Kirana terhenyak saat mendengar ucapan tidak mengenakan ibu dan bapaknya.
"Ya Allah, Pak, Bu. Kok bilang gitu? Mas Rayan udah beliin ini mahal-mahal loh, Bu. Belinya di-"
"Mahal? Memang beliin apa sih? Bakmi? Nasi goreng? Ayam kentucky di depan minimarket?" sela Herni dengan tatapan malas.
Sebelum Kirana bisa menjawabnya, Parlan yang sedang merokok itu berkata, "Mahal apanya? Paling juga dua belas ribu kalau itu. Oalah, Na. Makanan pinggiran enggak jelas kok dikasih ke bapak ibumu."
"Bukan makanan pinggiran. Ini belinya di ...."
Gadis itu tak jadi melanjutkan perkataannya, lengannya disentuh lagi oleh Rayan. Suaminya yang tampan itu menggelengkan kepala seakan meminta Kirana untuk tidak mengatakan apapun.
Rayan pun mengambil alih, "Ya udah, kalau memang Bapak sama Ibu tidak ingin memakannya, biar saya antar makanan ini ke rumah Bi Siti saja."
Herni membalas dengan cuek, "Oh, bagus. Kami juga enggak bisa makan makanan yang enggak jelas kaya gitu."
"Ya, ya. Siti sering kekurangan makanan. Lempar ke sana saja!" tambah Parlan dengan nada mengejek.
Kirana semakin heran dengan sikap kedua orang tuanya yang semakin keterlaluan. Ingin sekali dia membalas perkataan bapak ibunya itu, tapi suaminya lagi-lagi terlihat menggelengkan kepala.
"Ya udah, Pak, Bu. Kami pamit sebentar ke rumah Bi Siti ya," pamit Rayan masih dengan nada sopan.
"Hm," sahut Parlan singkat tanpa menoleh pada dua orang itu.
Sedangkan Kirana tiba-tiba berkata, "Mas, kita pakai motor aja ya?"
Belum sempat Rayan menjawab, Herni yang mendengar perkataan putrinya itu sudah berkata dengan nada sinis, "Motor Ibu maksud kamu?"
"Enggak, enggak Ibu pinjamin," lanjut Herni sambil mengiris bawang putih.
Kirana berujar, "Kenapa enggak boleh, Bu? Kami cuman pinjam sebentar kok. Rumah Bi Siti kan lumayan jauh, Bu. Lama nanti kalau jalan kaki."
"Lho, itu bukan urusan Ibu. Lagian, sebelumnya dia juga jalan kaki ke sini. Terus kenapa sekarang mau pinjem motor?" kata Herni sembari menaikkan alis tebalnya yang digambar dengan pensil alis.
"Enggak ada pinjem-pinjem motor segala, ntar kebablasan tiap saat pinjem. Enggak ada, enggak ada," tambah Herni ketus.
Kirana menghela napas dan menoleh ke arah suaminya dengan tatapan penuh rasa bersalah, "Mas."
"Enggak apa-apa, yuk jalan aja!" ajak Rayan dengan tatapan lembut.
"Yakin, Mas? Ini panas banget lho, Mas." Wanita itu melihat sinar matahari yang cukup terik di jam dua siang.
Rayan tersenyum kecil, "Lho, saya kan udah biasa cuaca begini. Ingat, Kirana. Saya kan tukang sepatu keliling, saya malah takut kalau kamu yang enggak tahan panas."
Kirana segera menggelengkan kepala, "Aku enggak masalah kok. Sering juga keluar minimarket di siang terik gitu."
"Oh, iya udah kalau gitu ayo jalan!" ajak Rayan yang siap menggandeng tangan istrinya lagi.
Kirana mengangguk tanpa berpikir panjang dan menautkan tangannya pada tangan Rayan.
Sedangkan Parlan yang melihat sepasang suami istri itu mulai berjalan pun berkomentar, "Nah, bagus tuh jalan kaki. Lebih sehat, daripada buang-buang bensin. Bensin mahal, belum tentu juga kalian mau ganti bensin motornya."
Kirana terlihat sekali ingin membalas, tapi suaminya menahan lengan gadis itu dan berkata dengan nada yang sangat pelan, "Jalan aja, Kirana!"
Dengan sedikit kesal, Kirana pun akhirnya menuruti sang suami dan berjalan berdua menjauh dari rumah kedua orang tuanya.
