-6-
Setibanya di kediaman orang tua Nadine, sebuah mobil hitam mewah sudah terparkir di depan garasi. Theo mengarahkan mobil ke sebelah kanan dan berhenti. Segera turun dari mobil dan membukakan pintu untuk bos-nya, yang sebentar lagi akan menjadi pengantinnya.Nadine jalan memasuki rumah dari pintu samping yang berhubungan dengan garasi. Pekikan kecil terdengar dari bibirnya, saat tubuh tiba-tiba dirangkul dari belakang dan diiringi dengan jitakan kecil di kepala.
"Bagus, ya! Mau nikah nggak ngomong-ngomong!" protes suara berat yang sangat dikenal.
"Aduh, sakit tau, Ko!" hardik Nadine sembari membalikkan badan dan balas memeluk sang koko.
"Rasain! Bisa-bisanya aku dilangkahi begitu aja. Untung tadi Mami langsung nelepon, jadi bisa cepat-cepat ke sini," sahut pria bertubuh sedang itu seraya tersenyum lebar. Mendaratkan kecupan di dahi sang adik dan kembali memeluknya.
"Ehm, Ko, engap!" protes Nadine yang membuat kokonya terkekeh.
"Permisi," ucap Theo sambil jalan memasuki ruang tengah.
Seorang perempuan muda langsung menyalaminya dan mendaratkan kecupan di pipi kanan dan kiri, yang membuat Theo seketika merasa rikuh. "Kamu tega banget, Theo. Udah bikin aku kayak gini, ehh malah mau nikahin adik ipar. Jahat!" seru perempuan yang sedang mengandung itu sambil memukul-mukul dada Theo dengan gerakan slow motion ala sinetron.
"Cici!" hardik Nadine.
Perempuan berambut sebahu yang tak lain adalah Celina, menoleh dan berpura-pura merapatkan tubuh ke dada Theo. "Apa sih, Na? Biarin cici begini atuhlah, bawaan orok yeuh," balasnya dengan bahasa Sunda yang sangat fasih. (orok = bayi)
Celina adalah seorang perempuan keturunan Tionghoa dan Sunda. Pernikahannya dengan Samuel, kakak angkat Nadine tiga tahun yang lalu, menjadikan dirinya cukup dekat dengan Nadine dan keluarga. Saat ini Celina sedang mengandung buah hati pertamanya yang berusia lima bulan.
"Udah, jangan berantem rebutan cowok, mending kita makan, mami udah lapar," sela Bu Rianti sambil menggamit lengan suaminya dan jalan ke meja makan.
"Ayo, Sayang, suapin aku, ya," pinta Celina dengan manja pada Theo yang membalas dengan senyuman lebar. Sementara Nadine hanya bisa mengelus dada menjadi bahan candaan sang kakak ipar.
"Sejak kapan kalian pacaran?" tanya Samuel sambil berbisik.
"Tiga bulanan, Ko," jawab Nadine dengan berbisik pula.
"Loh, dua bulan lalu kalian ke Bandung kok nggak bilang-bilang?"
"Masih dirahasiakan itu, aku pengen mastiin dia serius atau nggak."
Samuel berhenti jalan dan memandangi wajah adiknya dengan lekat. "Kalau sekarang, sudah yakin?" tanyanya.
Nadine menoleh sekilas dan beradu pandang dengan Theo yang sudah duduk di kursi sebelah Celina. Tatapan hangat pria itu membuat sudut hatinya mencair.
"Iya, Ko, semoga dia yang terbaik untukku," sahut perempuan berleher jenjang itu seraya mengulaskan senyuman.
"Koko hanya berharap yang terbaik buatmu, Na. Kita harus memastikan bahwa orang yang akan menjadi pendamping itu benar-benar mencintai kita, bukan harta."
Nadine mengangguk, sangat paham maksud perkataan kokonya. "Aku mengenalnya cukup lama, Ko, bukan hitungan hari. Selama ini, cuma dia yang tahan banting dengan kelakuanku yang aneh," jelasnya, berharap sang koko bisa memahami maksud ucapannya tersebut.
"Oke, sepertinya koko memang harus merelakan kamu menikahi lelaki pilihan. Karena sejak tadi tatapan kalian itu mengisyaratkan cinta," ucap Samuel sambil merangkul pinggang adiknya dan kembali melangkah menuju meja makan.
Sepanjang acara makan malam, pikiran Nadine seolah-olah melayang tak tentu arah. Dia sedikit kaget karena Samuel mengatakan bahwa tatapannya dengan Theo adalah tatapan cinta.
