"Non Del, non …!" Sayup terdengar suara teriakan dan gedoran pintu. Itu suara Mbok Yem. Kenapa dia harus berteriak sekencang itu? Tidak seperti biasanya. Kulihat jam di atas nakas menunjukkan pukul 04.40. pagi. Mataku memicing memastikannya. Bergegas aku turun dari ranjang untuk membuka pintu kamar.
Mataku mengerling tajam, mencari tahu apa maksudnya berteriak dengan raut wajah secemas itu.
"Non habis nangis ya. Wajahnya sembab gitu," tanya Mbok Yem menatapku lekat.
"Ada apa sih Mbok, pagi buta begini gedor-gedor kamar? Kalau cuma mau nanyain kondisiku, lebih baik, Mbok keluar," jawabku setengah kesal. Mata ini masih terasa berat karena semalaman aku menangis.
"Eh, bukan itu Non. Itu … di depan Non, di depan banyak sampah," ujarnya membuatku mengernyit. Aku tidak mengerti ap
Cukup lama berada di kantor polisi. Walaupun sudah didampingi pengacara, tetap saja aku harus menjawab sendiri beberapa pertanyaan dari petugas polisi. Hampir satu jam berada di sana, akhirnya selesai. Mas Heru langsung diamankan, sedang Ibu dan Sita menangis histeris memanggil Mas Heru, saat ia akan dibawa masuk petugas ke dalam jeruji besi. Sempat kulihat wajah sembabnya menatapku sendu sebelum dibawa ke sana. Mas Heru ditahan terlebih dulu sampai digelarnya sidang pengadilan."Del, Ibu mohon, lepaskan Heru. Cabut tuntutanmu. Kamu mau hartamu kembali kan? Ambil rumah kami, ambil beserta isinya, tapi Ibu mohon bebaskan anak Ibu. Cuma dia harapan Ibu satu-satunya. Jangan ambil Heru-ku." Ibu menangis menarik lenganku, mengiba penuh dengan linangan air mata. Aku tahu Ibu sangat menyayangi Mas Heru. Mereka sangat dekat. Rumah yang ditempati Ibu dan Sita tidak dapat diremehkan. Harganya cukup tinggi, hamp
Aku semakin ketakutan. Siapa yang kuhubungi? Kenapa dia tahu namaku?Sayup masih kudengar suara teriakan memanggil namaku dari nomor tersebut. Layarnya masih menyala, masih tersambung rupanya. Namun, aku tidak berani mengambil ponselku kembali. Mataku malah fokus ke depan."Bu Delia tidak apa?" Tanya Deni. Mobil kami terhenti. Dipaksa berhenti. Deni tidak dapat melanjutkan, karena dihalangi oleh empat buah motor yang berada di depan. Sedangkan ingin mundur juga tidak bisa, karena di belakang mobil ada dua motor lainnya. Mereka mengepung kami.Aku terdiam. Meringkuk memeluk diri sendiri dalam ketakutan. Suara gedoran dari kaca jendela mobil saling bersahutan membuat suasana semakin mencekam. Suaranya memekakkan telinga."Bu, saya akan keluar untuk menghadapi mereka. Tolong kunci pintu ini secepatnya, se
"Om!" Dengan berlari kecil kuhampiri Pak Darwin. Rasanya senang melihatnya sudah datang. Lelaki berumur hampir setengah abad itu masih terlihat gagah di usianya yang tidak muda lagi."Kamu nggak apa? Apakah ada yang terluka?" Pak Darwin mengamatiku. Ditelisiknya wajah dan badanku. Tampak gurat kekhawatiran dari mimik wajahnya. Kugelengkan kepala dengan seulas senyum tipis menepis kekhawatirannya.Kami berada di depan ruangannya Deni. Ruang inap kamar VVIP. Kutempatkan ia di kamar terbaik. Operasinya berhasil. Masa kritisnya sudah lewat. Namun sayang, Deni belum sadarkan diri. Syukur keluarganya juga sudah datang. Lega sudah ada yang menggantikan tugasku menjaganya. Kutunaikan tanggung jawabku atas apa yang telah menimpanya. Ada istri dan ibunya. Kutemui mereka untuk meminta maaf atas apa yang telah menimpa Deni. Mereka menerima dengan ikhlas dan tidak menyalahkanku, memaklumi kalau ini adalah kon
