Rayan tidak tersinggung dan malah tersenyum kecil, "Iya, insyaallah halal. Nggak mungkin saya kasih istri saya uang haram."
Kirana terpana mendengar cara Rayan menyebut dirinya. Dengan tergagap dia membalas, "Tapi, ini dari mana? Mas, sepuluh juta lho ini. Ini sama kaya gaji aku selama lima bulan, Mas."
"Ya dari kerjalah," jawab Rayan sembari menatap istrinya dalam-dalam.
"Dari benerin sepatu?" ucap Kirana, masih terlihat tidak percaya.
"Ya kan kamu sudah tahu saya memang tukang sol sepatu," angguk Rayan, membenarkan ucapan Kirana.
Namun, Kirana masih belum dengan jawaban itu dan bertanya lagi, "Berapa lama kamu ngumpulin uang ini, Mas?"
Rayan membalas, "Sudah, kamu nggak perlu pikirin itu. Yang penting kamu pakai aja ya."
Kirana masih terlihat ragu dan belum yakin. Tapi saat dia teringat akan ibunya yang membutuhkan uang tambahan modal untuk toko kelontongnya di pasar yang sudah tutup selama satu minggu itu, dia segera bertanya pelan pada sang suami, "Mas, kalau gitu boleh nggak aku kasih ini ke ibu?"
"Ibu katanya perlu buat nambah modal dagang, Mas," lanjut wanita itu dengan nada agak takut-takut.
Rayan terkejut, tapi melihat ekspresi polos istrinya itu dia mendesah pelan dan berujar, "Boleh, itu hak kamu. Terserah kamu mau kamu gunain untuk apa. Tapi, nggak kamu kasih semuanya kan, Mbak?"
Kirana menggeleng penuh semangat, "Nggak kok, Mas. Aku akan kasih separuh."
Rayan membalas dengan sebuah anggukan, "Ya udah, jangan lupa pakai itu buat kebutuhan kamu ya."
"Iya, Mas," jawab Kirana dengan senyum cerah.
Dikarenakan saat itu masih belum masuk waktu dzuhur, Kirana bertanya, "Mas mau makan sekarang atau nunggu azan dulu?"
Rayan melirik jam dinding berukuran kecil di bagian dinding sebelah kanan kamar sederhana yang mereka tempati.
"Habis salat aja sekalian, tinggal bentar lagi," kata Rayan.
"Mau salat bareng, Mbak?" tawar Rayan.
Kirana menggeleng dengan penuh penyesalan, "Maaf, Mas. Aku masih haid."
"Oh, nggak apa-apa. Ya udah, kalau gitu saya ke masjid dulu ya," pamit Rayan.
"Iya, Mas. Nanti aku siapin makan siangnya," balas Kirana yang ditanggapi oleh Rayan dengan sebuah anggukan dan senyuman lembut.
Setelah Rayan meninggalkan rumah, Kirana bergegas pergi ke dapur dan hendak menyiapkan makan siang untuk sang suami. Tetapi, saat dia membuka tudung saji, hanya ada nasi di atas meja.
Dia mengerutkan dahi karena bingung. "Loh, ayam goreng yang aku masak tadi pagi kok nggak ada?"
"Udah Ibu kasih sama Nadia, kasihan lagi hamil muda, harus banyak makan yang bergizi," ucap Herni saat wanita itu membuka kulkas.
Kirana mendesah, "Ya tapi kok dikasih semuanya, Bu? Kirana kan masak itu buat Mas Rayan. Lagian Kirana masak satu kilo lho."
"Alah, perkara ayam aja diributin, Na. Sana gorengin telur atau bikinin mie instan aja kan bisa," sahut Herni enteng.
Kirana menahan kesal.
Karena hal itu, wanita itu bahkan sudah tak ingat lagi niatnya untuk memberikan ibunya modal tambahan dagang.
Dia lalu segera mencari-cari bahan makanan yang masih ada, tapi lagi-lagi saat dia memeriksa isi kulkas, bahan-bahan makanan sudah lenyap tak tersisa.
"Bu, telur sama tahu dan tempe kok enggak ada? Kirana kan beli banyak kemarin, Bu," kata Kirana dengan nada penuh keheranan.
"Oh, tadi Siska ke sini minta bahan-bahan makanan, belum belanja katanya," jawab Herni tanpa beban.
Kirana mulai meradang, "Kenapa dikasih semua sih, Bu? Kan rumah dia dekat dengan minimarket. Kenapa dia enggak belanja ke sana? Kenapa malah minta ke sini?"
Herni mendecak lidah, "Apaan sih, Na? Perkara tempe tahu aja diributin. Kamu kan bisa belanja lagi."
"Ya tapi kan, Bu-"
"Memang berapa sih harga tahu, tempe, telur? Perhitungan banget sama saudara sendiri," desis Herni.
Kirana ingin sekali membantah, tapi jika dia melakukannya, dia tak akan sempat ke warung dan membeli bahan makanan. Maka, dia memilih untuk tak membalas ucapan sang ibu dan segera pergi ke luar.
Sialnya, dua toko yang dia datangi ternyata tutup. Dan ketika dia melewati masjid, dia malah berpapasan dengan suaminya yang baru saja selesai menunaikan salat dzuhur.
"Kamu mau ke mana, Mbak?" Rayan bertanya saat menatap istrinya yang terlihat berkeringat akibat kepanasan.
Kirana menjawab, "Warung, Mas. Mau beli bahan makanan. Di rumah habis."
"Sebenarnya aku udah masak buat kamu tadi, tapi ... sama ibu malah dikasih ke Nadia, Mas. Maaf ya, Mas nanti kamu mau kan nunggu aku masak dulu?" tambah Kirana, takut suaminya tidak sabar..
Rayan mendesah dan mengelap keringat yang telah membasahi dahi sang istri dengan ujung kemejanya, "Nggak usah. Kita makan di luar aja."
"Eh, tapi, Mas-"
"Ini kan hari pernikahan kita, anggap aja kita lagi syukuran. Ayo!" ajak Rayan sambil menggandeng tangan sang istri.
"Kita pulang dulu atau gimana, Mas?" tanya Kirana.
Rayan menjawab, "Langsung aja. Kita cari yang dekat."
Kirana pun akhirnya menurut.
Saat itu, Rayan memilih menggunakan taksi dan ketika ditanya, jawaban pria itu tetap sama. "Ini hari pernikahan kita, enggak apa-apa sesekali memanjakan diri."
Rayan ternyata membawa Kirana ke sebuah restoran makanan khas jawa yang cukup besar.
"Wah! Aku baru pertama kali ke sini," ucap Kirana penuh kekaguman menatap interior klasik tapi estetik.
Rayan tersenyum senang melihat keceriaan sang istri, "Ya udah, ayo pesen apa saja yang kamu suka."
Kedua orang itu pun menghabiskan beberapa saat di restoran itu dan membawa beberapa bungkus makanan untuk orang-orang rumah.
Ketika pasangan suami istri baru itu tiba dengan berjalan kaki, mereka melihat Parlan dan Herni sedang duduk di teras rumah.
Dengan riang Kirana berkata, "Pak, Bu. Makan yuk! Ini Mas Rayan beliin banyak makanan buat Bapak sama Ibu."
Parlan menatap keresek yang dibawa oleh Kirana dan seketika mengernyit, "Makanan beli di mana itu? Yakin aman dimakan? Nggak bikin sakit perut?"
Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa
Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter
Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it
Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi
Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek
Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny