Semua Bab Lima Samurai Batavia: Bab 11 - Bab 20
40 Bab
Bab X: Barang Bagus di Toko Nippon
Roda sepeda ontel berhenti berputar. Pemiliknya baru saja menarik rem. Karena agak mendadak, si pengendara sepeda sampai hampir terjatuh dari kendaraannya sendiri. “TIN! TIN! TIN!” di belakang sepeda ontel itu, sebuah mobil VW kodok cokelat tua ikut mengerem mendadak. Kalau saja si pengemudi tak sigap menginjak rem, mungkin si pengendara sepeda ontel di depannya bisa mental ke depan. Suasana pagi kota Batavia sebenarnya tak terlalu riuh. Beberapa polisi pengatur lalu lintas tak pernah terlalu pusing menertibkan para pengguna jalan. Trem yang lewat membelah jalan besar juga jarang bersinggungan dengan pejalan kaki atau pengendara mobil. Belum lagi penjual jamu gendong, penjaja makanan, atau pemusik jalanan. Mulai dari pribumi, warga Asia, bahkan Eropa berdampingan hidup di ibukota Hindia Belanda ini. Akan tetapi, jangan tanya para penduduk luar Batavia yang sering berperang melawan pasukan Hindia Belanda! Mereka memandang Batavia justru sebagai kota yang tak dapat melawan dominasi Hin
Baca selengkapnya
Bab XI: Kedai Kopi di Seberang Toko Nippon
“BAHASA BELANDA ITU SUSAH SEKALI!” seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana panjang hitam membatalkan diri untuk menggoreskan pena di atas kertas. Kertas kekuningan itu malah dibuangnya ke ubin tegel kedai kopi milik keluarga kawan satu sekolahnya itu. Di tempat santai inilah, pemuda bernama Fadjar ini sering belajar dan menghafal pelajaran. Kesehariannya memang tak jauh dari meraih ilmu. Maklum, sebagai seorang mahasiswa, kegiatan yang dilakukan memang berkutat dengan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan. Kedai kopi milik keluarga keturunan ningrat Jawa ini jarang sekali sepi pengunjung. Mulai dari orang Eropa berkulit putih, Asia Timur, sampai pribumi kelas menengah ke atas banyak saling berjumpa, berbincang, dan menyedu kopi bersama di tempat ini. Di atas meja dekat pintu masuk kedai, terdapat selebaran media cetak harian yang dapat dibaca para pengunjung sambil menikmati kopi. Tak jarang, pembicaraan pada meja-meja di kedai ini seputar berita hari ini yang tertulis di selebar
Baca selengkapnya
Bab XII: Tabir Nadir
Tok Tok Tok! Seseorang mengetuk pintu. Belum saja para murid Shitaro menanggapi ketukan, rupanya Yukiko dan Takeshi sudah menghampiri para murid Shitaro di gudang halaman belakang. Tampaknya ada sesuatu penting yang ingin dibicarakan. "Tugas pertama akan segera diberikan," tak ada basa-basi, Yukiko langsung saja sampaikan kepada kelima murid Shitaro, "kurasa kalian sudah rindu menebaskan pedang. Oleh karena itu, kuminta kalian tebaskanlah ke orang-orang Belanda itu. Waktunya bisa tengah malam seperti sekarang." "Singkat kata, bunuh orang-orang Belanda itu di tengah malam!" Takeshi mencoba melanjutkan. “Maksudmu? Membunuh orang-orang Belanda di tengah malam?” Kazumi mengulang kalimat yang dia dengar dengan nada bicara penuh keheranan. “Sebenarnya, kau suruh kami datang ke Batavia ini sebagai pelayan toko atau pembunuh berdarah dingin?” tambah Jin seraya mengernyitkan dahi. WUS! Sekelabat, ujung bilah katana sudah menyentuh kulit leher Jin. Untungnya, hanya menyentuh, belum, dan j
Baca selengkapnya
Bab XIII: Menikung Skenario Publik
