Tous les chapitres de : Chapitre 41 - Chapitre 50
102
Bab 41|Penyebar Gosip
Aku tidak memberi komentar mengenai apa yang terjadi saat kami makan malam. Ketika dia kembali dengan mata yang tidak mau melihat ke arahku, aku berusaha untuk tidak memerhatikannya. Aku justru membahas apa yang rekan-rekanku bahas tadi saat kami makan siang. Wajahnya terlihat sedikit lebih santai saat aku menceritakan tanggapan Dhini dan Jerome mengenai mereka yang mendapatkan predikat karyawan terbaik. Aku juga menyampaikan pujian mereka tentang tempat kerja mereka. Juga apa yang aku pikirkan mengenai hubungan Dhini dan Jerome. “Mereka mirip sekali seperti kita. Jerome sangat terbuka menyampaikan pendapatnya, sedangkan Dhini selalu menghindari topik pribadi. Dia akan berusaha untuk mengganti topik pembicaraan agar bukan dia lagi yang menjadi fokus. Tetapi Jerome sangat pintar mengembalikan lampu sorot pada rekan kami itu.” Aku tertawa kecil. “Aku tidak seperti Dhini.” Dia segera membantah. “Aku tidak menyebut kamu mirip dengan Dhini,” kataku penuh arti. “Aku hanya bilang mereka m
Read More
Bab 42|Alasan Peminjaman
Pria itu berjalan mendekati aku dengan senyum menghiasi wajahnya. Seandainya saja suasananya berbeda, aku dengan senang hati akan berbincang dengannya. Seperti yang aku lakukan saat kami bertemu di hotel. Tetapi aku selalu percaya dengan firasatku. Keputusanku untuk menjaga jarak di tempat kerja terbukti benar. Karyawan yang melewati kami melihat ke arahku dengan tatapan tidak suka. Seandainya karyawan wanita lain yang bicara akrab dengannya, mereka tidak akan peduli. Aku perhatikan tidak ada yang terganggu saat Elan bicara dengan Dhini atau Natasha. Ini pasti karena statusku sebagai janda. Tidak benar bahwa Elan punya perasaan atau perhatian khusus kepadaku. Kami hanya berteman dan dia melakukan semua ini karena dia prihatin dengan keadaanku. Dia hanya memberi aku dukungan setelah berbagai hal buruk yang menimpa aku. “Berhari-hari menunggu kamu di sini, aku tidak pernah beruntung. Aku sampai berpikir bahwa kamu punya kekuatan super sehingga kamu bisa keluar lingkungan gedung tanpa
Read More
Bab 43|Tergiur Uang
~Benedict~ Kalau bukan karena bengkel yang mengingatkan mengenai kartu memori yang mereka keluarkan dari kamera dasbor mobil untuk menggantinya dengan yang baru, maka aku akan butuh waktu lama untuk tahu siapa yang berada di balik kecelakaan tersebut. Aku tidak mau orang lain yang melakukan pemecatan, karena itu aku datang sendiri ke pabrik. Tentu saja semua orang terkejut melihat kedatanganku. Aku sengaja tidak memberi tahu siapa pun. Nelson hanya memastikan bahwa pria itu bekerja pada hari kedatangan kami. Supaya para karyawan tidak mencurigai apa pun, aku dan Nelson sengaja melakukan inspeksi ke setiap divisi. Hal yang biasanya aku lakukan pada setiap kunjunganku. “Saya benar-benar minta maaf atas kejahatan yang dia lakukan, Pak. Kami akan menyerahkan dia ke kantor polisi dan saya berjanji hal yang serupa tidak akan terjadi lagi,” ucap kepala keamanan pabrik. “Bila kalian sedang mengalami kesulitan keuangan, beri tahu supervisor atau siapa saja atasan kalian. Pak Benedict selalu
Read More
Bab 44|Aku di Pihakmu