Setelah berjalan agak jauh, Kirana yang kebingungan dengan semua sikap suaminya itu pun bertanya dengan ekspresi tidak sabar, "Kenapa Mas enggak biarin aku buat jelasin soal restoran tadi? Terus soal motor dan bensin tadi. Ya Allah, Mas. Kita kan bisa ganti bensinnya. Kenapa Mas kayanya enggak mau aku balas perkataan mereka, Mas?"
Wanita itu menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. Tapi, Rayan tidak langsung menjawabnya dan malah mengetik sesuatu di ponselnya.
"Mas, kok enggak dijawab? Kok malah sibuk sama ponsel sih?" tanya Kirana dengan menahan kesal saat melirik ponsel suaminya.
Rayan mengangkat wajahnya dan malah tersenyum lagi, "Maaf, ini Mas lagi hubungin taksi online."
Mulut Kirana setengah terbuka, "Hah? Taksi online? Buat apa?"
"Buat antar kita ke rumah Bi Sitilah," jawab Rayan dengan santainya.
Kirana berkedip-kedip, agak kaget. Tapi, sebelum dia bertanya lebih lanjut, sebuah mobil hitam plat AD melaju pelan ke arah mereka.
"Itu dia taksi online-nya!" seru Rayan.
Kirana tentu semakin terkejut. "Lho, kok cepet banget, Mas?"
Perasaan baru saja beberapa detik, enggak ada semenit kayanya. Kok bisa udah datang sih taksinya? pikir Kirana heran.
"Ya karena kebetulan dia lagi di sekitar sini saja, Kirana," sahut Rayan.
"Oh, benar juga!" balas Kirana yang tak lagi heran.
Rayan membukakan pintu mobil itu untuk Kirana. Aroma harum bunga pun langsung tercium di hidung mungilnya.
Biasanya, Kirana akan mual jika mencium aroma parfum mobil, tapi kali ini anehnya dia tidak mual. Justru sebaliknya, Kirana merasa rileks setelah mencium aroma itu.
Dia lalu melihat interior mobil itu dan terkesima.
"Kenapa?" tanya Rayan yang baru saja menutup pintu mobil itu dan duduk di samping istrinya.
Mobil pun sudah mulai melaju.
Kirana mendekatkan kepalanya pada telinga sang suami dan berbisik, "Kamu pinter pilih taksi online, Mas."
"Pinter gimana?" balas Rayan dengan nada pelan juga, agak heran.
"Aku memang enggak ngerti merk mobil sih, tapi kayanya ini mobil mahal jadinya nyaman aja di dalam sini. Bahkan, parfumnya enggak bikin aku mual, Mas," jelas Kirana dengan nada polos.
Rayan sontak tertawa kecil dan seketika Kirana langsung memasang wajah cemberut.
"Eh, maaf, Kirana. Saya enggak bermaksud ngetawain kamu."
Kirana masih terdiam, agak sebal.
Rayan menjadi tidak enak dan berkata pelan, "Maafin suami kamu ini ya, Kirana. Sungguh, tadi saya hanya merasa kamu sangat lucu, tapi bukan berarti saya ngejek kamu."
Kirana menghela napas dan memilih untuk melupakan hal itu, "Ya sudah, aku maafin. Terus, gimana yang tadi? Kamu belum jawab pertanyaan aku, Mas."
Rayan tidak berpura-pura lupa dan akhirnya berkata, "Ada kalanya kita tidak perlu menjelaskan sesuatu yang orang pun terkadang belum tentu mempercayainya. Kita pun tidak harus membalas perbuatan yang tidak menyenangkan itu dengan bantahan juga."
Kirana malah terlihat bingung, "Lha terus, maksudnya harus dibalas dengan cara apa, Mas?"
Rayan tersenyum misterius, "Nanti kamu akan tahu, Kirana."Kirana menatap suaminya dengan tanpa berkedip, berharap suaminya akan menjelaskan sesuatu. Tapi, ternyata suami yang umurnya belum dia ketahui itu malah berujar, "Ya udah, yuk siap-siap!""Hah?" mulut Kirana terbuka sedikit.Rayan menunjuk ke arah depan dengan jari telunjuknya, "Itu di depan, kita udah sampai."Kirana segera menoleh ke arah yang dimaksud oleh Kirana dan seketika. Tanpa dia sadari, mobil yang dia tumpangi itu sudah tiba di dekat jalan rumah Siti."Eh, kok cepet banget ya!" ucap Kirana seraya memperlihatkan ekspresi keheranan.Rayan terkekeh pelan, "Karena kamu asyik ngobrol sama saya, makanya sampai enggak sadar."Kirana mengerucutkan bibir, tapi dia tak membalas apapun. Kenyataannya memang mengobrol dengan suaminya memang membuatnya sampai lupa waktu.Aneh memang. Meski baru dua kali bertemu, dia merasa cukup nyaman berbicara dengan Rayan.Begitu mereka turun, mobil itu meninggalkan sepasang suami istri itu.
