Share

Lessons of Love
Lessons of Love
Author: Annabella Shizu

1

"El, El... Arah jam tiga, El... Ada cowok bule, cakep banget...," Mia berbisik sambil menyenggol, atau lebih tepatnya, menendang kaki Elora di bawah meja kafe.

"Aduh…! Apaan sih, Mi?" Elora menggertakkan gigi saking kesalnya. "Sakit, tau...!"

"Liat dulu dong... Kananmu...," Mia masih berbisik, sambil melirik ke kanan. Tapi ia menutupi wajahnya dengan naskah milik Elora yang ada di atas meja.

Elora ikut melirik ke kanan mejanya. Ada beberapa orang cowok sedang duduk-duduk sambil ngobrol, gelas-gelas kopi tergeletak di atas meja mereka. Salah satunya, cowok bule yang disebut Mia.


Mia memang punya selera yang bagus terhadap cowok, Elora harus mengakui. Cowok bule itu tinggi, kulitnya putih, matanya biru, dan badannya tegap. Tapi... Elora melihat sebatang rokok terselip di bibirnya.

"Ah, nggak, nggak...! Dia ngerokok...," Elora langsung mengomel. 

Ia memalingkan wajahnya, tepat saat cowok bule itu menoleh ke arahnya.

"Ampun deh... Emang kenapa kalo ngerokok?"

"Mi, aku kan udah ngomong berkali-kali, aku nggak mau sama cowok yang ngerokok... Kamu nggak ingat? Papaku sama kakekku meninggal gara-gara kanker paru. Aku nggak mau nasibku sama kayak Mama, ditinggal waktu anaknya masih kecil-kecil...," Elora masih mencerocos dengan nada kesal. 

Ia kembali fokus ke laptop di depannya, membenarkan letak kacamata bacanya, dan mulai mengetik lagi. Besok pagi, naskah acara talk show ini sudah harus disetor ke supervisornya untuk diedit, dan diberikan ke bagian produksi.

"Eh, namanya umur tuh nggak ada yang tau... Banyak yang ngerokok bertahun-tahun, tapi nggak mati juga. Itu buktinya, Aki-ku di kampung. Abahku juga ngerokok, Danu juga...," terakhir Mia menyebutkan nama pacarnya.

"Ah, udah deh, Mi... Ini bukan waktunya bahas kayak gitu. Aku udah deadline, nih... Kalo sampai besok nggak selesai, kamu tau sendiri si Raras kayak apa…" 

Elora menopang kepala dengan kedua tangannya, berharap bisa membantunya untuk fokus.

"Kamu itu sih, terlalu gila kerja... Katanya minta dicariin pacar. Giliran ada cowok bagus gitu, kamu cuekin aja. Malah lebih pentingin kerjaan...," Mia gantian mengomel. 

"Kamu nggak usah ikut-ikutan gitu ah, Mi... Lama-lama, kamu tuh jadi mirip Kak Laura...,” balas Elora.

Mia mengangkat bahunya, lalu kembali fokus pada ponsel di tangannya, ia sedang menonton video tutorial make-up. Mereka berdua sudah duduk di kafe itu tiga jam lebih, sejak pulang kantor tadi, cuma buat minum segelas minuman, dan memanfaatkan WiFi kafe untuk menyelesaikan urusan mereka masing-masing.

Elora menghela nafas panjang. Memangnya kenapa kalau dia belum punya pacar di usianya yang sudah 30 tahun? Memangnya kenapa kalau dia mementingkan pekerjaannya yang sudah dikejar deadline, supaya tidak diomeli oleh supervisornya?

Jam sembilan malam, Elora dan Mia baru balik ke rumah mereka. Rumah mungil berlantai dua itu peninggalan orang tua Elora dan kakak perempuannya, Laura. Kedua orang tua mereka sudah meninggal. Sejak Kak Laura menikah tiga tahun yang lalu, dan tinggal di rumah suaminya, otomatis Elora hanya tinggal sendiri di rumah itu. Elora, yang takut tinggal sendirian, lalu menyewakan kamar di lantai dua rumahnya itu kepada Mia, teman sekantornya di Max TV. Lumayan untuk tambahan penghasilan bulanan. Lagipula, dia dan Mia sudah berteman akrab sejak mereka sekantor. 

