Share

Mantan Ibu Mertua

Ketika Stella terbangun di pagi hari dan keluar dari kamarnya, hendak ke kamar mandi untuk mencuci muka, dia dikejutkan dengan kehadiran Raelina yang sedang duduk di sofa ruang tamu dan menonton TV dengan lingkaran hitam di bawah kelopak matanya.

“Apa kau begadang semalam?” Stella duduk di sebelahnya setelah mencuci mukanya dengan membawa botol air dingin di tangannya. Dia masih memakai piyamanya.

Hari ini adalah hari Minggu. Dia mendapat jatah libur hari ini dan tidak pergi ke rumah sakit. Berbeda dengan Raelina yang mulai bekerja Senin besok.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Raelina dengan lesu. Dia dengan malas menonton berita pagi sambil bersandar di lengan sofa.

“Ada apa dengan matamu? Apa kau habis menangis?” Penglihatan Stella cukup tajam untuk melihat mata Raelina merah dan bengkak.

“Apa terjadi sesuatu kemarin?”

Semalam dia mendapat sift dan pulang larut malam hingga tidak memperhatikan Raelina saat dia pulang tadi malam.

Raelina menatapnya sesaat dan memeluknya tubuh rampingnya sambil mengeluh. “Aku memang tidak menyembunyikan apa pun padamu.”

Stella membusungkan dadanya dengan bangga. “Karena aku adalah orang yang peka. Jangan mengalihkan pembicaraan dan cerita apa yang terjadi selama kau pulang kampung?”

Satu-satunya hal paling menjengkelkan dari Stella, rasa ingin tahunya yang tinggi dan suka bergosip. Dia hampir seperti wartawan dengan segala ingin tahunya yang tinggi.

“Aku bertanya-tanya kenapa kau tidak beralih profesi menjadi wartawan saja.” Raelina bergumam pelan.

“Hehe, aku pernah mempertimbangkannya. Jadi apa yang terjadi kemarin?”

Dengan malas Raelina menceritakan pertemuannya dengan mantan suaminya dan curhat sedikit.

“Dia lagi?” Stella mendengus bosan dan mengalihkan pandangannya ke televisi setelah Raelina selesai bercerita.

Raelina mengangguk dengan cemberut.

“Kau ke sini untuk menata masa depan atau ingin mengulang kisah lama dengan mantan suamimu?”

“Tentu saja untuk menata masa depanku. Laki-laki itu hanya sekadar numpang lewat.” Raelina mengomel setelah mendengar kalimat terakhir Stella.

“Jadi kenapa matamu merah dan bengkak habis menangis?” sindir Stella.

Raelina cemberut tidak bisa membalasnya. Merasa sedih di dalam hati karena tidak mendapat hiburan dari sahabat terkasihnya.

Mungkin dia benar-benar bosan dengan cerita tentang mantan suaminya.

“Lupakan saja, hari ini hari Minggu. Jangan ganggu suasana hati dengan cerita menyedihkan. Ayo kita belanja di mal hari ini.” Stella berdiri sembari meregangkan tubuhnya yang ramping.

“Belanja? Yuk, lah!”

Raelina menjadi lebih bersemangat. Belanja adalah obat paling efektif untuk memperbaiki mood.

Tanpa menunggu Stella, dia bersenandung pergi ke kamarnya untuk mandi.

“Dasar.” Stella bergumam melihatnya begitu bersemangat. Dia juga pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap joging.

***

Waktu masih pagi tetapi mal sudah ramai oleh pengunjung. Mal akan selalu ramai setiap akhir pekan. Raelina dan Stella sudah berkeliling membeli beberapa barang. Tangan mereka penuh dengan beberapa paper bag berisi barang-barang yang mereka beli.

Keduanya berhenti sejenak di toko merek gaun yang mereka sukai dan berkeliling di dalam toko untuk mencari gaun yang menurut mereka menarik.

Raelina tertarik dengan gaun biru yang dipajang di tengah toko. Ketika dia meraba tekstur gaun itu sebuah tangan mungil juga menarik gaun itu dari tangannya.

 Dia menoleh dan melihat seorang gadis berwajah cantik juga menatapnya dengan ekspresi cemberut di wajahnya.

“Aku duluan yang melihat gaun ini.”

Raelina tertegun sejenak menatap wajah yang akrab di depannya.

Gadis itu adalah Arina, adik perempuan Yosua, sekaligus mantan adik iparnya.

Penampilannya tampak banyak berubah dari yang dia ingat. Arina menjadi lebih dewasa.

Raelina dan Arina seumuran tetapi ada beberapa perbedaan menonjol di antara mereka, seperti tinggi badan mereka. Tubuh Raelina tinggi dan langsing. Stella selalu mengatakan tubuhnya seperti model. Berbeda dengan Arina, dia tinggi badannya tidak berubah sejak dia mengenalnya.