Nadine nyaris tidak mendengarkan obrolan yang lainnya karena terlalu sibuk memperhatikan Theo. Pria itu sesekali balas melirik dan membuat hatinya berdebar kencang.
"Sssttt. Melamun. Jawab atuh pertanyaan Papi," ujar Celina sambil melambaikan tangan di depan wajah Nadine yang seketika tergagap.
"Eh, apa, Ci? Gimana?" tanya perempuan berparas cantik itu dengan tatapan bingung. Semburat merah di pipinya muncul saat yang lain mentertawakannya.
***
Keesokan harinya, tepat pukul 10 pagi Nadine dan Theo berpamitan pada keluarga. Keduanya berjanji akan datang kembali bersama dengan orang tua Theo secepatnya.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang menembus keramaian jalan Kota Bogor. Kota yang terkenal sebagai kota hujan ini semakin ramai dikunjungi para pelancong dari daerah lain, terutama dari Jakarta dan sekitarnya.
Setibanya di sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Korea, kedua orang tersebut memasuki ruangan yang ditata dengan apik dan sangat menarik. Seorang pelayan laki-laki mengantarkan mereka ke ruangan khusus VVIP, di mana Hera, sahabatnya Nadine telah menunggu.
"Sayang, aku ikut bahagia," sambut Hera dengan pelukan hangat.
"Makasih, Sayang," jawab Nadine. Menjauhkan diri sejenak dan memandangi wajah sahabatnya itu yang semakin membulat. "Sepertinya kamu sangat bahagia setelah menikah dengan Andi," ujarnya.
"Ssstt, jangan keras-keras ngomongnya, nanti hidungnya tambah mekar," sahut Hera.
Andi yang tengah bersalaman dengan Theo pun berbalik dan menatap kedua perempuan itu dengan tatapan lembut. "Akuilah, Sayang, kamu memang bahagia denganku," ucapnya dengan penuh percaya diri.
"Tuh 'kan, kubilang juga apa," keluh Hera.
Nadine tersenyum lebar, dalam hati merasa ikut berbahagia dengan pernikahan kedua sahabatnya itu. Mereka bertiga, Santi dan Elsa sudah bersahabat sejak lama.
Tidak ada yang menyadari bahwa Andi sudah lama menyimpan rasa pada Hera. Pria humoris itu sangat pandai menutupi hatinya. Saat tiba-tiba dia melamar Hera tahun lalu, Nadine, Santi dan Elsa pun terkejut.
Hera yang saat itu baru putus dengan pacarnya, sempat ragu-ragu untuk menerima lamaran Andi. Namun, berkat bujukan Nadine dan kedua sahabat lain, akhirnya Hera mau menerima lamaran pria bermata bulat tersebut.
"Oke, sekarang mari kita bahas konsep pernikahan yang kamu mau," ucap Hera, sesaat setelah obrolan basa-basi mereka berakhir.
"Aku cuma pengen pernikahan sederhana, Ra. Hanya orang-orang terdekat yang hadir. Tidak mau pesta mewah," jelas Nadine dengan lugas.
"Oke, sudah menentukan temanya?" tukas Hera.
"Romantic wedding, bertabur bunga di mana-mana. Ehm, kalau bisa, bunga tulip."
"Wow, that's a good idea, Honey. Aku suka!" seru Hera sambil bertepuk tangan.
"Rencananya mau diadakan di mana?" sela Andi.
"Itu dia, An. Aku sih pengennya di resort aja. Ruang terbuka hijau, garden party gitu. Di sini aja, karena kalau di Jakarta agak sulit dilakukan karena waktunya mepet," terang Nadine.
"Sudah ketemu resortnya?" Andi bertanya kembali.
"Aku udah nentuin satu tempat di sini," timpal Theo yang membuat ketiga orang itu menoleh padanya.
***
Seusai pembicaraan seru dengan Hera dan Andi, Nadine dan Theo berpamitan untuk segera pulang ke Jakarta. Sengaja memilih waktu siang hari untuk pulang, karena sore dan malam hari jalan tol akan sangat padat.Selama perjalanan Nadine tertidur pulas. Meninggalkan Theo sendirian dan hanya ditemani suara radio. Setibanya di rumah mungil milik Theo di daerah Bekasi, pria bertubuh tinggi itu mengusap bahu Nadine dengan lembut.
"Na, kita sudah sampai," ucapnya pelan.