Dia menoleh ke arahku dengan senyum di wajahnya. Lalu dia kembali menundukkan kepalanya dan menatap ke tangan kami yang saling bertautan. Rasa rendah diriku menyerang melihat betapa kecilnya tanganku dalam genggamannya. Persis tangan anak kecil, bukan tangan orang dewasa. “Mengapa kamu begitu baik kepadaku, Ben? Apakah kamu bersikap seperti ini kepada semua orang? Atau kamu memperlakukan aku seperti ini karena rasa kasihan?” tanyanya pelan. “Kamu adalah istriku. Aku tidak akan membiarkan istriku sendiri merasa sedih. Bukankah itu tugas seorang suami?” Aku balik bertanya. Dengan emosinya saat ini, aku harus berhati-hati saat memberi jawaban. “Ada apa? Apa yang bisa aku bantu?” “Sudah terjadi, kamu tidak bisa membantu aku. Lagi pula ini bukan hal yang membutuhkan bantuan.” Dia mengambil selembar tisu yang ada di atas meja, lalu mengeringkan hidungnya yang berair. “Aku melewatkan satu bulan kematian Bakti.” Dia tertawa sedih. “Aku jahat, ya.” “Kamu punya utang warisan almarhum suamimu
Read More
Bab 45|Dukungan Rekan
~Delima~ Aku meletakkan sekotak cokelat masing-masing satu di meja Puput, Dhini, dan Jerome. Ada sebuah kartu di setiap kotak agar mereka tidak berteriak atau memberi tahu siapa pun mengenai cokelat tersebut. Walaupun mereka tidak mengatakannya secara langsung, mereka menggunakan aplikasi pada komputer mereka untuk berterima kasih kepadaku. Kami makan siang bersama di ruang kerja Puput dengan meminta seorang OB untuk memesan makanan mereka bertiga di kantin dan membawanya ke ruangan itu. Aku tidak perlu repot karena punya bekal sendiri. Dugaan Dhini benar. Puput sangat kecewa dengan kekalahannya dari Elan. Dia sangat berharap akan mendapat predikat supervisor terbaik bulan ini agar dia bisa menjadi supervisor terbaik tahun ini. Mereka bersaing demi bonus liburan lengkap dengan tiket pesawat dan akomodasinya untuk dua orang selama dua hari dua malam. Tempat tujuan dipilih sendiri oleh pemenang. “Dengan bonus yang kamu dapatkan setiap kali memenangkan predikat bulanan, kamu bisa perg
Read More
Bab 46|Kasus Aneh
Dia sama sekali tidak terkejut melihat aku berada di lantai ini juga. Atau dia hanya berpura-pura bersikap biasa, aku tidak tahu. Pandangannya tertuju pada tas bekal makanan yang aku bawa. Aku sengaja tidak bicara agar dia yang memulai lebih dahulu. “Aku melihat kamu sering sekali naik ke lantai ini sebelum pergi ke kantin.” Dia melihat ke sekitar kami. “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Kamu benar-benar tidak tahu atau sedang menguji aku?” Aku balik bertanya, sama sekali tidak menyembunyikan rasa tidak sukaku. Dia tersenyum. “Maaf, aku tidak bermaksud mengikuti kamu. Tetapi saat aku ke sini, aku tidak menemukan kamu di mana pun. Aku tidak berniat ke sana karena itu tempat parkir khusus para pimpinan. Aku tidak mau dituduh mencuri ketika ada dari mereka yang kehilangan sesuatu. Mungkin kamu tidak tahu, tetapi hal itu pernah terjadi dua kali. Sejak itu, tidak ada seorang karyawan pun yang berani ke sana tanpa didampingi orang yang berwenang.” Aku tidak puas dengan jawabannya, tetapi
Read More
Bab 47|Rumah Kita
Dia tertawa kecil. “Semua pelayan yang bekerja di rumah ini tidak mungkin tinggal di rumah yang hanya menyediakan lima kamar tidur, Ima. Rumah itu juga rumah kita yang aku beli khusus untuk tempat tinggal mereka.” Mulutku otomatis menganga mendengarnya. Dia punya dua rumah mewah, tetapi adik serta adik iparnya menyebut dia tidak kaya?? Aku yakin harga rumah ini lebih dari lima miliar. Ben tidak hanya punya satu, tetapi dua. Mungkin ada baiknya aku memeriksa daftar propertinya yang tertera pada surat perjanjian pranikah kami. “Ini adalah kamarku,” katanya membuka pintu yang ada di sebelah kanan kami. “Keadaannya sama saja dengan kamarmu hanya beda posisi.” “Jendela dan balkon kamu ada di sebelah kanan kamar, sedangkan aku berada di sebelah kiri.” Aku mengangguk mengerti. Dua pintu yang berada di sebelah kiri itu pasti kamar mandi dan ruang pakaian. Berbeda dengan kamarku yang bernuansa putih, maka kamarnya didominasi warna hitam, putih, dan abu-abu. Warna yang maskulin. “Dan pintu y
