All Chapters of Wanita Dambaan Tuan Otoriter: Chapter 1 - Chapter 10
141 Chapters
Bab 1 : Kedatangan Sang Tuan Otoriter
"A–Ampun, Tuan," lirih Bang Rizal ketika badannya yang tersandar karena leher ditekan di tembok oleh salah seorang ajudan dari Tuan Steven.Aku berdiri di samping lemari reyot kami dengan tubuh gemetar melihat suamiku diperlakukan demikian. Namun, aku tak bisa berbuat apa-apa selain terdiam--menatap perlakuan kasar ajudan itu kepada Bang Rizal. Siapa yang tak kenal dengan Tuan Steven Arnold? Dia putra tunggal yang mewarisi harta ayahnya, Tuan Hans Arnold— lelaki asal Kanada yang memperistri wanita asli desa ini, Nyonya Sarah Dramawan. Ia tuan tanah di sini. Dengan kekayaannya yang melimpah, pria yang sudah berkewarganegaraan Indonesia itu menguasai dan mengatur setiap hasil panen dari warga. Semenjak Tuan Hans meninggal dunia lima tahun lalu, anak tunggalnyalah yang menggantikan posisi sang ayah. Sayang, sikapnya sama sekali tidak mewarisi watak ayahnya yang ramah dan menghargai sesama manusia. Tuan Steven terkenal arogan dan sering berlaku kasar kepada orang lemah. "Kau kira aku
Read more
Bab 2 : Persetujuan
"A–pa?" pekikku tertahan.Pria gila! Aku tidak mau jadi korban lelaki yang dikenal sudah menjandakan tiga wanita ini. Aku ini istri orang, dan tentu saja aku tidak mau jadi korban ke sekian dari pria sejenis Steven Arnold yang terkenal kasar, arogan, dan penjahat kelamin.Sekasar-kasarnya ucapan dan sikap Bang Rizal selama ini kepadaku, ia bukanlah orang yang suka mempermainkan perempuan. Dia suami yang setia.Tiga tahun kami menikah, walau aku belum memberinya keturunan, ia tidak pernah kedengaran bermain wanita di luar sana dan berniat poligami, atau bahkan berniat menceraikanku. Aku tidak mau dicerai!Sayangnya, sebelah alis Tuan Steven seketika naik mendengar pekikanku."Apa yang kamu harapkan dengan lelaki seperti dia?" tanyanya seakan tidak membutuhkan jawaban dariku dan terkesan menyindir, "lebih baik kamu jadi istriku."Tuan Steven Arnold tiba-tiba tersenyum. Namun, aku seketika merinding karena senyumnya bagai vonis kematian untukku.Aku pun menunduk dan bergidik ketika pria
Read more
Bab 3 : Penjatuhan Talaq
Sontak aku menatap Bang Rizal. Apa? Jadi, ini yang dimaksud suamiku itu soal kompensasi? "Mak--maksud Abang apa, Bang?" tanyaku memastikan kepada suamiku.Bang Rizal hanya melirikku sebentar tanpa menjawab."Kamu mau kompensasi berapa? Apa tidak cukup aku anggap lunas semua utangmu, heh?" tanya Tuan Steven dengan menyatukan alisnya.Bang Rizal tersenyum tipis. "Nay ini istri yang baik, Tuan. Pintar masak ... dan dia juga cantik. Tuan lihat saja," ujar Bang Rizal sambil memegang lutut yang berbalut daster lusuhku. Baru kali ini dia memuji rupaku. Akan tetapi, entah mengapa aku malah tidak senang. Alisku bertaut. "Bang ...." bisikku memajukan sedikit badanku ke arahnya. Aku coba meraih punggung tapak tangan Bang Rizal, tapi segera ia lepaskan. Mengapa Bang Rizal malah bernegosiasi atas diriku untuk kompensasi? Bang Rizal tentu tidak serius untuk menyerahkan istrinya ke penjahat wanita seperti Tuan Steven Arnold. Tidak mungkin!Anehnya, ketika aku mendekati Bang Rizal, Tuan Steven tam
Read more
Bab 4 : Undangan Makan Malam
