Share

3

Elora sudah keluar rumah jam enam pagi ini, sudah pasti tujuannya cari rental untuk cetak naskahnya. Untunglah daerah sekitar rumahnya memang dekat kampus, jadi banyak rental komputer yang buka pagi. Elora masuk ke salah satu rental yang cuma beberapa blok dari rumah. 

Dia sudah selesai mencetak semua naskahnya. Setelah ini, tinggal dijilid satu-satu, dan siap dikirim. Pas jam makan siang, dia bisa keluar kantor sebentar untuk mengirim naskah itu. 

Elora terburu-buru keluar dari rental. Sudah hampir jam setengah delapan. Belum lagi, dia masih harus jalan kaki ke halte. Sepertinya dia bakal telat masuk kantor hari ini. 

Suara motor menderu di belakangnya. Elora menoleh.

"Kamu...?" ucapan Elora terhenti.

Rico dan Vespa-nya berhenti di samping Elora. Cowok itu memakai jaket kulit hitam dan celana denim biru kali ini.

"Kamu nggak kerja?" tanya Rico, dahinya berkerut menatap Elora.

"Ini baru mau berangkat..." 

Kenapa dia selalu bertemu cowok aneh ini?

"Kesiangan?"

"Nggak, tadi aku mampir dulu ke rental." 

Kenapa juga cowok ini mendadak jadi peduli sama dia? Elora berusaha menyembunyikan naskah yang sudah dijilid, yang dibawanya dalam tas jinjing dari kain.

"Ayo naik..."

"Hah?" Elora terperangah, seperti orang bingung. 

"Aku antar ke halte. Atau kamu mau telat?" Pertanyaan Rico tepat di sasaran. 

Benar juga. Kalau dia naik motor, bisa lebih cepat sampai di halte, dan mungkin, dia tidak jadi telat masuk kantor. 

Tanpa pikir panjang lagi, Elora naik ke boncengan motor Rico. Cowok itu hanya diam saja, lalu memacu motornya. Elora masih terus memandangi Rico dari belakang.

"Makasih ya...," ucap Elora ragu-ragu.

Rico tetap diam. Entah tidak mendengar atau bagaimana. Biarlah, yang penting, Elora bisa sampai di kantor tepat waktu.

Elora absen di mesin finger print tepat jam delapan. Ia menarik nafas dalam-dalam. 

"Pas banget!" batinnya. 

Dan semua itu berkat bantuan Rico. Ternyata, cowok itu tidak sesombong dugaannya.

"El, tumben kamu baru datang jam segini... Kamu ke mana sih sebenarnya?" Mia yang menyapa, waktu Elora sampai di bilik kerjanya di The Nest.

Tadi pagi, sebelum berangkat dari rumah, Elora sudah bilang ke Mia, kalau dia ada urusan, jadi dia harus berangkat duluan. Mia juga sudah terbiasa, mungkin dia mengira, Elora harus stand by lagi untuk syuting pagi, seperti kemarin. Tapi sekarang, Mia pasti sudah sadar, kalau Elora belum ada di kantor dari tadi pagi. 

"Aku tadi nge-print surat lamaran, Mi..."

Entah kenapa, Elora lebih memilih untuk berbohong pada Mia, dia belum siap cerita tentang naskahnya.

"Oh…," Mia memelankan suaranya, sambil melirik ke kiri dan kanan. "Kamu mau kirim ke mana?" 

"Ada beberapa, coba-coba aja. Nanti siang, aku mau keluar bentar ya...," Elora juga menjawab dengan suara lirih. 

"Oke, good luck ya..."

Elora menghela nafas, waktu Mia berlalu dari mejanya.

"Maaf ya, Mi... Aku cuma malu kalo cerita soal naskahku," Elora membatin.

Jam makan siang, Elora buru-buru keluar dari kantor. Dia sudah browsing di internet kemarin malam, ada kantor Production House yang tidak terlalu jauh. Namanya Deep Production. PH ini sangat terkenal di dunia perfilman, Elora tahu, sudah banyak film sukses yang diproduksinya.