Read More
Bab 48|Sambutan Hangat
Rumah itu nyaris tidak bisa aku kenali lagi. Dari pagar berukir bercat putihnya saja, aku butuh waktu untuk mengenali bahwa itu adalah rumah orang tuaku. Rumah di mana aku tumbuh besar. Warna cat rumah itu diganti dengan kuning lembut dan putih. Garasi luar diberi atap baru yang bergaya modern. Pekarangan kecil di depan rumah diberi rumput yang segar dan ada beberapa tanaman bunga yang pucuknya mulai bermunculan. Ada dua kursi di teras dengan sebuah meja kecil di antaranya. Pintu dan jendela terlihat diganti dengan kayu dengan lebih baik. Bahkan plafonnya tidak ada lagi yang terlepas. Atapnya juga terlihat diganti dengan yang baru. Aku menoleh ke arah Ben. Dia hanya tersenyum. Terbuat dari apa hati pria ini sehingga dia begitu baik kepada orang tuaku? “Hai! Ayo, masuk!” Mama membuka pintu. Kak Pangestu segera mendekati pagar dan membuka gemboknya. Aku masuk lebih dahulu, lalu Ben menyusul. “Bagaimana perjalanan kalian tadi? Ayo, kalian pasti sudah lapar!” Aku yang berada di dekatnya
Read More
Bab 49|Tamu Tak Diundang
~Benedict~ Delima bersikap aneh saat kami sarapan pagi bersama. Dia tidak mau menatap mataku saat bicara, juga terlihat tidak nyaman berada di dekatku. Dia terus-menerus melihat ke arah luar jendela ruang makan atau ke arah pintu. Seolah-olah dia lebih suka berada di tempat lain daripada bersamaku. Namun saat kami dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya, dia sudah kembali bersikap biasa. Dia mengajak aku membahas hal-hal ringan, lalu bersekutu dengan Karno ketika aku menghindari topik yang sifatnya pribadi. Sepertinya dia sengaja melakukan itu agar ada orang yang bisa diajaknya untuk menyerang sifat tertutupku itu. Sambutan keluarganya sangat hangat. Mama menggandeng tanganku untuk masuk ke rumahnya dan tidak menggubris putrinya. Aku senang melihat dia puas dan bahagia dengan kondisi rumahnya yang serba baru. Aku tidak menyesal mengeluarkan uang untuk merenovasi rumah tersebut. Nelson memilih jasa yang sama dengan desainer interior yang mengurus rumah Delima, jadi aku tidak terke
Read More
Bab 50|Kencan Pertama
Suasana rumah itu senyap ketika wanita tadi pulang. Aku hanya duduk diam membiarkan mereka menenangkan diri. Delima yang tadi memanggil aku untuk kembali duduk bersama mereka. Aku sudah menyiapkan kalimat untuk menghiburnya, tetapi melihat wajahnya saat masuk kamar, aku mengurung niatku tersebut. Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda. Mama yang duduk di samping Papa mengusap-usap lengannya untuk membantu ayah mertuaku itu menenangkan emosinya. Pria itu tidak terlihat seperti seorang pemarah, jadi aku tahu bahwa dia membentak tadi karena dia sudah tidak tahan lagi. “Jadi, lima tahun kalian menikah, selama itu juga dia mengambil semua gaji Bakti?” tanya Papa kepada Delima. Dia mengangguk pelan. “Suamimu itu diam saja dan tidak melakukan apa pun?” “Dia beberapa kali mencoba memberi pengertian bahwa dia juga butuh uang, tetapi ibunya selalu berhasil menang dalam perdebatan mereka. Papa tahu sendiri Bakti tidak akan tega menyakiti ibunya. Akhirnya, gajinya selalu diberikan kepada mama
Read More
Dernier
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status