Mohon maaf atas perubahan cover yang membuat pembaca tidak nyaman pada hari ini. Aku sedang dalam proses menyiapkan cover yang lebih baik lagi. Selamat membaca. Jangan lupa kasih gem yang banyak supaya aku semangat nulisnya. Ditunggu komen baiknya. Salam!
Anes belum mengganti baju dan celana training. Dia bahkan tidak berniat untuk beranjak ke mana pun. Wanita itu menggigit jari jempol tangan kirinya perlahan. Ini adalah kebiasaan lama yang muncul karena gugup. Mawar putih di atas nakas terlihat indah. Anes memandangnya sambil rebahan. Bunga itu ditinggalkan Raina di mobil Anes, bukan? Raina tidak membutuhkannya lagi, 'kan? Anes tidak berniat membawanya ke sini. Anes terus bertanya-tanya dalam hati. Dia kembali mengeluarkan HP dari saku celana training. Semakin dilihat, dadanya semakin terasa sesak. Potret yang sedang dilihatnya memang gambar biasa. Dia juga sering berfoto dengan Adli seperti itu. Namun, bukan itu masalahnya. The problem is Adli yang tidak pernah posting foto wanita mana pun. Kini dengan berani meng-upload foto bersama Raina. Itu artinya apa? Bukankah jelas? Adli serius terhadap perasaannya. Adli Winata adalah pria yang menerima godaan dari wanita mana pun. Pria itu sangat ramah dan bersahabat. Namun, sahabat terd
Go public paling serius. Kalimat ini tetap tampak narsis meski dilihat dari sudut mana pun. Raina bisa melihat foto yang tadi malam Irham kirim ke grup kini berpindah ke feed I*******m. Pria itu bahkan membubuhkan caption 'Go publik paling serius'. Raina buru-buru membuka laman media sosial dan mencari nama Irham Nusahakam. Ternyata benar, memang fotonya ada di sana. Saru-satunya postingan pada feed pria menyebalkan itu. Apa Raina perlu merasa istimewa? Tidak! Kekesalannya malah semakin menggumpal dalam dada. Hal ini pasti membuat tujuh ribu lebih followers Irham sudah atau akan segera melihatnya. Raina ingin segera mencak-mencak di kantor Irham, tapi urung. Dia harus menyelesaikan ujian susulan. Raina mengetikkan sesuatu pada obrolannya dengan Irham. 'Apa pekerjaan bapak kurang melelahkan?' Tak lama Irham langsung membalas 'Sangat melelahkan ditambah penantian lamaran saya yang entah kapan diterima.' 'Kalau begitu, kenapa bapak meladeni mahasiswa yang kurang kerjaan?' 'Ini se
'Hapus sendiri? Emangnya Si Bapak Nusakambangan nggak takut gue retas apa HP-nya?' Pikiran Raina terus dipenuhi pertanyaan. "Password-nya apa?"gumam Raina. Dia merasa dipermainkan. 'Untuk apa Pak Nusakambangan itu ngasih HP kalau password-nya aja, gue nggak tahu?!' Raina menghentakkan kaki. Dia berjalan menelusuri lorong lantai 4. Setelah menuruni anak tangga tiga lantai, Raina akhirnya sampai di ruang dosen. Dia mengetuk pintu. "Permisi, Bu, Pak." "Pasti mau ketemu Pak Irham!" celetuk dosen pengantar pendidikan sambil tersenyum. Dosen wanita itu sudah cukup berumur untuk meledeknya. Apa gosip 'go public paling serius' sudah menyebar sampai ke ruang dosen? Raina bergidik ngeri. Raina membungkukkan badan hormat. Dia melewati dosen-dosen yang sedang bersantai di sofa untuk sampai ke ruangan Irham. "Kamu Raina Atqiyya?" tanya seorang dosen wanita. Entah mengampu mata kuliah apa? Raina tidak pernah mengikutinya. Dosen muda itu menyedekapkan tangan saat Raina mengangguk. "Wah, pad
Raina tersenyum kecil saat mengingat kembali kejadian di ruang dosen. Dia sengaja memegang lengan Irham yang tertutup kemeja itu. Niatnya, sih, kalau tidak dibukakan juga, dia akan mendorong dosennya. Namun, Irham gentar dan langsung menarik tangan. Ternyata, pria itu benar-benar menjaga diri, ya? Pikiran Raina terus diingatkan wajah Irham yang sekali-kali senyum, tak lama pura-pura tegas. Bagaimana ini? Raina baru sadar kalau dirinya mengiyakan ajakan ngobrol. Tidak di rumah atau di kuburan. Hah? Jawaban bodoh macam apa itu? Tentu saja Irham tidak akan mengajaknya mengobrol di hotel, bukan? Bunga di vas kaca yang diletakkan oleh Raina di atas nakas masih cukup segar. Setiap kali melihatnya, wanita itu selalu teringat pada ucapan Sheiza. Apa benar Irham orang yang tulus dan tidak pernah berbohong? Apa sebaiknya dia menerima perasaan Irham saja? Sore ini, Raina memutuskan untuk membuat beberapa panel gambar. Dia memindahkan beberapa sketsa. Goresan demi goresan membuat semakin jelas