Elora memandangi bangunan kantor Deep Production yang tinggi dan megah. Tadi dia naik ojek online dari kantor. Kakinya agak ragu untuk melangkah.

"Kalo udah sampai sini, ngapain ragu lagi?" Elora memarahi diri sendiri. "Udah nggak ada kata mundur. Coba aja, daripada nyesal karena nggak pernah coba..."

Akhirnya, Elora melangkah masuk ke gedung bertingkat lima itu, membawa naskah-naskahnya.

*

Elora duduk di sofa ruang tamu, dengan laptop di atas pangkuannya, sibuk mengetik naskah untuk acara kuis. Biasanya kuis bukan bidangnya. Tapi, salah satu penulis naskah di tim kreatif mereka baru saja mengundurkan diri. Mau tak mau, pekerjaan rekannya itu dibagi ke penulis naskah yang masih ada. Makin banyak yang mengundurkan diri, makin berdebar-debar jantung Elora. Mungkin cuma tinggal tunggu waktu bagi dia.

Mia sedang makan batagor di samping Elora, sambil menonton video tutorial make-up di ponsel, itu sudah jadi kebiasaannya hampir tiap sore sampai malam. Hari ini, Elora dan Mia tidak nongkrong di kafe lagi, karena Elora mau mengecek kondisi Mbok Ika tadi sore. Setelah yakin tetangganya itu sehat-sehat, dan sudah minum obat, barulah dia pulang dan meneruskan kerjaannya.

"El, gimana cowok yang di Jodoh Gue kemarin? Udah chatting belum?" tiba-tiba Mia menyeletuk.

Elora heran, Mia itu sudah mirip sekali dengan kakaknya, yang suka menguliahi dia tentang cowok dan pacaran.

"Udah," jawab Elora singkat. 

"Terus gimana? Ada yang cocok nggak?"

"Nggak..."

"Nggak gimana?"

"Ya, nggak cocok... Duh, aku lagi fokus nih, Mi..."

Mia malah menyambar ponsel Elora yang ditaruh di meja ruang tamu. "Sini aku liat, kalian ngobrol apa aja..."

"Ampun, Mia...! Aku juga punya privasi ya..." Elora merebut kembali ponselnya.

"Kalo gitu, cerita dong...," Mia bersikeras.

Elora menghela nafas. "Kan aku udah bilang dari awal, aku tuh nggak cocok sama dua cowok itu..."

"Emang kenapa? Yang cowok teknik itu gimana?"

"Aku tanya dia, itu motor Harley dia? Katanya bukan, motor kakaknya... Berarti, dia pasang foto palsu kan?" 

"Ih, peduli amat... Emang itu kejahatan? Lagian, dia kan emang nggak ada bilang, kalo itu motornya. Itu cuma properti buat foto," Mia membela si cowok Harley Davidson. 

"Terus, aku tanya lagi soal kerjaan. Katanya, dia sekarang lagi garap proyek konstruksi, sampai ke Kalimantan. Bayangin coba, kalo aku sama dia, bakal ditinggal terus... Aku kan nggak mau kalo LDR..."

"Itu kan cuma buat sementara. Lagian, kalo garap proyek kayak gitu tuh, uangnya banyak lagi..."

Elora memutar bola matanya. Dia heran, bagaimana Mia sepertinya selalu bisa melihat sisi positif dari seorang cowok, sedangkan yang dia lihat cuma negatifnya. 

"Ah, nggak mau... Kalo sering pergi jauh, entar selingkuh lagi..."

"Apaan sih, El? Belum juga pacaran... Kan cuma kenalan dulu...," nada suara Mia terdengar seperti putus asa. 

"Terus, yang cowok Bogor gimana? Yang foto di sawah?" Mia terus mencecar dengan pertanyaan.