Elora lebih dulu bekerja di Max TV sebagai penulis naskah di tim kreatif, Mia menyusul masuk tiga tahun kemudian, sebagai penata rias. Entah kenapa, mereka berdua cepat akrab, dan terus bersahabat sampai sekarang.

Di dalam kamarnya, Elora memandangi wajahnya sendiri di depan cermin. Rambutnya hitam tebal, panjang, dan bergelombang. Alisnya sedikit ketebalan dan tidak rapi, kata Mia. Matanya bulat lebar. Mia bilang, dia harus lebih rajin memakai serum mata, untuk menyamarkan lingkaran hitam di bawah matanya. Tapi, itu memang kekurangan punya mata besar. Cuma kurang tidur semalam bisa membuat matanya kelihatan seperti panda. Matanya minus seperempat, dia cuma pakai kacamata kalau mau membaca atau mengetik di laptop. Apa kacamata juga membuat dia tidak menarik? 

Hidungnya lumayan mancung, biarpun tidak sesempurna hidung Scarlett Johansson. Bibirnya yang mungil, lagi-lagi menurut Mia, adalah salah satu kekurangannya. Karena cowok suka cewek berbibir sensual, seperti Kylie Jenner. 

Kulitnya kuning langsat, bersih mulus, tak bermasalah dengan jerawat, cuma kadang-kadang kalau menjelang tamu bulanannya. Bentuk wajahnya agak bulat, dengan dua lesung pipi, dan dagu kecil. Tubuhnya tidak kurus, juga tidak gemuk. Tingginya 165 sentimeter, bodinya juga tidak aduhai seperti Gigi Hadid, tapi dia toh memang bukan seorang model.

Elora menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Apa sih yang salah dengan dirinya? Kenapa sampai sekarang belum ada cowok yang suka dengan dia? Jangankan pacar, yang mendekati saja tidak ada. Apa dia benar-benar sangat tidak menarik? Tapi dia merasa dirinya tidak jelek-jelek amat. Malah Mama dulu sering memujinya cantik. 

Ah, mendadak Elora jadi kangen dengan Mama. Wanita paling baik di dunia bagi Elora itu sudah meninggal, waktu umur Elora 15 tahun. Kak Laura waktu itu berumur 16 tahun. Sejak itu, dunia seperti berubah 180 derajat bagi mereka. Karena mereka berdua belum mencapai usia dewasa menurut hukum, yaitu 18 tahun, mereka masih harus tinggal bersama wali mereka. Om Hilman, adik kandung Mama, yang menampung Elora dan Kak Laura di rumahnya. Bukannya tak berterima kasih, tapi Elora terus terang tidak betah tinggal bersama keluarga Omnya itu. Istri Om Hilman, Tante Fey, yang jadi penyebab utamanya.

Karena tidak betah, Elora dan Kak Laura terbiasa bekerja mencari uang sendiri. Mereka kerja serabutan, kadang di minimarket, di rumah makan, di kafe, atau di mana saja, yang mau memberi mereka kerja part time sepulang dari sekolah. Tujuannya sudah pasti mengumpulkan uang, supaya jika usia mereka sudah dianggap cukup dewasa, mereka bisa segera angkat kaki dari rumah Om Hilman, kembali ke rumah orang tua mereka, dan membiayai hidup mereka sendiri. 

Keinginan mereka itu baru bisa terwujud saat usia Elora 18 tahun. Tiga tahun tinggal di rumah sang paman sudah cukup bagi mereka. Bahkan, walaupun masih harus susah payah mencari kerja, mereka lebih memilih hengkang, dan tinggal berdua di rumah orang tua mereka. Sejak itu, kerja keras dan perjuangan sudah jadi makanan mereka sehari-hari, untuk bisa sampai ke saat ini. 

