All Chapters of Om, I Love You!!: Chapter 21 - Chapter 30
152 Chapters
Doubt
Wajah Aji menegang, rahangnya mengeras sempurna. Matanya memerah penuh emosi namun ia menahannya. "Jangan marah, ya ..." pinta Brisya memohon, ia menggenggam tangan Aji lebih erat."Kamu masih bisa magang di tempat papaku, kenapa harus magang sama orang, sih!" "Aku nggak mau ngerepotin kamu, Ji. Sudah cukup selama ini kamu ngasi segalanya buat aku," tukas Brisya hati-hati, salah ucap sedikit bisa saja Aji meledak. Aji menarik tangannya dari genggaman Brisya, lantas mengusap wajah dan rambutnya dengan kesal. Ia merasa tak berguna. Bahkan untuk hal kecil saja ia tak mampu membantu Brisya. "Aku cuma butuh support kamu sekarang, aku udah nggak bisa mundur lagi, Ji," pinta Brisya lirih, mengawasi Aji dengan harap-harap cemas."Aku ngerasa nggak berguna, Briy. Percuma rasanya ada aku kalo kamu masih minta bantuan orang itu." "Dia bukan orang, mendiang papanya om Haris dulu donatur tetap di Panti ini. Jadi mungkin dia pengin melanjutkan kebaikan papanya dengan membantu anak-anak di Pant
Read more
Another Warm
Brisya melempar slingbag-nya lelah, seharian ini benar-benar menguras emosinya. Namun yang lebih membuatnya sedih adalah sikap Haris yang tiba-tiba menjadi dingin. Tadi saat meeting sebelum pulang kerja, Haris bahkan membentak Brisya karena tidak meyelesaikan pekerjaannya. Brisya memang bertugas untuk promosi di media sosial, namun ia gaptek dan tidak tahu harus memulai dari mana.Ragu Brisya mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Aji membelikannya ponsel pintar yang mahal tapi Brisya bahkan tidak tahu cara mengoperasikannya selain digunakan untuk menelefon. Ia takut karena merasa barang itu bukan miliknya meski Aji sudah memberikannya. Saat tengah asyik melamun, tiba-tiba ponsel di tangannya bergetar, Brisya tersentak kaget hingga ponsel itu hampir saja terlempar dari tangannya. Aji is calling ..."Hallo.""Briy, nanti malam jalan, yuk! Aku jemput kamu jam 7, ya?" "Emang mau ke mana?" "Ada deh, surprise pokoknya," tukas Aji bersemangat. Brisya menarik napasnya pelan."Okey, ak
Read more
Desperate
Entah kebetulan atau memang sudah takdir, Haris keluar dari ruko untuk membuang sampah tepat di saat Brisya sedang berdiri menatap ke arah jendela kamarnya di lantai atas ruko. Tadinya Haris ingin menyapa, tapi saat ingat kejadian tadi siang, Haris urung menghampirinya. Ia tetap membuang sampah seperti biasa, namun rasa penasaran membuatnya hampir goyah. Apa yang Brisya lakukan malam-malam begini di luar?? Saat berbalik dan ragu untuk menghampiri Brisya atau tidak, sebuah sorotan lampu mobil dari arah berlawanan sontak membuat Haris membatalkan niatnya. Sepertinya ia tahu mobil siapa itu, mobil SUV hitam dengan plat nomor spesial. Haris menarik nafasnya berat, ada sakit yang ia rasakan. Lagi. Brisya kemudian masuk ke dalam mobil itu, dan Haris masih bisa melihat ekspresinya yang tampak riang. Saat mobil itu berlalu, Haris masih memastikan Aji yang menyetir sebelum kemudian ia berbalik masuk. Dengan tubuh gemetar, Haris mengunci pintu ruko dan beranjak naik ke lantai atas. Dadan
Read more
Shadow
Brisya tak bisa memejamkan mata meski jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Bayangan Haris tak bisa pergi dari benaknya. Entah mengapa ia begitu tergila-gila pada laki-laki yang hanya menganggap Brisya sebagai seorang adik, tak lebih. Apa karena Haris memperlakukannya berbeda? Apa karena Haris lebih sabar menghadapi Brisya? Tiba-tiba Brisya rindu bergurau dengan Haris. Sejak tunangannya itu datang rasanya Brisya hanya seperti bayangan. Brisya tak lagi bisa bermanja padanya. Tadi ketika berada di rumah Aji, pikiran Brisya tak bisa lepas dari Haris. Entah mengapa ia jadi sedikit menyesal saat melihat ekspresi Haris saat ia pergi dengan Aji tadi. Tapi bila Haris hanya menganggap Brisya sebagai adiknya, mengapa ekspresinya seperti tak rela? Brisya menghembuskan napasnya lelah, matanya mulai panas. Ia mulai mengantuk. "Briy, bangun, udah jam 6!" Lamat-lamat suara Bu Shila terdengar.Brisya menggeliat, membuka matanya yang terasa berat. "Kamu nggak kerja?" tanya Bu Shila heran."