"Itu lagi... Aku tanya dia, emang rumahnya dekat sawah? Kok fotonya kayak gitu? Dia bilang, dia emang suka jalan-jalan di alam bebas, kayak sawah gitu... Bener kan dugaanku, kalo aku pacaran sama dia, bakal diajak jalan-jalan ke sawah..."

"Ya malah bagus dong... Kan sehat, kena udara segar, dapat vitamin D dari matahari..." 

Elora tambah kesal. Mia sepertinya sudah memutuskan untuk memihak para cowok yang tak dikenalnya itu, daripada sahabatnya sendiri.

"Dia juga bilang, dia nggak suka nonton TV atau film. Padahal, aku kan kerja di dunia TV. Entar nggak nyambung dong, kalo diajak ngobrol...," lanjut Elora.

"Emang kalian udah ngobrol apa aja? Kan bisa ngobrolin yang lain... Tanaman kek, petani kek... Yang bidangnya dia aja...," Mia mencerocos.

"Ya justru itu... Aku nggak tau lagi mau ngobrol apa. Aku diemin aja. Dia juga nggak chat lagi tuh... Paling dia juga udah ngerasa nggak cocok...," tandas Elora sambil mengangkat bahu.

Mia terdiam memandangi Elora.

"Kayaknya, kamu bener-bener butuh bantuan deh, El... Kamu tuh bukannya nggak ada kesempatan, tapi kamunya yang nggak niat, tau nggak?"

Elora mulai merasa tidak nyaman, karena Mia mendadak menatapnya dengan wajah serius. 

"El, kamu tau nggak? Kenapa aku cerewetin kamu terus soal pacar?" Mia memegang bahu Elora, tatapan matanya seperti menghujam.

Elora balas menatap. Kenapa Mia seserius itu?

"Aku sama Danu ada rencana mau married, El..." 

Kata-kata Mia meresap perlahan-lahan dalam otak Elora, ia masih berusaha mencernanya. Setitik rasa cemas mulai muncul. 

"Kalo aku married, artinya aku bakal tinggal sama Danu, nggak tinggal di sini lagi. Kamu sendirian... Yah, emang sih, kamu bisa cari orang lain, yang mau ngontrak di sini... Tapi, bukan itu maksudku. Maksud aku, kamu nggak ngerasa sepi ditinggal terus? Pertama, Kak Laura married, terus pergi dari sini. Habis itu, entar aku married, aku juga bakal pindah... Kamu mau sampai kapan, sendiri kayak gini terus?"

Elora merasa Mia seperti sedang menamparnya pelan-pelan, tapi dalam arti yang baik.

"Sorry, kalo aku terpaksa ngomong kayak gitu... Tapi, itu karena aku peduli sama kamu, El..." Mata Mia yang bulat terus menatapnya. "Aku tau, kamu tuh takut tinggal sendirian. Kalo nggak ada orang lain di rumah, kamu nggak bisa tidur kan? Kamu tuh udah kayak orang parno, tau nggak? Di rumah sendiri, tapi nggak bisa tidur..."

Sepertinya Mia memang sangat memahami Elora. Mia tahu, Elora tidak bisa memejamkan matanya kalau cuma sendirian di rumah. 

Elora tersenyum kecut. "Emang kapan kalian mau married?"

"Akhir tahun nanti, aku sama Danu mau ke Sukabumi, sekalian mau acara lamaran di kampungku... Pinginnya sih, married-nya awal tahun depan, El..."

Akhir tahun sekitar enam bulan lagi. Kenyataan itu mau tak mau membuat Elora merasa seperti ada yang kosong dalam hatinya. Kalau Mia menikah, memang bukan berarti dia tak bisa bersama Mia lagi, tapi pasti sudah beda. Seperti yang terjadi dengan Kak Laura. Dia tak bisa lagi nonton film bareng kakaknya itu, tak bisa shopping bareng, nongkrong di kafe, atau sekedar bergosip malam-malam di kamar Kak Laura sampai tertidur.

