Share

Inilah Waktunya

"Ada masalah di kantor, Mba."

Ucapan terakhir pak Rendra benar-benar mengangguku memejamkan mataku saja aku tak bisa. Aku terlalu penasaran mengenai masalah apa yang terjadi di perusahaan, membuat otakku tak berhenti berputar. Aku bahkan sudah mencoba menelepon pak Rendra berkali-kali tapi tak diangkat sama sekali. Aku harap nenek sihir itu tidak membuat masalah yang serius.

"Aku harus segera masuk ke perusahaan secepatnya."

***

Aku menengadahkan kepalaku menatap sebuah gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Aku tahu orang-orang yang sedang berlalu lalang itu pasti sedang melirikku.

Tak berselang lama aku menyudahi kegiatanku, lalu berjalan masuk ke dalam menuju gedung tersebut. Baru saja aku ingin masuk lebih dalam, tiba-tiba dua orang petugas keamanan menghentikan langkahku.

"Permisi ada yang bisa saya bantu?" 

"Saya mau bertemu dengan ibu Teresia Margaretha."

"Maaf apakah sudah membuat janji sebelumnya?"

"Bilang saja padanya Adelia Christanto ingin menemuinya," ucapku penuh penekanan.

"Silahkan tunggu di sini saya akan bicara terlebih dahulu dengan petugas informasi."

Aku menurutinya. Aku berdiri di depan pintu masuk yang hanya bisa dimasuki oleh karyawan perusahaan sambil tetap memperhatikan sang petugas keamanan tersebut. Tampak ia yang sedang berbincang dengan seorang wanita cantik yang berdiri dibalik meja besar dekat pintu masuk.

Setelah pembicaraan mereka selesai aku lihat wanita itu sedang berbicara dengan seseorang ditelepon. Tak lama setelah wanita itu menutup teleponnya petugas keamanan itu berjalan menghampiriku lagi.

Bip.

Petugas keamanan itu membuka pintu penghalang tersebut dengan kartu karyawan yang menggantung dilehernya

"Silahkan Mba boleh menuju ruang direktur, ruangannya ada di―"

Tanpa pikir panjang aku bergegas pergi menuju lify tanpa perlu mendengarkan petunjuk darinya.

Ting.

Pintu lift terbuka sesaat setelah aku menekannya, aku diam tak beranjak tatapanku berubah saat tahu Nadia Margaretha ada di dalam lift itu. Kulihat ia masih sibuk dengan handphonenya dan ia tak menyadari keberadaanku beberapa saat.

"Kamu mau masuk atau ng―" kalimatnya tidak ia selesaikan saat Nadia mengalihkan pandangannya padaku.

"Adelia? ngapain kamu di sini?"

Aku segera masuk ke dalam lift itu dan tak menghiraukan pertanyaannya lalu menekan tombol angka 20 di papan lift tersebut.

"Ada urusan apa kamu ke ruang direktur?" Tanya Nadia dengan nada sinis.

Pertanyaan demi pertanyaan ia lontarkan kepadaku sepanjang perjalanan, membuatku ingin sekali menyumpal mulutnya. Tapi aku berusaha tak mempedulikannya meskipun sebenarnya aku ingin sekali memaki wanita satu ini. Tak berselang lama pintu lift terbuka.

"Anak sama ibu sama saja, tidak tahu diri!" gumamku kemudian berlalu pergi meninggalkannya.

"Apa? Apa kamu bilang?!" tanya Nadia dengan nada kesal kemudian mengekoriku dari belakang.

"Dasar kurang a―"

"Selamat pagi Mba Adelia," sapa pak Rendra ramah. "Loh, Mba Nadia ada apa kembali lagi ke sini?" 

Aku terus berjalan menuju pintu ruangan dimana sang nenek sihir itu berada dan tanpa mempedulikan sapaan sang sekretaris sedang Nadia tetap mengekorku di belakang.

BRAKK!

Aku membuka pintu ruangan itu dengan sangat keras. Tampak nenek sihir itu sedang duduk di balik meja kerjanya. Dari raut wajahnya aku tahu ia terkejut dengan kehadiranku.

Tanpa mempedulikannya aku segera duduk di sebuah sofa di ruangan itu lalu menyilangkan kedua kakiku dan meletakkan tanganku di atas dada.

"Ngapain kamu kesini? Anak kurang ajar!"

Mendengar perkataannya sontak membuatku naik pitam, aku menatap ke arahnya sinis.

"Saya Adelia Christanto akan mengambil alih perusahaan ayah saya yang telah kamu curi!" ucapku penuh penekanan sambil terus menatapnya.

"Hah? Apa? Hahahaha ...."

Ada apa dengannya? Dia pikir aku sedang membuat lelucon.

"Jangan mimpi kamu! Dulu ini memang perusahaan ayahmu tapi tidak untuk saat ini!" seru Tere lalu bangkit dari duduknya dan menatap tajam ke arahku.

