Semua Bab PENYESALAN: Bab 41 - Bab 50
93 Bab
41. Undangan Pernikahan
  "Emmh ... Anu mbak, katanya Mbak Nadia gak boleh dekat-dekat sama calon suaminya." "Calon suami? Mbak tahu siapa?" "Ini ada undangannya mbak," ujar Mbak Sarni sembari memberikan kertas undangan mewah berwarna gold dengan hiasan pita. "Makasih ya Mbak." Mbak Sarni mengangguk. "Saya permisi dulu mbak Nadia," lanjutnya lagi. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku segera membuka tali pita tersebut. Mataku terbelalak kaget, melihat ukiran nama yang terpampang begitu jelas dalam undangan pernikahan itu. Menikah : Hasbi Alhanan & Andin Kartika Mendadak hatiku rasanya luluh lantak. Belum apa-apa rasanya udah sesakit ini. Ada yang berdenyut sakit di ulu hati. Bunga-bunga yang tadinya bermekaran mendadak layu kembali. Tanganku gemetaran memegang surat undangan ini. Kalau sudah punya calon istri, kenapa harus melamarku? Apa Mas H
Baca selengkapnya
42. Fitting Baju Pengantin
[Hallo, assalamualaikum Nadia. Kamu ada dimana?] tanya Mas Hasbi di seberang telepon.[Waalaikum salam, iya mas. Aku ada di rumah sakit][Lho, kamu sakit?][Enggak sih mas, cuma ...][Tunggu, tunggu. Kamu jangan kemana-mana ya. Tetap disitu, aku akan menjemputmu][Baik, mas][Assalamualaikum][Waalaikum salam]Panggilan itupun terputus. Kuembuskan nafas dalam-dalam. Bukan tanpa alasan aku berada disini. Aku melakukan pemeriksaan kesuburan di rumah sakit ini, sesuai permintaan Mbak Nisa. Sebenarnya ingin kurahasiakan ini dari Mas Hasbi. Tapi Mas Hasbi pasti khawatir kalau tiba-tiba aku berada di rumah sakit. Apa yang harus kukatakan padanya?Aku menunggu di halaman parkir rumah sakit. Selang beberapa waktu, mobil Mas Hasbi datang. Seperti biasa, dia tersenyum padaku. Lelaki berkacamata itu terlihat berlari-lari kecil ke arahku."Nadia kamu sakit apa?" tanya Mas Hasbi menautkan kedua alisnya."Ak
Baca selengkapnya
43. Hasil Test
3 hari berlaluAku kembali ke rumah sakit, untuk mengambil hasil tes lab, hasil pemeriksaan tes kesuburanku kemarin."Ini Bu, hasil pemeriksaannya," ujar seorang suster sembari memberikan lembaran kertas itu padaku."Terima kasih ya, sus. Kalau begitu saya permisi.""Baik, Bu. Kalau mau konsultasi lagi, bisa hubungi dokter yang kemarin menangani ibu ya.""Baik, sus. Saya permisi."Perawat itu mengangguk dan tersenyum. Aku kembali melangkah keluar rumah sakit. Lembaran kertas ini langsung kumasukkan ke dalam tas tanpa membukanya lebih dulu. Nyaliku terlalu ciut untuk mengetahui tentang kenyataan. Jantungku berdegup kencang. Entahlah, rasanya begitu takut, mendadak rasa tak percaya diri kembali hadir. Apakah aku pantas untuk Mas Hasbi?Tiba-tiba, Bruukk ...Seseorang menabrakku hingga aku terjatuh, sepertinya dia sedang terburu-buru. Segera kupungut kertas hasil tes lab dan beberapa barang lain yang berserakan di lantai."