Sekarang, Kak Laura sudah hidup bahagia dengan suaminya, Colin Crosswell, seorang pria Amerika, yang sudah lama tinggal di Indonesia, pemilik kafe Cross Coffee. Lebih tepatnya, Kak Laura menikahi bosnya sendiri, saat dia bekerja sebagai waitress di kafe itu. Kini, mereka berdua sibuk mengurus bisnis, dan sedang menunggu kelahiran anak pertama mereka.

Elora sudah bosan dicereweti terus oleh Kak Laura, setiap kali mereka bertemu, apa lagi kalau bukan soal pacar. Sebenarnya, dia dan Kak Laura selalu akrab dan saling sayang. Tapi, namanya juga saudara, mereka pun sering ribut soal hal sepele.

*

"Ini terakhir kalinya ya, kamu telat! Lagian lama amat sih, cuma setor naskah kayak gini?" Supervisor tim kreatif, Raras, sudah menyambut Elora dengan omelan pagi-pagi, waktu dia menyerahkan naskahnya. 

"Lho, telat gimana sih? Deadline-nya kan emang hari ini, Ras?" protes Elora. 

"Eh, kalo dikasi deadline hari ini, nyetornya tuh sebelum deadline! Ini kan masih mau dicek, diedit. Makin cepat makin baik, biar Pak Iyan nggak tambah ngomel..."

Elora diam saja mendengar ocehan Raras. Dia sudah tahu, cewek itu suka cari muka di depan produser eksekutif mereka, Pak Iyan. Padahal, Raras baru masuk ke tim kreatif ini dua tahun yang lalu, tapi karena dia punya gelar S1 di bidang jurnalistik, dialah yang jadi supervisor. 

Elora sudah delapan tahun kerja di Max TV, tapi posisinya masih begitu-begitu saja, karena dia hanya lulusan SMK Broadcasting dan Film. Awalnya, dia pernah ditempatkan jadi reporter, lalu di tim produksi, sampai akhirnya masuk ke tim kreatif, setelah dia mengikuti kursus penulisan naskah. 

Elora sebenarnya memang suka menulis naskah, tapi terkadang tuntutan atasan, seperti Raras atau Pak Iyan, yang membuat dia tidak bisa menikmati pekerjaannya. Mau bagaimana lagi? Seandainya dia punya uang, dia juga ingin bisa kuliah. Tapi, gajinya dari pekerjaan yang sekarang saja sudah pas-pasan untuk biaya hidup sebulan.

Raras dan Pak Iyan berjalan keluar dari ruangan produser, Pak Iyan terlihat mengangguk-angguk puas. Seperti biasanya, Raras yang mendapatkan semua pujian.

"Si muka tebal lagi? Cuekin aja, El...," Vania yang bersuara, rekan Elora sesama penulis naskah, tapi dia spesialis menulis naskah miniseri dan komedi situasi. 

Dia menggamit lengan Elora, supaya mengikuti dia berjalan ke arah ruang pantry. "Mendingan ngopi dulu, biar hati adem..."

Ruang pantry memang tempat nongkrong kesukaan para karyawan status 'menengah' seperti mereka, maksudnya mereka yang tidak punya jabatan tinggi. Di sini aman, karena orang-orang seperti Raras dan Pak Iyan tak mungkin masuk ke situ, tidak level bagi mereka.

"Kemarin aku juga kena omel, gara-gara rating Angkot Asmara turun. Giliran dulu ratingnya lagi nanjak, si muka tebal yang dipuji... Dasar!" Vania mengumpat kesal. 

Ia sudah mulai menuangkan air panas dari termos ke mug berisi bubuk kopi, lalu mengaduknya.

Elora hanya tersenyum kecut. Muka tebal, itu julukan yang diberikan Vania untuk Raras, entah karena make-up wajah Raras yang selalu tebal, atau karena sifat tidak tahu malunya.

"Kopi?" tanya Vania, sambil menyodorkan sachet kopi yang dibawanya. "Eh, aku lupa, kamu kan nggak minum kopi," sambung Vania.

Elora menghela nafas. "Kalo aku punya uang, aku pingin lanjutin kuliah, Van... Biar nggak kayak gini terus. Jadi bawahan, disuruh-suruh terus. Tapi, tau sendiri lah gaji di sini, boro-boro bisa punya uang buat kuliah lagi. Tiap bulan aja udah susah payah buat biaya hidup...," curhat Elora.

