Hai, semoga terhibur. Aku menulis ini dengan bahagia pada pukul 04.00 dini hari. Semoga kalian juga bahagia membacanya. Aku terkejut pada kiriman gem yang sangat banyak dari Kak Choky. Mataku langsung kelilipan gem saking bahagianya. Whoaa, Terima kasih untuk support kalian semua terhadap Raina dan Pak Irham. Salam hangat, Author.
Raina ingin oleng saat mengingat cara licik Irham menebar pesona. Pria itu sengaja menggunakan ketampanannya untuk memikat hati Raina. Ingin marah, ya, wajahnya telanjur ganteng. Siapa yang tega mendorong pria se-charming itu? Lalu, bila Raina diam saja, Irham pasti mentertawakannya dalam hati. 100% menyebalkan! Raina hanya bisa menggerutu. Dirinya saat ini sudah berada di mobil Irham dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Gadis itu sesekali melirik ke arah Irham di kursi kemudi. Irham bertanya-tanya dalam hati. Apa tadi tatapan romantis? Apa Raina mulai memperhatikannya? Irham tidak sia-sia menebar gombalan sepanjang sore sampai makan malam di kantor tadi. Irham tak berbicara apa pun dan membiarkan keadaan menjadi canggung. Beberapa menit kemudian dirinya menyalakan musik sambil tersenyum simpul, menangkap lirikan Raina. Lagu Mau Dibawa Kemana dari Armada pun mengalun ceria. Raina menatap Irham tak percaya. Dia melepaskan tas selempang berwarna coklat dan meletakkannya di bel
Saya akhiri rancangan kegiatan mengenal saya. Kamu bebas mulai sekarang' Raina menghela napas. Dia beberapa kali mengetikkan sesuatu pada ruang obrolannya dengan Irham. Namun, dia menghapus kembali tulisan itu. Raina tidak percaya diri mendapat maaf dari dosennya. Apa yang harus dilakukan oleh Raina? Raina tidak mungkin bertanya kepada Anes yang sedang sakit, bukan? Dia akhirnya memilih merebahkan badan setelah berganti pakaian tidur. *** Sabtu pagi, Mama datang pagi-pagi sekali dan membantu Maira membereskan barang. Raina masih mondar-mandir dalam kamar. Dia tidak terpikirkan Maira sedikit pun. Yang ada di kepalanya adalah Irham Nusahakam. Suara ketukan pintu terdengar. "Raina sayang ... boleh Mama masuk, Nak?" suara Mama terdengar lembut. Raina membuka pintu. Dia berwajah kusut saat ini. Mama memeluk gadisnya tanpa aba-aba. "Maafin Mama, ya, Sayang ..." "Mama mau minta maaf berapa kali? Tadi pagi pas datang, udah. Aku nggak apa-apa." Raina melepas pelukan Mama. "Maira cari te
Irham memarkirkan mobil dan turun. Pria berpenampilan menawan itu menarik perhatian beberapa pengunjung saat memasuki kafe. Dia sedang tidak ingin tersenyum. Suasana hatinya sangat buruk. Bagaimana tidak? Raina bahkan tidak mengiriminya pesan sekali pun. Setelah tahu Irham marah, seharusnya Raina merayu atau melakukan hal apa pun yang menggodanya. Setelah itu, Irham akan mengajaknya menikah. Teori selalu terdengar mudah, bukan? Pernikahan memang menjadi hal yang mendominasi pikiran pria itu. Kafe yang didatangi Irham kali ini bernunasa homey dengan dekorasi interior kayu. Dia memilih duduk di bagian outdoor Kafe dengan view hamparan kebun stroberi juga beberapa spot bunga Bougenville. Kesejukan suhu daerah ini seketika membuat Irham merefresh otaknya. Sangat berbeda dengan jalan Jakarta yang seringkali membuat kepenatannya berlipat ganda. Irham memijat dahi. Pria itu membuka kacamata dan meletakkannya di atas meja. Dia terlihat frustrasi. "Hai, kamu kenapa?" tanya seorang wanita be
Irham berkali-kali mencoba mengeklik link yang Raina bagikan pada ruang obrolan pribadi mereka. Namun, tetap saja bacaan 'pengguna tidak ditemukan' yang terlihat. Dia 100% tidak bisa melihat aktivitas online gadis itu lagi. Kenapa ini terasa sangat menyebalkan bagi Irham? Pria itu pun langsung menghubungi nomor WA Raina. Dia merasa tidak bisa menahan lagi martabatnya sebagai seorang lelaki. Irham cemas tidak ada lagi celah baginya untuk memasuki kehidupan Raina. Setelah mencoba menghubungi nomor WA Raina lima kali, Irham sadar. Raina pasti sudah memblokir juga nomor WA-nya. Irham memijat dahi karena merasa pening luar biasa. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semua kekeliruan Raina terhadap dirinya. Seandainya bisa mengulang waktu, tentu dia tidak akan mengunggah foto berdua Maira. Pria itu kembali fokus menyetir. Maira duduk di jok sebelahnya. Mereka tidak berniat bicara apa pun. Maira tampak memahami kegalauan Irham hari ini. Mobil Irham hanya perlu menempuh ja