Di masa lalu dia mungil dan langsing. Sekarang tubuhnya sudah berkembang kecuali tinggi badannya. Dia terlihat sedikit berisi dibandingkan dengan Raelina.

Cara Arina melihatnya tampak melihat orang yang tidak dikenalnya. Sepertinya dia tidak mengenal Raelina.

“Hei, bisakah kau melepaskan tanganmu. Jika robek kau harus mengganti ruginya!”

Sudut bibir Raelina tertarik menatap gadis itu datar.

Sikap kasar Arina sama sekali tidak berubah. Raelina mencibir dalam hati.

Arina tumbuh dan besar di dalam keluarga berpengaruh dan dihormati. Tetapi sikapnya sangat tidak mencerminkan seorang yang berasal dari keluarga yang dihormati. Dia selalu memandang rendah orang yang tidak sederajat dengannya.

Di masa lalu Raelina akan selalu mengalah padanya, membuat Arina merasa superior di depan ‘kakak iparnya’, dan selalu menggertaknya.

Tetapi sekarang dia tidak akan mengalah pada seseorang seperti Arina.

“Maaf Nona, apa kau sudah membeli gaun ini?”

“Belum.” Arina mengerutkan dahinya melihat perempuan di depannya. Dia merasa pernah melihat di suatu tempat.

“Lalu kenapa kau membuat klaim seolah gaun ini milikmu?”

“Karena aku melihat gaun ini duluan, tentu saja aku memilikinya.” Arina mengangkat dagunya angkuh dan memerintah seorang karyawan toko di sebelahnya. “Cepat bungkuskan gaun ini untukku.”

Raelina mendengus dan menahan gaun yang hendak diambil Arina.

“Maaf, apa kau mengerti istilah siapa cepat dia dapat?”

Karena Arina membuat klaim karena melihat gaun itu duluan maka dia menggunakan klaim juga.

Arina mengerutkan keningnya dan memelototinya. Tetapi ketika dia melihat perempuan itu lebih teliti, dia samar-samar mengingat seseorang dia kenal di masa lalu.

“Ah, aku ingat. Bukankah kau si udik bau itu?” Arina memandang Raelina dari atas ke bawah dengan heran dan menghina.

Sedikit terkejut dengan penampilan Raelina berbeda dengan yang dia ingat di masa lalu.

Benarkah, perempuan di depannya adalah gadis kampung yang memiliki wajah cokelat kusam?

Wanita di depannya cantik dengan bentuk tubuh proporsional. Wajahnya wajah putih mulus dengan make up tipis. Kulitnya lebih cerah dibandingkan dengan kulit Arina. Pakaian yang dikenakan Raelina bahkan sangat modis.

Arina merasa kurang percaya diri dan terhina berhadapan dengan Raelina. Bagaimana gadis kampung yang dulunya tidak bisa dibandingkan dengannya memiliki perubahan pesat dalam selera mode dan penampilan.

“Wow, kau sudah banyak berubah rupanya? Sulit mengenalimu sebagai gadis kampung!” sindirnya dengan tatapan menghina.

Ekspresi Raelina datar menatap tatapan menghina gadis di depannya.

“Ya, kau juga banyak berubah. Menjadi lebih cebol,” balasnya pedas.

Dulu tinggi badan mereka hampir sama. Jika mereka berdua berbicara, kepala mereka tentu akan sejajar. Lima tahun kemudian Raelina harus menunduk ke bawah untuk berbicara dengan Arina.

Tinggi Arina hanya sebatas dada Raelina dan itu membuat Arina merasa kecil setelah mendengar kalimatnya. Wajahnya memerah terbakar amarah.

Tinggi badannya merupakan masalah sensitif baginya. Di antara teman-temannya yang memiliki banyak perubahan pertumbuhan tinggi badan, hanya dia masih sama seperti saat SMA. Jika dia memiliki tubuh langsing, Arina akan percaya diri dengan tinggi badannya.

Tetapi dalam beberapa tahun tubuhnya menjadi lebih berisi dan itu membuatnya merasa gemuk di antara teman-temannya yang langsing seperti super model.

Tidak peduli seberapa banyak dia diet, lemaknya di tubuhnya akan mudah tumbuh setiap kali dia makan.

Kata-kata Raelina menyentuh titik sakitnya dan dia benci mendengar itu dari seseorang yang dia pandang rendah.

Arina memelototinya, sebelum dia bisa memarahinya seorang wanita paruh baya datang menghampirinya.

“Arina apa kau sudah mendapatkan gaun yang kau inginkan?”

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Dinata Akbar Faqih
seru sekali pokoknya
goodnovel comment avatar
Putri
mantan Mertua sama dengan lidah Mertua.
goodnovel comment avatar
Tato Kusdiyanto
lumayan bagus critanya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status