"Mmm... Bener banget," Vania langsung menyambung. Kopinya, yang sudah diminum seteguk, diletakkan lagi di meja. "Apalagi aku yang punya bontot dua. Gaji aku sama penghasilan suami digabung aja, masih keteteran ngaturnya... Tiap tahun, gaji naik sih naik, tapi cuma lima persen. Sedangkan harga barang di luar sana? Naiknya bisa lebih dari sepuluh persen," keluh Vania.

Elora tahu suami Vania bekerja sebagai driver ojek online, dan sudah punya dua anak, di usia Vania yang 28 tahun.

"Makanya, El... Mumpung kamu belum nikah nih...," mendadak Vania menyinggung topik yang gampang membuat kuping Elora jadi panas. "Aku saranin ya, cari suami yang udah mapan..." Vania menatap tepat ke mata Elora. Wajahnya jadi serius.

"Biar hidup kamu nggak susah. Habis nikah itu, kebutuhan jadi banyak banget, belum lagi kalau punya anak. Kalo aku sih, mau gimana lagi? Namanya udah telanjur cinta sama suami, pacaran dari SMP..." Vania tertawa datar.

Rekannya itu sebenarnya tak perlu mengingatkan lagi, Elora sudah tahu bagaimana rasanya hidup susah, tak punya uang, dan harus berjuang satu hari demi satu hari, sejak kedua orang tuanya meninggal.

"Eh, betewe nih, aku dengar kalo UP-News lagi buka lowongan... Kamu coba aja gih...," celoteh Vania lagi. 

UP-News adalah sebuah stasiun TV terkenal, yang lebih banyak mengkhususkan diri pada berita, film pendek, dokumenter, dan acara pengetahuan. Kerja di UP-News bisa dibilang impian bagi para pekerja di dunia jurnalistik, karena standarnya yang tinggi, termasuk juga gajinya. 

"Aku dulu udah pernah lamar ke situ, tiga kali, tapi nggak pernah keterima," Elora menanggapi dengan wajah lesu. 

"Masa sih?" Vania mengerutkan dahi. "Tapi, emang di situ standarnya lebih tinggi sih... Gajinya juga bisa dua kali lipat dari di sini."

Vania menopangkan tangan di dagunya. "Jujur, aku capek hati kerja di sini... Tapi, mau gimana ya? Hari gini cari kerja susah, mau nggak mau, betah-betahin sama gaji di sini..."

Keluh kesah dan rasa tidak puas seperti sudah jadi santapan Elora tiap hari di kantornya. Kalau bukan Vania, kadang Mia yang curhat, atau Mpok Ipeh, office girl di situ. Mereka juga sadar, Max TV pun sedang berjuang untuk bisa bertahan, di tengah padatnya persaingan stasiun TV zaman sekarang. 

*

Elora berjalan dengan cepat melewati studio 1, tempat syuting talk show, tapi Raras lebih cepat melihatnya.

"El…!" panggil Raras. "Kamu harus stand by di sini, kalo ada butuh apa-apa."

"Nggak bisa, Ras… Aku masih mau ngerjain naskah buat infotainment besok," Elora beralasan.

"Aku juga masih ada kerjaan di tempat lain. Kamu bantuin di sini ‘napa?" Raras terus memaksa.

Elora sudah tahu kebiasaan buruk Raras. Dia sering menyuruh anggota timnya untuk mengerjakan tugas di luar tugas utama mereka, yang seharusnya adalah tugas dia sebagai supervisor. Kali ini, Elora yang kena sialnya. Raras menggamit lengan Elora supaya masuk ke dalam studio 1, lalu dia sendiri pergi entah ke mana.

"El…!" panggil sebuah suara. 

Elora memejamkan matanya, berharap dia bisa menghilang saja, supaya tak usah bertemu si pemilik suara. Dia membalikkan tubuhnya dengan enggan.

"El… Kamu kok nggak pernah ke rumah lagi sih? Papa suka nanyain tuh...," tanya cewek yang berdiri di hadapan Elora.