"Saya tidak mencuri," kata Rayan tegas, menatap bapak mertuanya tanpa rasa takut."Terus kamu mau kami percaya kalau tukang sol sepatu seperti kamu bisa hasilin uang sebanyak ini? Memang kamu pikir kami ini tolol?" balas Parlan, masih mendelik tidak suka pada menantunya.Rayan berkata, "Semua itu bisa saja, Pak. Apa yang tidak mungkin di dunia ini?"Herni mendecak lidah tapi tidak berkomentar lagi. Hingga kemudian Kirana yang merasa jengah dengan sikap kedua orang tuanya itu pun berujar, "Gini aja deh, Pak, Bu. Kalau enggak percaya uang itu hasil kerja Mas Rayan, balikin ke Kirana aja uangnya."Wanita itu berniat mengambil kembali uang yang ada di tangan ibunya itu, tapi tiba-tiba Herni menepis tangan Kirana dengan kasar. "Enak aja, uang udah dikasih sama Ibu, mau kamu ambil lagi? Iklash nggak sih ngasihnya?" ucap Herni sembari menggenggam uang sejumlah lima juta rupiah itu dengan erat.Parlan ikut menambahkan, "Pamali ngasih orang tapi diminta lagi. Kamu lupa Bapak selalu ngajarin k
Kirana melongo, kaget adik iparnya itu berani menyuruh suaminya seperti itu. Sedangkan Bagas sendiri menambahkan, "Kan sayang punya kakak ipar bisa benerin sepatu tapi enggak dimanfaatin.""Iya, Mbak Na. Daripada kami harus cari tukang sol sepatu lain ya mending ke sini lah ya," ujar Siska yang berdiri sambil bersandar pada tiang dengan bersedekap.Rayan masih tak memberi tanggapan sehingga Bagas berkata lagi, "Tenang aja, aku bayar kok. Berapa sih ongkosnya? Sepuluh ribu? Lima belas ribu?"Bagas mengambil dompetnya dan hendak mengeluarkan uangnya, tapi Siska mencegahnya dengan cepat, "Ih, kok bayar sih? Kan sama keluarga sendiri. Masa iya ditarik bayaran?"Kirana memutar bola matanya malas. Dia bahkan berpikir bila suaminya tak mungkin sudi mengerjakan hal itu. Akan tetapi, rupanya suaminya dengan santai malah berkata, "Saya enggak bisa kalau hari ini." "Eh, Mas?" ucap Kirana kaget tak percaya, tapi dia tak bisa berkomentar lebih lanjut.Bagas mendesah kesal. Senyumnya tadi sudah
Kirana sontak menatap mata suaminya yang terlihat menatapnya dalam-dalam. Mata pertama yang menatapnya dengan begitu sangat hangat dan tulus.Astaga, bahkan mantan kekasihnya dulu saja tidak pernah menatapnya seperti itu. Handi, mantannya yang dulu berkata sangat mencintainya itu tak pernah benar-benar menatapnya. Perasaan bersalah pun langsung menyelimutinya. Wanita itu pun memberanikan diri berkata, "Mas, maaf. Sebenarnya bukan kaya gitu."Wanita itu jelas terlihat tidak nyaman dengan situasi saat itu dan hal itu juga bisa dirasakan oleh Rayan.Rayan mendesah pelan lagi, "Saya yang harusnya meminta maaf sama kamu."Kirana menatap bingung pada suaminya.Rayan malah tersenyum, "Iya, saya yang salah. Saya terlalu memaksa kamu, mendesak kamu. Kamu ... pasti butuh waktu.""Tapi, Mas ....""Enggak apa-apa, Kirana. Saya akan sabar nunggu kamu siap," jawab Rayan sembari merapikan anak rambut istrinya yang sedikit agak berantakan.Seakan baru saja teringat akan sesuatu, Kirana pun akhirnya