“Kalau kau tak masuk terus karena mengurusi pergerakan kelompok kepemudaanmu itu, aku tak ada alasan lagi untuk mempertahankanmu di sini,” Dokter Barend van Der Sluijs bangkit dari meja kerja di ruangan pengajar senior sekolah STOVIA. Dia meraih pipa dan berbalik untuk melangkah menuju jendela. Tangan kirinya dia sandarkan ke dinding dekat jendela, sedangkan tangan kanannya sibuk memegangi pipa. Di balik kaca matanya, kedua mata Dokter Barend agak menyipit memandang langit biru di luar jendela sana. Terik mentari menembus pandangan, melesak ke retina dan seluruh bagian mata. Dokter Barend memutuskan untuk menutup salah satu jendelanya. “Terang yang berlebihan juga tak terlalu baik,” dia berbicara sendiri, tetapi kedua matanya melirik ke arah Fadjar. “Bisa merusak mata,” Fadjar sedikit mengernyitkan dahi. Dia yakin jika perkataan pengajarnya barusan bukanlah perkataan biasa tanpa makna. Dia segera menoleh ke luar jendela. Daripada memperhatikan terik, dia lebih tertarik mengagumi lang
Baca selengkapnya
Bab XIV: Noda Dalam Bayangan
“Pasti kau yang membunuh Dokter Barend van Der Sluijs, wahai orang sok pintar selaku ketua gerakan pemuda kemerdekaan!” BRUG! Sebuah kepalan keras mendarat di pipi Fadjar. Calon dokter muda itu tersungkur di atas trotoar depan rumah sakit CBZ, tempatnya mengikuti ujian praktek. Menerima pukulan itu, kepalanya langsung sakit. Pandangannya berkunang-kunang. Kawannya sesama pelajar dokter Jawa asal Belanda bernama Michael itu memang berpostur tinggi besar. Fadjar tak terkejut ketika cairan merah keluar dari hidungnya. “Fadjar!” melihat kawan sesama pribuminya dihajar keras oleh Michael, Poernomo segera menghampiri Fadjar dan membantunya bangkit. Priai pemilik kedai kopi di Jalan Kramat ini segera mengeluarkan sapu tangan dari kantong celananya dan memberikannya kepada Fadjar untuk menyeka luka di hidungnya. “A…ku tidak apa-apa,” Fadjar menerima sapu tangan pemberian Poernomo dan mulai menyeka lukanya. Seolah pembuluh darah halusnya di hidung sudah pecah, Fadjar terus saja mimisan. Cai
Baca selengkapnya
Bab XV: Pembunuhan yang Sama Kejamnya dengan Fitnah
“Saya tidak menyangka Bung Ketua Fadjar dapat senekad ini bertindak,” ucapan salah seorang peserta rapat organisasi Bapera –Barisan Pemuda Nusantara- menyita perhatian Poernomo yang tengah mempersiapkan agenda rapat organisasi pagi ini di ruang khusus kedai kopinya. Dia sebenarnya tak terlalu aktif berpendapat. Maka dari itu, dia sediakan saja tempat agar tak dituntut harus aktif berpendapat. Dia sudah cukup puas andilnya hanya sekedar penyedia tempat. “Jadi, anda percaya bahwa kematian Dokter Barend ada hubungannya dengan organisasi ini?” Sendja membalikkan pertanyaan salah satu anggota organisasi, mencoba menghindari amukan Fadjar yang dia ketahui bukanlah pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kasus kematian Dokter Barend. “Siapa….lagi?” pemuda yang seorang fotografer media cetak itu mengangkat bahu. “Bodoh jangan dipelihara di kepala! Mana mungkin Fadjar melakukan hal seperti itu kepada orang yang sudah dia anggap sebagai guru maupun ayah kandungnya sendiri!” Sendja menarik
Baca selengkapnya
Bab XVI: Apakah Batavia Tanah Dari Surga?
"Orang-orang pribumi di Batavia itu, bagaikan pendatang di tanah kelahirannya sendiri,” seraya berkeliling kota dengan menaiki trem, Takeshi berbicara pada dirinya sendiri dalam Bahasa Jepang. Dia berani melontarkan kalimat seperti ini di tempat umum lantaran trem di pagi ini tak terlalu ramai. Di sebelahnya, hanya Hideyoshi seorang yang tengah duduk sambil memandang lurus ke depan. Mereka berdua baru saja mengantarkan barang pesanan toko ke kompleks rumah para kelas atas, kawasan Weltevreden. Seperti biasa, di antara kelima anak buahnya, Takeshi meminta Hideyoshi untuk menemaninya. Padahal, jika ditanya siapakah murid Shitaro yang paling dia benci, jangan-jangan jawabannya juga Hideyoshi. Karena tak ada orang lain di sekitar Hideyoshi selain Takeshi, akhirnya setiap kata yang terlontar dari mulut Takeshi menarik perhatian Hideyoshi. Pemuda bersorot mata tajam ini melirik ke arah Takeshi. Lelaki bertubuh tinggi dan kurus itu sedang memperhatikan panorama kota Batavia di luar jendela.