Nadine menggeliat dan memicingkan mata, saat sinar mentari menyorot tajam ke arahnya. Perempuan berparas cantik itu mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa dia sudah berada di depan rumah Theo.
"Kok kita ke sini?" tanyanya dengan bingung.
"Ini rumah kita sekarang," jawab Theo sembari membuka pintu dan beranjak ke luar.
-7-Pria berparas manis itu memutari mobil dan membuka pintu bagian penumpang. Membantu Nadine yang masih terkaget-kaget itu untuk turun."Aku mau pulang ke apartemen," pinta Nadine."Nanti malam kuantar, sekarang di sini dulu. Aku mau istirahat, capek," balas Theo sambil membuka pintu bagian belakang dan mengangkat dua tas travel mereka.Pria bertubuh tinggi itu melangkah menaiki teras rumah bercat biru gelap tersebut, merogoh saku dan mengeluarkan beberapa kunci. Memasukkan salah satunya dan membuka pintu."Ayo," ajaknya pada Nadine yang masih mematung.Theo melangkah masuk dan menyalakan kipas angin besar di langit-langit ruangan. Nadine menyusul dengan ragu-ragu dan duduk di kursi sederhana. Memindai sekeliling ruangan dengan perasaan campur aduk.Pria berambut cepak itu berbelok ke kiri dan memasuki kamar utama. Menyalakan pendingin udara setelah sebelumnya meletakkan kedua tas travel di lantai.&n
-8-"Apa kamu mau nginap di sini?" tanya pria itu seraya mengulaskan senyuman."Ehm ... oke. Tapi, besok berarti kita harus bangun pagi-pagi banget. Karena aku ada rapat penting," jawab Nadine dengan suara pelan.Tatapan Theo seolah-olah membiusnya untuk tetap diam dan tidak memberontak saat bibir pria itu menyusuri pipi hingga telinganya. Tanpa sadar tangan Nadine terangkat dan merangkul leher Theo.Pria itu merapatkan tubuh dan mendaratkan kecupan di dahi dan bagian lain wajah ayu perempuannya. Deru napas hangat keduanya berpadu dengan isapan lembut. Nadine meremas rambut Theo dan membiarkan pria itu menguasai bibirnya.Tiba-tiba Theo mengangkat tubuh Nadine dan menggendongnya. Berjalan menuju kamar tanpa menghentikan ciuman panas mereka. Mendudukkan perempuan itu di atas meja rias dan menyusuri setiap lekuk tubuh dengan tangan terlatih.Dengan gerakan cepat semua yang menutupi tubuh pun terlepas. Theo merunduk
-9-Nadine mendengkus sambil mengalihkan pandangan ke arah lain. Merasa kesal dengan sosok Bagaskara yang masih saja ngotot untuk tetap tinggal di ruangan itu.Perempuan berkulit putih itu akhirnya jalan kembali ke meja kerja. Menarik tas miliknya dan melangkah ke luar. Mengabaikan sosok Bagaskara yang seketika berdiri."Na, tunggu!" seru Bagaskara sembari jalan mendekat.Nadine tidak mengindahkan panggilan tersebut dan terus melangkah cepat memasuki ruang rapat, yang berada di ujung kanan lorong.Beberapa orang yang sudah lebih dulu tiba, segera berdiri dan mengangguk sopan pada Nadine. Bagaskara yang rupanya menyusul, dijegal Santi tepat di depan pintu."Kamu nggak bisa masuk, karena ini rapat intern perusahaan," ujar Santi dengan suara tegas."Urusanku dengan Nadine belum selesai." Bagaskara masih bersikeras untuk bisa masuk, tetapi dua orang pria berseragam safari hitam langsung menahan diri
-10-"Ada ilernya," canda Theo sambil menyentuh sudut kanan bibir Nadine yang masih membeliakkan mata."Ihh! Kebiasaan jahilmu itu nggak hilang-hilang," sungut Nadine sembari menggeser tangan Theo. Kemudian menarik laci meja dan mengeluarkan cermin. Meneliti penampilannya yang memang agak kusut. Meraih sisir dan mulai merapikan rambut.Nadine tersentak saat merasakan tangan Theo yang mengambil alih sisir dan merapikan rambutnya dengan tenang. Senandung lagu khas Melayu terdengar dari bibir penuh pria tersebut, dan tak urung membuat Nadine tersenyum."Kamu ... ternyata romantis, ya," ucap Nadine."Ehm, hanya untuk orang-orang tertentu," jawab Theo. Dia meletakkan sisir ke meja dan memutar tubuh Nadine hingga sekarang mereka saling berhadapan. "Kamu sebentar lagi akan menjadi istriku. Sudah sepantasnya aku bersikap romantis padamu," lanjutnya dengan mengulum senyum.Nadine menelisik raut wajah Theo yang tampa