Read more
Denial
Duk ... duk ... dukk ...Haris membenturkan kepalanya berulang kali ke dinding kamar mandi. Air dingin mengucur deras dari shower membasahi sekujur tubuhnya. Entah sudah berapa kali ia mendesah, merintih dan membenturkan kepalanya hingga keningnya terasa perih. Sungguh ia telah kehilangan kontrol. Bila harus menyesal atau bersyukur, ia sendiri bahkan lebih menyesali perbuatannya. Bagaimana bila Brisya jadi jijik padanya?? Bukankah sudah berulang kali ia memastikan pada Brisya bahwa gadis itu sudah seperti adiknya sendiri? Bagaimana mungkin Haris bisa seceroboh itu??Dhukkk!! Haris meringis menahan sakit, luka di lengannya masih terasa perih namun kini bertambah lagi di keningnya. "Stupid!!" rutuk Haris pada dirinya sendiri, ia mengusap keningnya pelan, sepertinya ada luka baru yang bertambah di tubuhnya. Hampir sejam lamanya Haris mengutuk dirinya sendiri di kamar mandi. Tubuhnya mulai menggigil. Lekas ia menarik handuknya dan beranjak. Pening di kepalanya kini berganti sakit. Ha
Read more
Somewhere
Mobil sedan hitam milik Haris sudah melaju jauh keluar dari tol. Brisya tak bersuara sejak tadi. Ia duduk di kursi belakang. Di depan Frans dan Haris sedang asyik mengobrol. Sesekali Brisya mengamati pantulan wajah Haris di kaca spion, ganteng sekali meski hanya mengenakan pakaian santai. Saat rapat kemarin harusnya Vico yang ikut keluar kota namun karena ibu Vico sakit-sakitan dan sering kambuh maka Brisyalah yang akhirnya harus ikut. Brisya memandang keluar kaca jendela, mobil mereka mulai melewati pegunungan dan bukit. Entah berada di kota apa ia sekarang. Brisya seperti dejavu dengan pemandangan ini. Tapi ia tak bisa mengingat apapun. Mobil Haris kini memasuki sebuah Hotel di pegunungan. Suasananya dingin dan sejuk. Mereka harus menginap karena hari sudah sore, besok mereka survei dan setelahnya langsung pulang. Haris memesan 3 kamar untuk mereka. Masing-masing kamar berbentuk rumah dengan jarak 3 meter di antara rumah yang lain. Baru kali ini Brisya menginap di tempat lain s
Read more
The Rain and You
Brisya merapikan kayu di perapian sebelum menyalakan api yang sudah ia siapkan. Haris tidur pulas sejak tadi, Brisya akhirnya mengalah dan membiarkan Haris tidur di tempat tidurnya. Sejak tadi Brisya mengurangi volume tivi setelah menyadari bahwa Haris sudah terlelap. Sekarang malah Brisya kedinginan, hujan membuat hawa menjadi semakin terasa seperti di kutub. Begitu kayu-kayu sudah tertumpuk rapi, Brisya segera menyulutkan api di antaranya. Tak butuh waktu lama, kamarnya mulai terasa hangat. Ragu Brisya mendekat ke tempat tidur, ia ingin melihat Haris yang sedang terpejam lebih dekat. Begitu manis dan tampan. Ingin rasanya Brisya memeluk tubuh yang sedang tidur meringkuk di balik selimut itu. Sepertinya Haris punya trauma dengan hujan hingga histeris ketakutan. Brisya tersenyum bila mengingat betapa paniknya lelaki kesayangannya itu tadi. Brisya menolehi jam di atas tivi, jam 10 malam. Berarti sudah 3 jam Haris tertidur. Hujan di luar belum juga reda meski tak sederas tadi. Brisya
Read more
Fear