Elora memandangi Mia. "Iya, kamu bener... Aku juga nggak mau ditinggal sendirian terus...," akhirnya ia berkata dengan jujur.

Mia tersenyum tipis. "Terus, kamu mau gimana?"

"Yah, gimana lagi? Kalo kesepian, aku ke rumah Mbok Ika aja, nemenin dia...," Elora mencoba bercanda.

Mia tergelak. Tapi, mendadak matanya bersinar. Ia menepuk bahu Elora dengan keras.

"Aw…! Apaan sih, Mi?" teriak Elora, sambil mengelus-elus bahunya. 

"Eh, ngomong-ngomong soal Mbok Ika, aku jadi ingat nih... Aku udah denger lho gosipnya..." Mia tersenyum-senyum penuh arti memandang Elora.

"Gosip apaan?" Elora masih kesal.

"Kata Gina, kamu keliatan boncengan sama si Rico. Bukan cuma sekali, tapi dua kali...! Hayo lo, mau ngomong apa lagi? Udah ada saksinya gitu..." Wajah Mia tampak semringah.

Elora bingung dengan yang namanya Gina, cewek SMA yang tinggal di depan rumah Mbok Ika. Apa dia pasang CCTV di sepanjang gang rumah mereka itu? Kok dia bisa tahu segala hal?

"Ih, apaan sih? Kemarin itu, aku dibonceng karena dia bantuin Mbok Ika beli obat. Aku cuma nunjukin jalan ke apotek, karena kan aku yang biasanya beliin obat Mbok Ika...," Elora menjelaskan.

"Terus, kalo tadi pagi? Pantesan aja kamu nggak mau bareng aku...," goda Mia lagi.

"Tadi pagi, aku beneran ke rental buat nge-print...," jawab Elora kesal, sambil melototkan matanya. "Pas aku keluar dari rental, ketemu si Rico. Dia nawarin bonceng aku sampai ke halte, biar nggak telat. Soalnya udah mau jam setengah delapan. Daripada telat, ya mending aku ikut aja..."

Mia masih tetap tersenyum penuh arti. "Cie... Jadi Rico yang nawarin duluan? Jangan-jangan nih...," olok Mia sambil tertawa.

Elora mengerutkan dahinya. Ia tidak merasa ada yang istimewa, cuma karena dibonceng Rico. 

"Mau tau gosip yang lebih heboh?" Saking kesalnya, Elora merasa perlu memberitahu Mia.

"Apa?"

"Rico itu nggak suka sama cewek."

"Hah??"

Mia terperangah, sama seperti reaksi Elora waktu pertama kali ia mendengar dari mulut Rico sendiri.

"Maksudnya gimana, nggak suka cewek?"

"Ya dia sendiri yang ngomong..."

Elora cerita bagaimana ia sampai bisa tahu tentang rahasia pribadi Rico. Mia termangu-mangu setelah itu.

"Sayang banget ya... Tapi emang sih, sekarang udah nggak malu-malu lagi soal begituan. Udah dianggap lazim. Mereka juga punya komunitasnya. Yah, gimana pun juga, itu kan hak pribadi tiap orang...," Mia seperti menggumam sendiri.

"Tumben kamu jadi bijak gitu...," giliran Elora yang meledek Mia.

Mia mendelikkan matanya.

"Eh, tapi...dia bisa bantuin kamu, El..." Mendadak, Mia seperti bersemangat lagi.

"Bantuin apaan?"

"Bantuin kamu cari pacar."

Elora melotot. Mau apa lagi sih Mia itu?

"Gini, El... Dia itu pasti lebih tau sifat-sifatnya cowok, karena dia biasa bergaul sama cowok. Jadi, dia bisa ngasi kamu saran, gimana caranya bikin cowok klepek-klepek sama kamu. Iya kan?"

Elora terkadang takjub, dari mana Mia mendapat semua ide gilanya? 

"Yah, sekalian aja aku berguru sama dia...," ceplos Elora dengan nada kesal.