Baca selengkapnya
44. Kejadian Aneh
  Aku segera memasukkan lingerie itu kembali ke dalam kotak. "Apa yang sedang kalian lakukan, sepertinya sangat seru?" tanyanya.  "Emmh ini Mas, Mirna nganterin kebaya pengantinku," jawabku. Mirna masih saja cengengesan. "Oh ya, kalian belum makan kan, bagaimana kalau kita makan dulu, yuk ..." ajakku sambil menarik Mirna untuk duduk ke meja makan. "Sebenarnya aku ingin pulang, Nadia," jawab Mirna. "Ayolah Mirna sekali ini saja, kita sudah lama tidak makan bersama. Please ..." "Oke, baiklah." Mas Hasbi mengikuti kami. Mereka duduk di meja makan bersama. Sedangkan aku ke belakang menyiapkan makanan untuk mereka. Mak Piah membantuku membawakan makanan-makanan itu dan menghidangkannya diatas meja. "Wah, sepertinya enak banget nih," celetuk Mirna saat melihat makanan di hadapannya. "Makasih ya, Mak Piah." "Iya, sama-sama mbak." Kami menyantap makanan bersama.  "R
Baca selengkapnya
45. Cari Pinjaman
  Aku tidak tahu, kemana lagi harus mencari pinjaman. Teman-teman yang tadinya dekat denganku kini menjauh. Mereka enggan berteman dengan seorang pengangguran. Sebenarnya aku salah apa hingga mereka menjauh dariku? Apa karena sekarang aku miskin? Tak ada apapun yang tersisa, semuanya habis. Lalu bulan besok bagaimana aku membayarkan hutang ibu. Aku benar-benar stress dan pusing. Apa yang harus kulakukan? Setelah lama berjalan, tanpa sadar aku sudah berada di seberang ruko Nadia. Aku menatap bangunan itu. Hatiku kembali nyeri, bila mengingat kejadian dulu. Dia istri yang kusia-siakan, kini bisa berubah lebih maju dariku. Toko cateringnya nampak ramai. Mobilku (dulu) dipakai untuk mengantarkan pesanan ke pelanggan. Sepertinya, karyawannya pun bertambah. Nadia benar-benar sudah sukses sekarang, tidak lagi menjadi bayang-bayangku. Dia bisa mengolah dan menghasilkan uang sendiri. Padahal dulu, aku menghinanya habis-habi
Baca selengkapnya
46. Aku Seorang Pecundang
Wajah Keysha cemberut, bibirnya mengerucut, ia tak terima dengan ucapanku. "Mas, jangan marah-marah terus dong. Kamu gak mau kan kena stroke kayak ibu?!"  pekiknya.Aku hanya mendelik ke arahnya. Seenaknya aja dia bilang seperti itu. Keysha mendengus kesal. Aku paham, ini karena rumah ini yang terlalu sempit untuknya. Apalagi ada ibu. Tapi gimana caranya aku mendapatkan uang lebih untuk menyewa rumah yang baru? Sedangkan kalau di rumah ibu, lambat laun petugas bank akan datang menagih utang, aku tidak ingin ibu kena serangan jantung lagi."Key, maaf ya, tolong ngertiin dulu. Rumah ibu bentar lagi disita, karena mas gak bisa nyetorin hutang ibu ke bank. Mas gak mau ibu terkena serangan jantung lagi," bisikku di telinga Keysha.Keysha mengernyitkan keningnya. "Rumah ibu disita?" ia balik bertanya dengan suara agak lirih."Ssstttt ..." sahutku sembari menempelkan jari telunjuk ke atas bibir."Jadi ibu hutang ke bank?"Aku meng
Baca selengkapnya
47. Insiden Di Hari Pernikahan
  Hari H Akhirnya hari yang dinanti-nanti datang juga. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Mas Hasbi. Persiapan sudah sempurna, awalnya Mas Hasbi ingin menyewa gedung, namun aku melarangnya. Aku ingin pernikahan diadakan di rumah saja. Biarlah yang sederhana saja, mengundang beberapa teman, tak perlu banyak-banyak. Menurutku dari pada menghamburkan uang untuk biaya sewa sana-sini lebih baik, uangnya dipakai untuk modal usaha. Sudah dari kemarin, orang-orang yang bekerja membantuku di toko, ikut sibuk menyiapkan makanan dan hidangan untuk para tamu. Sedangkan tim dekorasi berbeda lagi, kami mempekerjakan beberapa orang untuk beberes dan menghias rumah agar terlihat lebih indah. Meskipun sederhana namun tetap elegan dan sedap dipandang oleh mata. Aku sudah didandani layaknya seorang pengantin wanita. Mirna-lah yang mendampingiku. Dia menyemangatiku, memberikan pencerahan yang lain bahkan bercengkrama hingga membuatku tertawa, Mirna benar-benar