-11-Fenita mematung di tempat. Susah payah dia menahan diri untuk tidak menangis. Pelupuk mata yang panas memaksanya untuk mundur dan menyandar ke dinding. Berusaha sedapat mungkin untuk mencoba tidak menjatuhkan nampan yang dibawa.Perempuan berambut sebahu itu mengusap mata dengan kasar. Menekan ujung hidung dengan lengan baju. Menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan beberapa kali sebelum akhirnya kembali melangkah memasuki ruangan fitting tersebut."Permisi," ucapnya dengan suara nyaris tidak terdengar.Ketiga pasang mata sontak menoleh. Rina tersenyum dan meminta Fenita untuk meletakkan nampan berisi tiga cangkir teh chamomile di atas meja di dekat sofa."Makasih," ucap Nadine seraya menyunggingkan senyuman.Fenita mengangguk pelan dan segera berbalik. Tidak berani menatap pada sepasang mata beriris hitam yang memandanginya dengan tatapan sedih.Perempuan itu jalan ke luar dan k
-12-Pagi-pagi sekali Fenita sudah bangun. Dia bergegas membersihkan diri dan terpaksa harus mengenakan pakaian yang sama dengan kemarin, karena waktu diculik Theo tadi malam, Fenita tidak membawa pakaian ganti.Saat ke luar dari kamar mandi, tatapan gadis itu bersirobok dengan Theo yang tengah menggaruk-garuk kepalanya di kursi ruang tamu. Pria bertubuh tinggi itu menyunggingkan senyuman dan membuat Fenita sedikit malu."Mau dibuatin sarapan?" tanya gadis tersebut sembari merapikan rambut."Ehm, boleh. Kopi hitam, gulanya dua sendok. Ada roti di atas kulkas. Bisa tolong buatkan telur ceplok?" Theo balas bertanya sambil berdiri dan jalan mendekat."Bisa, mau berapa?""Dua, aku pengen makan itu dan disiram dengan saus sambal."Fenita mengangguk mengiakan, kemudian membalikkan tubuh dan hendak beranjak dari tempat itu. Namun, gerakannya tertahan karena tangan Theo telah melingkari pinggangnya.&nbs
-13-Theo menghentikan gerakan membuka kaitan celana panjang saat menyadari tengah diperhatikan oleh Nadine. Pria berhidung mancung itu mengulaskan senyuman tipis, kemudian beranjak mendekat dan duduk di ujung kaki Nadine."Kenapa? Aku seksi, ya?" canda Theo yang dibalas Nadine dengan dengkusan."Kamu bisa sesantai itu, nggak malu sama aku?" Nadine balas bertanya."Buat apa malu? Kamu udah lihat dan merasakan dalamnya." Tawa Theo bergema di ruangan itu saat melihat Nadine mendelik ke arahnya."Udah, ahh, jangan ngajak debat. Apa kamu punya makanan? Aku lapar." Nadine memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke bantal, tidak menyadari bila lehernya terekspos sempurna dan membuat Theo menelan ludah.Pria itu merutuki diri yang selalu tidak sanggup menahan gairah bila melihat Nadine. Entah disadari atau tidak, perempuan itu membuatnya selalu ... horny."Ehh, bukannya kita punya daging di freez
-14-Mood Nadine yang belum membaik membuatnya sangat sensitif. Tatapan tajam diarahkannya pada orang-orang yang membuat dia senewen. Tidak terkecuali dengan Theo.Pria bertubuh tinggi itu hanya bisa mengelus dada saat menghadapi sikap judes Nadine. Beberapa kali dia mengajak bicara, tetapi jawaban Nadine yang pendek dengan suara yang terdengar ketus, membuat Theo akhirnya memilih untuk diam."Aku mau ke klub," ujar Nadine saat mereka baru saja tiba di apartemen. Dengan santainya dia melucuti pakaian sembari jalan memasuki kamar mandi.Theo tidak menjawab dan memilih untuk menuruti permintaan perempuan itu. Sembari menunggu Nadine membersihkan diri, Theo menyalakan televisi dan duduk di sofa dengan santai.Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka. Nadine ke luar dengan mengenakan jubah mandi. Rambut basahnya tergerai di belakang punggung. Melangkah menuju kamar sembari menggosok-gosok rambut dengan handuk.&nbs