"Pak, sampai tadi siang saya masih berpikir bapak benar-benar berniat mengisi hari-hari saya. Tapi ... saya sadar. Ternyata apa yang terjadi bukan seperti itu. Bapak mungkin sudah tahu kalau Maira adalah kakak saya. Bapak mungkin hanya ingin membuat Maira cemburu atau membalaskan dendam kepadanya melalui saya. Bapak mungkin menggunakan saya untuk itu semua." Irham patah hati begitu mendengarkan ucapan-ucapan Raina. Apa ketulusannya selama ini tidak terlihat sedikit pun? Apa dia tampak seperti lelaki yang akan mengajak seorang wanita menikah hanya untuk balas dendam?"Kita ... memang seharusnya jangan pernah bertemu lagi!" ujar Irham. Dia susah payah mengatakan kalimat itu."Baik," ucap Raina. Wanita itu membuka pintu mobil dan turun begitu saja.Apa Raina bilang? Baik? Dia mungkin akan baik-baik saja atas apa yang sedang terjadi, tapi Irham? Pria itu mengepalkan kedua tangannya, kemudian memukul stir mobil.Irham belum lupa, dia pernah bilang tidak akan melamar Raina lagi. Itu bukan h
"Sampai kapan Maira tinggal di sini?" "Kamu kok pertanyaannya begitu, Ra?" tanya Mama balik. Nada bicaranya lembut. Mama adalah yang paling hati-hati bicara pada Raina. Wanita itu tidak mau menghancurkan hati putrinya untuk yang kedua kali. Mama sudah datang pagi-pagi sekali ke rumah karena ingin jalan-jalan bersama Haura, cucu satu-satunya--untuk sementara. Sementara? Raina menepis pikiran menggelikan tentang rumah tangga. Memangnya dia akan menikah dan memberi cucu? Irham saja mulai ... melupakannya. Untuk fakta yang satu ini, Raina masih merasa sesak tiap kali mengingatnya. "Aku nggak bisa, Mah, bareng-bareng mereka berdua." Raina membalikkan badan dan menatap Mama yang sedang sibuk mengupas apel. Siapa pun yang melihat Mama pasti akan mengira wanita berpasmina warna army itu hendak pergi ke pesta! Hijabnya yang berpayet-payet itu membuat Raina tidak tahan untuk menghela napas. Ramai sekali! It is not her style. Nggak gue banget kalau kata Raina, sih. Kuku cantik Mama tampak
Irham terkejut saat Maira tiba-tiba memeluknya. Yang dia tak habis pikir, momen itu bertepatan dengan datangnya Raina dan Anes. Anes menghampiri Irham dengan langkah lebar. Tangannya terus menarik Raina untuk ikut. Wajah Raina yang terlihat datar, tanpa ekspresi, jelas terlihat di mata dosennya. Tidak ada yang tersembunyi sedikit pun. Irham lekas berusaha mendorong tubuh Maira pelan. Namun, badan wanita itu seperti kaku dan terus menempel ke tubuhnya. Kenapa hal buruk seperti ini harus terjadi padanya? Maira melepaskan pelukan dan tersenyum. Irham menelan ludah kasar. Dia menarik napas dalam. Matanya menatap tajam ke arah Maira bagai belati yang hendak merobek. "Menjijikkan!" seru Irham pelan. Suara pria itu memang pelan, tapi cukup terdengar di telinga Maira. "Permisi, Pak! Bapak manggil saya?" tanya Anes begitu tiba dihadapan Irham. Raina terlihat membuang muka. Dia hanya menatap lurus pada lorong di depan. Tak ada keinginan untuk menyapa Maira atau Irham sedikit pun. "Kat
Raina menahan tawa mendengar Irham sudah berkali-kali bilang ingin serius. Astaga, kenapa pria di hadapannya makin pandai menggombal? Lebih lucu lagi, Irham lupa mengatakan bagian keempat. Dia meloncat ucapannya dari ketiga langsung kelima. Ini sangat lucu. Namun, Raina tak bisa berkata-kata saat Irham bilang, "saya serius ingin menikah sama kamu." Kalau saja mata Irham mengeluarkan laser, tentu saja Raina sudah meleleh sejak tadi. Pria itu tak henti menatap wajahnya. Sekarang, mereka sedang berada di perpustakaan. Keadaan sepi, tapi didekati Irham dengan jarak yang semakin terkikis tentu saja membuat Raina takut. Dia khawatir ada orang lain yang melihat kedeketan mereka. "Saya ... mungkin ingin juga." Raina membalikkan badan dan pura-pura mencari buku. Irham menajamkan pendengarannya. "Apa tadi kamu bilang, Raina?" Pria itu kini berdiri di sebelah kiri Raina. Raina menggeser diri karena merasa jarak mereka terlalu dekat. Aroma parfum dari tubuh Irham tak henti menyenangkan inder