Hujan semalam berhenti pada pukul 2 dini hari. Haris masih belum tidur saat itu, ia lantas kembali ke kamarnya dan beristirahat. Pagi sekali telefon dari resepsionis sudah membangunkannya untuk sarapan. Usai mandi dan berbenah Haris segera turun ke restoran dan menyantap sarapannya. Dia harus segera ke lokasi survei sebelum jam delapan. Brisya masih belum nampak. Haris masih sedih bila mengingat kejadian semalam. Kedua matanya pun sepertinya masih bengkak karena semalaman menangis. Semoga Brisya tidak menyadarinya bila bertemu Haris nanti. Saat sarapannya sudah habis dan Brisya belum juga muncul, Haris mencoba menelfonnya. "Halo.""Briy, kamu nggak sarapan?" tanya Haris cepat."Aku nggak laper, udah mau berangkat?" "Sarapan dulu, ya? Apa perlu aku bawain ke kamar kamu?""Nggak usah, aku nggak laper, kalo udah mau berangkat kabari aku!""Iya ini mau berangkat, sih. Jam 8 ditunggu di lokasi tapi kamu sarapan du—""Udah dibilang nggak laper!!" Tut..tutt..Haris mengawasi ponselnya s
Read more
Confession
Haris dan Brisya pada akhirny tertidur dengan tubuh saling berpelukan. Haris lelah karena semalaman tak bisa tidur, sedangkan Brisya memang gampang sekali tertidur pulas di manapun ia berada. Hujan sudah mulai reda, entah sudah berapa jam mereka tertidur. Brisya terbangun saat lamat-lamat suara ponselnya berdering, Haris akhirnya juga ikut terbangun. Ia mengurai pelukannya saat menyadari hujan sudah berhenti. Kaca mobilnya buram berkabut. Saat Haris telah beringsut duduk dan sedikit menggeser tubuhnya, Brisya lantas mengeluarkan ponselnya dari dalam tas.Aji is calling ...Sebaris nama yang muncul di layar membuat Brisya tertegun. Brisya lantas mengawasi Haris dengan keki, Aji pasti akan bertanya apa Brisya sudah pulang atau belum. Karena tak tahu harus mengatakan apa, akhirnya Brisya membiarkan ponselnya tetap berdering di tangannya. Namun, tiba-tiba Haris merampas ponsel di tangan gadis itu dan menon-aktifkannya. Tentu saja hal itu membuat Brisya kaget. "Aku pengin berdua saja d
Read more
Feeling Guilty II
Haris berhenti sejenak, ia menarik napas dan menatap Brisya dalam. Napas mereka telah sama-sama memburu."I love you," desis Haris entah yang keberapa kalinya.Brisya tersenyum tak menyahut. Ia sudah kepalang tanggung. Nafsunya sudah sampai di ubun-ubun. "Kamu yakin mau melakukan ini denganku??" tanya Haris dengan napas tertahan, lalu menghembuskannya pelan. Begini saja sudah membuatnya seperti mau mati karena kehabisan oksigen. Brisya tak menjawab, ia menarik Haris ke dalam pelukannya dan menciumnya lagi. Kali ini berganti Brisya yang menindih tubuh Haris. Brisya yang kecil dan ramping ternyata sanggup mendorong Haris dan menindihnya. Tentu Haris tak mau kalah, ia berguling dan kembali menindih Brisya hingga mereka sampai di ujung tempat tidur. Sekali lagi berguling mereka pasti terjatuh dari ranjang itu. Namun saat sedang asyik bergumul, tiba-tiba terdengar suara hujan di luar kamar, Haris berhenti sesaat. Ia menoleh ke jendela. "It's okey, Om, ada aku di sini!" bujuk Brisya s
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status