kotak perhiasan? Apa itu perhiasan ….
"Tidak, itu milikku. Kembalikan! Itu hadiah dari Mas Heru." Lastri merangsek dan ingin mengambil paksa perhiasan tersebut. Namun tidak bisa, karena Dilan mengangkat tinggi tangannya ke atas. Badannya yang lebih tinggi dari Lastri sangat menguntungkannya. Lastri tidak menyerah dengan memaksa melompat-lompat ke atas mencoba menggapai tangan Dilan.
Aku berdiri, mendorong tubuh Mas Heru yang masih duduk bersimpuh hingga ia terjungkal ke belakang karena hentakan lututku.
'maaf Mas, aku tidak sengaja, bukan maksudku mendorongmu.' Kulirik Mas Heru sebentar, lalu mendekati Lastri.
Kutangkap tubuh Lastri dan menghadapkannya ke arahku. Kuamati hingga yakin dengan apa yang sedang kulihat. Lastri mengernyit melihat tindakanku padanya.
La
Sayup masih kudengar suara panggilan Mas Heru, dan teriakan Lastri di dalam rumah ini. Mereka berdua bagai dua kutub yang berseberangan. Satu menyuarakan pengibaan, permintaan maaf, sedangkan satunya penuh hujatan dan caci maki untukku. Tidak kupedulikan kekacauan yang terjadi di rumah ini. Dilan dan Surya pasti bisa mengatasinya.Aku terus berjalan pelan, melangkah hingga tanpa kusadari langkahku memasuki ruangan yang tampak seperti ruang makan. Ada meja panjang dengan kursi besar mengelilinginya. Aku duduk di salah satu kursi tersebut. Netraku mengitari ruangannya yang megah. Lalu kutelungkupkan wajah ini ke atas meja, bertumpu pada tangan. Aku menangis. Air mata yang sedari tadi kutahan, akhirnya luruh juga, tumpah setelah kepergian mereka, para pengkhianat. Mencoba kuat di depan mereka, agar tidak ditertawakan. Nyatanya hatiku rapuh, tidak sekuat baja.Kenapa hidupku seperti ini. Hidup
"Untuk Pak Heru, Lastri dan ….Aku sengaja menjeda ucapanku. Pak Jayus bahkan harus menelan saliva menunggu lanjutannya."Bella." Makin terbelalaklah matanya mendengar nama terakhir yang kusebut. Pak Jayus menelan salivanya lagi."Bel--la, Bu?" Ulangnya memastikan. Aku mengangguk pasti."Pak Heru, kok bisa? Bukankah Pak Heru direktur utama di,""Memangnya ada masalah? Dia memang direktur di perusahaan ini. Namun Pak Jayus tentu tahu kalau saya juga mempunyai wewenang tertinggi di perusahaan ini." Pak Jayus mengangguk lemah. Dari wajahnya tampak gurat ketakutan."Bukankah di rapat kemarin sudah kita bahas, kalau laba perusahaan menurun. Anda pasti tahu apa penyebabnya?" Mataku mendelik tajam ke arahnya. Kuambil pulpen yang berada di atas meja dan memaink
Sepanjang perjalanan hatiku gelisah. Aku memikirkan pembicaraanku dengan Mbok Yem di kantor tadi, lewat sambungan telepon.Mereka? Nekat sekali mendatangiku. Apa Mas Heru belum memberitahukan tentang hubungan kami?***"Mereka siapa Mbok?" Aku penasaran."Mertua Non dan adiknya Pak Heru.""Mbok tanya, apa mau mereka datang ke rumah?""Katanya mau ketemu sama Non Delia. Sudah saya bilang kalau Non itu kerja, nggak ada di rumah. Eh malah maksa masuk. Kebetulan Dini yang bukain pintunya. Dia nggak tahu, mendengar kata mertua, ya ngasih izin aja buat masuk.""Ya sudah Mbok, saya akan pulang sekarang. Tolong Mbok awasi terus gerak-gerik mereka," pesanku, mengakhiri pembicaraan.&
Rasanya benar-benar lelah. Dari urusan kantor hingga kedatangan dua beranak itu, membuat kepalaku sakit. Setelah kamar kukunci, segera aku bergegas mencari obat. Sepertinya hari ini aku harus istirahat total. Namun apa mungkin? Sedangkan semua urusan kutangani sendiri.Lagi, ponselku tidak berhenti berdering. Setelah obat sakit kepala berhasil kutenggak, tanganku berusaha menggapai tas di atas tempat tidur. Mencari ponselku yang masih berdering.Menyesal, seharusnya kubiarkan saja ponsel ini berdering terus, karena setelah kulihat layarnya, yang menghubungiku ternyata adalah Mas Heru. Tanpa pikir panjang kumatikan ponselku. Aku butuh dua-tiga jam untuk tidur. Setidaknya sampai sakit kepalaku berkurang.***Ada suara yang mengusikku. Mataku mengerjap perlahan. Terdengar suara ketukan pintu. Kutajamkan pendengaran. Be
