Baru kali ini aku melihat wajah melas pada kakak tiriku ini. Bahkan pancaran matanya seakan memohon padaku untuk menyelamatkannya dari kemarahan para tetangga yang ada. "Tenang, Mbak, kami akan bantu," kata mas Umair yang membuatku terperanjat. Sebab bukankah tadi ia mengatakan jika ini akan menjadi pelajaran untuk mbak Sinta dan suaminya. Lantas ini apa? Mungkin pelajaran yang ia maksudkan hanya sampai di sini? Dan ini lagi, aku baru menyadari kalau semua tetangga termasuk pak RT dan pak Didin ikut terdiam kala aku dan mas Umair sampai di rumah ini. "Dengar, ya, kalian!" tunjuk mbak Sinta di depan para tetangga. "Kalian tau 'kan siapa adik iparku ini dan bagaimana dia? Dia sudah menyatakan akan menolongku dan itu artinya aku akan bebas dari tuduhan yang kalian berikan." Mbak Sinta terlihat berapi-api berkata demikian. Sungguh, kepercayaan dirinya dan kesombongan yang biasa ia tampakkan kini muncul kembali di garis wajahnya. "Benar ibu-ib
Mas Umair juga menceritakan alasan lain kenapa mas Bima bisa tertangkap. Yakni, sebelumnya dua orang suruhan mas Umair yang menyamar sebagai tukang ojek online tersebut, mereka menyelidiki lebih dalam kebenaran utang yang menyangkut nama perusahaan mas Bima. Dan ternyata ada fakta yang luar biasa yang mana aku benar-benar tak menyangka kalau mas Bima bisa bertindak sejauh itu. Namun sebelum lebih lanjut membahas soal mas Bima dan mbak Sinta, mas Umair malah sibuk mengutak-atik ponselnya. Menelepon seseorang yang entah siapa itu. "Ya, datang sekarang," kata mas Umair pada lawan bicaranya di seberang telepon lalu menutupnya. "Siapa, Mas?" tanyaku penasaran. "Nanti juga tau," balasnya seraya memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. "Gitu aja terus!" balasku dengan rasa dongkol. Namun mas Umair hanya tersenyum menanggapi kekesalanku. Tanpa lagi merespon pertanyaanku, mas Umair lalu mulai menceritakan lagi
Aku pun terdiam. Kalau sudah begini biasanya mas Umair adalah orang di belakangnya. Tapi untuk apa orang-orang itu ke rumah mama? Padahal sudah tidak ada lagi orang di sana. "Kamu dalangnya ya, Mas?" ku tunjuk mas Umair yang fokus pada setirnya. Mas Umair tampak terkejut dengan tuduhanku. "Dalang apa?" tanyanya. "Itu tadi."Mas Umair mendesah. "Tentu saja.""Untuk apa? Kan di rumah mama udah gak ada orang.""Kamu lupa ya kalau di rumah mama masih ada orang?"Aku diam sebentar, lalu berpikir siapa orang yang dimaksud suamiku ini. Lumayan lama aku berpikir. Sampai akhirnya aku menemukan jawabannya. "Udah ketemu?" tanya mas Umair kala melihat perubahan ekspresi wajahku. "Iya, dua orang laki-laki yang kerja sama dengan mbak Sinta dan mas Bima 'kan?""Cerdas!"Aku tersenyum lebar mendengar pujian dari mas Umair. Memang ini bukan kali pertama ia memberiku pujian, hanya saja kali ini rasanya berbeda. Entahlah. ***Siang ini, usai menyelesaikan pekerjaannya di kampus, mas Umair berencan
"Baik!" Aku kembali menoleh kearah suamiku. Tercengang dengan jawabannya yang menantang perkataan mbak Sinta. "Tapi ingat satu pesan dariku." Ku tautkan kedua alisku. Heran dengan ucapan mas Umair. Pesan apa lagi yang ingin ia sampaikan pada mbak Sinta? Mata mbak Sinta nanar menatap kearah kami. Raut wajah ketidaksukaan jelas ia tunjukkan. Aku rasa perkiraan mas Umair tentang ucapan mbak Sinta barusan salah. Mbak Sinta terlihat benar-benar tak menginginkan kami datang kembali. "Tobat, Mbak!" ujar mas Umair yang membuatku mengernyit dahiku. Lantas dengan cepat mas Umair menarik tanganku untuk pergi. Berjalan menuju parkiran dengan gandengan tangan dari mas Umair, diam-diam aku menatap sembari tersenyum ke wajahnya. Suamiku ini benar-benar penuh teka-teki. Namun dibalik itu semua, selalu ada jalan yang tepat untuk setiap masalah yang sedang kami hadapi. ***Hari ini sebenarnya adalah hari terakhir aku dan mas Umair berada di kota sebelum kami kembali pulang ke desa. Namun, aku dan