Baca selengkapnya
Bab XVII: Katana dan Keris
Hujan mengguyur bumi kala langit malam hanya membagi kilat. Tak ada suara lain yang Hina dengar selain gemuruh guntur, derasnya air hujan yang menerjang daratan atau memantul di atap-atap rumah, serta langkah kakinya sendiri. Tangan mungilnya menggenggam payung kertas, produk toko tempatnya bekerja. Sepertinya dia harus cepat sampai tujuan karena lebatnya hujan membuat Hina takut payung kertas miliknya bisa saja robek. Sepanjang jalan Harmonie, Hina tak melihat ada orang-orang yang wara-wiri di sekitarnya. Mungkin mereka lebih memilih untuk berteduh di dalam rumah. Jika Hina tak mendapatkan tugas dari Yukiko untuk mengantarkan barang pesanan ke salah satu pelanggan, mungkin dirinya kini juga akan berteduh di dalam rumah. Tentunya, bersama keempat kakak seperguruannya. Bisa jadi sambil berbincang, tertawa, atau bermain api pada lilin. Ternyata begini rasanya sendiri tanpa mereka berempat, Hina mempercepat langkah. Dia mulai mengenali perasaannya yang ingin cepat-cepat sampai rumah ini
Baca selengkapnya
Bab XVIII : Saudara Tua yang Tak Diundang
Jalan Kramat saat tengah malam tampak berbeda dari siang hari yang begitu ramai penuh pejalan kaki maupun orang berjualan. Kendaraan tak ada satu pun yang melintasi jalan selain oplet berwarna biru yang ditumpangi Fadjar dan Hinagi. Kedua penumpang terakhir dari kendaraan umum itu pun turun tepat di depan toko Banzai yang berseberangan dengan kedai kopi milik Poernomo. “Selamat malam, Tuan Fadjar,” Hinagi menganggukan kepala, dan turun dari oplet. Dengan langkah-langkah kaki kecilnya, dia berbalik memasuki toko. Fadjar yang tadinya hanya ingin menanggapi Hinagi dengan anggukan dan membalas mengucapkan selamat malam, segera tergerak melontarkan suatu pertanyaan, “Ah, Nona! Kau tinggal di toko Jepang ini?” calon dokter muda ini menunjuk toko Banzai yang gelap gulita. Bagai tersengat listrik, Hinagi merasa bodoh detik ini juga. Dia langsung menghentikan langkah kakinya. Tak seharusnya dia turun tepat di depan toko Banzai. Seharusnya, Fadjar tak boleh mengetahui tempat tinggalnya selama
Baca selengkapnya
Bab XIX: Matahari Terbit di Timur, Tenggelam di Barat
“Di hari itulah, aku begitu yakin….. aku begitu yakin pada apa yang kaisar sampaikan kepada kami semua, para ksatria berpedang yang semula kami kira tak ada artinya lagi semenjak restorasi Meiji ini, bahwa dunia, kini dalam genggaman timur! Dalam genggaman Asia!” dengan suara agak menggertak bercampur gemetaran, Takeshi memandang Fadjar tanpa berkedip. Dia begitu sentimentil terhadap apa yang dia katakan, bayangkan, dan yakinkan. Benaknya kembali memutar rentetan kejadian saat tentara Nippon selalu berusaha menguasai berbagai sudut dunia. Terutama Asia. Bayangan itu hanyalah bunga tidur Takeshi dalam perjalanan menuju Batavia. Ada masanya, dalam keyakinannya, Asia akan menjadi benua yang begitu ditakutkan Eropa dan Amerika. Menurutnya, semesta sudah mensiratkan hal itu. Terbukti dari arah matahari terbit. Sang surya itu terbit di timur dan terbenam di barat. Asia berada di timur belahan bumi, sedangkan Eropa dan Amerika berada di barat belahan bumi. Saatnya Asia terbit setelah tertidu
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status