Dimas?" Seruku, mencoba menebak. Aku yakin laki-laki ini adalah Dimas. Walau hanya sekali bertemu, tapi sering melihatnya di medsos.Laki-laki di hadapanku ini tersenyum.Aku duduk kembali bersama seorang laki-laki. Namun beda orang dan tempat. Ya, sekarang aku duduk di sebuah cafe, yang tidak jauh dari restoran tempatku bertemu Pak Darwin. Di hadapanku, duduk seorang laki-laki yang sebenarnya tidak kukenal baik, cuma tahu nama dan siapa dia dulunya. Dimas--mantan suami Lastri."Apa kabar?" Tanya Dimas memulai percakapan yang asing ini."Baik," jawabku singkat. Dia hanya tersenyum."Senang bertemu denganmu lagi," ujarnya. Dua alisku bertaut. Kupaksakan tersenyum."Kita hanya sekali bertemu, itu pun saat kalian nikah," kilahku. Aku tida
"Non Del, non …!" Sayup terdengar suara teriakan dan gedoran pintu. Itu suara Mbok Yem. Kenapa dia harus berteriak sekencang itu? Tidak seperti biasanya. Kulihat jam di atas nakas menunjukkan pukul 04.40. pagi. Mataku memicing memastikannya. Bergegas aku turun dari ranjang untuk membuka pintu kamar.Mataku mengerling tajam, mencari tahu apa maksudnya berteriak dengan raut wajah secemas itu."Non habis nangis ya. Wajahnya sembab gitu," tanya Mbok Yem menatapku lekat."Ada apa sih Mbok, pagi buta begini gedor-gedor kamar? Kalau cuma mau nanyain kondisiku, lebih baik, Mbok keluar," jawabku setengah kesal. Mata ini masih terasa berat karena semalaman aku menangis."Eh, bukan itu Non. Itu … di depan Non, di depan banyak sampah," ujarnya membuatku mengernyit. Aku tidak mengerti ap
Cukup lama berada di kantor polisi. Walaupun sudah didampingi pengacara, tetap saja aku harus menjawab sendiri beberapa pertanyaan dari petugas polisi. Hampir satu jam berada di sana, akhirnya selesai. Mas Heru langsung diamankan, sedang Ibu dan Sita menangis histeris memanggil Mas Heru, saat ia akan dibawa masuk petugas ke dalam jeruji besi. Sempat kulihat wajah sembabnya menatapku sendu sebelum dibawa ke sana. Mas Heru ditahan terlebih dulu sampai digelarnya sidang pengadilan."Del, Ibu mohon, lepaskan Heru. Cabut tuntutanmu. Kamu mau hartamu kembali kan? Ambil rumah kami, ambil beserta isinya, tapi Ibu mohon bebaskan anak Ibu. Cuma dia harapan Ibu satu-satunya. Jangan ambil Heru-ku." Ibu menangis menarik lenganku, mengiba penuh dengan linangan air mata. Aku tahu Ibu sangat menyayangi Mas Heru. Mereka sangat dekat. Rumah yang ditempati Ibu dan Sita tidak dapat diremehkan. Harganya cukup tinggi, hamp
Aku semakin ketakutan. Siapa yang kuhubungi? Kenapa dia tahu namaku?Sayup masih kudengar suara teriakan memanggil namaku dari nomor tersebut. Layarnya masih menyala, masih tersambung rupanya. Namun, aku tidak berani mengambil ponselku kembali. Mataku malah fokus ke depan."Bu Delia tidak apa?" Tanya Deni. Mobil kami terhenti. Dipaksa berhenti. Deni tidak dapat melanjutkan, karena dihalangi oleh empat buah motor yang berada di depan. Sedangkan ingin mundur juga tidak bisa, karena di belakang mobil ada dua motor lainnya. Mereka mengepung kami.Aku terdiam. Meringkuk memeluk diri sendiri dalam ketakutan. Suara gedoran dari kaca jendela mobil saling bersahutan membuat suasana semakin mencekam. Suaranya memekakkan telinga."Bu, saya akan keluar untuk menghadapi mereka. Tolong kunci pintu ini secepatnya, se