Dikarenakan Serin ataupun teman-temannya yang lain hanya bengong dan tidak menjawab perkataannya, Kirana pun berkata dengan tidak sabar, "Lho, ayo! Siapa saja boleh kok ikut aku ke kamar mandi buat lihat aku beneran lagi haid atau cuman bohong aja."Ditantang seperti itu, salah seorang dari karyawan itu pun akhirnya merespon, "Jijik banget deh, Mbak! Ngapain sampai segitunya.""Nah, bener. Kayanya ini akal-akalannya Mbak Na aja deh. Mbak Na sudah tahu kalau semua orang pasti jijik, makanya percaya diri aja ngomong begitu. Soalnya udah pasti enggak ada yang mau ikut Mbak Na ke toilet," sahut temannya yang lain.Kirana menghela napas, mulai lelah menanggapi orang-orang yang memang tidak menyukainya itu.Tetapi, dia tetap tidak mau dituduh atas hal yang tidak dia lakukan. Dirinya bahkan masih suci sampai detik itu dan dia akan membela dirinya sampai dia dinyatakan tidak bersalah. "Oh, masih ada cara lain sih," kata Serin secara tiba-tiba.Vena langsung bertanya, "Apa caranya, Mbak?"Ser
"Menurutmu ke mana?" Kirana bertanya balik.Sang karyawan yang berusia lebih muda satu tahun dari Kirana itu pun membalas dengan tergagap, "A-apa maksud Mbak? Kok malah tanya aku?"Serin memang terkejut, tapi dia berusaha untuk tetap berani dan kemudian bergerak membela temannya. "Lapor ke Bos? Mana mungkin Bos akan percaya?" tanya Serin dengan senyum setengah mengejek.Kirana mengangguk, seakan paham maksud Serin, "Bos memang enggak akan mungkin membelaku, makanya aku enggak kan laporin ke Bos.""Lha terus ke mana?" sahut Serin dengan dagu terangkat."Polisi. Kebetulan enggak terlalu jauh dari sini ada polsek deh," kata Kirana.Serin membelalakkan mata, sementara temannya yang lain itu sudah semakin pucat. "Mbak bercanda kan?""Enggak. Kalian nuduh seperti tadi juga bukan sebuah candaan kan?" balas Kirana yang kini sudah lelah terus menerus mengalah.Tiba-tiba semuanya terdiam, mulai takut bila Kirana akan benar-benar melakukan apa yang dia katakan.Dikarenakan tak mau berurusan den
Kirana lagi-lagi hanya bisa mendesah pelan. Dia pun mencoba untuk menahan diri mati-matian dan kemudian menyimpan semua pertanyaan-pertanyaan liar yang muncul di dalam kepalanya itu.Dia tidak bisa bisa menemukan kalimat yang tepat mengenai suaminya. Yang jelas, menurutnya suaminya itu terlalu misterius.Sejak awal Rayan memang aneh. Melamarnya tanpa persiapan yang matang, menikahinya secara mendadak dan juga bahkan ketika hari pernikahan mereka digelar, tak ada satu pun anggota keluarganya yang datang.Untuk masalah itu, dia sangat ingin bertanya pada suaminya. Namun, dia takut malah rasa penasarannya akan menyinggung suaminya.Tapi, ini sudah hampir satu minggu dan suaminya itu terlihat belum mau mengungkap hal-hal yang masih dia tidak ketahui.Di samping itu, masalah uang yang selalu membuat Kirana terheran-heran. Suaminya jelas-jelasa adalah seorang tukang sol sepatu. Dia sudah melihatnya sendiri. Dia sudah menyaksikan suaminya memperbaiki sepatu pelanggannya.Akan tetapi, uang ya
"Kirana," panggil sang suami dengan nada yang cukup lembut. Kirana tergagap, "I-iya, Mas." "Jadi, gimana? Kamu suka yang mana?" Rayan bertanya sambil menunjuk ke arah kalung indah dengan liontin berbentuk hati. Karena tak mau membuat suaminya menunggu, akhirnya Kirana pun berkata, "Mas aja yang pilihin. Apapun aku pasti suka." Mendengar itu Rayan pun tersenyum. "Ya udah, kamu duduk dulu ya, Mas yang pilihin." "Iya, Mas." Selanjutnya, Kirana melihat suaminya memilih beberapa macam perhiasan yang saat kasir menyebutkan total harganya, Kirana hanya bisa melongo. Tapi, yang membuat Kirana agak heran, Rayan menggunakan uang tunai untuk membayarnya. "Udah, sekarang kita cari baju buat kita sama beberapa perlengkapan lain," ajak Rayan. Kirana menelan ludah dengan susah payah tapi dia tetap menurut mengikuti Rayan. Dia penasaran tentang uang suaminya yang menurutnya terlalu banyak itu, tapi dia tak akan mengkonfrontasi Rayan saat ini. Hampir dua jam lamanya mereka menghabiskan wak