"Yoi…bener...!" Mia malah tambah bersemangat. "Dia bisa ngajarin kamu, gimana cara narik perhatian cowok. Siapa tau, dia juga punya teman cowok yang bisa dia kenalin ke kamu..."

Elora memegangi kepala dengan kedua tangannya. Lama-lama, urusan tentang cowok dan pacar ini bisa bikin dia stress! 

Mendadak, ponselnya berbunyi. Kak Laura yang menelepon.

"Halo, Kak...," jawab Elora.

"El, lagi ngapain?" suara Kak Laura terdengar lembut.

"Lagi ngerjain naskah, biasa..."

"Eh, kamu udah tau belum? Om Hilman ngundang kita ke rumahnya hari Sabtu besok, jam empat sore. Ulang tahun Om Hilman..."

"Sabtu?" Ini yang paling tidak disukai Elora. "Kak Laura mau pergi?" 

"Iya dong... Masa Om ulang tahun, kita nggak ke sana? Kamu mau bareng aku sama Colin?"

"Mmm... Nggak usah, Kak..."

"Ya udah, datang lho... Yah, demi Om Hilman aja. Biarpun kamu tau kan, Tante Fey..." Kak Laura tidak menyelesaikan kalimatnya.

Elora memejamkan matanya. Kenapa cobaan ini datang bertubi-tubi ya? 

"Iya, Kak... Aku datang kok..."

Begitu selesai bicara di telepon, Elora menoleh memandang Mia, seolah mencari bantuan.

"Kenapa, El?" tanya Mia dengan dahi berkerut.

"Om Hilman ulang tahun besok Sabtu. Aku disuruh ke rumahnya..."

Sejenak, mereka berdua terdiam. Mia sudah tahu cerita tentang keluarga Om Hilman.

"Aku paling males ketemu Tante Fey. Tiap ketemu, yang diomongin pasti cuma soal...udah punya pacar belum? Kenapa masih jomblo? Mau sampai kapan sendiri?" Elora menirukan gaya bicara Tante Fey.

"Aku tau siapa yang bisa bantu..." Mia lagi-lagi tersenyum penuh arti, sambil memandang Elora.

Elora mengerutkan dahinya. "Siapa?"

"Kita minta tolong Rico pura-pura jadi pacar kamu, cuma buat temanin kamu ke rumah Om Hilman kok..."

Elora membelalakkan matanya. Mia pasti salah minum obat hari ini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak, Mi... Jangan ide gila dari kamu lagi, please...!" 

"Lho, kenapa? Emang kamu punya ide yang lebih bagus? Kamu mau dihina Tantemu terus?" Mia benar-benar seperti rentenir, yang terus mengejar dan mencekik Elora dengan kenyataan pahit. 

"Tapi... Aku bahkan nggak kenal Rico, Mi... Emang dia mau bantuin aku? Yang ada, aku cuma bikin malu diri sendiri..." Elora mulai terdengar seperti orang yang putus asa. 

"Kamu nggak bakal malu, El... Karena aku yang bakal ngomong sama dia..." Mia tersenyum penuh keyakinan.

Elora merasa, dia pasti sudah sama gilanya dengan Mia, sampai mau setuju dengan ide Mia. Dan sekarang, jam delapan malam, mereka berdua sedang berdiri di depan pintu kamar kontrakan Rico.

Tok, tok, tok! Mia mengetuk pintu kamar itu.

Elora memainkan jari tangannya, itu kebiasaannya kalau lagi gugup. Kalau cowok itu tak ada di kontrakan, mungkin itu pertanda dari semesta, bahwa ide mereka memang terlalu konyol.

Klek! Pintu dibuka.

Elora sudah siap-siap. Dia harus menebalkan mukanya, dan memasang senyum palsu.

Rico memandang mereka berdua, alisnya terangkat. Dia cuma memakai kaus putih dan celana training pendek warna hitam. Rambutnya yang terurai tampak basah, sepertinya habis mandi. 