"Memang anak ini tuh kebanyakan mimpi di siang bolong Ma," timpal Nadia dari belakangku.

Mendengar hal itu hatiku semakin panas, aku tak terima. Aku bangkit dari dudukku lalu menghampiri mereka berdua. Ingin sekali rasanya aku menampar mereka.

"Dasar kalian manusia tidak tahu diri!" Desisku penuh penekanan di hadapan mereka.

"Apa kamu bilang?" Teriak Tere.

"Manusia gak-tahu-diri!" Seruku tak mau kalah.

Akhirnya adu mulut antara aku dan mereka pun tak terelakkan.

"Tenang Mba Adel!" Desis pak Rendra yang tiba-tiba muncul di belakangku.

"Sana kamu pergi dari sini! Lagian ngapain sih pak Rendra ngijinin dia masuk," sungut Nadia.

"Dasar kurang ajar! Lebih baik kamu keluar dari sini! Sebelum saya panggil petugas keamanan untuk menyeret kamu keluar!" perintah nenek sihir itu dengan lantang.

Aku menatapnya tajam, sedangkan pak Rendra sibuk menarik tanganku untuk ke luar dari ruangan tersebut.

"Lepasin Pak!" Aku membanting lengan Pak Rendra yang menggenggam tanganku.

"Urusan saya belum selesai dengan mereka!" ucapku kemudian berbalik badan untuk masuk kembali ke ruangan itu, tapi pak Rendra menahan tanganku lagi.

"Sebaiknya Mba ikut saya!" Aku diam tak memprotes dan tetap mengikutinya, langkah kaki pak Rendra berhenti di ruangan yang masih berada di lantai tersebut, lalu ia melepaskan tanganku dan membalikkan tubuhnya.

"Seharusnya bapak biarkan saya menampar mereka berdua," ucapku penuh emosi.

"Apa dengan menampar mereka perusahaan ini akan kembali ke tangan Mba Adel?" tanya pak Rendra tegas.

Aku diam tak bersuara, yang dikatakan pak Rendra benar. Kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah tapi yang ada malah akan menambah masalah. 

"Sebaiknya Mba duduk dulu saya akan ambilkan air minum," pintanya. Aku mengiyakan.

Glek ... Glek ... Glek

Aku tegak habis air yang diberikan pak Rendra tak setetes pun aku sisakan kemudian aku letakkan gelas itu di atas meja sampai menimbulkan suara yang cukup keras lalu menghela napas panjang.

"Kalau Mba Adel sudah tenang saya akan mulai bicara."

Aku menatap tajam ke arah pak Rendra seperti mengerti maksud dari tatapanku pak Rendra mulai menceritakan masalah yang terjadi kemarin, pak Rendra bilang bahwa perusahaan mengalami kerugian sekitar 12 miliar rupiah semenjak PT.PRATAMA memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan.

"Beredar juga rumor bahwa para pemegang saham meminta bu Tere dilengserkan dari posisinya," lanjut pak Rendra.

Sebenarnya aku tidak mengerti mengapa PT.PRATAMA sangat berpengaruh dengan perusahaan ayah, sebenarnya perusahaan macam apa itu? Sepenting itukah?

"Dilengserkan? Aku harus mengambil kesempatan ini," gumamku.

"Oh iya Mba Adel saya ada sesuatu buat Mba." Pak Rendra menyerahkan map berwarna biru padaku membuat dahiku mengkerut.

Aku mengambil berkas itu ragu sambil terus menatap pak Rendra. Untuk melenyaokan keraguanku akhirnya kubuka perlahan map tersebut. Aku terbelalak ketika tahu bahwa isi surat tersebut adalah surat wasiat ayah untukku, dan yang lebih mengejutkan lagi disitu tertulis bahwa ayah mewariskan 20% sahamnya untukku membuatku tersenyum lebar.

"Kenapa baru memberitahu hal sepenting ini hari ini, Pak?" Tanyaku heran sambil terus menatap isi surat itu tak percaya.

"Sebenarnya saya ingin memberitahu Mba Adel sehari setelah mendiang ayah Mba meninggal, tapi saat itu situasinya tidak memungkinkan, dan juga saya mengunjungi rumah Mba, tapi pembantu disana memberitahu saya bahwa Mba Adel meninggalkan rumah, dan karena beberapa hal terjadi di perusahaan membuat saya lupa akan surat ini," tutur pak Rendra.

Aku tak terlalu menanggapi alasan pak Rendra, yang terpenting bagiku adalah surat ini. Aku yakin surat ini sudah cukup meyakinkan para direksi untuk melengserkan nenek sihir itu dari posisinya.

"Kapan rapat direksi diadakan Pak?"

"Dua hari lagi Mba." Aku menyeringai.

Lihat saja nenek sihir aku akan menendangmu dari perusahaan ini segera.

- To be continued -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status