Mendengar ucapan Bang Rizal sontak aku terkejut.Aku tak mengira, akhirnya kata-kata itu keluar dari lisan suamiku. Kukira selama ini dia tidak mempermasalahkan jika kami belum mempunyai keturunan. Aku juga sering melihat Bang Rizal seperti tidak peduli dengan anak-anak. Dia tidak menyukai anak-anak.Aku tahu itu karena terkadang aku membawa bayi Ana—tetanggaku—untuk sekadar bermain sebentar di rumah ini, tapi Bang Rizal tidak pernah mempedulikannya. Padahal bayi itu kelihatan sangat lucu. Perkataannya membuatku semakin merasa tak berguna. Apa mungkin memang ini akhir semuanya? Apakah ini jalan agar kami berpisah?*****TOK! TOK! TOK!Aku tersentak kaget karena tiba-tiba saja ada orang yang menggedor pintu rumah dengan sangat kasar. Baru saja diri hendak merebahkan badan di tempat tidur. Hari ini aku sangat lelah, karena mencuci serta menyetrika pakaian Ana yang banyak. Waktu pun sudah cukup malam, sudah pukul 21.15 WIB. Siapa sih, malam-malam begini berisik? Mana Bang Rizal belum
Read more
Bab 5 : Acara Makan Malam
Alisku bertaut demi mendengar apa yang dikatakannya. Ada apa Tuan Steven menyuruh kami datang ke rumahnya?"Wah, kamu diundang ke rumah mewah Tuan Steven, Nay?" Ana tampak antusias.Dengan getir, aku berusaha mengulas sebuah senyum. Nanti saja bertanya ke Bang Rizal perihal ini, aku tidak enak, takut Ana berpikir yang macam-macam.Bang Rizal menuju ke arah kamar, sejurus kemudian ia pergi lagi.Ana segera meletakkan Lala, bayinya ke pangkuanku dengan tiba-tiba setelah Bang Rizal keluar dari pintu rumah. Ia meraih paper bag yang tadi aku letakkan saja di atas meja. Wanita muda itu langsung saja merogoh dan mengeluarkan isinya."Waaah, bagus sekali gamis ini, Naaay!" ucapnya kagum setelah menjembreng pakaian dari tas kertas tersebut.Malah, dia mengepaskan ke badannya sendiri. Hanya saja tidak sesuai dengan tinggi badannya yang hanya 140-an centi itu. Tubuh Ana memang mungil. Sering disangka anak SMP jika ia tidak membawa anaknya."Bang Rizal lagi banyak job ya, Nay? Pantesan dia ngelar
Read more
Bab 6 : Pertengkaran
Aku bagai ditelanjangi di depan semua orang."Tapi Nay ini paling cantik di kampung ini, Nyonya," sahut Bang Kamal.Wajahku terasa memanas. Tidak pernah lelaki berkumis tipis itu memujiku selama ini, kecuali hari ini dan ketika ia meminta kompensasi kepada Tuan Steven waktu itu.Nyonya Sarah tersenyum miring seakan mengejek. "Yaa, cantik. Tapi sama saja dengan yang sudah-sudah pastinya," tuduhnya.Sama seperti apa maksudnya? Yang sudah-sudah? Mantan-mantan istri Tuan Steven-kah?"Sudah. Silakan dinikmati dulu makanan ini. Nanti dingin, gak enak lagi," ujar Tuan Steven sembari memulai mengambil makanan di hadapannya."Oke, silakan. Kita makan dulu," kata Nyonya Sarah. Akhirnya sekilas senyum tipis tampak agak tulus diperlihatkan kepada kami.Melihat semua sudah memulai ritual makan malam, mau tidak mau aku pun ikut serta mengambil makanan yang kelihatan mewah di hadapan. Walaupun sebenarnya aku sama sekali tidak berselera, tapi demi menghormati tuan rumah, aku melakukannya."Nay siapa
Read more
Bab 7 : Bersikap Semakin Buruk
Tudingan Nyonya Sarah di atas kursi rodanya begitu menyakiti hati."Aku ... aku ...." Aku bingung harus menjawab apa. Aku bukan perempuan seperti itu, Nyonya! Rasanya peluh tiba-tiba saja membanjiri keningku."Sudahlah," ucap Tuan Steven seraya bangkit dari kursinya, "Hanaaaan!" teriaknya memanggil sang ajudan."Steve! Kamu harus menjelaskan arti semua ini ke Mommy! Mommy gak mau kamu merampas istri orang seperti ini!" Nyonya Sarah terus meminta penjelasan kepada putra semata wayangnya itu.Bang Hanan tampak terburu-buru mendatangi tuannya. "Iya, Tuan?" Pria itu mengangguk hormat."Antar pulang si Rizal dengan Nay ke rumahnya," perintah Tuan Steven pada Bang Hanan.Bang Rizal dan aku bergegas meninggalkan ruang makan tersebut. Kemudian berjalan pergi ke luar rumah besar itu diiringi oleh Bang Hanan.Dari jauh sayup-sayup aku mendengar Nyonya Sarah yang masih marah besar kepada putranya. Memang sewajarnya ia begitu. Perbuatan anaknya memang sudah kelewat batas.Di atas mobil mewah mili