Irham tersenyum kecil. Dia meletakkan telapak tangan kanannya di atas kepala Raina dengan lembut. "Kamu memang gadis pemberontak!" seru Irham. Dia menyembunyikan khawatir apabila Raina benar-benar melempar HP tersebut ke jalan. Kalau itu terjadi, maka Raina benar-benar marah. Yang Irham tidak sanggup hadapi adalah perasaan gadis di hadapannya. Raina terkesiap saat Irham menepuk pelan kepalanya sebanyak dua kali. Dia langsung menyodorkan HP di tangannya kepada pria yang kini sedang bergeming. Kenapa tidak dibanting saja sekalian, Raina? Raina menghela napas. Mana mungkin dia berani melempar HP berlogo apel yang ujungnya seperti baru saja dimakan codot itu? Meskipun Irham tidak akan marah, dia tetap tidak punya kekuatan untuk melempar HP. Nanti tidak terlihat keren. Kepala Raina terasa pening tiba-tiba. Badan mungil itu sudah menahan kelelahan sejak tadi pagi. Dia hampir bergadang karena memikirkan maaf dari Irham. Gadis itu berkali-kali memikirkan kenapa dia bicara sembarangan tent
Malam terasa hening. Raina benci itu. Dia benci rumah sakit dan sendirian. Namun, kali ini Raina bersyukur kepada pria tampan yang sedang memecah kesunyian. Dua pasien lain dengan jarak ranjang berjauhan tampaknya sudah tertidur. "Kamu cemburu sama saya dan ... Maira?" tanya Irham serius. Pria itu berharap Raina mengangguk dan mau menerima cinta sepihaknya selama ini. "Bapak bisa berhenti halu, nggak?" tanya Raina sambil menatap langit-langit. Ternyata, ruang rawatnya cukup luas. Irham menyilangkan tangan di depan dada. Dia sudah tahu orang seperti Raina tidak akan pernah mengakui apa-apa. "Oke, Raina. Kalau begitu, kenapa kamu kesal sama saya?" tanya Irham. Raina ingin membalikkan badan untuk membelakangi pria menyebalkan itu. Namun, bahunya ditahan oleh Irham. "Jangan gerak-gerak, lho, Raina. Ini infusnya nanti malah bikin darah kamu naik ke dalam selangnya!" Irham berkata serius. Dia sampai menautkan kedua alis karena terlalu serius. Irham memperbaiki posisi infus Raina agar
Malam itu Irham hanya tersenyum saat Raina menggantung pertanyaannya. Dia tidak berbuat apa-apa karena mama dan papa Raina diam-diam menyimak obrolan mereka. Obrolan apanya? Mereka bahkan tidak saling menanggapi. Hanya ada Irham yang menyatakan secara sadar menyukai Raina. Entahlah! Kalimat tersebut berhasil membuat pipi gadis itu merona. Irham berteriak dalam hati. Tiba-tiba, Irham mendapat ekstra percaya diri. Dia yakin gadis yang sedang berbaring lemah itu sudah mulai menyukai dirinya. Irham berpamitan kepada Mama dan Papa setelah makan. Sementara kepada Raina, Irham hanya melempar senyum sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada. Mana berani dirinya mengelus kepala gadis itu di saat calon mertua sedang mengawasi? Tentu saja sebaiknya tidak berani, bukan? Keesokan hari, kondisi kesehatan Raina berangsur membaik. Dia sudah boleh pulang siang ini. Gadis itu sangat senang. Dia memberi kabar kepada Anes untuk datang menjemput. Raina tidak mau papa dan mamanya ikut ke Jakarta. Bi
Irham bersikukuh ingin menginap di rumah Raina, mengikuti rencana Anes. Dia beralasan khawatir bila dua wanita itu tidak dijaga. Anes memutar mata dan tertawa. "Abang Irham besok ngajar, kerja, sebaiknya di rumah aja, deh. Lagipula Raina tidak mengizinkan." Irham menghela napas. Dia melirik Raina yang sedang bersandar di sofa, di sebelahnya. Iya, memang Irham tadi iseng untuk duduk di sebelah Raina. Wanita itu tidak menolak dan hanya diam saja. Apa mungkin sakit telah membuat Raina sedikit lebih bisa diatur? "Raina, saya boleh menunggu di ruang tamu ini, 'kan?" tanya Irham sambil sedikit memiringkan badan. Dia menatap wajah Raina yang tidak berekspresi. "Nggak! Bikin nggak nyaman aja!" kata Anes kesal. Dia menggeser tubuh Irham. Gadis itu sengaja duduk di antara Irham dan Raina. "Kamu lihat sekarang sudah malam dan pintu rumah saya pasti sudah dikunci," Irham masih mengarahkan pandangan kepada Raina. Raina tersenyum. Matanya fokus pada layar TV yang menyala. Maira memang belum m