"Del, kamu percaya?" Aku hanya mengedikkan bahu dan menggeleng.Pertanyaan Pak Darwin pasti tentang pembicaraan kami barusan di kantor polisi.***"Siapa?" Tanyaku dan Pak Darwin secara bersamaan."Lastri. Apa Bu Delia mengenalnya?" Jawaban petugas polisi ini refleks membuatku menoleh ke arah Pak Darwin. Ia hanya membalas dengan anggukan kepala."Iya, Pak. Saya mengenalnya. Apa kata Mas Heru? Kenapa dia menuduh Lastri, apa alasannya?" Tanyaku beruntun karena penasaran."Kita menangkap saudara Heru karena ada bukti transfer ke rekening montir yang menyabotase mobil Ibu 'kan? Nah, saudara Heru bilang kalau waktu itu, di hari ada transferan m-banking dari ponselnya itu ke rekening montir tersebut, yang menggunakan ponselnya adalah Lastri, bukan
Aku merenung di depan meja kerjaku. Aneh. Sudah jam segini Dilan belum juga datang ke kantor. Ini bukan kebiasaannya. Dia adalah orang yang on time. Tidak pernah telat, apalagi tanpa keterangan. Kemana dia? Elsa--sekretarisnya mengatakan kalau nomornya dari malam tadi tidak dapat dihubungi.Dilan, dimana kamu? Jangan buatku berprasangka buruk terhadapmu.Ponselku berdering. Dengan cepat kugeser tombol terima."Bagaimana Son, ada kabar apa? Dilan?" Kuserbu Soni dengan beberapa pertanyaan. Tidak sabar ingin tahu informasi darinya, terutama tentang Dilan."Dari informan saya, dia mengatakan kalau Dilan terakhir terlihat di restoran Jepang semalam, bersama seorang perempuan," jawabnya."Perempuan? Siapa?" Kutegakkan punggung dan mendengarkan dengan seksama. Mendengar kata perempuan, hatiku bertany
"hah!" Tersentak kaget sampai aku harus bergeser ke samping, saat mendengar suara ketukan di kaca jendela mobil.Pak Samsul ternyata. Aku mengelus dada meredakan degup jantungku yang berdebar karena terkejut."Kenapa berhenti?" Kepala Pak Samsul menyembul setelah kaca jendela kubuka.Aku dan Yanto saling pandang. "Segera ke rumah Pak, ada masalah penting," ucap Yanto memberitahu. Pak Samsul menoleh ke arahku. Dengan gugup kuanggukkan kepala membenarkan perkataan Yanto. Pak Samsul terlihat mengernyitkan alisnya. Heran."Baik, jalan dulu, saya tetap di belakang," ujarnya memberi perintah. Mobil dilajukan kembali oleh Bani--bodyguard-ku satunya."Om, bisa ke rumah sekarang?" Kuhubungi Pak Darwin agar beliau datang ke rumah."Kenapa Del, ini Om
POV Heru.Pak Heru, keluar." Panggilan dari petugas polisi membuatku segera bangkit dari duduk di pojokan. Kuhela napas berat saat berjalan keluar dari kurungan jeruji besi ini.Entah apa lagi yang diinginkan mereka. Beberapa kali aku dipanggil untuk melengkapi berkas terlaporku sebagai calon penghuni lapas. Status tersangka pun sudah tersemat di diriku walau belum diputuskan pengadilan. Harapanku masih bisa bebas dari sini. Apa pun itu akan kulakukan asalkan terhindar dari jeratan hukum.Sudah lima hari berada di sini. Sempat sakit karena tidak terbiasa dengan suasananya. Cuma demam biasa, sudah diberi obat penurun panas dan sekarang sudah mendingan. Aku tertawa getir bila mengingatnya. Di sini cukup diberi obat penurun panas. Tidak ada perawatan atau memanggil petugas kesehatan. berbeda dengan dulu, saat masih bebas dan bersama Delia. Masih kuingat jelas bagaimana pan
"Halo?" Sapaku setelah terdengar suara di seberang sana."Del, Dilan ketemu. Sekarang dia berada di rumah sakit. Lukanya cukup parah." Aku yang terkejut refleks segera duduk dari posisi rebahan. Kabar yang kudapat dari Pak Darwin membuatku hampir tidak percaya. Mataku berbinar bahagia."Yang benar Om, bagaimana kejadiannya?""Bukankah Pak Samsul sudah cerita, kalau anak buah Komar yang ketangkap akhirnya mau buka suara dan mau menunjukkan lokasi markas mereka. Nah dari situlah kepolisian dapat menemukan keberadaan Dilan," jelas Pak Darwin."Oh, iya Om. Hampir lupa. Delia masih nggak percaya. Terus bagaimana, apakah penjahat lainnya juga ketangkap? Mengingatkan waktu di video call itu ada dua orang yang Delia lihat.""Om kurang tahu. Cuma sekarang pihak polisi minta kamu ke k