"Ya?" tanyanya dengan suara berat. Wajahnya kelihatan heran.

"Halo, Rico... Kenalin, aku Mia, teman serumahnya El... Sorry ya, ganggu malam-malam... Boleh ngobrol bentar nggak?"

"Ngobrol apa?"

Cowok itu sepertinya juga tidak suka basa-basi.

"Mmm… Boleh ngobrol di dalam nggak? Nggak enak kalo didengar orang lain..." Mia melirik ke dalam kamar kontrakan, seolah memberi tanda. 

Rico menaikkan alisnya lagi. Akhirnya, ia mau juga bergeser dari pintu, membiarkan Elora dan Mia melangkah masuk ke kamarnya.

Kamar kontrakan itu terdiri dari tiga bagian, yang disekat oleh dinding tripleks. Biasanya, bagian depan yang lebih luas untuk ruang duduk dan tidur, bagian tengah untuk dapur, dan di belakang ada kamar mandi. Elora harus mengakui, kamar Rico termasuk rapi untuk ukuran cowok, sekaligus agak kosong. 

Sebuah kasur single tanpa dipan terletak di sudut, dipasangi seprai hijau tua polos, dengan satu bantal, tanpa guling. Ada lemari plastik tiga susun warna putih hijau di ujung kasur. Di samping kasur, tergeletak sebuah gitar, sebuah keyboard, dan sebuah tas biola. Cowok ini ternyata hobi musik.


Di tengah ruangan, digelar tikar dari anyaman rotan. Di situlah, Elora dan Mia duduk. Tidak terlihat barang lain lagi di situ, atau mungkin ditaruh di ruangan tengah yang lebih kecil. 

Rico duduk di lantai ubin, di dekat pintu yang terbuka, bersandar ke tembok.


Cowok ini sopan juga, pikir Elora. Dia tidak duduk di dekat mereka untuk menjaga sopan santun, atau dia memang risih dengan kehadiran cewek?

"Mmm... Langsung aja ya...," Mia mulai membuka obrolan. "El ini besok Sabtu mau ke rumah Omnya yang ulang tahun. Tapi, dia punya masalah sama Tantenya. Tantenya selalu ribut soal pacar. Sedangkan El masih jomblo... Ini sebenarnya ide dari aku sih... Aku bilang ke El, kita minta tolong seorang teman cowok aja, buat pura-pura jadi pacar El. Cuma buat temanin ke rumah Omnya itu kok, biar dia nggak dihina terus sama Tantenya... Nggak tau kenapa, aku kepikiran minta tolong sama kamu... Soalnya, kata El, kamu tuh orangnya baik, sering bantuin Mbok Ika, terus mau nganterin El ke halte juga..."

Elora melirik Mia. Kalimat terakhir jelas tidak benar, dia tak pernah bilang cowok itu baik! Sehabis ini, Elora mengingatkan dirinya sendiri untuk mencubit Mia sepuas-puasnya. Beraninya Mia mempermalukan dia di depan Rico! 

"Aku tau, ini kedengarannya aneh. Tapi, kita juga udah nggak tau lagi, mau minta tolong siapa. Ini nggak maksa kok... Kalo kamu bersedia, ya kita terima kasih banget. Kalo nggak, juga nggak apa-apa...," Mia mengakhiri dengan sebuah senyuman manis.

Elora tidak berani melirik ke arah Rico. Alih-alih, ia memandangi alat musik yang terletak di sampingnya. Entah apa yang ada di benak Rico saat ini. Dua orang cewek aneh, yang tidak dikenal, tiba-tiba datang malam-malam, dengan permintaan tolong yang absurd?

"Kamu pingin aku pura-pura jadi pacar El?" Rico bertanya pelan, seperti memastikan pendengarannya.

"Iya…" Mia mengangguk dengan penuh semangat.

Hening.

"Bayarannya apa?"

"Apa?" Mia spontan merespon.