Rambut cewek itu hitam panjang, dan di-curly bagian bawahnya. Alisnya tebal, matanya besar, hidungnya mancung, bibirnya pun sensual. Bodinya, kalau istilah anak muda sekarang, semok, alias seksi montok. Dia lebih pendek daripada Elora, tapi high heels yang selalu dipakainya membuat dia tampak seolah lebih tinggi. 

"Hai, Tris... Sorry, aku sibuk terus..."

"Alaaa... Gaya banget sih... Cuma kerja kayak gini aja sok sibuk...," omel Trista. Matanya menatap dengan tatapan tidak suka, tangan kanannya berkacak pinggang.

Cewek itu Trista Calista, adik sepupu Elora, anak tunggal Om Hilman. Kebetulan, dia juga presenter untuk talk show yang naskahnya ditulis Elora kemarin. Elora sudah tahu, makanya dia berusaha menghindar, tapi nasibnya memang lagi jelek hari ini.

Trista juga seorang pemain di sitkom Angkot Asmara, yang naskahnya ditulis Vania. Lebih tepatnya, Trista adalah seorang artis, selebritis, yang seolah memberi dia hak untuk memandang rendah Elora. 

Bagi Elora, dua orang yang paling dihindarinya di dunia ini, adalah Tante Fey dan sepupunya, Trista. Bukan tanpa alasan. Tante Fey dari dulu suka merendahkan Elora dan Kak Laura, lewat kata-katanya, dia membuat mereka merasa rendah diri. Dan Trista, tidak lebih baik dari Mamanya, dia tumbuh jadi anak manja dan narsis, selalu menyombongkan dirinya sendiri. 

"Mentang-mentang dia jadi artis, punya uang banyak, bukan berarti bisa seenaknya ngerendahin aku," keluh Elora dalam hati.

"Aku heran, kamu sama Laura tuh suka cari alasan ya... Kalo bukan karena Papa nanyain terus, aku juga nggak bakal minta kalian datang," celoteh Trista lagi. Dia empat tahun lebih muda daripada Elora, tapi dia selalu memanggil Elora dan Kak Laura dengan nama mereka. 

"Sorry, Tris... Kapan-kapan, kami sempatin ke rumah deh...," akhirnya Elora berkata. Dia cuma memikirkan perasaan Om Hilman. 

"Beneran ya? Aku udah bosan ditanyain Papa terus. Gara-gara Papa tau aku sering syuting di sini. Yang penting, aku udah sampaikan pesan Papa."

"Iya, salam buat Om sama Tante ya..."

Trista tidak menjawab, ia membalikkan tubuhnya, berjalan ke arah studio yang sudah di-setting untuk syuting. Elora menarik nafas dalam-dalam.

*

Elora berjalan pelan sepanjang gang menuju rumahnya. Gang itu tidak terlalu lebar. Mobil tidak bisa masuk, karena terlalu mepet. Rumah-rumah di gang itu padat, banyak kontrakan di situ, karena memang dekat dengan daerah kampus.

Sore ini, Elora sengaja langsung pulang, setelah selesai kerja jam lima. Seperti biasa, ia naik bus Transjakarta dari kantor, turun di halte terdekat, lalu dilanjutkan dengan jalan kaki ke rumah. Sahabatnya, Mia, masih lembur, karena ada pekerjaan make-up yang belum selesai.

"Mbok… Mbok Ika..." 

Elora mengetuk pintu rumah Mbok Ika, wanita berumur enam puluhan yang tinggal persis di sebelah rumahnya. 

Mbok Ika hidup sebatang kara, anaknya cuma satu. Setelah menikah, anak gadisnya itu tinggal dengan suaminya. Mereka jarang berkunjung, cuma sesekali. Mbok Ika sendiri juga tidak mau ikut anaknya, alasannya tak mau membebani. Rumah Mbok Ika paling besar di gang itu, terdiri dari beberapa bangunan terpisah. Dia cuma menempati bangunan paling depan dari rumahnya, sisanya dikontrakkan.

Klek! Suara pintu depan rumah dibuka.

"El…" Mbok Ika tampak semringah melihat Elora. "Ayo, masuk... Mbok udah gorengin pisang."

