Eve untuk mencari mata air terdekat saat anak malang itu terbangun. Posisinya tetap terlentang, matanya memancarkan rongga yang kosong, dia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya melihat kemari. “Kau butuh sesuatu?” tanyaku pelan. Raut wajahnya berubah suram dan dingin, dia mengerutkan hidung, lalu kembali memandang langit biru bersih. “Banyak mayat...” kata-katanya putus. “Banyak sekali ... mayat ... mayat.” Ronal yang menyender ke pohon langsung menegakkan tubuh. “Mayat siapa? Kau sempat lihat tidak?” “Yang satu kepalanya rusak...” gumam gadis itu. “Satu lagi ... satu lagi entah bagaimana.” Aku dan Ronal bertukar pandang. Eve masih terus meracau soal darah, kepala pecah, peluru, batu, perempuan-perempuan muda, dan
Garrincha.2 Januari. 11.02. WIB. Aku menggeliat dan hampir terjungkal dari atap. Kejadian penyerangan dua kali berturut-turut membuat sendiku pegal—melebihi saat usai pertandingan. Rasanya aku bisa tidur seharian penuh, menikmati angin sepoi-sepoi, dan menunggu senapan meletus lagi. Naasnya, perutku keroncongan, dan Pedro yang seolah tahu hal itu sudah duduk bersila. Dua mangkuk makanan instan terhidang di hadapannya, dia tak perlu memberiku isyarat untuk mendekat dan makan. Karena aku langsung mengambil jatahku dan melahapnya. Kali ini makanan kami sedikit mewah. Hasil merampas dari para penyerang yang memiliki banyak pasokan logistik. Di ransel pria yang memegang pistol perak, kami menemukan dua kaleng sardin yang bisa kau santap tanpa dimasak. Terdapat juga mie instan, kompor beserta gas portabel, serta sekantung penuh