"Apa?" Elora juga sama kagetnya dengan Mia, ia menoleh memandang Rico.

Rico mengangkat bahu. "Yah, fair dong... Kalian mau minta tolong, ada bayarannya nggak?"

Elora dan Mia saling berpandangan. 

Cowok ini boleh juga, pikir Elora. Di saat Elora sedang dalam kondisi harus hemat uang, karena takut mendadak kehilangan pekerjaan, cowok ini malah minta bayaran. Berapa yang bisa dia tawarkan?

"Kamu maunya dibayar berapa?" akhirnya Mia yang bersuara. 

Elora melirik Mia lagi, mencoba memberi isyarat. Apa tidak lebih baik mereka batalkan saja rencana ini? Dia tak sanggup membayar untuk hal segila ini.

"Bukan berapa, tapi apa?" Rico mengoreksi. "Aku bilang, bayarannya apa?"

Mia memandang Elora lagi.

"Kamu maunya apa?" Mia balik bertanya.

Rico terdiam, seperti sedang berpikir. Ia menatap Elora dengan mata tajam.

"Kamu bisa masak?" Pertanyaan itu ditujukan ke Elora.

"Hah…?" Elora terperangah.

"Bisa, bisa...!" Mia cepat-cepat menjawab. "El itu jago masak. Dia paling enak kalo bikin nasi goreng, tumis-tumisan... Pokoknya, enak banget deh masakan El...!"

Elora menyikut lengan Mia. Memangnya dia harus jadi koki pribadi cowok itu? 

"Kalo gitu, buatin aku sarapan selama dua minggu. Tiap pagi, sebelum jam tujuh, taruh aja di depan pintu kamarku, kalo aku belum bangun. Sarapannya boleh pake nasi, boleh roti, atau snack. Yah, pokoknya yang layak dimakan... Tapi, jangan masak pete atau jengkol, aku nggak suka. Jangan keasinan, kalo pedes nggak apa-apa...," Rico menyebutkan syaratnya dengan santai, seolah Elora sudah pasti setuju.

Elora menatap Rico dengan rasa tak percaya. Kenapa sekarang cowok itu malah jadi bawel?

Mia menyentil lengan Elora. "Gimana, El? Bisa kan?" tanyanya dengan suara rendah.

Elora menoleh, menatap Mia. Pikirannya sejenak kosong, tak tahu harus menjawab apa. 

"Ayolah... Cuma masak sarapan doang kok...," bisik Mia lagi. "Daripada diteror Tante Fey terus..."

Enak benar Mia ngomong begitu. Elora menarik nafas dalam-dalam. Sudah kepalang tanggung juga. Ia menatap Rico.

"Ya udah, tapi jangan malu-maluin aku di depan keluarga Omku ya...," Elora akhirnya nekat mengeluarkan syaratnya juga. 

Sesaat, mata Elora dan Rico saling bertemu.

"Tenang aja, aku udah pengalaman kok...," jawab Rico dengan suara mantap.

Begitulah kejadiannya. Malam itu, Elora kembali ke rumah dengan membawa rantang stainless steel tiga susun, yang diberikan Rico untuk menyimpan sarapannya, sesuai perjanjian mereka. Rasanya Elora ingin memukulkan rantang itu ke kepala Rico, tapi apa boleh buat? Mereka sudah sepakat.

Yang lebih menyebalkan adalah reaksi Mia, yang sepertinya sangat bangga, karena idenya berhasil.

"Apa kubilang? Gampang kan, El?" ia terkikik. "Eh, betewe, Rico itu emang keren lho, nggak salah mata si Gina... Sayang, dia nggak tertarik sama cewek...," sambungnya lagi.

Elora diam saja. "Cuma buat sehari kok," keluhnya dalam hati. "Tahan aja semua rasa malu ini."

Yang membuat Elora penasaran adalah ucapan Rico, apa maksudnya dia sudah berpengalaman? Dia sudah biasa jadi cowok bayaran?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status