Share

Pt. 04 : Padahal Udah di Tolak

Entah apa maksud pak Thoif mengatakan kuliahku tidak perlu di cuti kan, aku masih bertanya-tanya dan sedikitpun beliau tidak memberitahuku di telphone alasannya apa, pak Thoif hanya ingin bertemu dengan ku untuk membicarakan ini. Dosen bahasa Indonesia ku itu sangat ku hormati, disatu sisi beliau adalah salah satu dosen yang memiliki sikap bersahabat di hadapan mahasiswanya, sedang disisi yang lain pak Thoif adalah guruku sejak aku SD. Ceritanya sangat panjang, yang ku ingat dulu saat aku masih SD pak Thoif adalah guru kewarganegaraan, setelah aku lulus SD tidak pernah lagi mendengar kabarnya, dan saat aku ospek pertama kalinya bertemu dengan guru yang sangat ku kagumi, terlebih guruku ini sekarang jadi dosen bahasa Indonesia di seluruh fakultas kampus tempatku kuliah kecuali di fakultas ekonomi, disana beliau menjadi dosen akuntansi sekaligus wakil dekan. Nggak main-main pak Thoif ini, wakil dekan termuda di kampus ini, usianya baru 34 tahun padahal kebanyakan dekan dan wakil dekan di kampus ini sudah kepala empat bahkan lima.

Langkah ku percepat ke Cafe tempat pak Thoif memintaku bertemu disana, kebetulan juga nggak jauh dari kosan ku. Aku sampai di depan cafe dan melihat motor king nya pak Thoif, aku tersenyum dan langsung masuk mengedarkan pandangan. Seseorang berpakaian santai melambaikan tangannya dari meja yang berdampingan dengan taman, aku tersenyum lebar dan menuju ke arahnya.

"Pak Thoif..." ujarku dengan senang tak terbendung.

"Ara... sini!" Katanya membuatku dengan santainya duduk di hadapannya. "Mau minum apa?" tanya pak Thoif dengan senyum berwibawanya. 

"V60 aja pak seperti biasa..." kataku dengan tenang.

"Ok! Tunggu ya..." ujar pak Thoif lalu menuju bartander memesankan minumanku. "Makanannya ngikut pak Thoif aja ya Ra?" Pinta pak Thoif sambil jalan membuatku mengangguk, kadang aku merasa banyak sekali selera pak Thoif yang sama dengan seleraku, sering juga aku berpikir untuk memantaskan diri sebagai adik pak Thoif, banyak juga yang bilang wajahku dengan pak Thoif mirip.

"Sudah lama Ra?" tanya suara yang sangat ku kenal membuatku reflek menoleh dan melihatnya, aku sulit mengekspresikan perasaanku saat ini.

"Ngapain pak Candra di sini?" Tanyaku datar.

"Saya janjian sama pak Thoif, ada masalah?" sahut pak Candra membuatku memejamkan mata sesaat menahan marah. Apa pak Thoif tau masalah ini? "Saya nggak bilang apapun ke pak Thoif tentang yang saya minta ke kamu, saya cuma minta bantuan pak Thoif biar kamu mau saya biayai. Gimana menurutmu?" ujar pak Candra seperti tau kemana arah pikiranku.

"Oh, jadi bantuan itu dari anda... kalau saya mengiyakan apa yang pak Thoif katakan artinya saya mengiyakan ajakan anda kan?" Kataku memastikan dugaanku sendiri.

"Kurang lebih nya seperti itu..." sahut pak Candra tampak puas.

"Sudah sampai Candra? Barusan saya pesen latte juga buat kamu..." kata pak Thoif yang kusyukuri sudah bergabung dengan kami.

"Baru aja pak, kita langsung aja nih pak?" tukas pak Candra tanpa basa-basi membuat pak Thoif terkekeh pelan.

"Kamu nggak sabaran ya?" tanya pak Thoif dengan senyumnya yang tersisa. "Gimana Ra? Kamu mau?" tanya pak Thoif ke arahku saat itu aku melihat dengan jelas wajah terkejut pak Candra.

"Saya kira pak Thoif udah tanya ke Ara," ungkap pak Candra telihat kecewa, aku hanya bisa menduga mungki semua ini diluar prediksinya.

"Gimana Ara?" tanya pak Thoif lagi dengan senyumnya yang menenangkan.

"Apanya pak?" tanyaku balik merasa nggak paham dengan situasi ini.