Elora mengikuti Mbok Ika masuk ke ruang tamu. Sudah jadi kebiasaannya menjenguk Mbok Ika, paling tidak dua hari sekali, untuk memastikan wanita itu sehat-sehat saja, karena Mbok Ika punya penyakit diabetes dan darah tinggi. Elora yang sering mengingatkan Mbok Ika untuk minum obat, kontrol ke puskesmas, atau sekedar menemani ngobrol.

"Mbok nggak boleh makan pisang banyak-banyak lho, ingat gula darahnya..." Belum apa-apa, Elora sudah mencereweti Mbok Ika.

Mbok Ika tergelak, memamerkan deretan gigi depannya yang ompong. "Iya, iya... Ini Mbok goreng buat kamu kok, hari ini Mbok tau, kamu pasti datang. Sisanya buat anak-anak kontrakan."

Elora mencomot satu potong pisang goreng di atas meja ruang tamu. "Mbok udah minum obat belum? Sini, aku ukur tensinya."

Elora memang sudah membelikan tensimeter digital untuk mengukur tekanan darah Mbok Ika.

"Udah tadi pagi."

"Udah? Udah ngukur tensi? Mbok bisa ngecek sendiri?"

"Nggak... Tadi pagi, Mbok sempat agak pusing. Kebetulan ada si Rico, Mbok mintain tolong aja. Untung dia bisa pake tensimeter. Tadi emang tensi Mbok agak tinggi, gara-gara semalam lupa minum obat," Mbok Ika mengakui dengan jujur. 

"Tuh kan, Mbok itu... Terus, udah diminum obatnya?" Elora mulai cerewet lagi.

"Udah, udah... Mbok semalam ngantuk, ketiduran... Jadi lupa minum obat."

Elora menggeleng-geleng pelan. Dalam hati, ia sedikit merasa bersalah, karena semalam ia pulang telat, dan terlalu capek untuk mengecek kondisi Mbok Ika.

"Rico itu anak kontrakan baru, baru dua hari di sini," Mbok Ika tiba-tiba cerita. "Anaknya diam, tapi baik deh... Dia kerja. Nggak tau di mana, nggak mau ngomong. Tapi, dari kemarin di kamar aja. Baru tadi siang, Mbok liat dia keluar. Nggak tau ke mana..."

Elora cuma mendengarkan sepintas lalu. Anak kontrakan di tempat Mbok Ika ada banyak dan silih berganti, tidak mungkin dia ingat satu persatu.

Mendadak, sebuah motor Vespa meluncur pelan, masuk ke halaman rumah Mbok Ika, lalu parkir di depan teras rumah. Seorang cowok bertubuh tinggi turun dari motor, dan melepas helmnya.

"Eh, panjang umur... Itu Rico...," seru Mbok Ika, sambil berjalan ke teras. 

Elora masih tetap duduk di kursi ruang tamu. Ia cuma melongok lewat pintu yang terbuka.

"Mbok... Gimana? Masih pusing nggak?" tanya cowok itu. Suaranya agak berat.

"Nggak lagi kok, Rico..."

"Mau aku ukur lagi tensinya?"

"Nggak usah, makasih... Itu udah ada El, dia yang biasa tensi Mbok. El... Sini, El...," Mbok Ika memanggil.

Elora melangkah ke teras dengan agak enggan. 

"Ini, kenalan sama Rico, yang tadi Mbok cerita." Mbok Ika tersenyum, ia seperti dengan bangga memperkenalkan penghuni kontrakan baru itu.

"Hai, aku Elora." Elora mau tak mau mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

Cowok itu menjabat tangan Elora. "Rico," katanya singkat.

Cowok itu tinggi, Elora cuma setinggi bahunya. Rambutnya gondrong sebahu, dibiarkan terurai sehingga sedikit menutupi matanya. Kulitnya agak kecoklatan, seperti orang yang sering terjemur panas matahari. Alisnya tebal, matanya menatap tajam. Ada kumis dan cambang tipis di bawah hidung dan mulutnya. Tubuhnya atletis dan tampak kekar. Ia memakai jaket denim biru yang warnanya sudah pudar, menutupi kaus hitam di baliknya. Jabatan tangannya terasa kuat dan agak kasar. 