Baca selengkapnya
48. Akhirnya Menikah
"Tunggu ...!" teriak seseorang dengan nada suara parau.Kami menoleh ke sumber suara. Mas Hasbi datang dengan langkah terseok-seok. Darah segar mengalir di wajahnya. Jasnya terlihat sangat kotor. Baru beberapa langkah, ia jatuh terjerembab di depan pintu."Astaghfirullah, Mas ...!" pekikku dengan nada histeris. Rasa panik luar biasa membuncah di dalam dadaku.Segera kulepas cekalan tangan Mas Rizki dan menghambur ke arahnya, diikuti oleh beberapa tamu yang lain. Mereka segera membantu Mas Hasbi, dibawanya tubuh lemas itu ke dalam rumah dan didudukkan bersandar diatas sofa panjang. Dengan cekatan Mirna mengambilkan air minum untuk Mas Hasbi, begitu pula dengan Mbak Sarni, dia mengambilkan air hangat untuk mengompres lukanya.Aku meraih gelas yang disodorkan Mirna untuk meminumkannya pada Mas Hasbi. Matanya mengerjap perlahan, ketika ia mulai sadar kembali. Ia meringis kesakitan dan memegangi kepalanya yang terluka.Kubersihkan darah yang mengalir di
Baca selengkapnya
49. Tragedi Kecelakaan
  Pagi-pagi sekali, saat fajar mulai menyingsing, aku sudah bersiap-siap, berpakaian dengan rapi. Begitu pula dengan Mbak Nisa, kakak ipar dan juga anak-anak mereka. Mereka sudah sangat rapi. Kami hanya tinggal berangkat sambil membawa bingkisan kecil di tangan para ponakan kecilku. Sedangkan untuk mahar dan yang lainnya, aku sudah menitipkannya langsung pada Mirna, agar dia yang membawanya. Karena dia juga yang sudah memilihkan perhiasan emas untuk mas kawinku pada Nadia. Dua hari yang lalu pun aku sudah menyervis mobil, agar tak terjadi masalah yang berarti di acara pentingku nanti. "Adikku tambah ganteng aja nih. Hari ini udah siap?" tanya Mbak Nisa dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. "Selalu siap, mbak." "Aish, sepertinya adikku udah gak sabar nih buat nikah." "Hahah, iya mbak. Hari yang kunanti-nantikan sejak dulu akhirnya datang juga." Mbak Nisa menepuk-nepuk pundakku. "Ya sudah, yuk kita berangkat."
Baca selengkapnya
50. Tragedi Kecelakaan (2)
  Aku mengangguk. "Kenapa kok bisa jatuh ke jurang mas?" tanya bapak itu, kulihat ia mengambil baju ganti yang ia bawa dan mengusap darah yang keluar dari kepalaku. Namun darah tak juga berhenti. "Mobil saya remnya blong pak, pas jalan turunan itu, kami gak bisa mengendalikannya." "Kok bisa ya mas?" "Gak tahu pak, awalnya baik-baik saja. Mungkin sudah takdir." Mereka manggut-manggut mengerti. Lalu semuanya hanya saling diam dan memandang dengan tatapan iba. Tak butuh waktu lama, kami sampai di puskesmas terdekat. Satu per satu keluargaku langsung dibawa ke dalam dengan bed pasien. Para perawat terlihat berlarian menyambut kami. "Mas, ayo masuk dulu," sergah salah satu bapak yang menolong kami. Aku turun dipapah mereka. Namun ternyata, karena peralatan medis yang kurang memadai di Puskesmas, akhirnya mereka di rujuk ke Rumah Sakit terdekat diangkut dengan mobil ambulan. Aku dan bapak-bapak y
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status