"Pandangan kamu, tadi saya bilang kan di telphone? Kalau kamu tetap bisa melanjutkan kuliah, tapi kita harus ketemu dulu," kata pak Thoif membuatku tersenyum penuh arti, apa kami sedang bermain peran? Apakah hal seperti ini selalu terjadi setiap ada sesuatu hal yang sedikit mengusikku? Secara tidak langsung pak Thoif memberikan ruang untukku memilih dan mungkinkah untuk kesekian kalinya pak Thoif memahami posisiku? Sekilas aku melihat ke arah pak Candra, wajah yang beberapa menit lalu berbinar seperti menang lotre itu kini tampak kusut, meskipun tidak mengurangi kadar ketampanannya tapi tetap saja dia terlihat kecewa.

"Saya tetap akan ambil cuti pak..." kataku lembut ke arah pak Thoif, matanya sempat memancarkan keterkejutan tapi langsung berubah tenang.

"Apa kamu tau kalau bantuan itu dari Candra?" tanya pak Thoif dengan santai sembari menatapku lekat.

"Nggak pak, mau bantuan itu dari siapapun saya rasa tetap harus cuti pak..." kataku mengambil jalan tengah, aku nggak bisa kalau seandainya salah bicara pak Thoif jadi tanya aneh-aneh.

"Sudah dengar Can?" tanya pak Thoif pada pak Candra.

"Iya pak," jawab pak Candra lalu menatapku, "aku takut kamu menyesal karena ambil cuti Ra," ujar pak Candra kali ini ku akui wajahnya khawatir.

"Hidupku adalah milikku, keputusanku resikoku, aku nggak peduli apapun konsekuensi nya. Kalau aku sudah bulat ya itulah jalan yang kupilih, dan berusaha untuk tidak kecewa meskipun mungkin akan ada luka..." kataku tak lagi memperdulikan bahasa formal, toh memang usia pak Candra hanya beberapa tahun lebih tua dariku.

Berakhirlah percakapan serius itu seiring pesanan kami datang, seketika mataku melebar mendapati camilan pedas yang di pesan pak Thoif untukku, bahagia itu sederhana kan? V60, camilan pedas, coklat, apa lagi? Aku bahkan hampir lupa tentang pak Candra yang memintaku menjadi istrinya sebagai ganti kuliah ku yang tetap berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan aku sempat mencandainya yang tidak bisa makan pedas, hingga pak Candra pamit saat itulah pak Thoif menatapku dengan wajah menyesal.

"Kenapa harus terjadi lagi Ra?" tanya pak Thoif dengan mata memerah.

"Apanya pak?" tanyaku balik merasa ada ketidak nyamanan di balik matanya yang memerah.

"8 tahun yang lalu? Kamu ingat? Kamu hampir di tendang dari sekolahan padahal saat itu dua hari menjelang try out padahal kamu siswa yang cerdas... kenapa sekarang harus terulang lagi? IPK mu bagus Ra... temen-temen seangkatanmu nggak ada yang dapat IPK setinggi itu, kenapa harus terulang lagi?" tanya Pak Thoif membuang pandangannya keluar cafe.

"Allah yang berkehendak seperti itu pak, mungkin kita bisa berusaha sekuat semampu kita, tapi jika Allah menjalankan rencana-Nya apa yang bisa di lakukan manusia?" jawabku mengingat ucapan bapakku setiap kali ada orang yang menyayangkan kenapa dan bagaimana kondisi kami yang seringkali oleng tak terkendali. Setelah itu aku hanya bisa mencoba menenangkannya yang terlihat sangat frustasi dan khawatir dengan kondisiku.

Sore itu aku paham, apa yang kita alami adalah yang terbaik dari Tuhan untuk kita, setidaknya dengan jatuh tersungkur kita ingat bahwa tempat yang kita anggap aman tidak selalu benar-benar menyelamatkan kita dari takdir yang sudah Tuhan tentukan. Tuhan lebih tau apa yang kita butuhkan daripada sebatas apa yang kita inginkan.

Aku pulang ke kosan dengan perasan campur aduk, jawabannya jelas. Aku tetap cuti meskipun sempat berharap ada sedikit kemungkinan yang nyatanya tetap nihil.

"Ara!!! Ara!!!" panggil Alana tetangga kamarku dengan panik.

"Ada apa?" tanyaku bingung di depan gerbang kosan.

"Itu..." belum usai Alana bicara dengan sisa kepanikannya aku terpaku melihat apa yang terjadi dengan 8 meter dari tempatku berdiri, mataku memanas tapi aku tetap tersenyum ke arah Alana. Aku bisa menghadapinya kan?

###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status