"El ini tinggal di sebelah, itu rumahnya...," sambung Mbok Ika, sambil menunjuk ke arah kiri. "Dia paling baik sama Mbok, selalu ngunjungin, ngingatin minum obat. Pokoknya, dia perhatian banget deh... Anaknya juga cantik, pinter masak..."

Elora merasa heran, kenapa Mbok Ika seperti sengaja memujinya setinggi langit di depan cowok itu? Elora berusaha tersenyum ramah, biar tak dikira jutek. Tapi, cowok itu sama sekali tidak membalas senyumnya.

"Ya udah, kalo gitu. Aku ke kamar dulu ya, Mbok..." Cowok bernama Rico itu cuma berpamitan pada Mbok Ika, lalu ia berjalan ke arah belakang rumah, tempat kamar-kamar kontrakan berada.

*

"Serius?? Kamu udah kenalan sama cowok itu?" tanya Mia dengan nada tinggi.

Mia baru sampai di rumah sekitar jam delapan malam, dan langsung mengajak Elora ngobrol.

"Iya, tadi sore, di rumah Mbok Ika. Emang kenapa sih?" jawab Elora agak malas.

"Aduh, El... Kamu tuh gimana sih?" Mia mengomel. "Cewek-cewek satu gang ini udah pada heboh, gara-gara cowok baru itu. Aku diceritain sama Gina, yang depan rumah Mbok Ika. Katanya, cowok itu versi KW-nya Chicco Jericho...! Ganteng banget dong, ya nggak?" Mia heboh sendiri. 

Elora memutar bola matanya. "Sorry ya, tapi aku bukan fans Chicco siapalah itu... Yang kayak gimana sih orangnya?" 

"Ampun deh, El... Gaul dikit, ‘napa? Katanya Gina, dia tuh cool, tinggi, brewokan, terus bodinya oke banget gitu..."

Elora mulai mengingat-ingat lagi. "Tinggi, iya... Brewokan, iya... Cool, emang iya... Sombong malah, nggak senyum sama sekali tuh...!"

Elora jadi kesal lagi, kalau ingat cowok itu berlalu begitu saja, tidak membalas senyumnya. Lagipula, cewek-cewek di gang rumah mereka memang suka bereaksi berlebihan, kalau ada cowok yang cakep sedikit saja. Mungkin karena saking langkanya cowok cakep di lingkungan itu.

"Terus, kalian ngomong apa aja?"

"Boro-boro... Cuma nyebutin nama doang. Itu pun karena Mbok Ika yang ngenalin. Kalo nggak, paling juga aku cuekin."

Mia memandang Elora dengan wajah heran. Dahinya berkerut. "Aneh kamu tuh... Ada cowok cakep, kamu cuekin. Pantas aja kamu jomblo terus. Emang maunya yang kayak gimana lagi sih?" 

"Habis, aku nggak suka cowok yang nggak rapi kayak dia... Aku tuh maunya yang kayak Ji Chang Wook. Putih, bersih, keren, senyumnya manis... Aduh, ganteng banget sih...!" Elora tersenyum sendiri, membayangkan wajah aktor Korea Selatan idolanya itu.

"Eh, kamu tuh sadar diri...! Mana ada cowok kayak Ji Chang Wook di Indonesia? Lagian, kalo ada juga, dia nggak mau sama kamu!" omel Mia dengan suara keras.

"Kok sewot banget sih ngomongnya? Biasa aja kali...," Elora menanggapi dengan kesal. 

"Ya, habis... Kamu juga sih, ngeselin... Betewe, gimana tuh di Jodoh Gue? Udah ada yang nyantol belum?"

Jodoh Gue adalah aplikasi cari jodoh online, yang disarankan oleh Mia untuk dicoba Elora. Elora sudah mengunduh aplikasi itu di ponselnya, dengan setengah terpaksa tentunya.

"Ada sih, beberapa yang ngajak kenalan. Tapi nggak ada yang cocok," sahut Elora dengan malas.

"Nggak ada yang cocok gimana? Sini aku liat...!"

