Semoga menghibur. Terima kasih untuk yang setia dengan novel ini. Kalian bisa komentar baik untuk support aku. :D cukup sekian dan terima gem.
Irham memarkirkan mobil dan turun. Pria berpenampilan menawan itu menarik perhatian beberapa pengunjung saat memasuki kafe. Dia sedang tidak ingin tersenyum. Suasana hatinya sangat buruk. Bagaimana tidak? Raina bahkan tidak mengiriminya pesan sekali pun. Setelah tahu Irham marah, seharusnya Raina merayu atau melakukan hal apa pun yang menggodanya. Setelah itu, Irham akan mengajaknya menikah. Teori selalu terdengar mudah, bukan? Pernikahan memang menjadi hal yang mendominasi pikiran pria itu. Kafe yang didatangi Irham kali ini bernunasa homey dengan dekorasi interior kayu. Dia memilih duduk di bagian outdoor Kafe dengan view hamparan kebun stroberi juga beberapa spot bunga Bougenville. Kesejukan suhu daerah ini seketika membuat Irham merefresh otaknya. Sangat berbeda dengan jalan Jakarta yang seringkali membuat kepenatannya berlipat ganda. Irham memijat dahi. Pria itu membuka kacamata dan meletakkannya di atas meja. Dia terlihat frustrasi. "Hai, kamu kenapa?" tanya seorang wanita be
Irham berkali-kali mencoba mengeklik link yang Raina bagikan pada ruang obrolan pribadi mereka. Namun, tetap saja bacaan 'pengguna tidak ditemukan' yang terlihat. Dia 100% tidak bisa melihat aktivitas online gadis itu lagi. Kenapa ini terasa sangat menyebalkan bagi Irham? Pria itu pun langsung menghubungi nomor WA Raina. Dia merasa tidak bisa menahan lagi martabatnya sebagai seorang lelaki. Irham cemas tidak ada lagi celah baginya untuk memasuki kehidupan Raina. Setelah mencoba menghubungi nomor WA Raina lima kali, Irham sadar. Raina pasti sudah memblokir juga nomor WA-nya. Irham memijat dahi karena merasa pening luar biasa. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana cara memperbaiki semua kekeliruan Raina terhadap dirinya. Seandainya bisa mengulang waktu, tentu dia tidak akan mengunggah foto berdua Maira. Pria itu kembali fokus menyetir. Maira duduk di jok sebelahnya. Mereka tidak berniat bicara apa pun. Maira tampak memahami kegalauan Irham hari ini. Mobil Irham hanya perlu menempuh ja
Irham tersenyum kecil. Dia meletakkan telapak tangan kanannya di atas kepala Raina dengan lembut. "Kamu memang gadis pemberontak!" seru Irham. Dia menyembunyikan khawatir apabila Raina benar-benar melempar HP tersebut ke jalan. Kalau itu terjadi, maka Raina benar-benar marah. Yang Irham tidak sanggup hadapi adalah perasaan gadis di hadapannya. Raina terkesiap saat Irham menepuk pelan kepalanya sebanyak dua kali. Dia langsung menyodorkan HP di tangannya kepada pria yang kini sedang bergeming. Kenapa tidak dibanting saja sekalian, Raina? Raina menghela napas. Mana mungkin dia berani melempar HP berlogo apel yang ujungnya seperti baru saja dimakan codot itu? Meskipun Irham tidak akan marah, dia tetap tidak punya kekuatan untuk melempar HP. Nanti tidak terlihat keren. Kepala Raina terasa pening tiba-tiba. Badan mungil itu sudah menahan kelelahan sejak tadi pagi. Dia hampir bergadang karena memikirkan maaf dari Irham. Gadis itu berkali-kali memikirkan kenapa dia bicara sembarangan tent
Malam terasa hening. Raina benci itu. Dia benci rumah sakit dan sendirian. Namun, kali ini Raina bersyukur kepada pria tampan yang sedang memecah kesunyian. Dua pasien lain dengan jarak ranjang berjauhan tampaknya sudah tertidur. "Kamu cemburu sama saya dan ... Maira?" tanya Irham serius. Pria itu berharap Raina mengangguk dan mau menerima cinta sepihaknya selama ini. "Bapak bisa berhenti halu, nggak?" tanya Raina sambil menatap langit-langit. Ternyata, ruang rawatnya cukup luas. Irham menyilangkan tangan di depan dada. Dia sudah tahu orang seperti Raina tidak akan pernah mengakui apa-apa. "Oke, Raina. Kalau begitu, kenapa kamu kesal sama saya?" tanya Irham. Raina ingin membalikkan badan untuk membelakangi pria menyebalkan itu. Namun, bahunya ditahan oleh Irham. "Jangan gerak-gerak, lho, Raina. Ini infusnya nanti malah bikin darah kamu naik ke dalam selangnya!" Irham berkata serius. Dia sampai menautkan kedua alis karena terlalu serius. Irham memperbaiki posisi infus Raina agar