Read more
Bab 8 : Dipaksa Melayaninya
Aku hanya bisa terisak tanpa sanggup melawan. Tubuhku tak sebanding dengan kekuatan Bang Rizal. "I-iya, Bang ...," lirihku terbata."Jangan berani lagi kamu ngebantah aku!" Diempaskan cengkramannya dari kepalaku, membuat kepalaku langsung pening.Aku sesegukan menangis di atas ranjang. Bang Rizal, mengapa semakin kasar seperti ini. Ya Allah ....Bang Rizal melangkah pergi menjauh. Kemudian terdengar suara pintu luar yang ia banting. Ya, Rabb ... aku tidak sanggup lagi.Sambil menangis pikiranku melayang memikirkan bagaimana aku bisa menghindari pernikahan ini. Aku harus pergi jauh dari rumah, bahkan dari desa ini. Orang-orang kenal dengan Tuan Steven. Kalau pria itu tahu aku pergi, ia pasti bisa menemukan.Ke mana aku harus pergi?***Sebulan telah berlalu dari makan malam itu. Bang Rizal sudah membeli lagi motor keluaran terbaru yang tentu saja harganya mahal. Lebih dari dua puluh juta, cash. Ia semakin gampang mendapatkan uang. Aku heran, entah mengapa Tuan Steven juga bersikeras i
Read more
Bab 9 : Bi Eli
Bang Rizal membentak sambil mencengkeram lenganku, menahan agar aku tidak lagi melakukan perlawanan.Air mataku menetes di sela cumbuan lelaki itu. Dia tidak sadar dengan apa yang diperbuatnya. Walau aku merindukannya, tapi aku tidak suka. Dia mabuk! Aku benci disentuh olehnya yang tidak sadar. Tapi ... tapi aku tak berdaya ... tenagaku tak sebanding dengannya.***Bang Rizal kembali tertidur lelap setelah melepaskan hasratnya kepadaku. Sakit ... tubuhku terasa sakit semua. Apalagi, hatiku. Lebih perih lagi kurasa. Aku terisak dengan pergelangan yang memerah bekas dicengkeram oleh Bang Rizal.Tidak ada kurasakan nikmat bercinta kali ini. Walaupun hati ini berharap hubungan kami membaik, karena perasaanku masih ada untuknya. Namun, keadaan mengubah semuanya. Rindu yang seharusnya terlampiaskan, tapi malah sama sekali tidak kurasakan manisnya.Aku beranjak dan bangkit dari tempat tidur dengan perlahan. Kuraih handuk yang sudah teronggok menyedihkan di lantai dan mengenakannya kembali
Read more
Bab 10 : Telepon
Deg!Meski sudah mempersiapkan diri, tetap saja suara ketus Bi Eli membuatku terkejut. Untungnya, aku dapat mengendalikan diri. Dengan cepat, kuraih dan kucium punggung tangan yang ia sodorkan ke arahku."Apa kabar, Bi?" tanyaku basa-basi."Ya seperti kamu lihat ini. Tiaaap hari repot. Untung aja si Hendi itu rajin, bantuin ngejemur pakaian. Ngarepin tuh, dua anak gadis, susaah banget, deh. Heran! Jam segini aja belum bangun. Matahari sudah tinggi begini," cerocos Bi Eli.Aku hanya bisa tersenyum mendengar celoteh bibiku itu. Aku sudah sangat paham. Memang kedua anak gadisnya bisa dikatakan malas bangun pagi. Habis shalat subuh, mereka dipastikan akan tidur kembali. Di masa sekolah aja begitu, sampai kadang terlambat, apa lagi kalau sedang libur begini."Sini aku yang goreng ikannya, Bi," ujarku menawarkan bantuan pada bibi.Tanpa ba-bi-bu Bi Eli langsung saja menyerahkan sutil yang ia pegang kepadaku. Kemudian ia mendaratkan bokongnya di kursi meja makan sembari menghela napas."Ikan
Read more
PREV
123456
...
15
DMCA.com Protection Status