Mia langsung merebut ponsel Elora dari atas meja ruang tamu. Ia membuka aplikasi Jodoh Gue, mulai mengecek di bagian profil cowok yang mengajak Elora kenalan.

"Ini ada nih, umur 32 tahun, domisili Jakarta Pusat, deket itu, El... Pendidikan, teknik sipil, pekerjaan, di perusahaan konstruksi. Ini oke lagi... Wajahnya juga lumayan, tinggi 173 cm. Duh, yang kayak gini masih nggak cocok?? Kamu tuh maunya yang kayak apa sih?" Mia sepertinya sudah kesal sampai ke ubun-ubun. Suaranya menggema di ruang tamu rumah Elora, untung cuma ada mereka berdua. 

"Kamu liat deh, foto profilnya... Dia foto di depan motor Harley Davidson. Itu paling cuma nampang doang, nggak tau pinjem motornya siapa buat foto... Aku nggak suka yang banyak gaya gitu. Pamer-pamer doang, padahal palsu... Lagian, kalo beneran itu motornya, aku juga nggak suka cowok yang naik motor gede, serem ah... Suka ngebut, kasar lagi...," Elora beralasan panjang lebar.

"Ya ampun, El...! Yang penting kan kamu kenalan dulu. Peduli amat, itu motor dia apa bukan. Namanya juga cuma foto. Lagian, kalo bener itu motor dia, berarti dia kaya dong, banyak duit... Kamu nggak mau? Peduli amat kalo dia bad boy...," Mia mulai sewot lagi.

"Ya nggak mau lah aku sama bad boy...! Entar dia selingkuh lagi, banyak ceweknya..." Elora tak mau kalah ngotot. 

"Nih, ada lagi... Umur 35 tahun, domisili Bogor. Pendidikan, sarjana pertanian. Pekerjaan, di perusahaan agrobisnis. Tinggi 170 cm, berat badan 70 kg. Cute lho wajahnya, chubby chubby gitu...," Mia membaca profil cowok yang lain. 

"Itu juga aneh, fotonya di depan sawah-sawah gitu... Nanti kalo aku sama dia, terus kita jalan-jalannya di sawah gitu? Pacaran di sawah? Ih, nggak mau ah... Panas, becek lagi...," Elora lagi-lagi beralasan. 

"Ya elah...! Itu kan cuma foto! Lagian, dia kan emang sarjana pertanian, kerjanya juga di agrobisnis. Ya wajar kalo foto di sawah... Di Bogor kan emang banyak tempat kayak gitu..."

"Kejauhan ah... Bogor... Gimana mau ketemu kalo jauh gitu? Aku nggak mau LDR...," Elora menanggapi sekenanya. 

Sebenarnya, dia cuma merasa malu untuk berkenalan dengan cowok lewat aplikasi jodoh seperti itu. Makanya, dari awal, dia selalu mengajukan seribu alasan untuk menolak berkenalan.

"Kamu itu emang banyak alasan ya... Coba kenalan aja dulu sama mereka. Kalo cocok, baru ajak ketemuan. Kalo nggak cocok, ya cari lagi yang lain. Aku dulu juga gitu sama Danu, kenalannya dari Jodoh Gue..." 

Mia menyebutkan nama pacarnya, yang sudah pacaran dengannya dua tahun terakhir. Danu seorang pegawai kantoran, dan orangnya lumayan baik, menurut Elora.

"Dulu, kamu udah kenalan sama berapa cowok, sampai ketemu Danu?"

"Berapa ya? Duh, nggak ingat deh, banyak banget... Tapi kan nggak semua aku ajak ketemuan. Kalo chat aja udah nggak nyambung, ngapain ketemu? Ya nggak?"

Elora memandangi wajah sahabatnya itu. Mia tiga tahun lebih muda dari dia, berwajah manis, dan orangnya jago dandan lagi. Kalau cewek seperti Mia saja kenalan dengan cowok lewat aplikasi jodoh online, kenapa dia tidak coba?

"Ya udah deh, aku coba kenalan...," akhirnya Elora berkata dengan suara pelan. Lagipula, dia sudah bosan jadi jomblo. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status