"MasyaaAllah, sejuknya .... " Ku buka jendela kamarku yang menghadap langsung kearah matahari memunculkan sinarnya. Menghirup udara pagi yang memang begitu menyegarkan. Cukup lama rasanya diriku tak merasakan hal seperti ini. Berbagai kejadian di kota membuat waktuku dan mas Umair benar-benar tersita. Bahkan tak terasa kami sudah hampir setengah bulan tak pulang ke desa. "Dek, Mas pergi dulu, ya." Mas Umair keluar dari kamar mandi. "Loh, mau kemana, Mas? Ini masih pagi banget lho," kataku mendekati mas Umair yang tengah memakai jaketnya. "Ada urusan. Sebentar aja." Mas Umair mengecup keningku lalu pergi begitu saja tanpa memedulikanku yang masih dirundung rasa penasaran. Masalah apalagi yang terjadi kali ini? Seingatku, aku ataupun mas Umair tak pernah memiliki masalah apapun saat di desa. Malah suamiku maupun keluarganya terbilang orang yang begitu dihormati di sini. "Mbak, sarapan, yuk." Aku menoleh kearah pintu kamar. Rahma, adik iparku lah yang memanggilku. Membuyarkan lamun
Entahlah, aku merasa ada yang janggal dengan kejadian ini. Tapi, aku mana berani mengatakan kejanggalanku ini pada umi. Apalagi sekam padi itu sebenarnya memang mudah terbakar. Hanya saja jika itu memamg sengaja dibakar. Kalau ini? Apa iya dari konsleting listrik penyebabnya? 'Tunggu kabar mas Umair aja, deh,' batinku. Mau bagaimana lagi? ***Sehari semalam telah berlalu. Dan mas Umair juga sudah mengabari kalau dirinya tak akan pulang malam ini. Katanya ia akan mengusut tuntas pelaku kebakaran di tempat sekam berada. Bahkan ia sampai meminta bantuan dari orang suruhannya yang ada di kota. Sementara abah sudah pulang sejak tadi sore. Beliau diminta mas Umair untuk pulang saja menjaga orang rumah yang semuanya adalah perempuan. Sebelum pulang abah juga sudah melaporkan kejadian ini pada pihak berwajib sesuai instruksi dari anak lelakinya. Lantaran setelah ditelusuri penyebab kebakaran bukan dari konsleting listrik. Jadi, setelah perbaikan listrik di penggilingan pulih, mas Umair da
Ketiga laki-laki itu pun pergi keluar rumah. Sementara ibu itu menunggui kami. Dengan langkah sombong ia menduduki sofa yang ada di ruang tengah dan mengibaskan lagi kipas lipatnya. Entah apalagi yang akan mereka lakukan pada kami. Tapi selagi ada kesempatan aku akan berusaha untuk melepaskan diri dan mencoba menghubungi mas Umair. Tak akan ku biarkan mereka berbuat sesuka hati. Enak saja, kenal saja tidak. "Rahma, tolong lebih mepet ke Mbak," pintaku pada adik iparku itu. Rahma pun secara perlahan berusaha mengeser duduknya lebih mendekat padaku. "Kenapa Mbak?" tanya Rahma. Ku pejamkan mataku sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari Rahma. Berusaha untuk tenang dan memikirkan jalan keluarnya. Mumpung ketiga lelaki tadi belum muncul kembali. 'Tarik napas ... keluarkan!' batinku sembari mempraktikkannya. Ku buka mataku lebar-lebar hingga ibu itu sedikit terkejut. Ku tatap tajam kearahnya. Cara ini pernah ku lakukan saat menghadapi Rima. Dan aku akan mencoba mempraktikkannya kemb
Dari jawaban orang suruhan ibu itu, bisa ku simpulkan bahwa seseibu dalam toilet dapurku yang bernama Sum itu adalah keluarga dari Hendra dan istrinya. Sebab hanya Hendra dan istrinya lah yang beberapa waktu lalu masuk penjara karena bekerja sama dengan mas Bima dan mbak Sinta. Dan itu semua karena mas Umair. Orang-orang suruhan bu Sum sudah pergi. Saatnya mengatasi bu Sum sendiri yang masih terkunci di toilet. "Mbak kenal sama mereka?" tanya Rahma yang tiba-tiba menghampiriku bersama umi. "Enggak, " balasku sambil menggeleng. Rahma tampak keheranan melihat ketiga lelaki tadi yang pergi begitu saja tanpa perlawanan sedikit pun. Lantas aku menceritakan ulang bagaimana aku bisa mengusir mereka. "Keren 'kan Mbak?" tanyaku pada Rahma dan umi. "Iya, Mbak." Rahma mengacungkan kedua jari jempolnya padaku sambil tersenyum lebar. "Tapi apa gak sayang uang seratus juta dikasih cuma-cuma gitu aja?" seketika aku terdiam mendengar pertanyaan umi barusan. Iya juga ya? Seharusnya aku kasih se