Malam itu Irham hanya tersenyum saat Raina menggantung pertanyaannya. Dia tidak berbuat apa-apa karena mama dan papa Raina diam-diam menyimak obrolan mereka. Obrolan apanya? Mereka bahkan tidak saling menanggapi. Hanya ada Irham yang menyatakan secara sadar menyukai Raina. Entahlah! Kalimat tersebut berhasil membuat pipi gadis itu merona. Irham berteriak dalam hati. Tiba-tiba, Irham mendapat ekstra percaya diri. Dia yakin gadis yang sedang berbaring lemah itu sudah mulai menyukai dirinya. Irham berpamitan kepada Mama dan Papa setelah makan. Sementara kepada Raina, Irham hanya melempar senyum sambil mengatupkan kedua tangan di depan dada. Mana berani dirinya mengelus kepala gadis itu di saat calon mertua sedang mengawasi? Tentu saja sebaiknya tidak berani, bukan? Keesokan hari, kondisi kesehatan Raina berangsur membaik. Dia sudah boleh pulang siang ini. Gadis itu sangat senang. Dia memberi kabar kepada Anes untuk datang menjemput. Raina tidak mau papa dan mamanya ikut ke Jakarta. Bi
Irham bersikukuh ingin menginap di rumah Raina, mengikuti rencana Anes. Dia beralasan khawatir bila dua wanita itu tidak dijaga. Anes memutar mata dan tertawa. "Abang Irham besok ngajar, kerja, sebaiknya di rumah aja, deh. Lagipula Raina tidak mengizinkan." Irham menghela napas. Dia melirik Raina yang sedang bersandar di sofa, di sebelahnya. Iya, memang Irham tadi iseng untuk duduk di sebelah Raina. Wanita itu tidak menolak dan hanya diam saja. Apa mungkin sakit telah membuat Raina sedikit lebih bisa diatur? "Raina, saya boleh menunggu di ruang tamu ini, 'kan?" tanya Irham sambil sedikit memiringkan badan. Dia menatap wajah Raina yang tidak berekspresi. "Nggak! Bikin nggak nyaman aja!" kata Anes kesal. Dia menggeser tubuh Irham. Gadis itu sengaja duduk di antara Irham dan Raina. "Kamu lihat sekarang sudah malam dan pintu rumah saya pasti sudah dikunci," Irham masih mengarahkan pandangan kepada Raina. Raina tersenyum. Matanya fokus pada layar TV yang menyala. Maira memang belum m
Irham merebahkan kepala di sofa ruang tamu rumah Raina. Dia memutar ulang memori saat-saat melihat gadis itu menangis di balkon rumah Anes. Cantik. Raina selalu cantik, tetapi rapuh seperti kapas yang siap terbang ke mana angin meniupnya. Irham tidak berpikir Raina cukup kuat untuk tinggal sendirian di rumah yang lumayan besar ini. Dia menghela napas. Seandainya perasaannya saat itu sudah sekuat sekarang, tentu dia akan membahagiakan Raina sejak dulu. Irham hanya berpikir mungkin sikap empatinya hanya karena gadis itu merupakan sahabat Anesya. Masih jelas pada ingatannya saat menghadiri wisuda Maira dan beberapa teman yang mendapat giliran kedua, sedangkan Irham sudah lebih dahulu mendapat jadwal wisuda. Raina menangis di sudut luar gedung. Wajah cantiknya tertutup pilar besar. Dia belum berhijab seperti sekarang. Rambut panjang coklat kehitaman dengan poni yang sangat menggemaskan. "Kamu adiknya Maira, bukan?" tanya Irham ramah. Dia berpura-pura tidak mengenal Raina. Raina hanya
Perasaan kehilangan adalah perasaan paling asing yang tidak ingin Raina ulang dalam hidup. Pria yang selama ini mewarnai kehidupannya ternyata akan pergi. Dia bisa berbuat apa? Apa Raina sungguh harus ikut dan terdampar di negeri orang? Bagaimana kalau dia ditinggalkan di sana? Bukankah tampak lebih menyedihkan? Pukul 05.00 dini hari, Raina bangun dan langsung turun ke lantai 1. Dia ingin memastikan apakah Irham tidur di sana tadi malam. Gadis itu bahkan sedikit berlari menuruni anak tangga. Hening. Kosong. Tak ada Irham di atas sofa. Raina menghela napas dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Tekanan darahnya masih rendah dan dia benar-benar merasa seperti dilanda gempa sekarang. Kepala terasa sakit. Raina terduduk di sana. Ada kemeja Irham yang tersampir di atas lengan sofa. Apakah Irham langsung pergi tadi malam sehingga lupa membawa ini? Bagaimana kalau pria itu kedinginan karena pulang hanya memakai kaos saja? Tangan Raina meraih kemeja navy Irham dan membawa benda itu ke dalam